Implementasi sastra cinta dalam pembangunan pertanian dapat dipahami secara filsafati sebagai upaya mengembalikan makna kemanusiaan dan nilai etis dalam proses membangun sektor pertanian yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berjiwa sosial. Dalam pandangan filsafat, sastra cinta bukan sekadar ungkapan romantis, tetapi refleksi tentang relasi harmonis antara manusia, alam, dan kehidupan.
Sastra cinta dalam konteks pertanian menegaskan bahwa pembangunan bukan hanya proses teknokratis atau ekonomi, melainkan tindakan penuh kasih terhadap bumi yang memberi kehidupan. Petani tidak dipandang semata sebagai pelaku ekonomi, tetapi sebagai penjaga keseimbangan alam. Melalui pendekatan cinta, pembangunan pertanian diarahkan pada kesadaran ekologis, penghargaan terhadap tanah, air, dan kehidupan hayati yang menopang keberlanjutan pangan.
Secara filsafat, cinta menjadi dasar moral yang menuntun manusia bertindak dengan empati, tanggung jawab, dan kebijaksanaan. Penerapan sastra cinta dalam pertanian berarti menumbuhkan etos kerja yang humanistik dan ekologis—di mana kebijakan, inovasi, dan teknologi pertanian diarahkan untuk kesejahteraan manusia tanpa merusak tatanan alam. Dengan demikian, pembangunan pertanian tidak hanya menghasilkan produksi yang melimpah, tetapi juga membangun harmoni antara petani, masyarakat, dan alam semesta.
Sastra cinta sebagai landasan filosofis mengajarkan bahwa mencintai pertanian berarti mencintai kehidupan itu sendiri—menanam bukan sekadar untuk panen, melainkan untuk menjaga keberlanjutan dan menumbuhkan kebaikan bagi generasi yang akan datang.
(Luwak Sawah, Zulfahmi)



No comments:
Post a Comment