Didedikasikan
kepada
Bapak
Gusani dan Ibu Emy Rahmawati
Saya
bisa sampai di sini karena perjuangan kalian, dan dengan restu kalian aku akan terus
berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi agama kita, bangsa kita, dan tanah
air kita.
Catatan Si Penulis
Bismillahirrohmanirrohim.
Puji dan syukur
saya panjatkan kepada Allah Swt, Tuhan yang telah memberikan kesempatan bagi
saya untuk mempersembahkan sebuah karya bagi orang-orang yang saya cintai. Shalawat
dan salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi dan teladanku Baginda Muhammad
Saw, bersama orang-orang yang selalu mengikuti ajarannya.
Para pembaca yang
mulia, saya ingin sekali menjelaskan alasan mengapa saya menuliskan novel ini.
Semua berawal dari perjalanan hidup saya saat meneruskan pendidikan di kota
Malang, tepatnya di Universitas Brawijaya. Masih teringat dengan jelas saat
pertamakali saya mengikuti kegiatan perkuliahan. Seperti biasanya semua anak
saling memperkenalkan diri kepada kawan barunya. Satu-persatu kita berdiri
untuk menyebutkan nama dan kota asal. Dari perkenalan itu aku mengetahui
kebanyakan teman baruku berasal dari Mojokerto, Malang, Kediri, dan Jombang.
Setelah itu barulah tersebutkan nama kabupaten seperti Bojonegoro, Bayuwangi,
Probolinggo, Sidoarjo, Bangkalan, Sumenep, Ponorogo,Gresik, Ngawi, dan bahkan
ada pula yang berasal dari Jakarta dan Palembang. Hingga tibalah kesempatan
bagiku untuk memperkenalkan diri. “Nama saya Muhammad Guruh Arif Zulfahmi,
biasanya dipanggil Fahmi, asal dari Trenggalek.” Dan beberapa anak pun langsung
menoleh kepadaku seraya berkata, “Trenggaplek yo?” Lantas semuanya pun tertawa.
Jelek banget, apa gara-gara di Trenggalek
banyak pengusaha gaplek? Ada-ada saja mereka. Dan yang lebih parah lagi, ada beberapa
teman yang berasal dari luar Jawa Timur bertanya,“Trenggalek itu daerah mana
sih?” Pertanyaan itu seakan terbang pelan ke telingaku dengan menggunakan
sayap-sayap sapu lidi, hingga terasa sangat geli dan sungguh menggelitik.
Mulai saat itu, aku berusaha mempromosikan
kabupaten Trenggalek tercinta kepada seluruh teman satu kelas, tanpa
terkecuali. Mulai dari keindahan pantainya, keramahan penduduknya, ketenangan
dan kedamaian alamnya, dan semuanya saja yang bisa dibanggakan. Hingga suatu
saat ada salah seorang teman yang bertanya, “Mi, apa benar nama Trenggalek itu
ada kaitannya dengan gaplek?” Aku hanya terdiam, otak ku berusaha mengingat apa
saja yang bisa ku ingat. Tidak ada, tak satu pun dokumen di otakku yang bisa
digunakan untuk menjawab pertanyaan itu. Lalu aku pun mencoba untuk
berkonsultasi ke tempat orang pintar, beliau bernama “Mbah Google.” Dari
penuturan beliau dapat aku peroleh beberapa jawaban yang semuanya terasa tidak
meyakinkan, karena tidak ada bukti yang mendukung. Prasasti Kamulan yang selama
di jadikan dasar penentuan hari jadinya Trenggalek, ternyata sama sekali tidak
menceritakan asal mula terbentuknya kabupaten Trenggalek.
Dari beberapa jawaban yang dikemukakan mbah
Google tadi, sebenarnya ada satu jawaban yang menurutku memiliki makna sangat
mulia. Trenggalek berasal dari kata Terang Ing Penggalih (Terang di hati). Ada
rasa bangga ketika mengetahui Trenggalek itu memiliki arti terang di hati. Itu
berarti semua rakyat Trenggalek memiliki kualitas moral yang mumpuni. Namun
sayang sekali, lagi-lagi tidak ada bukti sejarah yang mampu membenarkannya.
Hingga akhirnya terlintas dibenak saya untuk membuat sebuah cerita fiksi yang
bisa mendukung pendapat tersebut.
Para pembaca yang saya hormati, sekiranya
perlu saya tegaskan sekali lagi bahwa cerita yang saya tuliskan ini 100%
hanyalah cerita fiksi. Adapun tentang nama tokoh kebanyakan adalah rekaya
semata, kecuali Ibu Suri Tribuana Tunggadewi, Mpu Nala, dan semua tokoh dalam
peristiwa perang bubat memang benar adanya. Selanjutnya tentang nama
Wengkerkidul, itu hanyalah rekayasa saya belaka dengan dasar sebuah analisa
bahwa wilayah Trenggalek dahulu termasuk wilayah kekuasaan Wengker (sekarang
Ponorogo) dengan posisi geografis disebelah selatan. Karena letaknya di bagian
selatan, maka saya beri nama Wengkerkidul. Sekalagi lagi ini hanya rekayasa
penulis.
Disini saya banyak menceritakan tentang desa
Kamulan dan desa Kampak. Desa itu saya pilih karena memiliki referensi sejarah
yang lebih banyak ketimbang desa lainnya. Saya minta maaf apabila dalam cerita
yang saya buat ada kalimat yang menyinggung perasaan warga Kamulan ataupun
warga Kampak. Satu yang pasti, melalui tulisan ini saya telah berusaha untuk
menjunjung tinggi nama baik Kamulan dan Perdikan Kampak.
Saya juga minta maaf apabila dianggap telah
lancang mengarang cerita yang tidak bermutu dan mencemari nama baik Trenggalek.
Dengan lapang dada saya siap menerima saran, kritik atau hujatan sekalipun atas
tulisan saya ini. Karena tujuan saya menulis Terang Ing Penggalih ini semata-mata untuk meyakinkan semua
sahabatku bahwa Trenggalek sangatlah istimewa dan begitu berharga bagi semua
warganya. Dan saya juga percaya bahwa memang benar adanya jika seluruh warga
Trenggalek itu memiliki karakter Terang
Ing Penggalih.
Sebagai penutup, saya ucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada para pembaca yang mulia. Semoga buku yang saya tulis
ini bisa memberikan manfaat bagi sahabat semua.
Hormat saya
Muhammad Guruh Arif Zulfahmi
Daftar Cerita
Tangisan Si bayi
Risalah yang Indah
Sayatan Duka
Tirani Kehidupan
Perdikan Kampak
Di Goa Lowo
Melukis Sejarah dengan Darah
Bertemunya Kebaikan dengan Kebaikan
Pasukan Hitam
Wewangian Hati
Secangkir Peradaban
Terang Ing Penggalih
1
Tangisan Si Bayi
Wengkerkidul, Enam ratus empat puluh tahun yang lalu. Tatkala Gajah Mada menjelma Majapahit menjadi kerajaan terbesar
yang mampu menyatukan nusantara. Terletak disebalah selatan gunung Wilis, Wengkerkidul
berada dalam daerah kekuasan Wengker yang dipimpin Bhre Wengker Wijaya Rajasa.
Tersusun lembah dan bukit yang berjejer rapi
membentuk suatu kontruksi alam yang menakjubkan, ditengahnya
terhampar luasan sawah hijau nan segar,
kebun, semak dan hutan melengkapi keindahan yang nyata. Di kawasan selatan, gunung-gunung besar menggelagar dari barat
membujur ke arah timur seakan menjadi tembok kokoh yang melindungi kota dari
bahaya dan malapetaka laut selatan. Sungai yang jernih mengalir menyusuri
belahan bukit-bukit menuju ke arah pantai yang menawan. Kicauan burung kendari diatas pohon jati
diiringi alunan suara hembusan angin yang
menerpa rerimbunan batang bambu mampu melantunkan simponi alam yang
teramat menakjubkan bagi siapapun yang mendengar.
Apabila
musim penghujan tiba, Tuhan menurunkan air dari langit, sungai-sungai
mengalirkan air yang bening dari pegunungan, semuanya berada dalam ukuran yang
telah Tuhan tentukan. Dan sebagian dari air itu mengalir
membasahi sawah dan kebun. Lalu dengan air yang turun dari langit itulah Tuhan
telah menumbuhkan tumbuhan yang bermanfaat bagi manusia. Berbahagialah para
petani, mereka berbondong-bondong pergi kesawah dan lekas menanam padi, jagung,
ataupun kedelai. Sampai tibalah musim kemarau, semua orang melalui musim ini
dengan penuh suka cita karena musim panen
juga telah tiba. Dan apabila purnama telah datang, para nelayan sejenak
berhenti untuk menangkap ikan di laut, sementera anak-anak asyik bermain
dibawah cahaya rembulan yang sayu.
Di antara eloknya bentangan alam tersebut
hiduplah seorang pendekar tua sakti tak terkalahkan. Dialah Mpu Tirto yang telah menghabiskan waktunya
selama bertahun-tahun untuk bertapa dan bermunajat di dusun Bendungan yang
terletak di lereng gunung
Wilis. Kesaktian ilmu kanuragan Rawarontek
yang ia kuasai mampu membakar dan membelah segala wujud dan rupa.
Sehingga membuat sedemikian besar pengaruh kewibawannya dalam dunia persilatan,
hingga namanya tersohor tidak hanya di Wengkerkidul,
tapi sampai ke seluruh daerah kekuasaan Majapahit.
Dianugrahi
kekuatan yang hebat, tak lantas menjadikan Empu Tirto bersikap tinggi hati
apalagi menindas kaum yang lemah. Budi luhurnya tak kalah hebat dengan
kesaktiannya. Dia adalah hamba Tuhan yang penyayang, berjalan di muka bumi
dengan segala kerendahan hati, dan apabila ada yang mengoloknya maka akan ia
balas dengan perkataan yang baik. Baginya kedudukan dan kekuasaan lebih
dikarenakan oleh penyakit batin yang membuatnya sungguh mengagungkan
kesederhanaan dalam hidup. Anugerah dan pemberian Tuhan dia sebarkan secara
merata disetiap jengkal kemiskinan. Dia kawan yang baik dan menyenangkan bagi kaum saudagar, hartawan
atau bahkan pangeran dan sang baginda raja sekalipun. Tempat berseminya harapan
bagi kaum yang tertindas oleh kesewenang-wenangan kekuasaan.
Setiap empu
pastilah pandai membuat senjata, begitu juga dengannya. Memiliki pekerjaan sebagai pembuat senjata
bukan berarti setiap empu menginginkan adanya pertumpahan darah. Manusia
dibedakan dengan binatang karena akalnya, jika setiap persoalan harus
diselesaikan dengan adu fisik lalu apa bedanya manusia dengan binatang. Baginya
setiap persoalan haruslah diselesaikan dengan cara bermusyawarah. Kalaupun
tidak ada titik temu, maka pendapat mayoritaslah yang harus dijadikan keputusan
akhir, meski dia sadar suara mayoritas belum tentu suara yang benar. Dan bukan
berarti ia mengharamkan perang, karena pada suatu kondisi perang memang harus
terjadi.
Semua
manusia menginginkan kedamaian, dan mereka akan murka tatkala kedamaian itu
terusik. Mulailah mereka berdebat, atau hanya sekedar berdiskusi, dan jikalau
ada dari sebagian manusia menyumpal kebebasan manusia yang lain untuk
berpendapat, tak ada kata lain perang harus segara dikobarkan. Penjajahan harus
ditumbangkan, manusia ditakdirkan untuk merdeka. Tidak akan pernah dijumpai
kedamaian jika kebebasan masih dibekukan. Hanyalah mereka yang berjiwa kesatria yang mau berperang
merobohkan tirani hingga mereka menemui
sebuah kemerdekaan sejati.
v
Kesunyian
yang menyelimuti lereng gunung Wilis seketika buyar tatkala terdengar suara
sabetan pecut.
“Cetar!
Cetar! Cetar! Cetar!”
Sabetan-sabetan
pecut Empu Tirto menghujam keras pada
sebatang pohon besar, kulitnya mengelupas sampai pohon itu terlihat setengah
telanjang. Daun-daunya berterbangan, cabang dan rantingnya pun berserakan
menutupi tanah. Andai saja sabetan pecut itu mengenai tubuh lawan tarungnya,
maka kulit dengan tulangnya akan mengelupas dan terpisah. Kalau sudah begini,
semua hewan entah yang di atas tanah, di udara, atau didalam tanah sekalipun
memilih untuk menjauh agar tak terkena dampaknya.
“Ajian Rawarontek!”.
Suaranya
memekik keras, membelah mendung hitam yang sedari tadi menghalangi cahaya
mentari yang sedang menerangi sang sore.
Dengan
segenap tenaga dia meloncat ke arah sebuah batu besar yang tergeletak di
samping jurang. Kepalan tinjunya meluncur keras menghantam batu yang ia injak.
Sambil mengerang sejadi-jadinya, tanpa ampun ia remukkan batu besar di
hadapannya. Terdengarlah suara ledakan
layaknya bunyi petir yang menyambar, disertai
berhamburannya kepingan batu yang hancur oleh tinju Empu Tirto. Tinju
yang dahsyat untuk ukuran laki-laki tua seumurannya, entahlah apa jadinya jika
tinju itu mengenai dada seseorang.
Sewaktu
masih menjadi prajurit Majapahit dia dikenal banyak orang
sebagai pendekar bayangan. Pergerekannya yang sangat cepat dan gesit layaknya
sebuah bayangan yang hanya bisa dilihat tetapi tidak bisa dipegang.
Kemampuannya dalam berkelahi satu lawan satu sangatlah mengerikan, menyiutkan
nyali setiap lawan yang berduel dengannya. Instingnya untuk membunuh tak
tertandingi oleh lawan manapun. Dia selalu
menjadi pengacau serangan ataupun perusak pertahanan lawan. Setiap ada dirinya tergabung dalam pasukan di
medan laga, maka dapat dipastikan kemenangan akan mudah untuk diraih. Lawanpun
akan menjadi gentar sebelum perang berkobar.
Puluhan
lonjor bambu sepanjang tubuhnya ditancapkan ke tanah berjejer rapi menuruni
bukit. Empu Tirto menaiki bambu yang paling ujung, dengan penuh konsentrasi ia
mencoba menyeimbangkan badannya lalu berdiri tegak di atasnya. Sambil memeragakan
gerakan ilmu kanuragan Rawarontek ia melewati bambu-bambu itu satu demi satu
hingga sampailah di ujung yang lain. Sesaat kemudian ia memejamkan matanya dan
mengambil napas secara perlahan melalui hidungnya, terlihat tubuhnya mulai
melayang. Sambil terbang ia memukul dan menendang bambu-bambu itu satu demi
satu hingga berterbangan ke langit. Dan tatkala bambu itu mulai turun ke tanah
maka terlihat seperti sedang terjadi hujan bambu.
Begitulah
suasana saat Empu Tirto berlatih. Meski sudah berusia lanjut, semangatnya untuk
terus berlatih tak pernah lekang dimakan usia. Saat mereka yang berumur tua
berkata sudah tibalah waktuku untuk beristirahat dan sejenak menikmati sedikit
waktu yang tersisa, Empu Tirto berujar lain, biarlah aku manfaatkan sisa
waktuku dengan belajar agar aku tahu kebaikan mana yang belum aku lakukan.
Kewajiban bagi manusia untuk selalu menuntut ilmu sejak dari kandungan sampai
liat lahat agar bertambah kesempurnaan baginya.
v
Dengan
cekatan Empu Tirto melatih kecepatan tendangannya. Secara bergantian ia
menjadikan pohon disekitarnya sebagai samsak untuk ditendang dan ditinju.
Karena terhanyut oleh situasi dan semangat yang membara, tanpa disedari lelaki
tua itu telah menendang istrinya yang datang untuk mengantarkan makanan.
“Walah,
Nyi!”.
Sekelebat
wanita itu menghilang, sekejap kemudian sepakan keras mendarat sempurna
mengenai dada empu Tirto disusul sebuah tamparan keras Maka tersungkurlah empu
Tirto diatas gundukan tanah.
“Ampun Nyi,
Demi Tuhan, aku tidak melihat kalau ada Nyi cantik di belakangku”. Sejurus
rayuan maut Empu Tirto dilayangkan kepada Nyi Damas sambil meringis kesakitan.
“Dasar Aki,
masak punggungku di tinju. Sekuat tenaga lagi, sakit rasanya ki.” Gerutu Nyi
Damas menyalahkan tindakan suaminya yang
sembrono mendaratkan tendangnnya.
“Waduh Nyi
maaf. Aki benar-benar tidak sengaja”.
“Enak saja
cuma bilang minta maaf. Aki sudah kelewatan”.
Kemudian Nyi
Damas berlalu begitu saja meninggalkan Empu Tirto dengan wajah yang memerah
sebagai ciri khas wanita kalau sedang marah.
“Weleh-weleh!
Istriku sayang tunggu Aki! Tidaklah mungkin aki tega menyakiti wanita yang
sangat aku cintai” Teriak Empu
mengejar sang istri pujaan hatinya
menuju gubuk reyotnya yang terletak di kaki gunung Wilis.
Tiba-tiba
Nyi Damas menghentikan langkah kakinya, lalu memalingkan wajah keriputnya yang
masih menyisakan sedikit kecantikan di masa yang lalu ke arah suaminya yang
memelas meminta belas kasih. “berhentilah bertutur tentang cinta melalui
mulutmu Ki. Bukankah kau sendiri yang mengatakan mulut ini sering berubah
menjadi mulut setan. Banyak menuturkan tentang kedustaan, bercerita risalah
palsu dan dinginnya hati yang membeku. Cukuplah kau katakan dengan diam.”
“Biarlah
mulutku terus merayu, kau telah lama melihat apa yang bersamayam dibalik
dadaku. Aku mencintaimu dengan sederhana. seperti
kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku
telah mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”. Sahut si Aki.
“Iya aku melihat
dan selalu merasakannya suamiku”. Jawab Nyi Damas sembari melempar senyum
simpulnya.
Cinta bisa
dilafalkan dalam sekejap mata, namun kiranya tak akan cukup separuh usia kita
untuk membuktikannya. Hanyalah mereka yang telah menyeberangi luasnya samudera
kehidupan dengan berdayung berdua dalam cinta yang mampu merasakan
keagungngannya. Begitu indah masa yang telah terlewatkan Empu Tirto dengan Nyi
Damas. Derita dan cobaan hidup semakin medawasakan benih cinta yang telah
mereka tanam. Mereka senantiasa berjalan bersama dalam cinta meski terkadang berselimutkan duka. Karena cinta
yang dibasuh oleh air mata akan tetap murni dan indah senantiasa.
v
Keramahan
mentari di sore hari menyapa sepasang suami istri yang sedang bersenda dalam
mesra. Sampai tibalah waktu senja yang memaksa mereka untuk segera kembali
pulang. Sambil bergandengan tangan mereka bergegas menuju rumah seolah sedang
dikejar malam. Di tengah perjalanan, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan suara
tangisan bayi dari bawah jurang. Keduanya bersegera menuruni jurang itu, lalu
terlihat oleh mereka sesosok wanita cantik jelita yang tergelatak tak berdaya.
Wanita itu mendekap hangat bayi mungil yang kulitnya masih berwarna kemerahan,
suatu yang menandakan bahwa bayi itu baru lahir ke dunia yang penuh kepalsuan
ini.
Sesegera
mungkin Nyi Damas menghampiri wanita
itu, dan beberapa saat kemudian dia tahu tiada detak yang terdengar pada
jantung manusia setengah peri ini. Sontak nenek paruh baya itu merasa kaget
sekaligus prihatin dengan kematiannya sekaligus nasib anak yang
ditinggalkannya. Empu Tirto merengkuh bayi yang terus menangis itu, lalu
digendong dan dihibur. Sesaat bayi itu berhenti menangis, dengan matanya yang
berkaca-kaca ia menatap wajah Empu Tirto seolah ingin menceritakan
kesedihannya. Tanpa ia sadari, mata kakek itu juga mulai meneteskan air mata,
karena iba melihat kesedihan yang dirasakan bayi itu.
“Ki cobalah
periksa disekitar sini, sekiranya ada orang yang juga meniggal atau mungkin
hanya sekedar terluka” Pinta Nyi Damas.
Dengan
posisi masih menggendong bayi, Empu Tirto menelusuri dasaran jurang untuk
mencari kawan atau saudara dari mereka berdua yang mungkin juga berada ditempat
itu. Mata kekek itu mendelik, mencoba menembus setiap sisi yang mulai terlihat
gelap. Tak ada manusia lain yang di jumpainya, hanyalah terdengar suara
jangkrik yang menyingkap kesunyian malam.
“Tidak ada
orang lagi disini Nyi. Waktu sudah semakin larut, sebaiknya kita lekas pulang.
Kasian juga bayi ini terus menangis, mungkin dia kehausan.” kata Empu Tirto.
Setelah
tidak menjumpai siapa-siapa lagi mereka membuat sebuah tandu dan obor untuk
membawa ibu dan anak ini. Dibawalah keduanya kegubuk reyot mereka. Sesampainya
di rumah, Nyi Damas membawa bayi itu ke tetangga yang sedang menyusui.
Sementara itu, Empu Tirto mempersiapkan pemakaman ibu Si jabang bayi dengan
dibantu para tetangga lainnya. Setelah dimandikan, wanita anggun itu di
semayamkan kedalam ruang keabadian dengan diringi doa-doa tentang kebaikan,
meninggalkan anaknya menangis sendirian ditengah kerasnya kehidupan.
Sungguh sial
nasib bayi yang ditinggal mati ibunya. Tiada lagi pelukan yang menghangatkannya
disaat malam dingin tiba. Hilanglah belaian dan cubitan manja dipipinya yang
memerah, disaat ibu yang lain menimang anaknya. Nikmatnya air susu yang mengalir
dari dalam tubuh sang pemilik surga tak akan pernah lagi ia rasakan. Oleh
karenanya tak ada manusia yang sudi hidup sebagai piatu. Maka terkutuklah umat
manusia yang tega menghardiknya dan teramat mulia kalbu setiap insan yang mau
menyantuninya.
2
Risalah yang Indah
Sejak menemukan si jabang bayi Empu
Tirto berhenti bertapa di atas bukit
gunung wilis karena memilih mengasuh dan mendidik bayi mungil itu dengan istrinya tercinta.
Mereka berdua begitu bahagia setelah berpuluh-puluh tahun lamanya mengarungi
mahligai rumah tangga namun belum jua
dikaruniai seorang momongan. Lelaki yang telah berusia senja itu senang bukan
kepalang. Nasibnya dikala itu tergambar bagai seorang musafir yang menemukan
mata air di tengah-tengah gurun pasir yang
tiada ujung. Mereka mengangkat bayi itu sebagai cucu yang kelak
akan mewarisi segala ilmu dan budipekerti yang mereka miliki. Kemudian dengan
perasaan bangga mereka sebut bayi itu dengan nama Rawarontek. Seperti nama ilmu
kanuragan yang dikuasai Empu Tirto dan Nyi Damas.
Bayi
laki-laki itu benar-benar menakjubkan bagi siapapun yang melihatnya. Bayi itu
bersinar secerah cahaya mentari pagi, indah dan begitu menawan hati. Wajahnya
tampan mempesona, bagai berlian diantara batuan-batuan sungai. Rambutnya hitam,
tebal bergelombang. Kulitnya kemerah-merahan, matanya sejernih embun pagi,
ditambah dengan lesung pipit dipipinya yang membuat setiap mata akan terpana
jika menatapnya. Bayi itu berkah terbesar yang diberikan Tuhan kepada Empu
Tirto dan istrinya, Nyi Damas.
Sejak
menemukan Rawarontek, Nyi Damas dan Empu Tirto seolah tak ingin sekejap pun
melewatkan kebahagiaan bersama cucu kesayangannya. Kehadiran Rawarontek benar-benar dapat
membasuh debu kesedihan dalam hati mereka yang telah begitu lama menantikan
seorang anak. Ia dibimbing dan diasuh dengan segenap tumpahan jiwa. Dianugerahi
berbagai kesenangan dan kasih sayang, serta dijauhkan dari berbagai marabahaya.
