Di antara gemerisik padi yang berbisik dan desir angin di sela daun jagung, seorang petani menatap senja dengan mata yang menyimpan masa lalu. Langit sore baginya bukan sekadar warna, ia adalah halaman kehidupan tempat waktu menulis rindu dan doa dengan tinta cahaya yang tak terlihat.
Cangkul yang tergeletak di tanah basah seolah ikut bernafas dalam diam, menandai jeda antara kerja dan makna. Petani itu menunduk, menyentuh bumi, dan berbisik pelan:
“Engkau Ibu yang tak pernah menuntut balas, dan aku anak yang masih belajar memahami kasihmu.”
Sebab baginya, tanah bukan sekadar unsur alam, tapi kitab kebijaksanaan, setiap gumpalnya menyimpan pelajaran tentang sabar, pasrah, dan harapan. Ia membaca bumi sebagaimana seorang bijak membaca makna hidup: perlahan, dengan rasa hormat, tanpa ingin menguasai.
Rindu yang ia rasakan bukan semata pada hujan yang tak kunjung datang, tapi pada makna-makna yang dulu tumbuh di sela jerami: rindu pada kebersamaan yang kini jadi kenangan, rindu pada tawa yang pernah menembus batas sepi.
Dalam sunyi, ia mengerti: bahwa bekerja adalah doa yang bergerak, dan menanam adalah cara manusia berdialog dengan semesta. Tidak untuk menantang nasib, tapi untuk belajar mencintai proses sebab hasil hanyalah cermin dari ketulusan.
Keringatnya jatuh bukan sekadar tanda lelah, tapi tetesan suci yang menyuburkan pengharapan. Ia tahu, tanah mungkin kering, langit mungkin bungkam, namun benih selalu mengenang tangan yang menanamnya.
Dan di situlah rahasia hidup bercocok tanam:
bahwa di antara kesunyian dan kerinduan, tumbuhlah kebijaksanaan yang tak memerlukan suara.
Bumi selalu mengajarkan, dengan bahasa yang lembut dan dalam,
bahwa keheningan adalah ladang tempat makna menumbuh dan manusia hanyalah penjaga yang belajar mencintai waktu.
(Fahmi Luwak Sawah)

.jpeg)