Lelaki dan perempuan tua itu kini tak lagi tertarik berlatih dan bersemedi di
atas bukit gunung Wilis sebagaimana mereka telah menghabiskan waktunya
terdahulu. Tiap detik waktunya mereka gunakan untuk menimang dan memanjakan si
cucu tersayang.
v
Hari
berganti dan tahun berbilang. Rawarontek tumbuh menjadi calon pendekar yang
sangat menjajikan. Meskipun usianya belum genap sepuluh tahun, tubuhnya mulai
terlihat bagai pilar-pilar kokoh, wajahnya semakin tampan, dan suaranya merdu
bagai buluh perindu. Dia dianugerahi Tuhan dengan kepandaian dan kecerdasan. Ia
menjadi cahaya pengetahuan, menguasai dengan cepat seluruh ilmu kanuragan yang
diajarkan kakek dan neneknya, dari yang paling sederhana hingga yang paling
rumit. Cahaya anak itu benar-banar mempesona, jikalau esok pagi matahari tidak terbit, cukuplah kemuliaan
Rawarontek yang menggantikan sinarnya. Bila rembulan enggan datang dimalam
hari, kesantunan akhlak Rawarontek sudah cukup untuk menyejukkan bumi
“Rawarontek,
pasang kuda-kuda dengan kokoh.” Seru
Empu Tirto kepada cucunya
layaknya intruksi jendral perang kepada prajurit terbaiknya.
“Kuda-kuda
yang kokoh adalah dasar terkuat bagi
sebuah pertahanan, Nak!” Sahut Nyi Damas.
Secepat
kilat Empu Tirto meloncat membelakangi Rawarontek. Kemudian lelaki jangkung itu
menjatuhkan tubuhnya diatas rerumputan tebal
yang terhampar hijau. Kaki kurusnya melakukan sapuan keras kearah
kuda-kuda Rawarontek.
“Buuaakkk.”
Seketika itu
Rawarontek jatuh dan terjungkir balik dengan rautan wajah meringis kesakitan.
“Hahaha!
cobalah lihat cucu laki-laki kita terlihat begitu lemah, seolah-olah dia
bukanlah jagoan yang kita harapkan”. terdengar suara tawa yang menghina keluar
dari mulut Nyi Damas. “Ayolah Nak jangan mudah menyerah, orang yang kuat bukan
mereka yang tidak pernah dijatuhkan, melainkan mereka yang tetap tegar dan
segera bangkit saat ia terjatuh”.
Bocah tampan
itu segera bangkit dan memasang sikap menyerang. Hembusan angin bertiup keras,
berputar sangat cepat, merobohkan setiap makhluk yang diterjang. Suatu pertanda
bahwa Rawarontek sedang mengeluarkan ilmu kanuragannya. Dia melakukan salto
kearah pohon yang terdapat disebalah kakeknya. Empu Senduk mengerutkan dahi
lebarnya, berusaha menebak dengan tepat dari setiap pergerakan cucunya.
Tiba-tiba dengan sekuat tenaga Rawarontek menendang pohon itu.
“Bruussshhh”.
Belum sempat
Si Empu berpikir panjang, pohon itu
roboh dan menimpa dirinya yang sedari tadi hanya melongo mengawasi
gesitnya pergerakan Rawarontek yang
mungkin tak satu setanpun dapat menerkanya. Empu Tirto tersungkur diatas
rumput, badannya tertindih batang dan ranting, adapun mukanya dipenuhi
dedaunan. Malang benar nasib Si tua itu, dia merangkak tertatih-tatih mencoba
menegakkan punggungnya dan lekas berdiri untuk membuat sebuah perlawanan baru.
Rawarontek kini telah berhasil membuat kedudukan menjadi sama kuatnya.
“Hebat
cucuku! Pergerakanmu semakin gesit begitu pula dengan bobot tendangan dan
pukulanmu sudah cukup mantap”. Teriak riang Nyi Damas
“Aduh
bagaimana denganmu Ki, ayo tunjukkan kehebatanmu pada cucu kita! masak kalah
sama anak kecil”.
“Jangan
meremehkan Nyi, tadi itu Aki cuma mengalah biar seolah-olah Rawarontek sudah
bisa mengalahkan Aki. Kulakukan ini untuk mengangkat mental cucu kita, agar ia
lebih bersemangat.”. Jawab lelaki tua itu dengan segera, meski terlihat jawaban
itu hanyalah sebuah alibi belaka.
“Hahaha.
Gimana Aki masih sanggup?” Ledek Rawarontek dengan senyum yang menunjukkan
lesung indah di pipinya.
“Kurang ajar
kamu Nak! Ini terima serangan balasan dari kakekmu”.
Badai
berhembus menggoyang seluruh pohon. Batang, ranting, dedaunan satu persatu
mulai berguguran. Sambaran cahaya kilat menjilat-jilat ketubuh Empu Tirto.
Suara gemuruh menggelagar memecah keheningan langit. Batu dan kerikil pun tak
luput ikut berhamburan terbang seperti kapas yang tertiup angin.
“Ajian
Rawarontek..!”.
Empu Tirto
berteriak, suaranya terdengar amatlah keras oleh burung-burung yang sedari tadi
mengintip ketakutan dibalik awan putih.
Kedua tangannya mengepal mantap membentuk sebuah tinju. Matanya melotot
mengintai setiap pergerakan cucunya. Entahlah apa yang terjadi, Rawarontek
tiba-tiba menghilang dibalik nyala api yang membara. Sungguh Empu Tirto tiada
mengira cucunya dapat bergerak segesit itu. Dan secara mengejutkan kepalan
tangan kecil telah berada tepat di ujung batang hidungnya.
“Ajian
Rawarontek...!”
Dengan
cekatan Rawarontek menghempaskan tinju kerasnya mengenai batang hidung
kakeknya. Dia melakukan loncatan ringan, melesat membelakangi kakeknya. Sambil meloncat sekali
lagi kedua kakinya menjejak punggung lelaki kerempeng itu.
“Bruakkkk.”
Terdengar
benturan keras layaknya gulungan ombak besar menerkam tebing, ketika tubuh empu
Tirto terlempar dan menghantam sebuah pohon mahoni. Kembali tubuh kerempeng itu
terbanting untuk yang kedua kalinya. Pakainnya yang semula bersih dan utuh kini
layaknya pakaian pemengemis yang compang-camping dan dipenuhi tanah. Meskipun
demikian, jelas Si Aki tidak mengalami luka walau sedikitpun.
“Sudah cukup
Nak! Aki sudah merasa lelah!” Belas Si Empu dengan posisi terjengkang di dalam
semak.
“Aduh ternyata
Aki tak setangguh yang aku kira, begitu saja sudah menyerah”. Jawab Rawarontek
sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah kakeknya.
v
Dilingkungan
dusun Bendungan, Rawarontek termasuk anak yang pandai bergaul, karena memiliki
kefasihan lidah, dan pandai merangkai kata-kata menjadi sebait syair yang
indah. Dia termasuk anak yang ringan tangan, gemar membantu kawan-kawannya yang
ditimpa musibah dan kemalangan. Kawan-kawanya akan merasa terhibur jika
Rawarontek berada disamping mereka. Dia
laksana sungai Brantas yang selalu menjadi pengharapan bagi penduduk Majapahit.
Tempaan hidup
yang memilukan serta pola didik kakek neneknya yang tegas dan penuh disiplin
perlahan tapi pasti, telah membentuk watak dan mental yang teguh, tegar, dan penuh semangat dalam menghadapi
setiap cobaan. Ia selalu bersikap sederhana namun penuh keyakinan dan tanggung
jawab. Tidak mudah tergiur oleh kemewahan yang bersifat keduniawian, serta
senantiasa berpegang pada prinsip kejujuran, kebenaran dan keadilan.
Begitulah
kehidupannya selama ini, hatinya lapang seluas samudra disebelah pantai Prigi.
Keberaniannya menjulang tinggi, setinggi barisan pegunungan Munjungan yang
hampir menyentuh indahnya cakrawala. Begitu pula dengan tanduk tawaduknya
selembut awan putih penghias puncak
gunung Dongko. Setiap pemikirannya terasa jernih sebening mata air yang selalu memancar diantara lembah
Bendungan. Tiadalah tercela baginya jika disetiap salah maka mohon ampunlah dia
kepada Sang Pencipta hidup.
v
Suatu ketika
datanglah Rawarontek kepada bapak dan anak yang tengah berselisih.
“Maaf paman,
persoalan apakah yang telah membuat paman memarahi putera sulungmu?”.
Seketika
mata merah itu menatap perangai mungil Rawarontek dengan tatapan meremehkan
“Siapa kamu anak kecil, buat apa kamu menanyakannya?”. Dengan nada sedikit
membentak.
“Saya
Rawarontek, cucu dari Empu Tirto dan Nyi Damas. Saya menyaksikan paman bersilih akan sesuatu”.
Tercenganglah
saat dia tahu bahwa bocah di depan matanya merupakan cucu kesayangan pendekar
sakti yang selalu menolong kaum yang lemah. Dengan lidah yang bergemetar,
bertutur lirihlah mulut yang telah kering itu.
“Aku murka
karena dia telah memohon sesuatu yang tidak mungkin aku upayakan”.
“Apa
gerangan yang diminta anak kisana?”
“Andaikan
semua anggota berkumpul, rumah kami terasa bagitu sesak”. Matanya berputar
memandangi setiap sisi dari rumahnya yang kumuh dan sempit. Sesaat kemudian, ia
kembali menuturkan kisah pilunya, “Dia meminta saya supaya memperluas rumah
ini, padahal untuk makan besok saja kami belum tentu ada uang”.
Rawarontek
melihat tanda goresan kesedian di wajah lelaki
yang mulai menua itu, dengan tutur yang lembut disampaikanlah sebuah
nasihat “ Aku akan membuat rumah ini menjadi lebih terasa lapang kisana,
setelah ini ambillah seluruh ayam yang kisana punya dan peliharalah didalam
rumah ini beserta anak dan istri kisana sepuluh hari lamanya. Kelak saya akan
kembali singgah ketempat ini”.
Pada suatau
pagi yang cerah, Bocah kecil itu kembali mendatangi rumah si bapak dengan
penampilan yang bersahaja. Dari kejahuan dilihatnya anak dan istri si bapak
sedang duduk bersandar pada sebatang
bambu yang menyangga atap teras. Langkah kakinya semakin cepat menapaki jalan bebatuan menuju
rumah itu “ Nyi kenapa tidak tinggal
didalam rumah?”.
“Sekarang
rumah kami terasa semakin sempit dan sangat berisik nak. Kemarin suamiku
memasukkan seluruh ayam peliharaannya kedalam rumah” keluh wanita berambut ikal itu sembari
menipasi tubuh anak-anaknya yang kegerahan dengan tipas dari anyaman bambu
sederhana.
Hati
Rawarontek semakin iba mendengarkan keluh kesahnya. “Nyi aku mohon dengarkan
nasihatku. Peliharalah ketiga ekor kambingmu kedalam rumah beserta dengan
ayam-ayam itu selama empat puluh hari, niscaya rumahmu esok akan semaikin
lapang”.
Dipatuhilah
segala tuturkata yang dinasihatkan Rawarontek. Tiga ekor kambing dipeliharalah
di dalam rumah bersama seluruh ayam peliharaannya. Bukannya semakin luas, rumah
Si Ayahanda tadi terasa semakin sesak. Bahkan untuk sekedar tidur, lelaki paruh
baya itu setiap malam mesti rela membeber tikar
usangnya di teras rumah.
Tatkala
Rawarontek menjenguk kembali rumah itu, tiadalah rasa simpati maupun
kepercayaan. Semuanya hilang, terbang bersama semua harapan yang palsu. Setiap
orang memandang dengan pandangan benci, pandangan kecewa.
“Aku
bukanlah anak yang pandai menipu. Kakek dan nenek mengajariku tentang indahnya
bertutur dan berperilaku jujur. Demi kehormatan Empu Tirto dan Nyi Damas yang
telah membesarkan dan mendidikku, tambahkanlah seekor sapi untuk di pelihara
didalam rumah kisana”. Walaupun api kekecewaan telah tersulut dan membakar habis seluruh rasa percaya yang tersisa,
namun budi luhur Empuk Tirto mampu
memaksa keluarga miskin itu untuk sekali lagi tunduk akan nasihat Rawarontek.
Siang dan
malam berlalu, hari pun telah berganti bulan. Tak satu jengkalpun rumah bertambah luas. Hanyalah kesempitan, kesengsaraan serta kenestapaan
yang kian menyegat disetiap jiwa yang merasa. Hati yang rindu akan kenikmatan
dan keberkahan kini semakin kering dan tandus.
Kesabaran maupun ketabahan tak lagi mampu menyirami kalbu yang tengah
layu.
Setelah tak
sanggup lagi hidup dengan penuh kesesakan bersama hewan piaraan mereka di dalam
rumah, maka dikeluarkanlah satu persatu hewan peliharaan itu dari rumahnya yang
sempit. Setiap satu dari mereka keluar maka bertambahlah satu kelapangan yang
dirasakan dalam rumah itu. Dan tatkala semua binatang itu dikeluarkan dari
dalam rumah, maka ruangan kecil itu mulai terasa sangat longgar.
Kelapangan
itu hadir memenuhi setiap hati penghuni rumah. Bergembiralah Si Ayahanda
beserta keluarganya. Sekarang dapat mereka rasakan rumahnya menjadi sangat
longgar setelah satu bulan lamanya mereka hidup dengan hewan piaran mereka. Tiada
rumah baru yang tercipta, tak satu jengkalpun ruangan yang diperluas. Jiwa
merekalah yang kian lapang, mata hati mereka mampu melihat lebih jernih setiap
kesulitan yang ia hadapi. Manusia tidak akan bisa menjumpai apa itu kebahagian
bila mereka belum mengerti dan merasakan tentang apa itu kesedihan. Dan mungkin
inilah yang dimaksud selalu ada hikmah dibalik musibah.
Barulah Si bapak
itu sadar bahwa Rawarontek telah menentramkan hati yang gelisah, menghancurkan
dinding kenistaan yang menghalangi hati
untuk selalu merendah dan bersyukur. Sesungguhnya hati dan cobaan ibarat air
dengan butiran garam. Jika segelas air dicampur satu tekam garam pastilah akan sangat terasa asin. Namun
beda halnya jika satu tekam garam itu ditaburkan ke dalam danau, tiadalah
berubah sedikitpun kesegaran airnya. Hati yang kian lapang pastilah mampu
menetramkan pahitnya setiap cobaan yang datang silih berganti. Adapun hati yang
sempit hanyalah akan menghadirkan kesedihan serta kegelisahan semata.
Alangkah indahnya risalah yang telah
diukir Rawarontek pada dinding-dinding
kehidupan keluarga itu.
3
Sayatan Duka
Pagi ini mentari bersinar terang. Bias
cahayanya menghangatkan setiap jiwa yang merindukan kedamaian. Membangunkan
raga yang masih terlelap dalam dunia
mimpi. Maka diantara mereka bersegeralah berduyun-duyun mengais karunia Tuhan
yang tersebar merata di daratan dan lautan. Empu Tirto mengayunkan sebilah
cangkul pada sebidang tanah, memecahkan agregat sehingga terciptalah pori-pori
baru yang akan menampung lebih banyak air dan udara. Memberikan sebuah napas
dan kehidupan bagi makhluk yang hidup didalamnya, sehingga terciptalah
kesuburan. Rumput, ilalang, bunga, padi, dan jagung bisa tumbuh dengan sempurna.
Kepulan asap
menggulung di atas wuwungan. Aroma khas ayam panggang tercium dari sebuah gubuk tua yang berdiri
diantara rerimbunan bunga sedap malam. Ibarat perilaku yang mampu melukiskan
dengan jujur tentang sifat dan watak, aroma wangi itu menjelaskan betapa
nikmatnya ayam panggang itu bila disantap untuk sarapan pagi. Berkumpullah
seluruh keluarga pada sebuah batu ditepian sungai yang airnya mengalir dengan
tenang. Dengan suasana yang harmonis, Nyi Damas mengambil
dua piring
yang terbuat dari tembaga untuk dirinya dan suaminya, lalu ia menyobek daun
pisang untuk Rawarontek.
Mendapat perlakuan seperti itu Rawarontek merasa kecawa. Ia pun
melakukan protes kepada neneknya. “Kenapa kau beri aku daun pisang Nyi? Sedang
kalian menggunakan piring yang bagus.”
“Sudah jangan banyak mengeluh, ini makan Cu! Sambil memberikan lauk yang
sama seperti yang Empu Tirto dan Nyi Damas makan.
“Gimana rasanya Ki? Enak?” Tanya Nyi Damas pada suaminya yang sedang
melahap ayam panggang masakannya.
“Nikmat
benar masakanmu pagi ini Nyi, bumbu apa saja yang telah kau campurkan dalam
ayam panggang ini?”
“Tidak ada
bumbu yang istimewa Ki. Hanyalah karena keikhlasan dan rasa baktiku sebagai
seorang istri untuk selalu melayanimu
laksana seorang raja yang menjadikan makanan ini senikmat hidangan raja”.
Sambil
menatap mata bundar Nyi Damas bertuturlah Aki dengan suara yang sangat lembut
“Wahai sayang ketahuilah bahwa tiada harta yang lebih berharga bagi seorang
laki-laki selain memilki istri yang selalu menghormati suaminya. Ya Tuhanku aku
sungguh beruntung karena Kau anugerahi aku seorang istri yang penyayang, dan
seorang cucu yang baik hatinya, maka jadikanlah mereka sebagai penyenang hati.
Ijinkalah aku mejadi pemimpin yang baik bagi keduanya.”
“Terimakasih Ki. Dan sungguh beruntung aku
dianugerahi suami yang selalu menghargai setiap apa yang aku berikan padanya”. Jawab Nyi Damas
dengan wajah yang berseri-seri.
“Aku juga
tak kalah beruntung memiliki kakek dan nenek yang selalu memperlihatkan betapa sikap saling menyayangi itu jauh terasa lebih indah dari pada
megahnya istana dengan segala kemawahannya yang dibangun dari penindasan dan
penderitaan”. Seloroh Rawarontek memecahkan gelombang-gelombang cinta yang
menggulung hati sepasang kekasih tua.
Kebahagiaan
itu sejatinya sangatah sederhana. Bukan dengan harta hati wanita akan tergoda,
melainkan cukup dengan perhatian dan kasih sayang. Dan bukan dengan tahta untuk
meninggikan derajat seorang laki-laki, melainkan cukup dengan penghormatan dan
pengabdian.
Nyi Damas melihat Rawarontek juga
melahap ayam panggang yang ia pegang
erat. “Makannya kok lahap banget Cu, enak ya?”
“Enak banget Nyi!” Jawabnya tanpa memperhatikan yang diajak bicara.
“Coba kamu rasakan dulu punya Nyai, pasti jauh lebih enak.” Ujar Nyi
Damas sembari menawarkan ayam panggang dipiringnya kepada Rawarontek.
Rawarontek menoleh kearah neneknya, pandangannya mulai turun ke arah
paha ayam yang terletak di piring
tembaga, lantas ia makan dengan pelan untuk merasakan perbedaan rasa antara
ayamnya dengan milik neneknya.
“Ah, sama saja Nyi. Bumbunya kan sama jadi rasanya pasti sama.”
“Loh punyaku kan ditaruh dipiring tembaga.” Ujar Nyi Damas.
Rawarontek tertawa mendengar penuturan neneknya. “Haduh Nyi, piring
tembaga tidak bakal mempengaruhi rasa ayam panggang ini.”
“Nah itu kamu tahu, kenapa tadi kamu mengeluh?”
Rawarontek menggaruk-garuk keningnya, ia berusaha mencari jawaban yang
tepat untuk pertanyaan neneknya. “Tidak adil saja.” Hanya tiga kata itu
yang mampu di ucapkan Rawarontek.
Nyi Damas belum puas dengan jawaban cucunya. “Kenapa kamu bilang tidak
adil?”
“Jujur Nyi, aku merasa harga diriku direndahkan dengan perlakuan Nyai
tadi.”
“Jadi harga dirimu itu bergantung pada nilai piring-piring itu?”
Pancasona segera mengelak “Bukan seperti itu maksudku Nyi.”
“Cu banyak sekali orang pintar yang tersesat karena melihat segala
sesuatu itu dari perhitungan materi saja. Bukan itu Cu hakikat kehidupan. Wadah
itu bukanlah hal yang utama, karena yang paling penting itu isinya. Bukan raga,
harta, dan jabatan yang bisa dijadikan penilaian terhadap baik buruknya
seseorang, melainkan akhlaknya. Percuma mereka kaya tapi tidak bisa mensyukuri
kekayaannya.”
Rawarontek memotong perkataan neneknya. “Percuma aku kuat jika menindas yang lemah, tak ada
gunanya aku pintar tapi suka menipu yang bodoh. Karena derajat manusia itu
hanya bisa diukur dari pengorbanan dan kebaikan yang mereka lakukan untuk
manusia lainnya.”
Mendengar penuturan rawarontek membuat Nyi Damas dan Empu Tirto menjadi
senang. “Hahaha, kamu sungguh
pandai cucuku. Kau pelajari dengan cepat apa yang terjadi disekitarmu dan
tahukah kau bahwa ilmu itu tersebar disetiap jengkal kehidupan”.
“Jelaskanlah
tentang ilmu padaku Ki”. Pinta Rawarontek dengan semangat keingintahuannya.
“Sari semua
ilmu pengetahuan ada lima. Pertama, selagi masih ada peluang untuk bersikap
jujur, aku tidak akan pernah berbohong. Kedua, selama masih ada makanan yang baik, aku tidak
akan pernah memakan makanan yang buruk. Ketiga, jika masih ada cela dalam diriku, aku tidak akan pernah
mencari-cari keburukan orang lain. Keempat, selagi rizki Tuhan masih ada di bumi, aku
tidak akan memintanya kepada orang lain. Kelima, sebelum menginjakkan kaki di surga, aku tidak
akan pernah melupakan tipu daya setan”. Begitulah laki-laki bijak itu
menjelaskan perihal ilmu kepada cucu yang selalu dia sayangi.
“ Teruslah
belajar Cu. Setiap hari manusia pasti akan bertambah tua, namun percayalah
bahwa tidak setiap hari pula manusia akan bertambah dewasa. Hanyalah mereka
yang sudi untuk terus belajar yang kelak akan menemui sikap kedewasaan sehingga
sempurnalah amal perbuatannya”. Timpal nyi Damas turut menuturi Rawarontek.
Yakinilah
bahwa mentari pagi ini akan nampak lebih indah jika umat manusia memulai
hari-harinya dengan saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. Biarlah
setan menggigit jemarinya dengan gigitan keputus asaan tatkala tiada lagi ruang dan waktu yang
tersisa untuk menghasut dan menjerumuskan anak adam kedalam kenistaan hidup.
v
Simponi
kebahagiaan yang tengah mereka rasakan sontak hancur berantakan tatkala sebusur
panah melesat cepat melintasi embun dan dinginnya udara pagi menembus jantung
Nyi Damas. Berhentilah detak-detak yang memompa aliran kehidupan pada setiap
makhluk yang bernapas. Malaikat pencabut nyawa pun turun dari kerajaan langit
untuk menggantikan tugas malaikat pencatat amal. Maka akan berakhirlah semua
riwayat.
Tak ingin
kehilangan orang yang memanah neneknya secepat kilat Rawarontek meloncat dan
berlari mengejar seorang prajurit berperawakan kekar yang dengan gesit pula
berusaha menjauh dari kejaran anak kecil yang sudah begitu terkenal akan
kepiwaiaannya dalam berperang.
Runtuhlah
tiang-tiang yang menyangga jiwa lelaki tua itu saat melihat sekarat menghampiri
wanita yang selalu setia menemaninya. Kesedihan kian terasa ditandai dengan
peluh yang terus menetes dari kedua belah kelopak mata yang keriput. Kedua
tangan itu berusaha memeluk untuk memberikan kehangatan meski dia sadar semua itu hanyalah semu.
“Amalkan
ajian Rawarontekmu Nyi! kau tak mati hanya karena satu busur panah.”
“Tak ada
satupun kekutan yang mampu menghentikan kehendak Tuhan Ki. Kematian adalah
suatu kepastian, maka biarlah takdir menyeretku untuk menghadap kepada Sang
Pencipta hidup.”
Suara lirih
kembali terucap dari rongga mulut terdalam disertai hembusan-hembusan napas
yang kian terdengar berat “Jangan menangis Ki.
Janganlah menangis dan berbahagialah, karena kita diikat bersama dalam cinta.
Hanya dengan cinta yang indah kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan,
pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan”.
Rambut putih yang terurai panjang itu di elus oleh
Empu Tirto dengan lembut seraya membisikkan kalimat pelipur lara “Aku bersedih
bukan karena takdir yang akan membawamu kehadapan Tuhan, sungguh aku tak tega
melihat engkau kesakitan seperti ini.
Aku yakin Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam
kehidupan ini. Pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan
datang”.
“Sungguh terasa singkat kehidupan ini Ki.
Dengan caraku, aku selalu berusaha untuk merubah wajah dunia ini menjadi lebih
baik meski aku tahu itu hanyalah sedikit saja. Namun aku juga takut jika
kehadiranku di alam ini mejadi keburukan bagi kehidupan yang lain. Sampaikan
maafku kepada makhluk Tuhan yang pernah
ku dzolimi hak dan kebebasannya”.
Jiwa itupun terlepas bebas dari raga yang
fana. Terbang melayang meninggalkan panggung sandiwara. Membawa cerita panjang
untuk disampaikan kepada Tuhan. Jika Tuhan suka maka berbahagialah, dan
bersiaplah untuk menderita kalau ternyata Tuhan murka dengan cerita itu.
“Dulu aku
berjalan tertatih-tatih sendirian untuk mengarungi luasnya samudera kehidupan
ini. Hingga Tuhan menganugerahkan kepadaku seorang wanita yang dengan telaten
memandu setiap langkahku. Kau basuh keletihanku dengan perhatianmu, menghiburku
disaat sedih, menguatkan jiwaku tatkala mulai melemah,dan dengan sabar
mengingatkanku hingga aku terhindar dari dosa dan kesalahan. Kini Tuhan telah
memisahkan engkau dari sisiku sayang. Maka tibalah saatnya aku kembali berjalan
sendiri lagi meski tak sekuat jika kau disampingku. Kembalilah kemana Tuhan
telah menyediakan tempat terbaik untukmu. Dan semoga Tuhan mempertemukan kita
lagi Nyi”. Kata-kata itu tersusun rapi
menjadi sebuah kalimat penutup dari lembaran cerita mereka.
v
Dari
kejahuan terlihat dengan garang Rawarontek menyeret laki-laki yang telah
memanah neneknya. Darah segar mengalir dari hidung dan bibir yang terkoyak oleh tinju Rawarontek. Matanya sayu
mencoba berharap pengampunan atas dosa yang dia perbuat. Hanyalah tersisa rasa
penyesalan dan batin yang terus mengutuk atas tindakan bodoh yang ia perbuat.
Biarlah ajal yang menyudahai nestapa ini.
“Telah aku
bawa manusia yang memanah tubuh Nyi Damas di hadapanmu Ki. Berilah dia balasan
yang setimpal agar berkurang kesedihan yang Aki rasakan”. Raut wajahnya penuh kebencian saat menyerahkan pemanah itu
ke hadapan Empu Tirto.
“Siapa
namamu? Dosa apa yang telah diperbuat istriku sehingga kamu tega membunuhnya?”
Alangkah bijaksananya Empu Tirto yang selalu menduhulukan akal sehatnya untuk
mencoba bersikap adil dengan menanyakan alasan pemanah itu membunuh istrinya
sebelum memberikan penghukuman atasnya.
“Selama ini kalian terlalu baik terhadap orang yang lemah. Perjuangan kalian untuk senantiasa membela
rakyat kecil dan kaum miskin telah membakar gairah kebencian pada setiap jiwa
penguasa. Aku Damarwuluh pemanah terbaik yang pernah dilahirkan oleh
wanita Wengkerkidul. Istri dan anak-anakku ditawan oleh wiyasa Galuh Buana sampai aku berhasil membunuh diantara kalian.
Aku lebih memilih mati ditanganmu dari pada hidup dengan menyaksikan kematian
istri dan anak-anakku”. Dengan suara yang gugup Damarwuluh
mencoba menjelaskan kondisi sebenarnya yang dia alami.
“Kalau benar
itu yang terjadi, maka aku memaafkanmu”. Jawaban yang hampir mustahil untuk
didengar, tiba-tiba terlontar begitu saja dari kedua bibir yang sudah terbasahi
oleh air mata.
“Kenapa Aki
memaafkan orang yang telah membunuh istrimu sendiri”. Rawarontek belum mengerti
dengan sikap kakeknya.
“Karena
mungkin aku akan melakukan hal yang sama apabila berada di posisi dia”.
“Apakah
sikap Aki ini sudah cukup adil untuk Nyi Damas?” ternyata dia masih belum puas
dengan jawaban kakeknya dan terus mencoba untuk menuntut keadilan pada kakeknya
sendiri.
“Semoga
keputusanku ini akan terasa adil bagi istri dan anak-anaknya, dan aku
menyerahkan keadilan yang engkau harapkan kepada Tuhan”. Pandangan Empu Tirto
mengarah pada mata Damarwuluh yang mulai
berkaca-kaca.
“Maaf Ki,
aku masih belum bisa menerima keputusan yang Aki buat”. Rasa marah berkecamuk
disetiap sudut pengrasa Rawarontek.
Sungguh jiwanya masih terlalu labil untuk memahami ucapan kakeknya. Sekuat
tenaga dia menendang laki-laki tak berdaya itu hingga tersungkur ketanah.
Mulutnya memuntahkan darah kental yang keluar dari organ dalamnya.
“Rawarontek
hentikan!” Bentak Empu Tirto melarang cucunya menyiksa orang yang telah
membunuh istrinya sendiri.
“Kau akan
lebih tercela dari pada dia jika tetap membiarkan amarah mengendalikanmu.”
Setelah
melihat Rawarontek mulai bisa mengendalikan diri dia kembali berujar untuk
menguatkan hati Rawarontek “Jika kita memelihara kebencian dan dendam, maka
seluruh waktu dan pikiran yang kita miliki akan habis dan kita tidak akan
pernah menjadi orang yang berguna. Wahai cucuku kita sedang ditimpa satu
musibah. Jika kita tetap berkeluh kesah dan tidak bersabar maka musibah ini
menjadi dua.”
Terlihat
Rawarontek menundukkan kepalanya. Hati dan pikirannya perlahan mulai merasakan
setiap bait kata yang dilantunkan kakeknya. Tanpa dia sadari air matanya telah
berlinang membasahi wajahnya yang polos nan rupawan.
“Kemarilah
Nak! Peluklah kakekmu ini.” orang tua itu memanggil cucunnya yang sedang
dirundung kedukaan.
Dengan
terisak-isak tangis anak yang tidak pernah tau siapa ayahanda dan ibundaya itu
berlari mendekap erat tubuh kurus laki-laki tua yang telah sudi merawat dan
mengasuhnya.
“Maafkan aku
tidak menuruti nasihatmu Ki. Aku hanya tidak ingin kehilangan Nyi Damas.”
Menggunakan
jemari-jemarinya dihapuslah air mata anak malang itu dengan penuh kasih sayang.
“Percayalah Nak, sebaik-baik perbekalan hidup adalah kesabaran menghadapi
penderitaan. Anggunkanlah jiwamu dengan keiklhasan menerima ujian dan cobaan.”
Kobaran api
kebencian ternyata masih belum mampu membakar logika dan kesabaran dalam batin
Empu Tirto. Dinding-dinding kesabaran masih berdiri kokoh pada jiwa yang
tenang. Laksana benteng yang tangguh, melidungi batin dari ancaman nafsu dan
amarah yang acap kali menjadikan manusia lupa akan firman Tuhannya. Semoga
orang seperti merekalah yang akan dibalasi martabat yang tinggi dalam surga
karena kesabaran mereka, dan semoga pula mereka disambut dengan penghormatan
dan ucapan selamat didalamnya. karena hanya di surgalah sebaik-baik tempat
menetap dan tempat kediaman.
Menyaksikan
dua anak adam yang memiliki sifat lembut dan mulia membuat hati Damarwuluh
menjadi gamang. Air matanya menetes bercampur darah dari pipinya yang tersayat
tinju Rawarontek, jatuh mengenai
sebidang dada yang telah disesaki rasa penyesalan. Segala kebaikan kakek
dan cucunya terlalu lembut menyapa dosa-dosa yang telah ia lakukan. Biarlah
kebaikan yang mereka kerjakan dalam keindahan sujud penuh muhasabah itu menjadi
bekal dalam menuju kedamaian yang kekal abadi.
“Seluruh alam
semesta berhak menghujat atas dosa yang aku perbuat pada istrimu. Darahku halal
kiranya mengalir di pedangmu. Aku tak tahu harus bersembunyi kemana supaya aku
tidak malu kepada Tuhan akan segala khilaf dan kebodohanku. Sekiranya hal
apakah yang bisa aku perbuat untuk mengurangi dosa-dosaku kepada kalian?”
Kalimat penyesalan yang mungkin sudah terlambat untuk diucapkan keluar perlahan
dari mulut yang beku karena dinginnya batin yang merasa sangat bersalah.
“Pulanglah,
kemudian selamatkan istri dan
anak-anakmu.” pinta empu Tirto kepada prajurit yang telah bertobat atas segala
kesalahannya.
“Aku akan menuruti perintahmu, tapi sebelumnya ijinkanlah aku untuk
turut membantu menyemayamkan istrimu.”
“Jika kebaikan itu yang kau inginkan maka ikutlah bersama kami.” jawab
Empu Tirto.
Sebatang
pohon kopi tua ditebas, cabang dan rantingnya dipilih yang terkuat untuk dibuat
sebuah tandu sederhana. Raga istrinya yang tiada lagi bernyawa ditidurkan
diatasnya dengan baik. Mereka berjalan bersama, membopong jasad Nyi Damas melintasi terjalnya hutan Perdikan
Kampak dan pegunungan Watulimo. Hingga sampailah pada sebuah pantai yang
membantang luas dengan pasir berwarna
putih dan menjadi pemisah yang nyata antara daratan dengan lautan. Suara angin
pantai berhembus dengan sepoi-sepoi laksana harmoni keabadian yang tak hentinya mengikis duka dalam hati yang
masih tersisa.
Berkumpullah
kaum yang lemah dan rakyat miskin untuk menyertai dan medoakan mendiang Nyi Damas. Tak
ketinggalan para saudagar, kaum cendikiawan, dan penguasa bermuka dua turut
mengiringi pemakaman yang berjalan dengan hikmat. Semua doa yang terlantunkan
mengiringi jiwa itu kembali pada kehidupan yang abadi. Meninggalkan nyanyian
kehidupan dan himne perjuangan.
4
Tirani Kehidupan
Selama lima tahun entah berapa banyak
pergantian siang malam terjadi untuk selalu menjaga kehidupan. Dan sebanyak
itulah perubahan yang terjadi di wiliyah Wengkerkidul pasca kematian Nyi Damas.
Rupanya kematian Nyi Damas menghembuskan angin segar bagi setiap insan yang
berkuasa untuk menancapkan kuku setannya pada jantung kemiskinan. Dengan buta
hati Wiyasa Galuh Buana sekaligus antek-anteknya menetapkan jumlah pajak yang
tidak pernah bisa diterima nalar. Setengah dari hasil panen petani dijadikan
upeti untuk memenuhi ruang kosong yang tersisa pada lumbung-lumbung padi
penguasa borjuis. Tak peduli musim paceklik sedang menggoroti tubuh rakyatnya
sehingga kesemuanya nampak kurus kering kerontang. Mereka menyamarkan hak
sekaligus menanggalkan kebebasan pada dinding tirani.
Wiyasa Galuh
Buana juga mengirimkan puluhan prajurit terbaik yang ia miliki di pantai Prigi
dan pantai Pelang. Diantara mereka berbaris rapi di bibir pantai sembari
memantau setiap kapal nelayan yang pergi berlayar maupun yang sedang bersandar
dengan membawa kerenjang-kerenjang yang dipenuhi ikan tangkapan. Sedang yang lain sibukkan mengambili
ikan tangkapan terbaik para nelayan untuk dijadikan upeti kepada wiyasa Galuh
Buana dan antek-anteknya. Jikalau ada diantara nelayan berani menolak
memberikan tangkapan terbaiknya maka dibakarlah perahu mereka. Dan tanpa rasa
bersalah para penguasa tengik itu menjual ikan tangkapan itu ke pedangang Cina
dan pedagang lokal yang kaya raya untuk meraup keuntungan yang berlebih.
Mereka yang
memiliki binatang ternak rojokoyo wajib menyerahkan anak kedua dari setiap
indukan sebagai pajak penghasilan. Para pedagang kecil tidak diperbolehkan
menjual dagangannya di pasar karena pasar hanya diperuntukkan bagi saudagar
kaya yang sudi membayar upeti dengan jumlah yang besar. Tak cukup sampai disitu
sikap feodal yang wiyasa Galuh Buana lakukan, seluruh pemuda dipekerjakan
secara paksa tanpa sepeser gaji untuk membangun sistem irigasi dan sarana transportasi
yang menguhubungkan wilayah Wengkerkidul dengan Wengker dan wilayah kekuasaan
Majapahit terdekat lainnya semisal Daha.
Kondisi
semakin kacau saat mereka yang memilki kepandaian dan ilmu pengatahuan sudi
memenuhi panggilan Wiyasa Galuh Buana untuk dijadikan pegawai pemerintahan
sehingga mereka akan patuh dengan segala intruksi. Dan jikalau ada pemuda
berperawakan kuat maka dijadikanlah mereka sebagai pengawal atau sekedar
prajurit yang akan membungkam segala bentuk pemikiran yang datang dari rakyat.
Pastilah karena penawaran yang menggiurkan sehingga manusia-manusia itu lupa
bahwa upah yang akan mereka terima merupakan hasil rampasan dari rakyat kecil
yang tertindas.
Tidak ada
lagi perlawanan atau sekedar kritikan terhadap kesewenang-wenangan. Semuanya
enggan menjadi oposisi dari sebuah ketidak adilan. Mereka terjajah oleh rasa
takut, mereka takut untuk mencoba hidup sebagai kaum yang terhormat. Dan ketika
itu pula alam menjadi durja, sikap
kesatria berjalan melewati jiwa-jiwa yang kosong dan tidak singgah sampai mereka
menjumpai sebuah kehancuran.
Seharusnya mereka mampu
berdiri kokoh seperti gunung-gunung yang mengelilingi Wengkerkidul. Merubah diri secara
menyeluruh untuk menjadi pribadi yang lebih kuat layaknya Gatot Kaca yang berani berdiri
didepan musuh dan menghadapi kesewenang-wenangan mereka. Andaikan terpaksa mati terbunuh, biarlah kematian itu
sebagai
penghormatan untuk Wengkerkidul. Dan apabila kemenangan
dapat diraih
maka selamanya mereka akan
hidup sebagai pahlawan. Kehormatan seharusnya dianggap
sebagai nilai tertinggi untuk mencapai sesuatu yang belum dapat dicapai oleh
sebuah peradaban.
v
“Dahulu saat
aku menemukan kau dan ibumu tergeletak dilereng gunung Wilis aku membaca sebuah
kalimat yang tertulis indah di punggung wanita yang sungguh cantik jelita.
Kata-kata itu sungguh bijaksana, melantunkan melodi bersayap yang akan membawa terbang insan yang membacanya dalam kedamian yang abadi.” terdengar suara Empu Tirto ditengah kobaran
api yang menyulut batangan besi, baja, timah dan perak sehingga meleleh tercampur menjandi satu dalam cetakan pedang.
Rawarontek
yang sedari tadi sibuk membantu kakeknya membuat sebuah pedang terkejut pula
mendengar penuturan lelaki tua itu. Sontak dia mempertanyakan perihal perkara
yang belum pernah ia ketahui itu. “Kenapa kakek baru menceritakannya sekarang.
Katakanlah kepadaku bagaimanakah bunyi kalimat itu?”
Dalam nyala
api yang menjilat-jilat besi dan tembaga, ia menyampaikan sebuah lirik syair
yang mengandung beribu makna kehidupan di dalamnya. “Aku hanya akan terbang
dengan sayap-sayap Tuhan meski pada akhirnya aku akan terjatuh lalu mati.”
Sejenak anak
muda itu terdiam dan memejamkan kelopak matanya seolah menghayati pesan agung
yang tertulis pada tubuh wanita yang baik hatinya. Setelah diam beberapa saat
dalam keheningan barulah ia sadar bahwa selama hidupnya mendiang sang bunda
selalu bergandengan tangan dengan kalimat suci itu. sebuah material terbaik
untuk menyusun pondasi peradaban yang lebih bermartabat.
“Aku akan
menuliskannya pada kedua belah sisi pedang yang aku buat ini, supaya setiap
tangan yang memegangnya akan menebaskan pedang ini pada tegakan-tegakan yang
menyangga tirani.” Ujar Si kakek dengan penuh keyakinan.
“Cukup
berisiko Ki untuk bergerak melawan arus yang telah mengalir dengan deras”
sebuah analisis yang sering diutarakan banyak orang ketika sedang dihadapkan
pada kondisi oposisi kembali terlontarkan.
“Jika sikap
mengkritisi dianggap suatu minoritas yang ingin dihancurkan, maka yakinkan
bahwa dirimu telah berada diantara yang minoritas itu. Supaya tetap ada alasan
bagimu untuk terus berjuang. Akan lebih mulia hidup terasingkan karena berani
jujur pada kebenaran, dari pada harus menyerah terhadap kemunafikan.” jawab
Empu Tirto
“Cukupkah
aku seorang diri untuk melakukan semua itu?”
pemuda itu belum sepenuhnya yakin akan dirinya sendiri.
Diletakkannya
telapak tangan kanan pada pundak cucunya agar keyakinan tumbuh subur pada
nurani Rawarontek “Apabila di dalam dirimu masih ada rasa malu dan takut untuk
berbuat suatu kebaikan, maka jaminannya engkau tidak akan pernah bertemu dengan
kemajuan walau selangkahpun. Kau harus berani untuk memulainya, jangan pernah
menunggu orang lain.”
Sebilah
pedang berukuran sedang dengan model yang sangat sederhana, jauh dari kesan
mewah telah selesai di buat oleh Empu Tirto. Pada belahan kedua sisi pedang itu
terukir sepenggal kalimat “Aku hanya akan terbang dengan sayap-sayap Tuhan
meski pada akhirnya aku akan terjatuh lalu mati.” Tulisan ini mampu membakar
semangat juang setiap kesatria yang
memegangnya. Sangat cocok untuk menggambarkan karakter masyarakat Wengkerkidul
yang berjiwa jujur dan penuh kesederhanaan baik dalam bertingkah maupun berpikir.
Cakra Buana merupakan sebuah nama yang
disematkan Empu Tirto kepada pedang buatannya itu. Cakra Buana memilki arti senjata bumi, senjata yang akan
menjaga bumi Wengkerkidul.
v
Berbekal
makanan dan uang logam secukupnya, Rawarontek
berkelana menyusuri perkampungan wilayah Wengkerkidul yang sedang
dilanda krisis ekonomi maupun sosial dampak dari kebijakan Wiyasa Galuh Buana
yang tidak berpihak terhadap rakyat. Banyak ia jumpai jurang kesenjangan antara
kalangan pejabat dengan kalangan bawah. Yang miskin terus kelaparan sedang yang
kaya semakin asik menumpuk harta. Sebuah tatanan masyarakat yang jauh dari kata
adil untuk kehidupan yang fana ini. Mereka bilang ini adalah kondisi yang ideal
dimana akan selalu ada kaum yang tertindas pada sebuah peradaban. Tapi manusia
seperti apa yang sudi untuk mengisi peran itu. Bukankah kesejahteraan itu
datangnya dari rakyat, maka sudah sepantasnyalah bagi mereka untuk turut
menikmati kesejahteraan itu.
Tibalah
pengelana rupawan itu di sebuah dusun bernama Karangan. Kondisi warga dusun yang
mayoritas bekerja sebagai petani itu sangat memprihatinkan. Semua penduduknya
terlihat begitu menderita karena kemiskinan dan kelaparan, padahal hampir dua
pertiga wilayahanda dusun itu merupakan hamparan sawah yang subur dengan
saluran irigasi yang cukup baik. Sebuah pemandangan gundukan sisa panen padi
nampak berjejer rapi ditengah hamparan sawah yang mulai menguning. Suatu
kondisi yang menceritakan bahwa warga dusun Karangan baru saja melaksanakan
panen raya. Rawarontek bingung bukan kepalang melihat keadaan di dusun ini,
semua warga kelaparan disaat mereka baru saja merayakan panen raya.
Pastilah
perih batin manusia yang menyaksikan penderitaan warga yang mengisi siang
mereka dengan kelaparan dan membanjiri malam mereka dengan kesengsaraan.
Tatkala melintasi sebuah gubuk tua Rawarontek dikejutkan dengan rintihan wanita
gila yang terus menyebut nama seorang laki-laki. Ditanyailah anak laki-laki
yang sedari tadi setia menunggui wanita gila itu.
“Mengapa kau terus menunggui wanita itu?”
“Dia adalah ibundaku”
jawabnya dengan singkat.
“Apakah dia
sedang menangisi ayahandamu? apa yang diperbuat ayahandamu sehingga ibundamu
terlihat menderita seperti itu?”
“Benar
kakang, ibunda menangisi kematian ayahanda.”
Setelah
menjawab pertanyaan Rawarontek, sejenak nak kecil itu terdiam lalu matanya
berkaca-kaca dan seperti tak kuasa untuk menahannya maka air mata itu mulai
berlinang membasahi wajahnya. Dengan terisak-isak tangis perlahan ia
menjelaskan penyebab kematian ayahandanya.
“Kami ini
keluarga yang sangat miskin. sawah kami sempit, dan tak ada hewan ternak yang
kami pelihara. Ayahanda tidak mau menyerahkan setengah panen padi kami untuk
dibayarkan sebagai upeti. Sungguh kesuluruhan panen padi kami saja tidak akan
mencukupi untuk kita makan dalam setengah tahun. Jikalau setengahnya kita
bayarkan untuk upeti, mau makan apa keluarga kami. Oleh sebab itulah ayahanda
hanya mau membayar seperempat hasil panen padi kita, sama seperti yang
diperintahkan Majapahit. Sikap ayahanda ini dianggap Ki Lurah sebagai sebuah
perlawanan, maka ayahanda ditangkap dan diadili sampai mati.”
Setelah
mengatakan hal ini, ia menutupi wajahnya, mencoba menyembunyikan kesedehinnya
dengan telapak tangannya yang kecil. Rawarontek memegang tangan anak kecil yang
menderita hatinya itu, ia letakkan tangannya di dadanya dan berkata “Jangan
bersedih, ayahandamu tidak pergi jauh, keberaniannya bersemayam didadamu untuk
menjaga kalian. Apakah warga yang lain hanya terdiam melihat ketidak adilan
yang Ki Lurah perbuat?” Tanya Rawarontek.
“Mana ada
laki-laki yang rela melihat istrinya menjadi janda dan anaknya menjadi yatim?
Semua memilih diam dalam penderitaan yang berkepanjangan ini.”
Rawarontek
memberikan seluruh bekal dan uang yang ia bawa ke anak malang itu “Makanlah
bekal yang aku bawa ini bersama ibumu. Lalu pergilah ke pasar dan belikan ibumu
pakaian baru, semoga kesedihannya lekas berkurang.”
Sebelum
meninggalkannya ia berpesan pada anak kecil itu “ Dunia ini adalah rumah
kalian, dan disini kalian aman. Tuhan telah menciptakan dunia ini untuk semua
makhluknya, bukan hanya untuk sebagian makhluk.”
Bergegaslah
Rawarontek menelusuri jalan untuk mencari rumah Ki Lurah yang harus bertanggung
jawab atas segala kejadian di dusun Karangan ini. setelah bertanya ke penduduk
setempat akhirnya dia menemukan rumah Ki Lurah. Mata Rawarontek terbelalak
melihat betapa rumah pemimpin dusun itu berdiri megah diantara gubuk-gubuk
reyot yang dihuni warganya. Lumbung padinya penuh terjejali hasil panen seolah
tak akan habis jika dimakan seluruh warga karangan dalam satu musim panen.
Alangkah memprihatinkan disaat seluruh warganya kelaparan seorang pemimpin
justru terbuai menumpuk-numpuk harta benda. Memang sudah menjadi tabiat anak
adam jika diberi satu gunung maka ia akan meminta dua gunung dan ketika sudah
diberi dua gunung pastilah ia akan meminta tiga gunung. Keserakahan inilah yang
kerap membutakan mata hati manusia, sehingga tak terlihat olehnya segela
penderitaan yang dialami kerabat dan sahabatnya.
Sepertinya
tidaklah terlalu sulit untuk menemui orang nomer satu di dusun Karangan
tersebut. Dengan perangai yang supel lurah Karangan yang bernama Ki Joyogeni
itu menyambut baik kunjungan Rawarontek. Kepandaian kesatria muda itu dalam
berkomunikasi membuat situasi semakin kondusif saja. Dari sinilah mulai terkuak
akar dari semua permasalahan di dusun Karangan.
“Aku
mengerti kau pasti mengira aku ini pemimpin yang dzolim. Bersenang-senang akan
segala kenikmatan duniawi ditengah kesengsaraan yang dirasakan wargaku. Hartaku
melimpah ruah seolah aku tak pernah berbagi kepada mereka. Tapi ketahuilah anak
muda, semua ini terjadi dengan sebab yang benar. Disetiap awal tanam dusun ini
selalu mengalami paceklik pangan. Mereka yang persediaan pangannya sudah habis
datang kepadaku untuk meminjam sekarung beras, dan kami bersepakat untuk mengembalikan
dengan dua karung beras pada saat panen. Apakah menurutmu sesuatu yang sudah
disepakati oleh kedua belah pihak itu merupakan perkara yang keliru?” ki lurah
berhenti berbicara selama sesaat. Kemudian terlihat sedikit saja simpul
senyuman dibirnya dan matanya menatap dalam-dalam pemuda dihadapannya itu lalu
mulailah ia mengatakan sesuatu “ Setiap orang memiliki cara yang berbeda untuk
bertahan hidup. Ini adalah caraku dan ku harap kau menghargainya.”
Rawarontek
menggeser posisi duduknya lalu mendekat dan bertanya “Maaf Ki Lurah, mengapa
bisa secepat itu persediaan makanan itu habis. Sedang aku melihat tanah di dusun
ini sangat subur, saluran irigasinya baik, serta terdapat banyak kerbau yang
bisa digunakan untuk menggaru lahan, pastilah padi yang mereka panen sangat
melimpah ruah.”
“Memang
benar apa yang kau katakan. Setiap kali panen mereka selalu mendapatkan hasil
yang cukup melimpah. Tapi mereka harus membayarkan setengah dari panen itu
kepadaku sebagai upeti yang nantinya juga akan diserahkan ke Majapahit. Banyak
pedagang dari Jambudwipa, Kamboja, Campa, Yawana, Cina, Siam, Goda, Karnataka
datang ke Majapahit untuk membeli beras kita. Ketahuilah anak muda,
berkembangnya perdagangan ini akan membawa kemakmuran kepada kerajaan dan
peningkatan kesejahteraan di lingkungan rakyat. Dan berkat kunjungan
pedagang-pedang asing itulah nama Majapahit menjadi mashur di jagad raya
ini.” jawab Ki Lurah.
“Wahai Ki
Joyogeni, Bukankah prabu Hayam wuruk telah menetapkan pembayaran pajak
pengahisalan hanya seperempat dari hasil panen.” tanya pemuda itu setelah
merasa ada kejanggalan dari penjelasan Ki Lurah tadi.
“Sekali lagi
kau benar anak muda, akan tetapi wiyasa Galuh Buana telah membuat kebijakan untuk menaikkan
jumlah pajak menjadi setengah dari hasil panen. Tentulah sisa dari pajak yang
diserahkan ke Majapahit akan dijadikan upah bagi para pegawai dan prajurit.”
Sepintas
terlihat mata Rawarontek menatap perangai Ki Lurah yang duduk dihadapannya.
Karena belum puas dengan jawaban Ki Lurah ia sekali lagi melontarkan satu
pertanyaan “ Aku sungguh tidak mengerti kenapa Wiyasa Galuh Buana tega membuat
kebijakan seperti ini, padahal semua orang tahu kalau wiyasa dan seluruh
bawahannya telah mendapatkan jatah bengkok tanah yang sangat luas sebagai
gajinya. Apakah Majapahit tahu tentang kebijakan yang telah Wiyasa Galuh
Buana buat?”
Ki Lurah
mencibirkan bibirnya, seperti tidak senang dengan pertanyaan Rawarontek. “Sekali
lagi aku katakan kepadamu, setiap orang memiliki cara yang berbeda untuk
bertahan hidup. Mungkin ini adalah keputusan terbaik yang wiyasa ambil maka kau
juga harus menghargainya.”
Setelah
mendengar kata-kata itu entah setan dari mana yang merasuki raga Rawarontek
sehingga ia menghajar Ki Lurah tanpa ampun. Ia membanting tubuh gemuk Ki Lurah
diatas meja hingga remuklah tulang rusuknya.
Belum sempat mulutnya berteriak kesakitan, sepakan keras Rawarontek
mengenai mulut Ki Lurah hingga merontokkan gigi atas maupun gigi bawahnya.
Perutnya yang buncit ditinju secara bergantian menggunakan kedua tangan yang
kekar. Darah segar terus mengalir dari mulut Ki Lurah. Dalam keadaan setengah
sadar dia berusaha mengatakan sesuatu. “Kenapa kau siksa aku seperti ini? Ayo
kita bicarakan secara baik-baik kalau ada yang masih perlu dibicarakan.”
“Bukankah
kau sendiri yang tadi mengatakan setiap orang memiliki cara yang berbeda untuk
bertahan hidup. Dan ini adalah caraku, maka kau juga harus mengahargainya” Ujar
Rawarontek sembari membentuskan kepala Ki Lurah pada lantai rumah sampai mucrat
darah.
“Apakah kau
sadar kalau caramu ini benar-benar tidak berprikemanusiaan.” Kata Ki Lurah.
“Lancang
sekali mulutmu berbicara tentang prikemanusiaan.” Bentak Rawarontek.
“Kau tak
lebih dari seorang perampok yang menyembunyikan dirimu dalam jubah kepemimpinan
yang kau kenakan. Kau rampok makanan rakyatmu yang sedang kelaparan, keparat
kau rentenir biadab! Kau bunuh warga yang mencoba menyuarakan haknya. Hanya
sekali saja aku melintasi dusun ini, batinku terasa sangat prihatin melihat
banyak manusia menyeret beban penderitaan yang amatlah berat. Selama ini kemana
saja perginya prikemanusiaan yang kau katakan itu, bangsat!”
Ki Lurah
yang mulai sekarat itupun hanya diam terkapar, merenungi semua perbuatannya di
masa yang lalu.
Rawarontek
berjalan mendekati Ki Lurah, dan mulutnya didekatkan pada telinga lelaki gendut
itu, lalu berbisiklah dia. “Aku telah berjalan dari timur sampai ke barat, dan melihat banyak
anak kecil menangis karena kelaparan. Aku telah berkelana dari satu tempat ke
tempat yang lain, dan aku juga melihat banyak wanita menjadi janda setelah
suaminya mati karena kerja paksa. Bumi akan mampu menyediakan segala sesuatu
untuk memuaskan kebutuhan semua orang. Tapi ia tidak akan pernah mampu memenuhi
segala ketamakan manusia seperti kalian.”
Dalam
beberapa saat ia terdiam, dahinya mengerut entah karena sedang menahan rasa
sakit, atau karena menyesali semua yang telah ia lakukan, atau mungkin karena
keduanya. Terlihat ia berusaha mengumpulkan semua tenaga yang tersisa untuk
berbicara. Mulutnya mulai berbicara, air matanya berlinang menambahkan arti pada setiap kata
yang terucap, jiwanya menyatu pada setiap kata yang terlontar. “Selama ini aku
telah kehilangan diriku sendiri. Mata hati ini menjadi buta setelah
berlama-lama aku menatap silaunya kenikmatan dunia yang hanya sesaat ini. Aku
telah membiarkan keserakahan ini melilit jiwaku lalu merobohkannya. Tanpa aku
sadari selama ini aku terduduk manis di atas tangisan wargaku yang kelaparan.
Aku telah merontokkan bunga-bunga kedaimaian, lantas menginjaknya dengan
sengaja hingga bunga itu hancur. Sungguh
maafkan aku anak muda.”
“Jangan
kepadaku, wargamulah yang pantas mendapatkan kata maaf itu.” Cetus Rawarontek
dengan penuh keraguan akan segala yang diucapkan Ki Lurah.
“Apa mereka
sudi memaafkanku?” Tanya Ki Lurah.
“Jika mereka
tidak ikhlas memaafkanmu, maka sungguh sial kehidupanmu setelah ajal
memanggilmu.”
“Aku sungguh
menyesal dengan semua ini. Aku tak ingin tangan, lidah, mata, dan telingaku
menjadi saksi atas kedzoliman yang pernah aku kerjakan. Kumpulkan seluruh
wargaku di depan balai dusun, lalu bagikan seluruh harta bendaku kepada mereka.
Aku juga tak ingin harta bendaku ini menjadi bukti atas keserakahanku.” Pinta
Ki Lurah.
“Lakukanlah
sendiri, dan semoga kau sunguh-sungguh dengan ucapanmu Ki Joyogeni!” Sesaat
kemudian Rawarontek berjalan meninggalkan Ki Lurah.
“Berhentilah
anak muda, kau harus tetap di sini untuk menemaniku memperjuangkan nasib
wargaku. Kau telah menjumpai persoalan yang rumit ini, jika dirimu seorang
kesatria pastilah kamu akan menyelesaikannya.” Ki Lurah menahan pemuda itu agar
mau membantu dirinya.
Langkah kaki
pemuda itu berhenti, lalu ia menoleh kearah Ki Lurah. Didapatinya wajah yang
dibanjiri luka dan darah itu benar-benar mengharapkan sesuatu. Ia bantu pria
gendut berkumis tebal itu untuk berdiri dan membopongnya menuju sebuah kursi
yang berada di sebalahnya.
“Baiklah,
tapi dengan syarat kau harus berani mengembalikan besaran upeti untuk dusun ini
sesuai dengan yang telah ditentukan Majapahit, hanya seperempat dari
keseluruhan hasil panen.”
“Permintaanmu
ini sulit untuk aku wujudkan. Berpikir itu
gampang, bertindak itu sulit, dan melaksanakan suatu pikiran dalam tindakan
adalah hal yang paling sulit di dunia. Andai
permintaanmu kuturuti, maka waga dusun yang lain akan menuntut hal yang sama.
Dan tentunya, dusun ini nanti akan mendapat tekanan dari wiyasa Galuh Buana karena
dianggap memberontak. Dia akan menghukum seluruh warga hingga bertambahlah
penderitaan yang mereka alami.”
“Kita
melakukan hal yang benar, kenapa kau harus takut. Selamanya kita akan selalu
tertindas jika tak punya keberanian untuk berkata jujur pada kebenaran. Mati
memperjuangkan kebenaran itu jauh lebih mulia dari pada terus-menerus hidup
dalam kemunafikan. Ini tidak hanya perkara kesewenang-wenangan wiyasa Galuh
Buana dalam menentukan besaran upeti
yang menyalahi aturan, lebih dari itu kita akan menuliskan sejarah yang akan
selalu diceritakan oleh anak cucu kita kelak. Mereka akan bangga jika bercerita
tentang nenek moyang mereka yang gagah berani dan selalu menentang penindasan.
Sebaliknya mereka pastilah malu, kalau menceritakan nenek moyang mereka hanya
diam dalam penindasan dan kesewenang-wenangan pemimpin.” Dengan argumentasi
yang matang pemuda itu berusaha meyakinkan Ki Lurah.
“Baiklah aku
sependapat denganmu. Tapi kita juga harus mempertimbangkan semua resiko yang
akan terjadi, dan sangatlah penting untuk membuat perencanaan guna mengurangi resiko itu.” Kata Ki Lurah.
Tiba-tiba
matan lelaki gendut itu berbinar terang, bertanda ia sedang mendapatkan ide
yang cemerlang, lalu ia kembali berkata. “Lima puluh tahun yang lalu didusun
ini pernah terlahir seorang kesatria sepertimu, namanya Aryayuda. Di usianya
yang masih sangat muda ia sudah mendapatkan kehormatan dari Majapahit dengan di percaya sebagai
bagian dari prajurit Bhayangkara. Beberapa tahun kemudian ia menjadi pengawal Ratu
Tribuwana Tunggadewi sekaligus menjadi orang kepercayaan Patih Gajah
Mada. Pemikirannya begitu cerdas dan
terbuka, sikapnya yang supel dan bersahaja membuatnya disenangi banyak orang.
Ia mengenal beberapa raja bawahan Majapahit seperti Rajadewi Maharajasa,
Kertawardhana, Wijayarajasa dan juga Rajasawardhana. Dan yang paling penting,
ia sangat paham akan isi kitab Kutara Manawa. Temuilah dia, lalu mintalah
supaya membantu kita untuk mengembalikan hak rakyat yang terampas oleh aturan
yang dibuat Wiyasa Galuh Buana .”
“Dimanakah
sekarang ia tinggal?” Tanya Rawarontek.
“Saat ini
dia hidup dengan mengasingkan diri di Goa Lowo.” Jawab Ki Lurah
“Apa yang terjadi dengannya?”
Ki Lurah mulai mondar-mandir kesana-kemari sembari
mencoba mengingat sesuatu yang sudah terkubur dalam ingatannya, lalu mulailah
ia bercerita. “Sejak lima belas tahun yang lalu dia hidup di sana hanya seorang
diri dalam sebuah pertapaan, dan sampai sekarang tidak pernah ada yang tahu apa
alasannya melakukan itu. Sebagian orang menceritakan bahwa saat ia bergabung
dengan pasukan Bhayangkara untuk
mengamankan istana dari pemberontakan Sadeng, salah seorang pemberontak meculik istrinya
yang sedang mengandung tua. Dia sangat mencintai istrinya, sampai-sampai ia
habiskan hari-harinya hanya untuk mencari kekasihnya itu. Hampir di setiap
sudut wilayah majapahit ia datangi, tapi semua usahanya tak
membuahkan hasil. Akhirnya ia mengundurkan diri sebagai senopati dan mulailah
ia hidup menyendiri di dalam goa. Sementara yang lain mengatakan bahwa ia sudah
gila semenjak ditinggal istri yang sangat dicintainya. Kemudian dia menjadi
seorang petapa yang pergi meninggalkan segala hiruk pikuk politik di Majapahit
dan pergi ke Goa Lowo untuk mendekatkan jiwanya pada Dzat yang menciptakan
kehidupan.”
“Sungguh
kasian dengan nasib senopati itu. Aku akan pergi ke goa Lowo untuk menemuinya.”
Kata Rawarontek.
“Aku akan
menemanimu anak muda” Sahut Ki Lurah.
“Lihatlah
dirimu masih dipenuhi dengan luka, apa kau sanggup?”
“Luka ini
memang sakit sekali, tapi semua jadi tak terasa sakit jika dibandingkan luka
dan penderitaan yang aku sayatkan pada jiwa warga di dusunku. Aku masih cukup
kuat untuk menemanimu.”
“Jika itu
kehendakmu, maka aku tak akan melarangmu. Tapi sebelumnya kau harus menepati
dulu janji yang kau ucapkan tadi untuk membagikan seluruh kekayaanmu kepada
wargamu yang kelaparan.” Jawab Rawarontek.
Keesokan
harinya Ki Lurah mengumpulkan seluruh warganya di depan balai dusun. Dibawah
hangatnya mentari yang mulai bersinar ia membagikan beras dan uang kepada
setiap kepala keluarga. Tersenyumlah bibir-bibir yang mengering itu, mereka
bersuka cita dalam kebersamaan. Dengan merendahkan hati, Ki Lurah mencoba untuk
meminta maaf atas segala kekhilafan yang pernah ia lakukan. Dengan lapang dada,
semua warga memaafkannya.
Orang yang
baik bukan berarti orang itu tidak pernah melakukan kesalahan, melainkan ia
yang menyesali perbuatannya lalu segera bertobat dan memperbaikinya. Sungguhnya Sang Pencipta
kehidupan membentangkan tangan kasihnya pada waktu malam supaya bertobat orang-orang yang telah melanggar pada siang hari. Juga
mengulurkan tangan kemurahannya pada waktu siang, supaya bertobat orang yang berdosa pada waktu malam.
Keadaan itu akan tetap terus terjadi
hingga matahari
terbit dari barat. Sungguh
indah suasana dusun Karangan saat itu, andai bisa dilukiskan, mungkin patung
Kandedes masih kalah indah olehnya.
5
Perdikan Kampak
Tuhan pastilah menyayangi setiap mereka
yang berjalan dengan langkah kebenaran yaitu langkah-langkah yang lurus untuk
menuju Tuhannya. Mereka yang masih berani menyuarakan kejujuran dalam ricuhnya
suara kemunafikan. Atau mereka yang merelakan hartanya, kedudukannya, dan
bahkan keluarganya demi memperjuangkan kebenaran. Dan semuanya mengetahui bahwa
manusia hidup didunia laksana musafir yang singgah untuk sekedar minum. Maka
merugilah mereka yang menghabiskan waktunya dengan melalaikan seruan Tuhannya.
Dan sungguh beruntung bagi mereka yang menjadikan kesabaran dan amalan baiknya
sebagai penolongnya. Maka yang demikian itu amatlah berat untuk dikerjakan
kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. Yaitu orang-orang yang meyakini bahwa
mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
Berbekal
keyakinan dan keinginan yang kuat untuk menumbangkan tegakan tirani yang sudah
lama menyiksa rakyat Wengkerkidul maka berangkatlah Rawarontek dan Ki Lurah
Joyogeni untuk mencari Aryayuda. Mereka berjalan kaki menyusuri setiap tapakan
hijau nan subur yang terbentang luas dibumi Wengkerkidul. Menyeberangi
sungai-sungai yang jernih dan mendaki bukit-bukit yang indah. Dan dari atas
bukit itulah mereka dapat melihat sawah dan perkebunan subur yang ditanam padi
dan tanaman palawija. Dan mereka yang menanamnya tentunya berhak untuk
memanennya tanpa ada pungutan yang memberatkan. Karena bumi diciptakan Tuhan
untuk seluruh umat manusia, bukan hanya sebagian umat.
Kegelapan
melelapkan alam Gandusari, mengusir hiruk pikuk manusia dalam kehidupan yang
fana. Kesunyian dan kegelapan datang menyelimuti setiap jengkal jalan yang akan
mereka tempuh. Maka berhentilah dua pengembara itu dari perjalanannya untuk
singgah pada sebuah gubuk ditepian jalan. Rawarontek mengumpulkan beberapa
ranting pohon untuk membuat api unggun. Sedang Ki lurah duduk bersandar pada
sebuah pohon di dekat gubuk itu. Setelah terkumpul beberapa ranting maka
dibakarlah hingga api mulai menyala dan cahayanya menerangi dua insan yang
kelalahan. Terlihat bibir tebal Ki Lurah berucap lalu terdengar suara yang
lirih “ Siapa sebenarnya kau ini Nak? Siapa orang tua yang beruntung memiliki
anak sepertimu? Mengapa kau begitu peduli dengan keadaan masyarakat di Wengkerkidul?”
Rawarontek
mendekat pada Ki Lurah lalu ia duduk di sebelahnya dan dengan senyuman yang
ringan ia menjawab pertanyaan Ki Lurah “ Aku tidak tahu siapa aku ini Ki. Aku
juga tidak mengenal wanita yang melahirkanku begitu pula dengan siapa ayahandaku.
Limabelas tahun yang lalu aku ditemukan oleh sepasang kakek dan nenek di lereng
gunung Wilis. Merekalah yang kemudian merawat dan membesarkanku, mendidik serta
mendawasakanku. Aku sangat menyayangi Empu Tirto begitu juga dengan Nyi Damas.”
Mendengar
jawaban Rawarontek terlihat Ki Lurah mengerutkan dahinya seperti sedang
menangkap informasi yang sangatlah penting. Kemudian ia berusaha meyakinkan apa
yang barusan diucapkan Rawarontek. “Jadi yang mengasuhmu selama ini Empu Tirto
dan Nyi Damas?”.
“iya benar
Ki. Apa Ki Lurah mengenal kakek dan nenekku?” tanya Rawarontek.
“Aku sangat
mengenal keduanya, Empu Tirto adalah saudara laki-lakiku. Kami sudah sangat
lama tidak pernah berjumpa, bagaimana keadaan mereka sekarang Nak?”.
“Aku sungguh
tak menyangka Ki kalau ternyata Ki Lurah ini saudara laki-laki Empu Tirto.
Keadaan kakek sehat Ki, namun setelah kematian Nyi Damas semangat dan keceriaannya
sudah jarang terlihat lagi.”
“Apa yang
terjadi dengan Nyi Damas?” Sahut Ki Lurah.
“Lima tahun
yang lalu Nyi Damas mati setelah jantungnya tertembuh sebusur panah utusan
Wiyasa Galuh Buana . Sikap kakek dan nenek yang selalu menentang terhadap segala
penindasan yang dilakukan oleh Wiyasa Galuh Buana membuatnya murka. Dan dengan
buta hati pemimpin dzolim itu mengirim pemanah terbaiknya untuk membunuh Nyi
Damas. Mungkin inilah takdir kehidupan orang-orang kecil seperti kami.
Kesengsaraan yang dialami rakyat adalah tangisan abadi yang harus selalu
didengar. Dan ini pulalah yang membuat jiwaku selalu memberontak melawan
penindasan dan merendahkan semua kebijakan busuknya.” Jawab Rawarontek.
“Kau sungguh
anak yang hebat, diusiamu yang masih muda aku sudah melihat kedewasaan,
ketulusan dan keberanian terukir indah
pada dinding jiwamu. Kau persis seperti Empu Tirto diwaktu muda. Dan juga perlu
kau ketahui bahwa Aryayuda merupakan murid kesayangan Empu Tirto.”
“Sungguhkah
itu Ki?” tanyanya keheranan mendengar cerita Ki Lurah.
Lelaki
gendut itu menganggukkan kepalanya seraya melempar sebuah senyuman kearah
pemuda yang masih melongo dihadapannya itu.
“Aku sungguh
tidak sabar untuk bertemu dengan Aryayuda”. timpal Rawarontek kegirangan.
Kedua
makhluk tuhan itu larut dalam cerita yang dibawakan oleh satu dengan yang
lainnya. Hingga Kesunyiaan malam yang menyeret mereka kepada mimpi yang fana
dalam sebuah peristirahatan.
Ketika pagi
menjelang, fajar merekah berwarna merah mengusir kegelapan malam. Ayam jantan
berkokok keras berusaha menyampaikan pada angin dan embun bahwa kehidupan yang
baru akan segera dimulai. Hingga terbitlah mentari pagi yang kilau cahayanya
membangunkan Rawarontek dan Ki Lurah dari tidurnya. Keduanya bangkit dan
bersegera melanjutkan perjalanannya. Untuk mempercepat perjalanan, mereka
putuskan untuk mencari tumpangan pada sebuah cikar yang biasanya melintas
disekitar jalanan Gandusari. Tak perlu menunggu terlalu lama, dari kejauhan
terlihat sebuah cikar yang membawa belasan karung beras dengan di tunggangi
seorang gadis cantik jelita. Ki lurah menghentikan cikar itu lalu menyampaikan maksudnya
pada Si gadis untuk ikut numpang di cikarnya. Dengan senang hati gadis itu
memperbolehkan Ki Lurah dan Rawarontek untuk bergabung dengannya.
“Maaf Kisana,
siapakah nama kisana dan hendak kemanakah kisana akan pergi?” Suara yang
terdengar santun terlantun dari kedua bibir tipis gadis jelita itu untuk
membuka percakapan diantara mereka.
“Namaku
Joyogeni, lurah di dusun Karangan dan ini Rawarontek. Rawarontek ayo
perkenalkan dirimu”. Ujar Ki Lurah pada Rawarontek.
Rawarontek
yang sedari tadi terpaku menatap wajah cantik gadis didepannya tidak mendengar
perintah Ki lurah.
“Rawarontek!”
Lelaki berkumis tebal itu membangunkan Rawarontek dari lamunannya tentang
kecantikan yang menghiasi setiap sudut wajah gadis itu.
“Iya ada apa
Ki?” Tanya bocah itu kebingungan.
“Ayo
perkenalkan dirimu” Ki lurah kembali mengulangi perintahnya sambil tersenyum
tipis.
“Aku
Rawarontek, nama kisana siapa?” Seraya mengulurkan tangannya yang dingin karena
rasa gelisah di hatinya.
Sesaat
kemudian telapak tangan yang halus menyapa mesra tangan Rawarontek, hingga jiwa
bocah tampan itu dibuat melayang oleh sentuhan lembutnya. “Namaku Rahayu
Pitaloka, panggil saja aku Pitaloka” Jelas gadis itu sembari melempar senyuman
yang manis. Bocah itu masih bengong dan tetap memegang erat tangan Pitaloka.
“Hai Nak,
ayo lekas lepaskan tangan Pitaloka, nanti bisa gosong kalau tetap kamu pegang
erat seperti itu. hahaha!” Ki Lurah mencandai bocah yang sedang dibuat mabuk
kepayang oleh pesona Pitaloka.
Seketika itu
pula ia melepaskan tangan gadis manis
didepannya sambil mencoba menetralkan raut wajahnya yang terlanjur memerah.
“Aduh Ki Lurah jangan bikin aku salah tingkah seperti ini, malu Ki” bisik
Rawarontek. Melihat tingkah Rawarontek Ki lurah hanya tersenyum sambil membuang
mukanya ke tepian jalanan.
“Tadi Ki
Lurah belum menjelaskan hendak kemanakah kalian akan pergi? Pitaloka
mengingatkan pertanyaannya yang belum dijawab Ki lurah.
“Aku dan Rawarontek
hendak ke watulimo untuk menemui pendekar Aryayuda yang tinggal di Goa Lowo”
Jawabnya.
“Sepertinya
aku pernah mendengar nama Aryayuda, apakah dia saudara kisana?”.
“Bukan, dia
adalah mantan senopati Majapahit yang dulu di masa kecilnya pernah tinggal di dusun
Karangan.” Jelas Ki lurah.
“Ada
keperluan apa Ki lurah menemui Aryayuda, Maaf Ki saya tak bermaksud ikut campur
urusan kalian, Ki lurah boleh tidak menjawab kalo memang tidak berkenan.”
Terangnya.
Ki lurah
memandangi mata bundar Pitaloka yang terlihat begitu penasaran, kemudian dia
mulai mengatakan sesuatu. “Sebenarnya aku hanya mengantar Rawarontek, dialah
yang memiliki hajat dengan Aryayuda. Cobalah kamu bertanya kepadanya.”
Dengan nada
yang rendah Pitaloka bertanya kepada Rawarontek “Rawarontek sudikah kamu
menjelaskan tentang tujuanmu menemui Aryayuda kepadaku.”
Bocah yang
sedari tadi termenung itupun mulai berbica dengan menundukkan pandangannya
karena tak sanggup menatap paras anggun
Pitaloka. “Aku hanya ingin meminta bantuan Aryayuda untuk mengembalikan beras
yang digenggam wiyasa Galuh Buana ke
tangan rakyat yang kelaparan.”
Pitaloka
masih belum mengerti dengan perkataan Pancosana “Kamu bisa menjelaskan maksud
perkataanmu tadi?”
Rawarontek
hanya terdiam, beberapa saat kemudian dia mulai memberanikan diri untuk
menegakkan pandangannya ke arah Pitaloka. “Besaran upeti yang di tentukan
Wiyasa Galuh Buana jumlahnya terlalu
besar dan tidak sesuai dengan ketentuan Prabu Hayam Wuruk. Kebijakan itu telah
mencekik rakyatnya sendiri, memiskinkan rakyatnya yang sudah miskin, dan
melukai hati mereka yang sudah lama menderita. Aryayuda punya pengetahuan
tentang aturan hukum di Majapahit. Aku harap dia sudi membantuku untuk
mengahadap ke wiyasa Galuh Buana agar
mengubah kebijakannya sesuai titah yang diberikan Prabu Hayam Wuruk.”
Mendengar
penuturan Rawarontek Pitaloka hanya tersenyum lalu berucap “Aku sungguh bangga
padamu, perjuangkanlah apa yang menurutmu benar.”
Mendengar
ucapan Pitaloka bocah tampan itu kelihatan tersipu malu, namun kata-kata itu
juga mampu mengilhami kekuatan di jiwa Rawarontek.
“Kamu
sendiri mau kemana? Mau kau apakan tumpukan karung yang berisi beras ini?
apakah akan kamu jual?” Untuk pertama kalinya Rawarontek berani bertanya ke
gadis yang mungkin telah memikat hatinya.
“Aku hanya
mengantar beras ini kepada pemiliknya.” jawab Pitaloka.
“Jadi kamu
itu bekerja sebagai kuli pengantar beras?” sahut Rawarontek.
“Mungkin
seperti itu” Jawabnya sembari tersenyum.
Mereka pun
mulai akrab dan saling bergsenda gurau. Roda cikar terus berputar, membawa
mereka kepada tujuannya masing-masing.
Tatkala
melintasi hutan di kawasan Perdikan Kampak delapan lelaki berperawakan kekar
menghalangi cikar mereka. Terlihat lelaki bertubuh besar dan berkumis tebal
yang merupakan orang tertua diantara lainnya berjalan kearah mereka dengan
menggenggam sebilah kapak.
“Hai
berhenti!” Bentaknya.
Pitaloka
menghentikan cikarnya, lalu dia turun dan menghampiri lelaki itu. “Semua orang
mendengar betapa kuatnya pemuda perdikan Kampak, aku pun mengetahui betapa
sejarah telah menuliskan keberanian pendahulu kalian. Empat ratus lima puluh
tahun yang lalu Empu Sendok Sang Maharaja Medang pun tak sungkan untuk
menganugerahkan penghormatan dan kemuliaannya kepada pemuda Perdikan Kampak
atas keberaniannya untuk membantu pasukan Medang mengalahkan pasukan Sriwijaya.
Dan karena jasa nenek moyang kalian
itulah sejarah besar telah terukir di nusantara ini. Maka dengan rasa hormat
biarkanlah kami melanjutkan perjalanan.” Tutur pitaloka dengan sopan.
“Kalian membawa
beras begitu banyaknya padahal sekarang lagi musim paceklik. Kalian pasti
saudagar kaya yang selalu serakah dan tamak akan harta. Menimbun beras disaat
teman dan saudara kalian kelaparan. Ayo serahkan beras itu kepada kami!” Ujar
lelaki berkumis tebal sambil mengacungkan kapaknya ke wajah cantik Pitaloka.
Melihat
sikap kasar lelaki itu pada Pitaloka secepat kilat Rawarontek meloncat dari
cikar dan menghadapinya. “Kami bukan orang yang kau maksudkan kisana.
Biarkanlah kami melanjutkan perjalanan.”
Ujar Rawarontek dengan nada yang merendah dan sopan.
“Serahkan
dulu seluruh beras itu pada kami, lalu pergilah sesuka hatimu.” jawabnya.
Rawarontek
mendekati Pitaloka dan mengajaknya menjauh dari hadapan lelaki garang yang akan
merampas beras yang dibawanya. “Beras ini bukanlah milik kami. Kami hanya
bertugas mengantarkan beras ini kepada yang memiliki.” Jelas Rawarontek.
“Kau jangan
banyak bicara anak muda, atau aku penggal kepalamu” Ancamnya.
“Aku tidak
berbohong” Pemuda tampan itu berusaha meyakinkan lelaki dihadapannya.
Seorang
pemuda berambut brintik datang menyambangi Rawarontek, tanpa banyak bicara ia
layangkan bogem ke wajah Rawarontek. Dengan sigap Rawarontek menangkis tinju
yang mengarah padanya menggunakan telapak tangannya. Sikap Rawarontek ini
memantik emosinya, sekuat tenaga ia mencoba kembali menjejakkan kakinya pada
dada cucu Mpu Tirto. Rawarontek segera menjatuhkan badannya untuk menghindari
tendangan itu, dalam keadaan terlentang ia segera melakukan sapuan mengenai
kaki lawannya. Lelaki berambut brintik itu pun terjungkal ke atas tanah.
Melihat temannya terjatuh maka beberapa pemuda yang lain maju dan
mengeroyoknya.
“Hai anak
muda! Takdir kematianmu adalah hari ini di tangan Anggreng pemimpin kami” seru
salah seorang diantara mereka.
“Jika itu
yang kau inginkan maka lakukanlah” sahut Rawarontek.
Merekapun
saling baku hantam, dan dengan lihai pendekar sakti berparas tampan itu sanggup
melayani gempuran lawan-lawannya. Dia bahkan sempat menjatuhkan beberapa
diantaranya, kemudian mereka bangkit lagi dan berbalik menghajar Rawarontek.
Meski kini
tubuh mereka telah dibanjiri dengan keringat dan darah, namun tak terlihat
tanda-tanda pertempuran akan berhenti. Baik Rawarontek maupun kawanan perampok
itu masih saling menunjukkan kepiwaiannya dalam berkelahi. Dan perkelahian itu
semakin menjadi-jadi tatkala pemimpin mereka ikut bergabung mengeroyok
Rawarontek yang mulai terlihat kelelahan. Kemampuan silat pemimpin perampok itu
sungguh mengesankan, beberapa kali tinjunya berhasil mengenai dada dan wajah
Rawarontek. Darah segarpun mengalir dari dahinya yang robek. Dalam keadaan
terluka ia masih berani meladeni perlawanan kawanan perampok hutan Perdikan
Kapak yang terkenal sangat kuat dan kejam.
Ki Lurah
yang sedari tadi hanya berani menonton, dengan bermodal nekat ia ikut berkelahi
membantu kawannya yang mulai terdesak oleh serangan bertubi-tubi mereka. Namun
sungguh sial nasib lelaki tua berperawakan gendut itu, belum sempat ia
memeragakan kebolehan ilmu silatnya, sepakan keras Anggreng datang menghujam ke
perutnya hingga badannya yang bundar menggelinding menabrak roda cikar.
Setelah
merasa diatas angin, mereka semakin bernafsu untuk segera menghabisi
Rawarontek. Sekuat tenaga mereka menyabetkan kapak ke tubuh Rawarontek. Dengan
tubuh terseok-seok pendekar muda itu berhasil menangkis dan menghindari sabetan
kapak Si perampok.
Pitaloka
datang untuk terlibat langsung dalam perkelahian. Alangkah lincah nan piwai
pergerakannya bak seekor burung kendari yang menari-nari diatas ranting pohon
jambu. Sambil memainkan pedangnya ia mencoba mengacak-acak serangan lawannya.
Suara dentingan pedang dan kapak yang beradu, diiringi suara jeritan dan
erangan histeris dari mulut yang kesakitan melantunkan harmoni musik yang
mencekam untuk didengar. Anggreng berlari menyambangi Pitaloka hingga duel
fisik keduanya pun tak terelakkan. Meski sempat berhasil menepis tebasan kapak
Anggreng, gadis belia itu tak mampu menahan tendangan Anggreng yang menyilang
hingga mengenai perutnya. Pitaloka pun tersungkur lalu memuntahkan banyak
darah.
Rawarontek
yang menyaksikan hal itu segera berlari untuk melindungi Pitaloka. Dia hantam
kepala Anggreng dengan sebuah tinju tepat di telinga kirinya. Meski tidak
sampai terjatuh, tinju itu sudah cukup untuk membuat telingannya robek. Cucu kesayangan
Mpu Tirto itu segera menjauh untuk membuat jarak yang cukup hingga kemudian ia
memeragakan ilmu kanuragan Rawarontek. Badaipun mulai berdatangan merontokkan
ranting dan dedaunan yang ada. Secepat kilat ia sudah berdiri dibelakang tubuh
besar Anggreng. Sambil melakukan loncatan kecil dengan santainya ia sepak
kepala Anggreng hingga muncrat darah. Rawarontek bergerak seperti bayangan
diantara lawan-lawannya. Tanpa ampun ia hajar semua kawanan perampok itu sampai
babak bunyak. Beberapa dari mereka ada yang patah hidungnya, hilang kupingnya
dan yang lain rontok giginya.
“Sudah
hentikanlah saudaraku!” teriak Anggreng.
“Kamu
pastilah murid Mpu Tirto? kita ini saudara.” Lanjutnya.
Mendengar
ucapan Anggreng ia menghentikan gerakan jurus kanuragan Rawarontek. “Bagaimana
kau mengenal kakekku?” Sahut Rawarontek.
“Semua
pendekar di tanah Jawa ini kenal dengan kakekmu. Belum ada yang mampu
menandingi kesaktian ilmu kanuragan Rawarontek yang ia kuasai. Dan taukah kamu
anak muda Ilmu kanuragan Rawarontek merupakan Ilmu kanuragan yang dititiskan
Maharaja Empu Sendok kepada leluhur Perdikan Kampak saat mereka berperang
melawan pasukan Sriwijaya. Tidak banyak yang mampu menguasai ilmu kanuragan
itu, di wilayah Wengkerkidul hanya kakekmu dan Aryayudalah yang sanggup
menguasinya. Lalu aku melihatmu pendekar yang masih belia memeragakan ilmu
kanuragan itu dengan sangat sempurna, maka kehormatan dan kemuliaan kami padamu
wahai saudaraku.” Semua kawanan perampok tanpa dikomando serentak membungkukkan
punggungnya kepada Rawarontek yang telah mengalahkannya dengan gagah
berani.
“Kau tidak
perlu melakukan itu saudaraku” pinta Rawarontek.
“Kakek
sering bercerita tentang kehebatan leluhur kalian, mereka merampas harta
saudagar kaya untuk kemudian dibagikan kepada rakyat miskin yang
kelaparan. Meski cara kalian tidak bisa
dibenarkan tapi aku salut dengan niat baik yang kalian miliki. Maka segala
hormat dan kemulianku kepada kalian semua wahai pemuda Perdikan Kampak.”
Lanjutnya.
Anggreng
berjalan mendekati Rawarontek, lalu dipeluknya erat tubuh Rawarontek. “Maafkan
atas segala kesalahan kami anak muda.”
Rawarontek
menganggukkan kepalanya. “Bolehkah kami melanjutkan perjalanan.”
Anggreng
mempersilahkan Rawarontek dan rombongannya untuk melanjutkan perjalanan.
“Pergilah saudaraku, Perdikan Kampak
akan selalu merindukan kedatanganmu.”
v
Setelah
melalui perjalanan yang berat, kini sampailah mereka pada sebuah perkampungan
warga miskin. Rahayu Pitaloka menghentikan cikarnya, lalu sebagian warga mulai
berduyun-duyun mendatangi mereka. Pitaloka bergegas turun dari cikar dan mulai
menurunkan karung yang berisi beras itu, satu demi satu. Rawarontek dan Ki
Lurah segera ikut turun dari cikar dan membantu Pitaloka untuk menurunkan
karung. Hanya dalam sesaat seluruh warga sudah terkumpul di hadapan mereka.
Dengan telaten dan sabar Pitaloka mengatur seluruh warga supaya mulai berjejer
dengan rapi. Setelah semuanya berjejer secara teratur, mulalailah ia membagikan
beras itu kepada warga miskin dihadapannya secara adil.
“Terimakasih
atas segala kebaikan yang selalu ndoro putri berikan kepada kami. Seperti
biasanya kami hanya bisa menerima pemberian dari ndoro putri Pitaloka tanpa
bisa memberikan imbalan yang layak.” Ucap seorang wanita tua dengan menggendong
sekarung beras dipundaknya yang mulai usang.
Pitaloka
mendekati wanita itu, dengan suara yang dipelankan ia berujar “Tuhanlah yang
telah memberikan rezekiNya kepada nenek, sedang saya ini tak lebih dari seorang
perantara. Maka pujilah Dia dengan sebaik-baik pujian.”
Mendengar
tutur katanya, Si nenek tersenyum sambil mengatakan “Segala puji bagi Tuhan
yang tidak pernah lalai untuk mengurus dan mengasihi hambanya.” Tangannya yang
keriput mengelus pundak Pitaloka dengan penuh kasih sayang “Hanya dalam
beberapa hari saja beras yang kau berikan ini akan habis dimakan keluargaku,
akan tetapi budi luhurmu akan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi
seluruh anak cucu kami kelak dan tak akan pernah habis dimakan oleh waktu,
Nak!”
Melihat
pemandangan yang sedang terjadi membuat hati Ki Lurah dan Rawarontek menjadi
terharu. Ribuan
lilin dapat dinyalakan dari satu lilin dan nyalanya tidak akan berkurang.
Begitu pun kebahagiaan tidak akan pernah berkurang walau dibagi-bagi. Senyuman yang tergores diwajah manusia miskin
seakan melihat bunga yang indah merekah dilahan yang tandus. Alangkah mulia
jiwa Pitaloka, ia siram tandusnya kehidupan dengan sebuah pesan kebaikan hingga
kembali tegak harapan yang mulai melayu.
“Rawarontek
kemarilah! Ayo berkumpul dengan kami.” Teriak Pitaloka dari kejauhan.
Rawarontek
segera berlari menghampiri Pitaloka yang sedang asik bergurau bersama warga
miskin. “Wahai saudaraku perkenalkan ini Rawarontek, dialah yang telah
menyelamatkanku dari perampokan di hutan Perdikan Kampak.”
Semua warga
terlebih kaum wanita melongo melihat betapa tampannya sosok pemuda yang
diperkenalkan Pitaloka.
“Kisana
sangat tampan, kelihatan sangat cocok apabila berpasangan dengan ndoro putri
Pitaloka yang cantik jelita dan mulia hatinya. Benarkan teman-teman?” Seronoh
seorang ibu berperawakan gendut yang menggendong bayi mungil.
“Benar
sekali itu Nyi!” Jawab seluruh warga serentak tanpa ada yang mengomando. Sontak
pipi Pitaloka memerah, sedang Rawarontek menjadi salah tingkah.
“Kalau
keduanya tersipu malu seperti itu, maka tandanya cinta. Semoga takdir
mempersatukan cinta kalian Nak!” Teriak seorang kakek kerempeng sambil tertawa
terbahak-bahak memperlihatkan gusinya yang ompong.
“Semoga
terkabul Kek!” Ujar Ki lurah sepontan dari balik cikar sambil tertawa
terkekeh-kekeh. Semua orang kembali tertawa riang setelah mendengar ucapan Ki
lurah.
Setiap
manusia selalu berusaha untuk memperbaiki kualitas hidupnya, entah yang singgah
di istana ataupun yang tinggal di gubuk derita. Tapi siapakah diantara mereka
yang paling bahagia? Dialah yang peduli dan sudi meringankan segala penderitaan
yang dialami saudaranya, kawannya, orang lain, atau musuhnya sekalipun.
Janganlah kau bersedih akan datangnya sebuah cobaan dan jangan pula kau terlalu
menyayangi kenikmatan dunia. Semua itu adalah fana, dan keindahannya hanyalah
seperti fatamurgana, penuh dengan tipuan belaka.
Pitaloka
berpamitan kepada Ki Lurah dan Rawarontek “Disinilah tujuan perjalananku, aku
senang bisa bertemu dengan kalian, lalu kita saling mengenal. Waktu yang telah
mempertemukan kita, dan ia pula yang menghendaki kita untuk segera berpisah.
Aku akan kembali pulang dan kalian harus segera meneruskan perjalanan ke Goa
Lowo.”
Ki Lurah
juga menyampaikan rasa terimakasihnya “Kami tidak punya apa-apa untuk membalas
jasa baikmu. Hanya terlantun doa yang kami panjatkan semoga kebaikan selalu
menyertaimu Nak!”
“Kalian
telah memberikan banyak pelajaran kepadaku, itu sudah lebih dari cukup, Ki!”
“Apalagi
Rawarontek telah menyelamatkanku dari hadangan pemuda Perdikan Kampak.
Terimakasih atas pertolonganmu Pancanrontek!” Ucapan manis itu keluar dari
bibir tipis Pitaloka yang indah.
Rawarontek
juga menyampaikan sepenggal kata perpisahan untuk Pitaloka. “Kebaikanku tidak
seberapa bila dibandingkan dengan kebaikan yang telah kau tunjukkan padaku. Aku
berharap waktu berkenan untuk kembali mempertemukan kita di lain waktu.”
Pitaloka
tersenyum mendengar perkataan Pancosana, lesung pipinya yang pipit membuatnya
nampak lebih menawan.
“Aku juga
berharap seperti itu.”
Pemuda mana
yang tidak pernah terjerat oleh cinta. Mereka anak cucu adam hatinya akan
gelisah tatkala hari itu telah tiba untuk mencinta. Anak gadis mana yang
hatinya tak pernah merindu. Sudah menjadi hakikat andai malam tercipta untuk
menunggu datangnya siang. Kita hanya menunggu kapan malaikat akan menanggalkan
sayapnya pada cinta kita, hingga cinta bisa terbang ke tempat yang pantas.
6
Di Goa Lowo
Kabut putih meyelimuti pagi yang
dingin. Nampak bukit-bukit kecil di
sekeliling kabut layaknya alam di negeri dongeng. Menyaksikan bapak dan
anaknya berduyun-duyun membawa cangkul
pergi ke kebun. Sedang para istri berjalan menuruni gunung sambil
menggendong hasil panen untuk dijual dipasar. Mereka saling bergotong-royong
satu dengan yang lainnya. Tak peduli seberapa besar kesulitan hidup, pastilah
akan mereka pikul bersama. Apabila yang satu menderita maka yang lain juga ikut
merasakannya, dan apabila ada yang disakiti maka semua akan serentak untuk
melawan.
Sampailah Rawarontek dan Ki Joyogeni
pada suatu perkampungan di pegunungan selatan yang bernama Watulimo. Disanalah
terdapat goa Lowo, tempat bersemedinya Aryayuda. Setelah menaiki dan menuruni
bukit akhirya ia berhasil menemukan mulut goa yang dipenuhi kelelawar, sehigga
nampak menakutkan untuk dimasuki.
“Selama ini
hanya ada sedikit pendekar sakti saja yang berani memasuki goa ini. Yang pertama kali Lomedjo orang yang
menemukan goa ini, dia adalah pendekar yang
sangat sakti. Kemudian ada beberapa pendekar sakti di tanah jawa yang juga
pernah bersemedi di sini.”
Ki Joyogeni membisiki Rawarontek.
“Apakah Aki
salah satu dari mereka” Selidik Rawarontek.
“Ow, jelas!”
Jawab lurah dusun Karangan itu dengan nada yang mantap.
Si gendut
tua itu segera berjalan menuju mulut goa. Hentakan langkah kakinya yang berat
ternyata membangunkan kelelawar yang sedari tadi tidur bergelantungan di
bebatuan. Sebagia dari mereka berterbangan masuk kedalam goa, sedang yang lain
bergegas terbang menyerang Ki Joyogeni. Terlihat dia mengeluarkan sebilah
pedang, lalu dengan cekatan dia sabetkan pedangnya pada kelelawar yang
menghampirinya. Satu persatu kelelawar-kelelawar itu mati berjatuhan hingga tak
satu pun tersisa.
“Kau lihat
bagaimana caraku menaklukkan mereka Nak? Tirulah apa yang aku tunjukkan tadi
jika kau ingin memasuki goa ini dengan selamat” Ujarnya menggurui Rawarontek.
“Baiklah Ki,
aku akan menuruti nasihatmu.”
“Kau
berjalanlah di belakangku, biar aku hadapi kelelawar tengik itu” Pinta Ki
Joyogeni.
Dengan gagah
berani ia berjalan memasuki goa, sambil sesekali menebaskan pedangnya pada
kelelawar yang menyerangnya. Semakin masuk kedalam, dapat mereka rasakan
ruangan di dalam goa begitu sunyi dan gelap. Sungai bawah tanah yang terdapat
di dalam goa mengalirkan air yang terasa dingin dan segar. Batuan stalagmit dan stalagtit
yang lancip seakan menjadi penghias dinding goa yang menawan. Bak dua sisi mata
uang, batuan yang lancip itu juga bisa menjadi jebakan yang mematikan bagi
manusia yang ceroboh.
Mereka terus
berjalan menelusuri goa besar yang seakan tak berujung itu. Saat memasuki
ruangan goa yang besar, mereka berdua dikejutkan oleh ribuan kelelawar yang
meyerang dari atap goa. Di dalam kegelapan goa Lowo, Ki Joyogeni seperti tak
berkutik untuk dijadikan mangsa empuk bagi ribuan kelelawar yang kelaparan. Dia
berusaha melindungi dirinya dengan menebaskan-nebaskan pedangnya sembari
berjumpalitan menghindari sambaran kelelawar yang mengejarnya.
Akan
tetapi semua
usahanya itu masih belum
cukup untuk menghentikan serangan kelelawar yang semakin liar. Dia berlari
kesana-kemari sambil menjerit ketakutan, sebelum akhirnya dia jatuh pingsan.
Rawarontek pun juga dibuat kewalahan oleh serangan kelelawar yang semakin liar
itu, maka sesegera mungkin ia menyelamatkan Ki Joyogeni, lalu berlari
meninggalkan goa.
“Ki ayo
bangun!” Rawarontek berusaha membangunkan Ki lurah.
“Ampun!
Tolong aku, Tolong!” Dalam keadaan masih setengah sadar Si tua itu berteriak
ketakutan.
“Katanya
pendekar hebat, masak digigit kelelawar saja sudah pingsan. Hahaha!”
“Mereka
curang, beraninya main keroyokan. Coba kalau satu lawan satu, pastilah mereka
semua habis ditanganku.” Bela Ki lurah sambil mengatur napasnya yang masih
tersengal-sengal.
“Lagi pula
goa itu sangat gelap, mataku tak bisa melihat pergerakan kelelawar sialan itu.”
Lanjutnya.
“Sudahlah
Ki, kita akui saja kalau memang kelelawar itu sangat menakutkan”
“Itu kan
menurutmu, bagiku itu biasa saja” Ujarnya dengan gaya yang masih sok jagoan.
“Hahaha,
baiklah aku tak meragukan keberanianmu Ki. Sekarang mari kita pikirkan
bagaimana caranya agar kita bisa mengatasi kelelawar itu.”
Sejenak
mereka berpikir keras untuk menemukan strategi yang jitu guna mengatasi
serangan kelelawar yang menjaga goa tersebut. Ki Joyogeni mengumpulkan kayu
bakar dan membuat sebuah obor.
“Ide yang
bagus Ki, semoga saja mereka takut dengan api”
“Siapa dulu,
Joyogeni kok dilawan” Ucap Ki Joyogeni sambil menebahkan dadanya.
“Hahaha,
kamu memang ahli strategi Ki.”
Kali ini
mereka kembali memasuki goa dengan sikap lebih waspada dan hati-hati.
Rawarontek berjalan didepan, melindungi Ki lurah yang membawa obor. Ketika
memasuki ruangan goa, mereka kembali diserang oleh ribuan kelelawar yang
kelihatannya semakin murka dengan kedatangan mereka. Rawarontek segera
mengeluarkan pedang Cakra Buana dari
wadahnya. Ia bertarung hebat dengan ribuan kelelawar itu. Cahaya dari obor yang
dibawa Ki Joyogeni mampu menerangi ruang goa itu, sehingga dengan mudah ia bisa
membunuh beberapa diantara mereka.
Kebisingan
suara sabetan pedang Cakra Buana telah membuat kelelawar seisi goa menjadi terbangun
dan ikut menyerang Rawarontek. Kini seluruh ruangan itu dipenuhi dengan
kelelawar liar yang jumlahnya lipat sepuluh kali lebih banyak dari pada
sebelumnya. Menyaksikan jumlah kelelawar yang teramat banyak, membuat Ki
Joyogeni ketakutan setengah mati dan ia pun kembali jatuh pingsan. Obor yang ia
bawa jatuh ketanah lalu padam. Suasana kembali gelap, Rawarontek pun kembali
terdesak. Tubuhnya yang kekar kini dipenuhi dengan luka gigitan kelelawar.
Darah segar mengalir deras dari sekujur tubuhya. Tak ingin mengalami luka yang
lebih parah, maka ia putuskan untuk segera meninggalkan goa Lowo yang sungguh
mengerikan itu. Tapi sebelumya ia harus menemukan dulu Ki Joyogeni. Dalam
kegelapan ia berhasil melihat tubuh Ki Joyogeni tergeletak dicabik-cabik ribuan
kelelawar. Secepat kilat ia segara berlari untuk menyelamatkannya.
Setelah
keluar dari goa, barulah ia tahu bahwa luka yang dialami Ki lurah sungguh
parah. Hembusan napasnya terdengar lirih, dan terkadang berhenti untuk beberapa
saat. Rawarontek menggotong Ki Joyogeni ke goa Kedung biru,
yang terletak disebelah timurnya Goa Lowo. Ia mengambil air di kedung untuk membersihkan darah yang mengalir di
tubuh Ki lurah. Diambilya beberapa helai daun lamtoro disekitarnya, kemudian ia
tumbuk sampai halus dan dioleskan pada bagian tubuh Ki Joyogeni yang terluka.
Sambil menunggu Ki lurah sadarkan diri, ia melakukan semedi untuk mengamalkan
ilmu kanuragan Rawaronteknya. Maka tatkala itu juga, seluruh lukanya kembali
menutup dan tubuhnya kembali sehat seperti sediakala.
“Aku haus.”
Terdengar suara lirih dari mulut Ki lurah yang mulai tersadar.
“Walah
syukurlah Aki sudah kembali siuman, ini minum Ki.” Rawarontek meneteskan air
minum pada bibir Ki Joyogeni.
“Lapar.”
Rengeknya.
“Iya Ki, ini
masih ada sisa bekal kita, ayo Aki makan.” Dengan telaten bocah itu menyuapi
sahabatnya.
Meski dalam
keadaan setengah sadar, selera makan Si Gendut itu masih sangat tinggi. Ia
melahap habis semua makanan yang diberikan Rawarontek.
“Heeikkk..
Uenak. hehehe..” Ujarnya sambil cengar-cengir kesakitan.
Rawarontek
pun tak kuasa menahan tawa atas sikap sahabatnya yang konyol itu. Dan seketika
itu pula Ki Joyogeni ikutan tertawa terbahak-bahak tanpa mengetahui kenapa
mereka harus tertawa.
“Kau sangat
tangguh Nak. Sudah dua kali aku dibuat jatuh pingsan oleh kelelawar tengik itu,
tapi kau masih bertahan untuk menyelamatkanku. Harus aku akui kalau dirimu itu
memanglah pendekar yang hebat.”
“Hahaha..
Aku juga kagum dengan kehebatan Aki.” Timpal Rawarontek.
“Ow itu
jelas. Semua orang tahu kalau Joyogeni adalah laki-laki yang pemberani dan pantang
menyerah.. Hahaha..!”
“Ayo kita
susun strategi lagi untuk menghabisi mereka.” Lanjutnya dengan penuh semangat.
“Aki masih
belum meyerah?” Tanya bocah itu yang keheranan melihat semangat Ki Joyogeni.
“Seorang
pemenang pasti pernah mengalami banyak kekalahan, tapi haram baginya untuk
mengucapkan kata menyerah, walau cuma sekali saja.”
“Baiklah Ki,
aku mengerti. Kata-katamu sungguh sangat bijak.”
“Itu adalah
perkataan Aryayuda yang selalu disampaikan kepadaku tatkala ia masih muda
dulu.”
Mereka
berdua kembali berpikir untuk menemukan taktik yang tepat untuk memasuki goa
tersebut dengan cara yang aman.
“Kelelawar
itu takut dengan cahaya matahari.” Cetus Rawarontek.
“Betul itu,
sama seperti yang aku pikirkan.” Sahut Ki Joyogeni.
“Tapi
bagaimana caranya memindahkan matahari kedalam goa?”
“Kita tak
perlu membawa matahari kedalam goa Ki, akan tetapi cukup cahanya saja yang kita
masukkan ke dalam goa.” Jawab Rawarontek.
“Wah aku
tadi juga berpikir seperti itu, baiklah biar aku saja yang melakukannya.” Ki
lurah segera bangkit dan berusaha mengumpulkan sinar matahari. Dia pun mulai
terlihat kebingungan untuk melakukannya. Sesekali ia berlari dan berusaha
menangkap angin yang berhembus.
“Kamu ada
ide lagi untuk menangkap sinar matahari?” Tanyanya kebingungan.
“Tidak ada
Ki!”
“Lantas apa yang akan kamu lakukan untuk memasukkan
cahaya matahari ke dalam goa itu?”
“Ayo ikut
Ki!”
Mereka
menaiki bukit dan berjalan di atas goa Lowo. Rawarontek mengangkat sebuah batu
besar dan menghantamkannya pada permukaan tanah.
“Blegh.. Blegh..
Blegh.. Blegh..” Dia terus menghantamkannya pada tanah yang berada di atas goa
Lowo. Sikap bocah tampan itu membuat Ki lurah menjadi bingung.
“Apa yang
kau lakukan Nak! apa kau sudah menyerah lalu meluapkan amarahmu dengan berbuat
demikian?”
“Blugh..”
“Disinilah
tempatnya Ki!” Teriaknya riang sekali.
Pendekar
belia itu segera menyingkirkan batu besar tadi lalu menggali tanah dibawahnya
menggunakan Cakra Buana. Dengan begitu semangat ia membuat lubang yang cukup
lebar, entahlah apa yang ada dipikiraan bocah itu. Setelah cukup dalam ia
menggali tanah itu, sesaat kemudian ia terdiam. Terlihat pandangannya fokus
pada lubang dihadapannya. Dia kembali mengangkat batu besar disebalahnya,
sembari mengumpulkan tenaga sebanyak-banyaknya.
“Hoee! Apa
yang kau lakukan Nak!” Tanya Ki lurah sembari menggelengkan kepalanya.
“Lihatlah
Ki! Aku akan menciptakan sejarah. Hahaha...!”
“Hiaaat..!”
Rawarontek meloncat tinggi dan menghantamkan batu besar yang dibawanya tepat
mengenai lubang besar yang barusan dia buat.
“Duarr..!
Bruugghhh..!”
Sungguh
mustahil bocah itu berhasil membuat lubang besar yang menembus atap goa Lowo.
Batu besar yang ia hantamkan ke tanah tadi adalah sebagai alat untuk melihat
ketebalan atap goa. Setelah mendapatkan lapisan tertipis, ia gali tanahnya agar
lapisan itu semakin tipis, hingga bisa dihancurkan. Terik mataharipun berhasil
ia masukkan kedalam goa. Ribuan kelelawar berhamburan, mereka kaget dan bingung
mencari tempat yang gelap. Rawarontek pun berhasil membuat kelelawar itu kocar
kacir.
“Wuah gila..!
Kamu sungguh gila Nak..!” Ki lurah sungguh heran dengan ide gila Rawarontek.
“Woeee..!
Ada Rawarontek Si Bocah ajaib..! Hahaha..! Huuuu..!” Teriaknya kegirangan.
“Hahaha..!
Inilah satu sejarah yang telah kita ciptakan Ki. Dengan adanya cahaya yang menerangi
goa ini, kelak anak cucu kita akan bisa menikmati betapa indahnya Sang Goa
Lowo.”
“Benar
sekali ucapanmu itu Nak! Hahaha...”
“Akan ada banyak lagi sejarah yang akan kita
goreskan. Apakah Aki masih punya keberanian untuk menciptakan sejarah itu?”
Teriak Rawarontek pada sahabat karibnya.
“Iya aku
berani! Hahaha” Jawab Ki Joyogeni sambil berteriak lebih keras.
Mereka pun
bersuka cita atas keberhasilannya mengusir ribuan kelelawar yang menghuni goa
Lowo. Sungguh Tuhan tidak akan pernah
membiarkan setiap kesungguhan hambaNya menjadi sebuah kesia-siaan belaka.
Kebanyakan manusia akan menyerah tatkala kesulitan dan keterbatasan berhasil
menggagalkan upayanya, entah yang pertama atau yang keduakalinya. Mereka seakan
lupa bahwa ada Tuhan yang mampu merubah kesulitan menjadi kemudahan, dan
keterbatasan menjadi kekuatan.
Tak ingin
membuang banyak waktu, Rawarontek segera meloncat kedalam goa.
“Hoe! Apakah kau terluka Nak?” Teriak Ki Joyogeni memastikan apakah
Rawarontek masih selamat.
“Jangan
kawatir Ki, Aku baik-baik saja.” Terdengar suara Rawarontek menggema dari dalam
goa.
“Baiklah aku
akan segera meloncat menyusulmu.”
“Sebaiknya
Aki tetap tinggal diatas, biarlah aku sendiri yang akan mencari Aryayuda, lagi
pula luka Aki kan belum sembuh?”
“Hahaha..
luka seperti ini bagiku tidak ada apa-apanya.”
“Ciaat!”
Dengan
santainya ia meloncat ke dalam goa. Tubuh gendut Ki Joyogeni meluncur bebas ke
dalam goa yang ketinggiannya hampir sama dengan pohon kelapa.
“Aaargghh..!
“
“Buugh!”
Badan yang
gemuk itu terbanting ke dasaran goa, Ki Joyogeni pun kembali pingsan.
“Waduh Ki
lurah, kenapa kamu selalu memaksakan diri. Ayo bangun Ki!” Rawarontek harus
membangunkan kembali Ki joyogeni yang kembali pingsan untuk ketiga kalinya.
“Aduh sakit,
rasanya tulangku sudah patah semua.” Keluhnya saat ia mulai tersadar.
“Kenapa tadi
kamu nggak bilang kalau ternyata sedalam ini”
“Tadi aku
sudah mau bilang, tapi Ki lurah malah langsung melompat.” Bela Si Rawarontek
sambil membantu Ki lurah berdiri.
“Hoe bocah
tengik enyahlah kalian dari sini!” Bentak seorang lelaki berambut gimbal yang
duduk bersila diatas batuan besar. Suara itu mengagetkan Rawarontek dan Ki
Joyogeni yang tidak pernah menyadari jika ada orang bertapa di dekatnya.
“Maafkan
kami jika sudah mengganggu kisana bersemedi.” Ujar Rawarontek.
Tanpa
menjawab permintamaafan Rawarontek, petapa
itu langsung menyerang dengan brutal. Duel fisik antara Rawarontek
dengan Si petapa tak bisa terhindarkan. Mereka saling menerkam, mencakar,
menendang, memukul bak seekor singa yang berkelahi dengan anak macan.
Rawarontek mencakar punggung Si petapa hingga robek, lalu Si petapa membalas
dengan sebuah tinju yang menyasar ke wajah tampan Rawarontek hingga giginya
patah satu. Keduanya saling mengeluarkan keahlian ilmu kanuragannya untuk mengalahkan
lawan yang dihadapi.
“Bagaimana
mungkin kamu bisa menguasai pergerakan ilmu kanuragan Rawarontek dengan sangat
sempurna? Apakah kau ini Aryayuda?”
Seperti tak
mau mendengar pertanyaan Rawarontek, lelaki gimbal itu makin girang melancarkan
serangan kepada lawannya. Pergerakannya sangat lincah dan ia mampu membaca
serangan Rawarontek dengan baik. Lama-kelamaan Rawarontek mulai kewalahan untuk
meladeni serangan Si petapa. Pergerakannya sangat cepat, bahkan terkadang
sampai tidak terlihat oleh pandangan mata. Dan tak bisa dihindari beberapa
tinju dan tendangannya mengarah langsung ke rahang Rawarontek. Cucu Empu Tirto
pun tersungkur keatas tanah dan mulutnya mengeluarkan banyak darah.Ki Joyogeni
segera datang untuk melindungi sahabatnya yang terkapar tak berdaya.
“Dasar
keparat, kalau berani ayo hadapi Joyogeni!”
Si petapa melesat ke arah Ki lurah sembari menendang perutnya yang buncit. Hanya dengan sekali tendang saja Ki lurah
sudah tersungkur dan memuntahkan semua yang ada di dalam perutnya.
“Huekk.. huekk..”
Rawarontek
kembali bangkit dan mengeluarkan pedang Cakra Buana . Ia berlari kearah Si
petapa dan menyerangnya dengan jurus pedang Cakra Buana. Pertarungan pun
menjadi lebih menegangkan tatkala sabetan pedang Cakra Buana menyambar beberapa batuan lalu semuanya hancur
meledak. Si petapa masih terlihat menikmati pertarungannya dengan Rawarontek.
Dia berjumpalitan menghindari tebasan pedang Cakra Buana, dan kemudian berbalik
menghajar Rawarontek dengan tedangan dan tinjunya yang teramat kuat.
Tubuh rawarontek dibuat remuk oleh tendangan
dan tinju yang bertubi-tubi dari Si petapa. Keasikan menyerang ia seakan lupa
bahwa sewaktu-waktu Rawarontek bisa melakukan serangan balasan. Benar adanya,
Rawarontek melihat Si petapa tidak pernah melindungi perutnya. Dengan begitu
tangkas ia menangkis pukulan Si petapa lalu menyabetkan pedangnya. Lelaki
gimbal itu berusaha menghindar, tapi sayang gerakannya masih kurang cepat
sehingga perutnya tersayat oleh pedang Cakra Buana . Segera dia menjauh dari
Rawarontek dan berusaha memulihkan lukanya dengan ilmu kanuragan Rawarontek.
“Percuma
saja kau lakukan itu, ilmu kanuragan Rawarontek tak akan pernah mampu
menyembuhan luka sayatan pedang Cakra Buana .”
“Sudahlah
ayo kita akhiri perkelahian ini, aku yakin kaulah Aryayuda yang aku cari. Kita
memiliki guru yang sama, kenapa kita harus berkelahi saudaraku.” Rawarontek
berusaha memberi pengertian kepada Si petapa yang dia yakini sebagai Aryayuda.
Si petapa
masih saja terlihat begitu marah. Dia sama sekali tidak menggubris perkataan
Rawarontek. Pandangan matanya dipenuhi api kemurkaan, tapi juga terlihat
kosong. Atau mungkin Aryayuda sudah menjadi gila, sama seperti yang diceritakan
banyak orang. Dia kembali menyerang Rawarontek, kali ini serangannya semakin
brutal dan bringas layaknya orang yang
sedang kesurupan. Rawarontek benar-benar tidak berdaya menghadapi serangan
Aryayuda. Beberapa kali ia tersungkur ke tanah, tapi masih berusaha untuk
bangkiti lagi. Dengan sempoyongan Rawarontek masih berani berduel dengan
Aryayuda. Merekapun kembali saling adu jotos, menghabiskan seluruh tenaga yang
tersisa. Mendapatkan pukulan bertubi-tubi dari Aryayuda membuat bocah tampan
itu kewalahan. Tenaganya semakin terkuras sehingga pukulannya melemah dan
ketangkasannya pun berkurang. Aryayuda terlalu tangguh untuk dihadapi
Rawarontek. Sebagai salah satu jendral perang terbaik yang pernah dimiliki
Majapahit, Aryayuda memiliki segalanya untuk mengalahkan lawan-lawannya.
Tapi bukan
Rawarontek namanya jika harus menyerah kepada kekalahan dan keterbatasan. Meski
tak setangguh Aryayuda keberanian Rawarontek mampu membuatnya terus bertahan
meski badannya sudah remuk ditinju dan ditendang Aryayuda. Dengan tubuh yang
mulai gemetar kesakitan, dia masih berusaha menangkis pukulan Aryayuda yang
menghujani tubuhnya. Aryuda mendesak tubuh Rawarontek, sekuat tenaga ia meninju
dada sebelah kiri lawannya. Rawarontek berhasil menangkap kepalan tangan
Aryayuda, akan tetapi ia tak kuasa menahan laju tinju yang teramat kuat itu.
Hantaman keras yang menggedor dadanya membuat Rawarontek tidak mampu
lagi mempertahankan kuda-kudanya.
Rawarontek rebah ketanah, darah yang kental
menyembur dari mulut dan hidungnya. Ki Joyogeni berlari
memeluk Rawarontek, ia menangisi Rawarontek yang tubuhnya basah dibanjari
keringat dan darah.
“Sudah cukup
Nak, berhentilah bertarung melawan Aryayuda, dia bukanlah lawanmu.” Ki Joyogeni
berusaha menghentikan Rawarontek. Air matanya jatuh berderai saat melihat anak
muda di pangkuannya mengerang kesakitan.
“Seorang
pemenang pasti pernah mengalami banyak kekalahan Ki, tapi haram baginya untuk
mengucapkan kata menyerah, walau cuma sekali saja.” Ujar Rawarontek menirukan
ucapan yang pernah dikatakan Ki Joyogeni.
Mendengar
ucapan Rawarontek membuat Aryayuda tertunduk dan seakan ia mulai menemukan kesadarannya
kembali. Kata-kata itu, kata-kata yang selalu ia ucapkan disaat ia masih muda.
Kata-kata itu, kata-kata yang selalu mengangkat moral dan semangat juangnya.
Kata-kata itu, kini ia mendengarnya kembali. Kata-kata bocah itu mampu menembus
kegelapan hatinya, perasaannya mulai mengembara mengenang masa yang sudah
hilang. Mulailah kata-kata itu mengurangaikan kegilaan yang telah lama
menyumpal pikiran Aryayuda. Memorinya mulai menceritakan kembali masa kecilnya,
masa mudanya, masa kejayaannya, hingga masa dimana ia harus kehilangan istri
yang sangat ia cintai.
“Lepaskan
aku Ki, biar aku tunjukkan pada Aryayuda bahwa aku Rawarontek masih berani menghadapinya.”
Rawa rontek
berusaha bangkit lagi, namun tidak bisa. Tenaganya terkuras habis, bahkan untuk
berdiri saja dia sudah tak sanggup. Dia pun mencoba untuk merangkak, lalu
mendekati Aryayuda. Sebisanya ia berusaha menyerang Aryayuda meski pukulannya
kini sangat lemah, bahkan tak akan terasa sakit jika mengenai anak bayi
sekalipun.
Semangat
itu, Keberanian itu, ketangguhan itu, jiwa yang kesatria itu, semuanya membawa
Aryayuda terbang kembali kemasa lalunya. Jiwanya bergejolak hebat, membakar
habis seluruh kegilaannya.
“Hoooeee..!”
Teriak Aryayuda meluapkan semua emosinya.
Aryayuda
merampas pedang Cakrabuana yang masih
dipegang erat Rawarontek. Ia meletakkan ujung pedang yang lancip pada leher
Rawarontek.
“Apa kau
masih berani melawanku?” Aryayuda menantang Rawarontek.
“Aku
berani.” Jawab Rawarontek meyakinkan.
“Namun
sebelum kau menghunuskan pedang yang tajam itu keleherku, biarlah aku katakan
bahwa diluar sana banyak saudaramu yang mati karena kelaparan. Mereka digantung
pada tiang kekuasan yang dibangun wiyasa Galuh Buana . Berjanjilah kepadaku
bahwa kau akan menyelamatkan mereka.”
“Kenapa
harus aku yang melakukan?” Tanya Aryayuda sembari menurunkan pedang Cakrabuana
.
“Takdir yang
memintanya.”
“Kau
dilahirkan sebagai pendekar yang tangguh, kau dianugerahi ilmu pengetahuan,
maka takdir menyuruhmu untuk menjadi penyelamat bagi saudaramu yang tertindas.”
“Apa kau
pikir itu mudah? Kenapa tidak kau lakukan sendir?” Cetus Aryayuda.
“Aku akan
melakukannya bersamamu.” Jawab Rawarontek.
“Kau masih
terlalu ingusan untuk mengerti betapa liciknya orang yang berkuasa. Kau belum
mengerti besarnya kesengsaraan dan penderitaan yang bakal menimpamu jika berani
mengusik ketenangan mereka. Kau akan dianggap sebagai pemberontak, lalu hidupmu
terasingkan. Sudahlah, kau belum mengerti apa-apa tentang politik yang busuk.”
“Tapi aku
terlanjur mengerti segala penderitaan yang dirasakan saudaraku, dan juga
saudaramu. Maka tidak ada pilihan lagi, kita harus merobohkan tembok yang telah
menyekat kebebasan rakyat.” Ujar Rawarontek dengan suara yang lirih.
“Kau akan
hancur dengan segala angan-anganmu tentang kemerdekaan.”
“Aku hanya
akan terbang dengan sayap-sayap Tuhan meski pada akhirnya aku akan terjatuh
lalu mati.” Rawarontek mengucakapkan kalimat suci yang terukir indah pada sisi
pedang Cakrabuana yang dipegang
Aryayuda. Lalu ia merebahkan tubuhnya ke tanah.
Terlihat
aryayuda kaget dengan ucapan yang terlontar dari mulut Rawarontek. “Dari mana
kau dapatkan kalimat itu? Siapa yang mengajarimu?” Terlihat Aryayuda begitu
ingin tahu tentang kalimat yang di ucapkan Rawarontek.
“Hanya
kalimat itu yang mungkin bisa membangkitkan hayalanku tentang ayahanda dan ibundaku
yang belum pernah aku jumpai. Empu Tirto bercerita bahwa kata-kata itu terlukis
pada punggung wanita yang telah melahirkanku. Dia telah mati dan meninggalkanku
sendiri tanpa pernah memberitahu siapa ayahandaku. Apakah dia masih hidup atau
sudah mati? Apakah dia mirip denganku? Entahlah.”
“Kau anaknya
Sekar Dewi?”
“Siapa Sekar
Dewi? Apakah nama ibundaku? Kau mengenalnya? Kau pasti juga mengenal ayahandaku?
Ayo ceritakan padaku!” Tanya Rawarontek disertai harapan Aryayuda mengenal
orang tuanya.
“Kau
anakku.”
“Apa maksud
perkataanmu?” Rawarontek semakin tidak mengerti dengan ucapan Aryayuda.
Aryayuda tak
kuasa menahan gejolak batinnya, lalu ia mendekap tubuh Rawarontek yang telah ia remukkan hingga terasa detak jantungnya yang melemah. Air matanya tumpah membasahi bulu-bulu kasar yang
menutupi pipinya. Mulutnya terus memuji Keagungan Tuhan yang telah
mempertemukan mereka. “Anakku!
Aku sungguh tak menyangka kau bakal hidup Nak. Sekar Dewi itu ibundamu, wanita
yang selama ini aku cari. Terimakasih Tuhan Kau telah pertemukan aku dengan
darah dagingku. Dekaplah ayahandamu ini Nak!” Aryayuda terus mendekap puteranya, tangannya
mencengkram dengan erat tubuh anaknya, seolah ia tak mau
kehilangannya lagi.
“Kau ayahandaku?”
Rawarontek
menangis terisak-isak, ia mencium pipi ayahandanya yang terbasahi air mata.
“Wahai Romo, aku tak pernah menyangka bahwa kau benar-benar ada. Membayangkanmu
adalah hal terindah yang bisa aku lakukan. Kini Tuhan telah mempertemukan aku
dengan mimpi terindahku. Peluklah aku Romo, peluklah anakmu ini.” Tak
henti-hentinya Rawarontek menciumi pipi ayahandanya. Hatinya bahagia tak
terkira, saat ia menyadari bahwa khayalannya tentang seorang ayah kini
sudah menjadi kenyataan, bahkan telah
memeluknya dengan hangat.
Ki Joyogeni
juga tak kuasa membendung air matanya. Ia terharu melihat pertemuan anak dengan
ayahandanya, setelah mereka berusaha saling membunuh. Tuhan memilki jutaan
sekenario hidup untuk membuat hambanya mengerti akan Keagungannya. Maka
sepantasnyalah manusia selalu meyakini bahwa setiap ketentuan Tuhan pada
dirinya adalah yang terbaik dan harus selalu disyukuri.
“Hai singa yang
kesepian kemarilah. Masih ingatkah kau dengan diriku?” Ki Lurah memanggil Aryayuda yang sudah kembali dari kegilaannya.
Aryayuda memandangi lelaki gendut di hadapannya. “Kau seperti paman Joyogeni. Apa benar kau ini paman Joyogeni?”
“Katakan padaku siapa
lagi manusia di Wengkerkidul ini yang memilki wajah seganteng Joyogeni?”
“Hahaha.. Sekarang aku yakin kau ini
paman Joyogeni, bukan karena ketampananmu melainkan dari gayamu yang selalu
merasa paling ganteng, padahal tidak.”
Mendengar ucapan Aryuda semuanya
tertawa. Ki Joyogeni merangkul
Aryuda yang penampilannya sungguh berantakan. “Kenapa kau menjadi seperti ini.
Dimana hilangnya ketampanan yang dulu selalu di kagumi gadis-gadis Wengkerkidul.
Ayo ikut aku kesungai, biar aku mandikan tubuhmu yang usang ini bersama kerbau
milik petani Watulimo.”
Waktu memang sangat berkuasa dalam
kehidupan ini. Bahkan ia juga mampu merenggut ketampanan lahiriyah seseorang.
Semasa mudanya Aryayuda selalu mengikuti setiap peperangan Majapahit, hingga
tubuhnya kini dipenuhi dengan bekas luka sayatan pedang. Namun itu semua justru
semakin memperlihatkan keberanian dan kewibaannya. Bekas luka-luka itu adalah
lencana penghormatan sekaligus sebagai tanda kebanggaan atas kepahlawanannya
selama menjadi panglima perang pasukan Majapahit.
7
Melukis Sejarah dengan
Darah
Kamulan 1279 Saka. Wiyasa Galuh Buana mengirimkan seribu pasukannya untuk menangkap
Ranggadayu yang dianggap sebagai pemberontak. Ranggadayu merupakan lurah dusun
Kamulan yang masih
keturunan dari Kusuma Wicitra, pendekar sakti yang mendirikan dusun Kamulan. Dengan jiwa berani ia selalu
menentang kebijakan wiyasa Galuh Buana terkait besaran pajak yang dianggapnya telah menyimpang dari kebijakan
yang di buat prabu Hayam wuruk. Bersama rakyatnya yang pemberani mereka gigih
mempertahankan kehormatan Kamulan. Segala bentuk ancaman dan provokasi yang
dilancarkan wiyasa Galuh Buana tak kuasa
untuk menggoyahkan jiwa patriot mereka.
Puncak
kemurkaan wiyasa Galuh Buana terhadap Kamulan terlihat tatkala Ranggadayu
melaporkan penyelewengan yang dilakukannya kepada Bhre Wengker Wijaya Rajasa.
Wiyasa Galuh Buana menganggap sikap yang diperlihatkan Ranggadayu sebagai sebuah penghianatan dan pemberontakan
terhadap dirinya. Dia pun berusaha menangkap Ranggadayu untuk diadili atas perbuatan
yang dianggap menentangnya. Akan tetapi rakyat Kamulan selalu melindungi
Ranggadayu, hingga akhirnya Galuh Buana sangat murka dan menyatakan perang
dengan dusun Kamulan.
“Hai para
prajurit terbaik Wengkerkidul, kalian telah melihat dan mendengar pembelotan
yang dilakukan Ranggadayu kepadaku. Dia menentang kebijakan yang telah aku
buat, dan mengajak warganya untuk memusuhiku. Maka demi menjaga keamanan dan
keutuhan Wengkerkidul, aku perintahkan kalian untuk menyerang Kamulan dan
menangkap Ranggadayu. Barang siapa yang berhasil membawa Ranggadayu kehadapanku
baik dalam keadaan hidup maupun mati, maka akan aku hadiahi seratus ekor sapi
dan berhak menjadi lurah di Kamulan.” Demikian wiyasa Galuh Buana memberikan
ultimatum kepada pasukannya.
Tak kurang
dari seribu pasukan wiyasa Galuh Buana bergerak menuju Kamulan dibawah komando
Bajul Ireng. Bajul Ireng sendiri merupakan prajurit terbaik yang selalu menjadi andalan wiyasa Galuh Buana .
Dia prajurit bayaran yang sangat doyan mengahambur-hamburkan uang dan bermain dengan wanita cantik. Tidak
peduli benar atau salah baginya perintah yang diberikan wiyasa Galuh Buana haruslah
ditaati oleh semua warga Wengkerkidul. Maka tak ubahnya dia seperti kerbau yang
dicongok hidungnya oleh Sang majikan, benar-benar manusia hina.
v
“Pasukan
wiyasa Galuh Buana telah bergerak menuju Kamulan untuk menangkapku. Biarlah aku
menyerahkan diri agar peperangan bisa dihindari. Aku hanya ingin kalian semua
hidup dengan sejahtera tanpa adanya penindasan dan tekanan dari wiyasa Galuh Buana.”
Seru Ranggadayu kepada warganya.
“Kami akan selalu hidup dengan tenang
jika kau ada disini saudaraku. Kau selalu mempertaruhkan hidupmu untuk melayani
wargamu. Maka tidak ada alasan bagi kami untuk meninggalkanmu meski pada
akhirnya kita akan mati bersama.” Ujar salah seorang warga yang rela mati untuk
melindungi Ranggadayu.
“Lihatlah
batu itu saudaraku!”
Teriak warga
yang lain sambil menunjuk sebuah prasasti yang dianugerahkan Raja Kertajaya
kepada nenek moyang warga Kamulan atas bantuan mereka menyelamatkan kerajaan
Kadiri dari pemberontakan. “Leluhur kita
telah mengajarkan tentang keberanian dan persatuan, kita tidak akan mewariskan
sejarah yang memakukan untuk anak cucu
kita kelak dengan tidak tunduk terhadap
kesewenang-wenangan wiyasa Galuh Buana. Dia tidak lagi memperhatikan rakyatnya,
menetapkan kebijakan yang mencekik rakyatnya, dan memanfaatkan kekuasaan hanya
untuk menumpuk harta.”
“Kita tidak
takut dengan tajamnya pedang pasukan wiyasa Galuh Buana , justru yang harus
kita takuti adalah rasa takut itu sendiri. Rasa takut akan menghilangkan
kecerdasan dan keikhlasan kita dalam memperjuangkan kebenaran. Jaka Sumilir dan
Gimbangkara memberi nama dusun ini Kamulan, karena mereka yakin rakyatnya kelak
akan menjaga kemulyaan tanah ini sampai titik darah penghabisan.” Seorang kakek berusaha menasehati warga Kamulan.
“Kita harus
melawan!” Teriak seluruh warga.
“Karena
keberanian kalianlah aku masih bisa bernapas sampai hari ini. Awalnya aku takut
jika peperangan ini akan menghancurkan kita, tetapi keyakinan akan kebenaran
telah mengalahkan segala ketakutan itu.”
“Hai seluruh
warga Kamulan, kita semua adalah satu dan satu untuk semua. Aku akan memimpin
kalian untuk merobohkan kebijakan Galuh Buana yang
telah membelenggu kebebesan kita. Lebih baik mati dari pada hidup dalam
penindasan.” Semangat berapi-api yang ditunjukkan Ranggadayu mampu membakar
mental warga Kamulan.
Mereka
segera mempersiapkan diri untuk melawan pasukan Galuh Buana . Sebagian dari
mereka membuat bambu runcing, mengasah golok, membuat panah, dan sebagian yang
lain memantau kedatangan pasukan Galuh Buana dari atas gunung. Sedang para
tetua dan Ranggadayu merumuskan strategi perang yang akan mereka terapkan.
Ranggadayu mengumpulkan seluruh warganya dengan di
saksikan batu prasasti Kamulan. Dia memberikan pengarahan mengenai strategi
perang yang telah ia rumuskan.
“Kalian
tidak perlu resah dengan peperangan ini, karena aku yakin kita akan
memenangkannya. Galilah lubang yang dalam dibelakang rumahmu untuk menyimpan
harta benda yang berharga. Lalu galilah pula lubang persis di depan pintu rumah
kalian. Dibawahnya pasanglah bambu runcing yang telah diolesi racun ular, lalu ditutuplah lubang dengan tanah agar
pasukan Galuh Buana terjebak didalamnya. Bawalah istri dan anak
kalian yang masih kecil kedalam hutan agar mereka selamat. Bagi kalian yang
tidak sanggup berperang jagalah anak istri kalian dengan baik.”
“Kita akan
pasang sebanyak mungkin jebakan disepanjang jalan menuju Kamulan untuk
menjatuhkan mental mereka. Sebarkanlah duri yang beracun disepanjang jalan,
serta buatlah parit yang dalam untuk menghentikan pasukan berkuda mereka.
Jumlah laki-laki di Kamulan tak lebih dari dua ratus orang, sedang musuh yang
kita hadapi berjumlah hampir lima ratus orang dengan persenjataan yang lengkap.
Maka terlalu beresiko jika kita meladeni mereka dengan perang terbuka. Kita
akan membuat mereka menunggu sampai malam tiba. Di kegelapan malam kita akan
menghujani mereka dengan panah, lalu kita hantam mereka dengan penuh
keberanian. Aku
perintahkan diantara kalian untuk pergi ke gunung Watu Blandong guna mengawasi
pergerakan pasukan Wiyasa Galuh Buana .”
“Masa depan
adalah milik mereka yang percaya pada keindahan mimpi-mimpi mereka. Ingatlah
saudaraku keberanian itu punya kuasa, keajaiban serta kejeniusan didalamnya.
Andaikan kita mati dalam peperangan ini, yakinilah bahwa kita akan menemui
kehidupan yang jauh lebih mulia”. Tutup Ranggadayu.
v
Menjelang
sore pasukan yang dipimpin Bajul ireng sudah tiba di gerbang Kamulan. Mereka terdiam dan kebingungan karena tak
menjumpai satu orang pun yang akan melawan mereka, bahkan hewan ternak rakyat
Kamulan sekalipun menghilang bersama majikannya. Beberapa dari mereka mulai
berjatuhan karena menginjak duri yang beracun. Hal ini membuat mereka panik,
sehingga Bajul Ireng menginstruksikan pasukan berkudanya untuk memeriksa
terlebih dahulu kondisi dusun Kamulan. Sepuluh pasukan berkuda melesat saling
berpacu sambil sesekali mengintai jikalau ada musuh yang bersembunyi. Sungguh
sial bagi mereka saat kuda yang mereka pacu terjerungup dalam parit yang
sengaja ditutupi dedaunan. Tubuh mereka terjungkal dalam lubang yang dipenuhi
bambu runcing, hingga sebagian dari
mereka mati tertusuk bambu runcing sedang yang lain mengalami luka tusuk yang
sangat parah.
Bajul Ireng
sangat murka melihat pasukan berkudanya tumbang dalam jebakan parit yang dibuat
warga Kamulan. Dia pun langsung menyerbu rumah warga dengan maksud untuk
menjarah barang berharga yang ditinggalkan. Ketika hendak memasuki rumah,
kembali pasukan Bajul Ireng masuk dalam perangkap yang telah dipasang warga
Kamulan. Tak kurang dari dua puluh pasukannya masuk dalam lubang yang terdapat
didepan pintu yang telah dipasang bambu runcing beracun. Dan tak satupun barang berharga yang
mereka jumpai, karena seluruh rumah sudah dikosongkan.
Sore itu
Kamulan terasa mencekam bagi pasukan bajul Ireng. Mental mereka jatuh tatkala
mereka mulai menyadari bahwa warga Kamulan telah mempersiapkan sambutan dengan
jebakan yang mematikan. Mereka hanya
bisa menunggu kejutan apalagi yang bakal mereka hadapi. Beberapa dari mereka
ada yang ingin keluar dari pasukan, tapi Bajul Ireng segera melarang mereka.
“Barang
siapa yang ingin keluar dari pasukan, maka ia akan meninggalkan pasukan ini
tanpa membawa kepalanya.”
Karena takut
dengan ancaman Bajul Ireng, tak satupun dari mereka yang berani keluar dari
pasukan. Pasukan Bajul Ireng masih berjaga untuk menanti kedatangan warga
Kamulan. Di saat malam tiba, mereka mulai membuat api unggun sebagai
penerangan. Bajul ireng membagi pasukannya menjadi tiga kelompok, kelompok
pertama bertugas mencari keberadaan warga kamulan, kelompok yang kedua berjaga
ditempat. sedang kelompok ketiga yang terdiri dari lima belas pasukan
berkuda ditugasi kembali ke kota untuk
memberitahukan kondisi yang sedang terjadi kala itu.
Ratusan anak
panah menghujani tubuh pasukan berkuda yang hendak melapor ke wiyasa Galuh
Buana, lalu mengantarkan mereka pada kematian. Bajul Ireng yang mendengar
jeritan pasukan berkuda segera mengutus pasukan kelompok pertama untuk mengejar
warga kamulan yang telah memenah pasukan berkudanya. Tak kurang dari tiga ratus
pasukan berlarian menyebar kesegala penjuru dusun Kamulan. Sekali lagi mereka tidak
berhasil menemukan warga Kamulan yang lenyap ditelan kegelapan malam. Bajul
Ireng memerintahkan pasukannya untuk membakar seluruh rumah dan pepohonan yang
terdapat di dusun Kamulan. Ternyata ia sengaja ingin memancing keluar warga
Kamulan. Belum sempat mereka menyalakan api, ratusan anak panah kembali
menghujani pasukan kelompok kedua yang bertugas menjaga Bajul Ireng. Jumlah
pasukan kelompok kedua yang mati terkena panah hampir mencapai tiga puluh
orang, dan Bajul Ireng sendiri juga terkena anak panah. Pasukan Bajul Ireng
mulai kalang kabut untuk menyelamatkan dirinya masing-masing.
Dua ratus
pemuda Kamulan berlari kencang seakan membentuk dua sayap. Dalam kegelapan malam mereka menerkam pasukan Bajul Ireng. Perang pun
tumpah, anak panah berterbangan kelangit menghiasi malam yang terlanjur kelam. Pasukan Bajul Ireng yang tidak siap dengan
serangan pemuda Kamulan terlihat kewalahan. Sayap kanan pasukan kamulan menyerbu pasukan Bajul Ireng dengan melempari tombak dan
menghabisi mereka dengan serengan yag bertubi-tubi. Sedang pasukan sayap kiri
terus berlari membentuk lingkaran untuk mengepung pasukan Bajul Ireng yang berusaha melarikan diri. Suara gesekan pedang serta jeritan pasukan
yang kesakitan membuat suasana menjadi mencekam. Pasukan Bajul Ireng yang
sedari tadi mentalnya sudah jatuh, dapat dengan mudah ditaklukkan pemuda
Kamulan. Ranggadayu memimpin warganya untuk terus mendesak pasukan Bajul ireng
sampai mereka menyerah.
“Wahai
saudaraku tetaplah teguh dihadapan pedang lawan-lawanmu. Perangilah mereka
dengan bara api semangatmu. Kita pemuda Kamulan seperti singa yang kelaparan,
maka mangsalah setiap lawan yang berani mendekat.”
Bajul Ireng
yang melihat Ranggadayu berperang tanpa pengawalan yang cukup, segera mengambil
anak panah yang sudah dilumuri dengan racun. Ia menggelakkan kudanya mendekat
ke arah ranggadayu , lalu dengan jitu dia lepaskan anak panah itu hingga
melesat mengenai perut lurah Kamulan tersebut. Secepat kilat ia menyambar tubuh
Ranggadayu yang terkapar diatas tanah, dan membawanya pergi menghilang di kegelapan malam.
Pemuda
kamulan yang mengetahui Ranggadayu diculik oleh Bajul Ireng segera berlari
mengejar. Tapi usaha mereka tak membuahkan hasil, kuda yang ditunggangi Bajul
ireng terlampau gesit untuk mereka kejar. Warga yang marah dengan ulah Bajul
Ireng menumpahkan kekesalan mereka kepada pasukan yang masih bertahan. Sekitar
seratus pasukan Bajul Ireng mati terbunuh di medan perang. Ada seratus pasukan
yang berhasil ditangkap dan dijadikan tawanan perang, sedang yang lainnya
berhasil melarikan diri.
“Perang
sudah berakhir, kita menang!” Teriak seorang pemuda membekukan suara bising
pedang yang beradu.
“Kita
kehilangan Ranggadayu” Teriak pemuda yang tidak berhasil mengejar Bajul Ireng.
“Tangkap
seluruh pasukan Bajul Ireng yang tersisa!”
“Bunuh saja
mereka.”
“Jangan!
Kita bisa memanfaatkan mereka untuk ditukar dengan Ranggadayu.”
v
Fajar
merekah kemerahan di ufuk timur. Mengusir paksa kegelapan malam lalu menyambut
hangat datangnya siang. Cahaya mentari
pagi menelanjangi seluruh dusun Kamulan yang hancur berantakan diterpa amuk
perang. Tanahnya yang kecoklatan kini memerah, basah dan amis berbau darah.
Mayat bergelempangan, manusia seperti tak berharga dimata sang pemuja
kekuasaan. Kupu-kupu pun enggan datang, untuk menghimbur kawula yang sakit
jiwanya. Biarlah batu prasasti itu saja yang mau menjadi saksi bahwa sang
penindas telah tumbang di tangan pemuda Kamulan.
“Panggillah
istri dan anak kalian yang bersembunyi di hutan. Kabarkan kepada mereka bahwa
kita telah menaklukkan pasukan yang dikirim wiyasa Galuh Buana . Lalu bawalah
mereka pulang dengan meninggalkan ketakutan yang tersisa. “ Ujar tetua dusun
kepada pemuda Kamulan.
Sambil
menarik napas yang dalam ia melanjutkan perkataannya. “Kuburlah dengan
baik semua mayat yang ada di hadapan
kalian. Biar Tuhan yang menentukan apakah mereka mati dalam kebaikan atau
mereka termasuk orang yang celaka. Perang belumlah usai, kalian akan menghadapi
perang yang jauh lebih dahsyat dari pada ini. Dan musuh yang akan kalian hadapi
adalah diri kalian sendiri.”
“Aku
perintahkan kepadamu hai Seno untuk menghadap Galuh Buana , katakan padanya
bahwa kami akan melepaskan pasukannya apabila ia mau menyerahkan Ranggadayu
kepada warga Kamulan.” Tetua dusun itu mengutus salah seorang pemuda Kamulan
untuk melakukan negosiasi dengan wiyasa Galuh Buana .
Pemuda itu
segera pergi dengan menunggangi kuda hasil rampasan perang. Seluruh warga bergotong royong untuk mengubur
pasukan wiyasa Galuh Buana, lalu menata kembali dusunnya. Mereka juga mencari
pakan untuk ternak mereka yang kelaparan. Para tahanan dikumpulkan di balai dusun,
sembari berharap wiyasa Galuh Buana mau melepaskan Raggadayu. Beberapa pemuda
yang ikut perang memunguti harta rampasan perang, terutama pedang dan rompi
besi yang bisa mereka manfaatkan dikemudian hari.
Asap
mengepul membawa aroma khas ayam bakar yang nikmat. Api menyala-nyala membakar
dandang buat menanak nasi. Pisau yang tajam menyayat daging yang empuk. Anak
kecilpun bernyanyi riang membawa pisang dan buah kedondong. Pagi itu semua
wanita Kamulan sibuk membuat hidangan ternikmat untuk merayakan kemenangan.
Suara berisik keluar dari mulut yang tertawa. Sungguh indah membayangkan hari
esok yang penuh kebebasan.
Puluhan daun
pisang dibeber memanjang di depan balai dusun. Nasi yang hangat, ayam bakar,
dan buah-buahan tumpah ruah diatasnya. Mereka seakan menggoda perut yang lapar
untuk segera mendekat, lalu menyantapnya. Seluruh warga berkumpul
mengelilinginya, menatapnya, dan bersiap untuk berpesta.
“Kita tidak
akan menyentuh makanan ini sebelum Ranggadayu tiba.” Ujar seorang kakek
mengingatkan anak cucunya agar tidak terlarut dalam kemenangan, dan melupakan
Raggadayu.
Seluruh
warga pun terdiam, duduk terpaku sambil menunggu kedatangan Seno yang ditugaskan
menjemput Ranggadayu. Keadaan menjadi hening tatkala orang yang dinanti tak
kunjung tiba. Para tahanan menjadi was-was takut kalau ternyata Ranggadayu tak
akan kembali, maka habislah riwayat mereka. Lama sekali mereka menunggu
Ranggadyu, sampai seluruh hidangan menjadi dingin, sedingin suasana saat itu.
“Prokk..
Prokk.. Prokk.. Hiiieehhh!”
Terdengar
suara hentakan kaki kuda yang berlari kencang mendekat ke arah mereka. Seluruh
warga berdiri, bersiap menyambut kedatangan pahlawan mereka. Suara itu semakin
mendekat, kebahagian pun siap meledak. Dari kejauhan Seno mulai terlihat
menunggang kuda dengan gesit. Semua mata terbelalak saat mengetahui Seno datang
tanpa Ranggadayu. Ia hanya menggendong buntelan yang dibungkus karung goni.
Seketika suasana berubah menjadi mencekam tatkala Seno jatuh dari kuda sambil
menjerit, menangis dan meronta-ronta di atas tanah. Seluruh warga berlari
mengerubungi pemuda itu, dan berusaha menenangkan.
“Seno apa
yang terjadi? Dimana Ranggadayu? Kenapa kau tidak mengajaknya kembali? Apa yang
terjadi dengannya?” Pertanyaan-pertanyaan itu keluar dari setiap mulut yang
berbicara. Alih-alih menjawab pertanyaan yang terlontar, Seno malah tergeletak
tak sadarkan diri. Sontak semua orang menjadi bingung, sebagian dari mereka ada
yang berusaha untuk mencoba menerka apa
yang sedang terjadi dengan Ranggadayu. Tapi tak satupun jawaban dari mereka
memuaskan rasa penasaran yang bergelayutan di pikiran warga Kamulan.
Akhirnya
salah seorang tetua memberanikan diri untuk membuka buntelan yang dibawa Seno.
Semua orang menjerit histeris ketika yang keluar dari dalam karung goni yang
dibawa Seno merupakan kepala Ranggadayu. Angin kedukaan berhembus, menerpa
Kamulan yang sunyi. Hati mereka hancur, menerima kesedihan yang teramat dalam.
Ranggadayu kembali pulang ke kamulan tanpa nyawa. Pemimpin yang selalu
memperjuangkan hak dan kepentingan rakyatnya itu telah pergi meninggalkan
Kamulan yang dicintainya. Keberaniannya melawan wiyasa Galuh Buana harus
dibayar mahal dengan kematian. Itu adalah jalan yang telah ia pilih, lebih baik
mati dari pada hidup dalam penindasan.
“Galuh Buana
biadab!”
“Galuh Buana
mata
hatinya telah buta.”
“Pemimpin
laknat! Aku berjanji akan memenggal kepalanya.”
“Penguasa
yang serakah.”
“Kita harus
membunuh Galuh Buana .”
Sumpah
serapah, caci makian, keluar dari mulut mereka yang marah. Tangisan wanita dan
anak-anak mengiringi amarah yang berkecamuk pada jiwa pemuda Kamulan. Mereka
semua murka kepada Galuh Buana yang serakah, tamak, kejam dan licik seperti
iblis.
Seluruh
tawanan juga ikut mengutuk Galuh Buana yang tega menghianati pengabdian mereka
selama ini, “Habislah riwayat kita hari ini, mereka pasti akan memenggal kepala
kita. Galuh Buana benar-benar manusia biadab. Dia sama sekali tidak peduli
dengan nasib kita yang rela mempertaruhkan nyawa untuk membela kepentingannya.”
“Kita bunuh
semua pasukan Galuh Buana !” Teriak salah seorang pemuda dengan nada emosi
sembari menunjuk kearah para tawanan perang.
Semua orang
bergegas mengambil pedang, golok, dan kayu untuk menghabisi nyawa pasukan Galuh
Buana yang berhasil mereka tawan. Melihat warga yang akan membantainya, seluruh
tawanan perang hanya pasrah terdiam menanti ajal menjemput nyawa mereka. Ada
pula sedikit dari mereka yang menjerit ketakutan, karena tak sanggup melihat tajamnya pedang yang akan menghunus tubuh
mereka. Anak-anak dan wanita berlarian masuk kedalam rumah.
“Jangan
lakukan itu saudaraku!” Teriak tetua dusun melarang pemuda Kamulan membunuh
tawanan perang.
“Bukan itu
yang diinginkan Ranggadayu. Kita berperang untuk mendapatkan kedamaian bukan
untuk saling membunuh. Kalian akan menjadi hina jika membunuh musuh yang sudah
tidak berdaya. Kalian telah mengalahkan pasukan yang kuat, dan sekaranglah
saatnya bagi kalian untuk memerangi diri
kalian sendiri. Jangan biarkan nafsu dan amarah membutakan mata hatimu.”
“Jika mereka
kita biarkan hidup maka mereka akan menyerang kita. Bukankah itu justru akan
membahayakan kehidupan kita?” Salah seorang warga tidak sependapat dengan tetua
dusun.
“Apakah yang
kau ucakapkan itu benar-benar akan terjadi? Belum ada yang tau, jauhkan dirimu dari
sangka-sangka, karena sangka-sangka itu sedusta-dusta berita. Kita harus berprasangka baik pada setiap
orang, bahkan kepada musuh sekalipun.”
“Hai saudaraku
janganlah kalian larut dalam duka. Apa yang telah ditentukan itu yang akan
terjadi. Engkau dan seluruh makhluk hanyalah hamba belaka. Tentramkanlah
hatimu, basuhlah duka yang kalian rasakan dengan keikhlasan.”
Dengan hati
yang menyimpan seribu hikmah dan bibir yang lebih bersuara pada jiwa, lelaki
tua itu kembali bertutur kata “Kemarahan akan menciptakan kekacuan dan bahkan
penderitaan yang lebih besar ketimbang semestinya, sementara pengendalian diri
adalah aksi yang berbeda tapi berkuasa. Menaklukkan diri sendiri adalah
kemenangan yang paling akbar.”
Air mata
terlanjur mengalir, dan hatipun telah berduka, namun pikiran pemuda Kamulan masih
mampu memahami nasihat yang bijak dari tetua mereka. Kata-kata yang terlantun
merayap pada tali kehidupan lalu mengilhami jiwa yang tengah gundah. Seno yang
sedari tadi pingsan kini mulai sadarkan diri. Ia mulai merangkak, lalu bangkit
dan berdiri tegak.
“Ada sesuatu
yang disampaikan Ranggadayu kepadaku sebelum hukuman pancung itu dilaksanakan.”
Ujar seno kepada kawan-kawannya.
Semua
pandangan tertuju pada pemuda yang berkulit hitam itu “Apa yang dikatakan
Ranggadayu?” Tanya semua warga penasaran.
Ia menarik napasnya
sangat dalam, menatap orang-orang disekelilingnya, ia melantangkan suaranya dan
mulai menyampaikan perkataan Ranggadayu “Bagiku kemenangan bukanlah segalanya,
namun upaya untuk mencapai kemenangan adalah segalanya. Kematianku hanyalah
suatu perjalanan, memenuhi panggilan kekasih yang merindu. Burung-burung akan
berpesta menyambutku, dan berbahagialah hidupku disana.” Seno menangis tak
kuasa membendung kesedihannya.
Kata-kata
yang terlontar dari mulut Seno itu melegakan hati dan menentramkan pikiran
warga Kamulan. Tak perlu lagi bertanya pada langit kapan hujan akan turun,
apabila mendung tebal telah menggantung dipelupuk mata. Mereka bergegas membebaskan
seluruh tawanan yang terikat di depan balai dusun. Para tetua dan pemuda
Kamulan yang gagah perkasa membiarkan para tawanan untuk kembali kepada anak
istri mereka.
“Kalian
telah bebas, lakukanlah apa saja yang kalian kehendaki. Wiyasa Galuh Buana
telah memenggal kepala Ranggadayu, dan tidak ada lagi alasan bagi kami untuk
tetap menahan kalian, karena itu tidak akan membawa faedah bagi kami.”
Ketika
mendengar ucapan tetua Kamulan, beberapa tawanan menitikkan air mata
penyesalan. Sejenak mereka semua hanya terdiam dalam lamunan tentang dosa-dosa
yang telah mereka kerjakan. Sampai salah satu dari mereka maju mendekati pemuda
Kamulan, kemudian duduk bersimpuh sambil berkata “Kami datang ke sini untuk
memerangi dan menaklukkan kalian. Kami telah menghancurkan dan membakar rumah
yang kalian bangun. Kalian mengalahkan kami, lalu menjadkan sebagian dari kami
sebagai tawanan. Wiyasa Galuh Buana
telah membunuh orang yang mencintai kalian, dan kalian cintai. Tak hanya itu
wiyasa Galuh Buana juga telah menghianati pengorbanan yang kami berikan. Kalian
terlalu berbaik hati dengan melepaskan kami. Kami tak akan pernah melupakan
segala kebaikan yang kalian berikan kepada kami.”
“Ranggadayu
merupakan pemimpin yang jauh lebih baik dari pada pemimpin yang kami taati.
Ranggadayu mampu membesarkan semangat dan harapan-harapan kepada kalian. Mulai
hari ini kami tidak lagi sebagai prajurit wiyasa Galuh Buana , tapi kami akan
menjadi prajurit Wengkerkidul yang akan mempersembahkan jiwa dan raga kami
untuk rakyat Wengkerkidul.”
Cahaya
mentari di sore hari
menghangatkan tubuh warga Kamulan yang basah oleh derasnya air mata, dan
kesunyian bergetar dengan semilir angin. Langit yang luas tersenyum pada nurani
rakyat Kamulan yang agung. Dan dalam
diamnya, langit melihat bayangan masa depan yang cerah pada batu prasasti yang
diukuir raja Kertajaya. Sejarah kembali tercipta dan akan kembali terukir oleh
anak cucu mereka.
Jenazah
Ranggadayu dimakamkan disebalah batu prasasti Kamulan untuk mengenang
keberaniannya dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Kamulan telah
kehilangan satu kesatria yang gagah berani, namun mereka akan mendapatkan
seribu kesatria baru pada jiwa pemuda-pemudinya.
Kemenangan
warga Kamulan atas pasukan yang dipimpin Bajul Ireng, tak lantas membuat wiyasa
Galuh Buana mengubah kebijakannya. Dia menghimpun pasukan
yang lebih banyak, serta membuat laporan palsu kepada Majapahit tentang
pemberontakan yang dilakukan warga Kamulan. Pihak Majapahit dimintai bantuan
untuk mengirimkan seribu pasukan ke Wengkerkidul dan bergabung dengan pasukan Galuh Buana . Batu ujian yang
lebih besar siap datang untuk menguji keberanian laskar Kamulan.
8
Bertemunya
Kebaikan dengan Kebaikan
T
|
idak ada yang bisa merampas harga diri
seseorang apabila ia tidak memberikannya. Pertempuran dapat dimenangkan dengan
cara menjalankan prinsip-prinsip yang sungguh-sungguh kita yakini. Sayang
seribu sayang banyak manusia yang rela menukar prinsip hidupnya dengan setumpuk
uang atau dengan jabatan dan wanita. Padahal manusia dan hewan dapat dibedakan
karena akal pikirannya yang terakumulasi dalam suatu wadah yang bernama
idelogi. Apabila ada manusia yang berjalan tanpa membawa ideologinya, maka tak
ubahnya ia seperti seekor hewan.
“Anakmu ini
adalah satu-satunya anak kecil yang berani memukuli lurah.” Ujar Ki lurah kepada Aryuda sembari mengingat
pertemuan pertamanya dengan Rawarontek.
“Dia persis
seperti masa kecilmu tampan, cerdas, bersamangat, kuat dan pemberani, tapi
sayang dia takut dengan gadis cantik.”
“Hahaha!”
Aryayuda
tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Ki Joyogeni. Rawarontek hanya bisa
menahan malu, terlihat dari wajahnya yang selalu nampak kemerahan.
Sembari
merangkul anaknya Aryayuda berkata. “Dahulu paman Joyogeni ini sangat pandai
menyusun kata-kata menjadi syair yang indah. Setiap wanita pasti akan tergoda
dengan keindahan syairnya.”
“Hahaha
benar sekali itu. Aku adalah penyair terhebat di tanah Wengkerkidul.” Lelaki
tua itu merasa bangga sekali dengan masa lalunya yang diceritakan Aryayuda.
Sambil menahan tawa, Aryayuda melanjutkan perkataannya. “Tapi
sayang tidak ada wanita yang tergoda dengan dirinya. Mereka hanya tertarik
dengan syair yang dilantukan, tapi tidak tertarik dengan yang melantunkan
syair.”
Rawarontek
tertawa sambil guling-guling mendengar cerita ayahandanya. Ki Joyogeni berusaha
membela diri “Ah itu tidak benar sama sekali, buktinya aku dapat menikahi
delapan wanita cantik.”
“Tapi janda
semua kan?”
“Ya, meski
janda yang penting kan cantik.”
Mereka
kembali tertawa mendengar jawaban Ki lurah yang memilki istri paling banyak di
tanah Wengkerkidul ini, mungkin ia hanya kalah dengan seorang raja yang
memiliki banyak selir.
“Rawarontek
sekaranglah waktunya kau ceritakan tujuanmu mencari Aryayuda.” Ujar Ki Joyogeni
mengalihkan pembicaraan.
Belum sempat
Rawarontek berkata, Aryauda sudah mendahuluinya “Aku tahu tujuan kalian kemari.
Belum saatnya, kau masih perlu banyak belajar Nak.” Jelasnya, seakan ia tahu
dengan pasti apa yang ada dipikiran anaknya.
“Apa yang
harus aku pelajari Romo?”
“Belajarlah
mengalahkan dirimu sendiri, sebelum kau mau mengalahkan orang lain.”
“Kau akan
mengajariku?”
Aryayuda
memandangi wajah anaknya yang selalu kehauasan akan ilmu, “Waktu dan tekatmulah
yang akan menuntunmu. Jangan lihat keluar, lihatlah dalam dirimu sendiri dan
cari itu. ” ia arahkan jari telunjuknya ke dada Rawarontek.
“Baiklah
Romo, aku akan menuruti nasihatmu.”
“Belajar itu
adalah penemuan bahwa segala sesuatu itu mungkin.” Ki joyogeni juga ikut
nimbrung menasehati Rawarontek.
v
Mentari mengintip dari balik gunung Spikul lalu ia menyapa mesra malaikat yang sedari tadi
menyaksikan anak adam berdiskusi tentang ilmu. Cahayanya
menyinari pantai, bukit, sawah, lembah dan semua keindahan yang dimiliki Watulimo. Mereka pun pergi meninggalkan goa Lowo untuk
kembali berkelana mencari apa saja yang
dapat ditemukan, dan membela siapa saja yang pantas dibela. Harumnya bunga
melati yang diterpa angin tercium saat mereka melintasi kebun di lereng gunung
Spikul. Aryayuda memanjat penuh semangat, mendaki terjalnya gunung Spikul, lalu
disusul Ki
Joyogeni dan Rawantok. Setelah sampai dipuncak, maka terlihat betapa indahnya
alam nan hijau yang terbentang luas dengan gunung-gunung kokoh yang menjaganya.
Sejuk dan nyaman, dari puncak inilah manusia bisa mengerti bahwa Wengkerkidul
sangatlah menawan bagi setiap mata yang melihat.
Takdir
seakan menuntun mereka pada tanah yang tepat untuk diinjak. Setelah seharian
berjalan akhirnya mereka sampai pada dusun Kamulan. Semua warga Kamulan yang
menyaksikan kedatangan tiga pengelana itu menyambut dengan berbagai reaksi dan
ekspresi. Aryayuda penampilannya
acak-acakan seperti orang gila yang tak pernah menyirami tubuhnya dengan air.
Sedang Ki Joyogeni masih terlihat sangat berwibawa dengan tubuhnya yang gendut.
Adapun kalau melihat Rawarontek pastilah mereka mengira ia seorang pemuda
tampan yang hendak mencari pasangan hidup. Rasanya memang aneh melihat tiga
orang dengan penampilan yang kontras bisa berjalan bersama dan asyik bersenda
gurau.
“Aku
mengenal lelaki tua yang gendut itu, ia adalah lurah Karangan yang serakah dan
menjadi antek-antek wiyasa Galuh Buana.” Teriak seorang warga sambil menyuding
kearah Ki Joyogeni.
Semua orang
segera berkumpul untuk menghadang tiga pengelana yang memasuki dusunnya. “Buat
apa kalian datang ke dusun kami? Jika kalian mau membuat keonaran maka
sebaiknya kalian segera angkat kaki sebelum tombak kami menembus dada kalian.”
Tetua dusun
yang melihat kejadian itu segera datang untuk melerai “Sudah hentikan,
seharusnya kalian menyambut tamu yang datang di dusun ini dengan baik.”
“Tapi mereka
orang suruhan wiyasa Galuh Buana . Mereka harus segera kita usir sebelum
membuat kekacuan di dusun kita.”
“Dari mana
kalian tahu kalau mereka datang kesini untuk mengacuakan dusun kita? Kalian
tidak boleh berburuk sangka seperti itu.” Tetua dusun itu mencoba menenangkan
warganya. Setelah situasi terkendali, ia mendatangi tamunya dan meminta maaf
atas ketidaksopanan warganya.
“Maafkan
sikap mereka yang kurang sopan Kisana.”
“Mereka
tidak berbuat salah. Apa yang mereka katakan tentang diriku memang benar
adanya. Aku Joyogeni lurah Karangan yang serakah, tamak, dan suka membuat tipu
daya untuk menggerogoti harta rakyatnya.” Ujar Ki Joyogeni membenarkan pendapat
warga Kamulan tentang dirinya.
“Tidak ada
orang jahat yang mau mengakui kesalahannya. Aku mengenalmu sejak kita masih
muda. Kau berubah menjadi tamak tatkala berkuasa di Karangan. Rupa-rupanya kau
tak sanggup dengan godaan duniawi. Bagaimana kabarmu sahabatku?”
“Kau
mengenalku? Siapa kau ini?” Tanya Ki lurah sambil mencoba mengingat-ingat wajah
tua yang ada dihadapannya.
“Bagaimana
mungkin kau lupa denganku, sahabat karibmu.”
Ki Joyogeni
menarawang kemasa lalunya dan menemukan sketsa wajah Sawe teman karibnya, tapi
tidak mirip dengan wajah manusia yang berdiri dihadapannya.
“Sawe? Apa
kau Sawe?”
“Iya benar
saudaraku.” jawab tetua Kamulan sambil tersenyum kecil.
“Astaga aku
benar-benar tak mengira kau ini Sawe,
wajahmu tua sekali. Sudah tidak aku lihat lagi kegantenganmu yang dulu.” Ki Joyogeni
menghampiri sahabatnya dan memeluknya untuk melepas rasa rindu yang begitu
mendalam.
“Kau tau
siapa dua orang yang bersamaku itu?” Ucapnya lagi.
“Aku tidak
tahu. Siapa mereka?”
Belum sempat
Ki Joyogeni menjawab pertanyaan Ki Sawe, Aryuda bersimpuh di kaki tetua Dusun
Kamulan itu. Dia menangis sambil mencoba untuk mengatakan sesuatu “Maafkan aku
tak bisa menjaga Sekar Dewi. Aku suami
yang bodoh, aku suami yang lalai, aku pantas kau hukum seberat-beratnya.”
“Kau
Aryayuda? Berdirilah Nak!”
Ki Sawe membangunkan
tubuh Aryayuda yang bersimpuh dihadapannya. “Aku telah mengetahui semuanya, kau
sama sekali tidak bersalah. Ini semua adalah kehendak Tuhan, maka bersabarlah.
Ayo peluk aku! sudah lama aku merindukanmu.” Sementara ia mengucapkan kata-kata bijak itu, air
matanya terus menetes mengenai bahunya yang gemetar dengan kepiluan dan
kebahagiaan. Air mata lelaki tua itu mengandung pahit manisnya kehidupan yang
telah lama ia lalui. Pastilah air mata itu lebih bermakna dari pada air mata
manusia yang masih muda.
Aryayuda
memeluk ayah mertuanya, air mata di kelopak matanya mencoba menyampaikan pesan
seribu maaf atas segala kesalahannya. Rawarontek yang mengetahui lelaki tua
dihadapannya itu merupakan kakeknya segara bergegas
mendekatinya.
“Kakek aku
cucumu.” suranya terdengar lirih.
Ki sawe
kaget mendengar penuturan remaja yang ada di hadapannya. Dia tidak mengerti
dengan ucapan bocah itu.
“Dia anakku,
anak Sekar Dewi.” Aryayuda menjelaskan kepada ayah mertuanya perihal pemuda yang ada di depannya itu.
Tetua
Kamulan itu menatap mata Rawarontek. Ia tenggelam dalam tatapan bocah yang
memilki wajah seperti Sekar Dewi anaknya.
“Kau tampan
sekali Nak! Kau sungguh mirip ibumu.” Ucapnya lirih sekali. Ki Sawe hanya
mematung, tubuhnya beku, sistem syarafnya rusak, semua perasaan tentang
kebahagian mengalir begitu kuat dalam pembuluh yang sudah terlalu lama merindu.
Pancasona
memeluk tubuh kakeknya yang keriput termakan waktu. Pelukan yang hangat dari
cucunya mampu menyadarkan kesunyian
dalam tubuhnya yang sempat mati karena merindu. Air matanya menetes,
memercikkan kebahagiaan yang Ki Sawe rasakan. Tak ada yang mampu diucapkan oleh
mulut, semua perasaan hanya tersampaikan lewat bahasa kalbu yang tak satu
setanpun dapat mengetahuinya.
Seluruh
warga Kamulan yang menyaksikan drama kehidupan yang mengharu biru itu turut
merasakan kebahagiaan. Mereka senang karena saudara mereka menemukan kembali
bongkahan hidupnya yang telah lama
hilang. Kini Ki Sawe tak akan melewati hari-harinya dengan kesendirian.Karena
bakal ada Rawarontek dan Aryayuda yang akan menemani dan menjaganya.
v
Waktu mampu merubah kecambah yang kecil menjadi pohon besar yang
menjulang tinggi ke langit. Waktu mampu melunakkan batuan yang keras menjadi
tanah pasir yang lembut. Waktu juga
mampu mengubah peradaban manusia dari satu zaman ke zaman berikutnya. Dan
setiap manusia hanya memiliki sedikit waktu untuk memberikan kontribusi
terbesar dalam mega proyek peradaban manusia yaitu mengubah wajah dunia menjadi
lebih baik dan nyaman disetiap perjalanan waktu. Sampai pada akhirnya waktu itu
berhenti, lantas mengantar kehidupan yang fana ini menuju kehidupan yang tak
pernah kita ketahui dimensinya.
Satu minggu tinggal di Kamulan membuat Aryayuda dan Rawarontek mulai
memahami tentang peristiwa yang baru saja menimpa dusun Kamulan. Dia melihat
keberanian tergambar pada mata rakyat Kamulan
yang membuat mereka tetap hidup dalam kemerdakaan. Hanya saja keberaniaan itu
juga menimbulkan kebencian dari wiyasa Galuh Buana sehingga akan ada banyak masalah yang akan di terima rakyat Kamulan.
Aryayuda berpikir keras untuk mencari solusi agar permasalahan di dusun itu
bisa diselesaikan tanpa harus berperang. Dia menyuruh Rawarontek untuk
mengantarkannya ke tempat Empu Tirto yang merupakan guru silat sekaligus guru
spiritualnya.
“Ki, aku telah melihat situasi yang sangat rumit di dusun ini, dan
hampir semua wilayah di Wengkerkidul mengalami masalah yang sama. Ada banyak
perkara yang harus segera diselesaikan, terutama tentang ancaman yang datang
dari wiyasa Galuh Buana. Aku dan Rawarontek akan pergi ke Bendungan untuk meminta
nasihat Empu Tirto.” Ujar Aryayuda berpamitan kepada Ki Sawe.
“Kalau menurutmu itu yang terbaik, maka segera lakukanlah. Sikap sewenang-wenang yang dilakukan wiyasa
Galuh Buana memang harus segera dihentikan. Jangan lupa salamku untuk Empu
Tirto.” Jawab Ki Sawe.
Ki Joyogeni yang sedari tadi melihat percakapan Aryayuda dengan Ki Sawe
juga ikut nimbrung berbicara.
“Apa aku perlu ikut denganmu?”
“Saya rasa tidak perlu Ki. Sebaiknya kau kembali ke Karangan untuk
menjaga rakyatmu dari hasutan wiyasa Galuh Buana.”
“Baiklah, aku akan segera kembali ke Karangan. Lagi pula aku sudah rindu
dengan anak istriku. Jaga diri kalian baik-baik, kalau butuh bantuan datanglah
ke Karangan.”
Setelah mendapat restu dari Ki Sawe, bapak dan anak itupun
berangkat menuju wilayah Bendungan dengan menunggangi kuda hasil rampasan
perang. Sedang Ki Joyogeni berangkat ke
Karangan
keesokan harinya.
Tak sampai setengah hari mereka sudah sampai di depan gubuk reyot yang
di tempati Empu Tirto. Lelaki tua yang sedang menumbuk padi itu hanya bengong
melihat kedatangan Rawarontek dengan Aryayuda. Dia belum mengerti bagaimana
caranya kedua muridnya itu bisa bertemu dan bersama-sama mendatanginya.
“Hai cucuku senang sekali aku melihatmu kembali.” Empu tirto menyapa
cucunya.
“Bagaimana keadaanmu Kek? Maaf aku baru bisa pulang sekarang.” Sahut
Rawarontek.
“Aku sehat seperti yang kau saksikan saat ini.” Jawabnya sambil
menghampiri cucu kesayangannya. “Kau membawa dia datang kesini, kau mengenalnya
Cu?” Tangannya menunjuk kearah Aryayuda yang masih duduk di atas kuda.
“Bukankah dia murid kesayangan mu? Aryayuda pendekar terbaik Majapahit.”
Aryayuda turun dari kuda yang ditungganginya, dan berjalan mendekati Mpu
Tirto. Ia kelihatan bahagia untuk menyapa guru yang sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri.
“Kau kelihatan makin muda saja Ki.” Ujar Aryayuda mencandai gurunya.
“Dasar bocah kurang ajar, dari mana saja kau selama ini.” Tanya Empu
Tirto yang sama sekali tidak pernah mendengar kabar Aryayuda setelah ia
bergabung dengan pasukan Majapahit.
“Panjang sekali kisah yang telah aku lalui Ki. Yang jelas aku telah
melakukan keselahan terbesar dalam hidupku tatkala aku tidak pernah
melibatkanmu dalam setiap masalahku, padahal kau itu guru yang sudah aku anggap
seperti ayahandaku sendiri. Dan aku telah membayar mahal atas segala
kesalahanku itu.”
“Apa maksud perkataanmu?” Tanya Ki Tirto yang tidak mengerti dengan
ucapan Aryayuda.
“Apakah kau masih ingat dengan Sekar Dewi putri Ki Sawe?”
“Sekar Dewi sahabat kecilmu? Jangan bilang kau telah menikahinya. Bocah kecil yang gendut itu, lucu sekali.”
Kenang lelaki tua akan Sekar Dewi putri semata wayang Ki Sawe sahabat karibnya.
“Dia tumbuh menjadi gadis yang cantik Ki. Sangat cantik, hingga aku tak
kuasa untuk berpaling dari tatapan matanya, walau hanya sekejap.”
Mendengar jawaban Aryayuda lelaki tua hanya tersenyum, dan kembali
melontarkan beberapa bertanyaan. “Kenapa kau tidak bawa istrimu kesini? Kau
sudah dikaruniai anak kan? Bagaimana kabar mereka?”
“Kau lebih tahu semuanya dari pada aku?” Jawab Aryayuda.
“Apa maksud perkataanmu?” Empu Tirto bingung dengan jawaban yang
dilontarkan murid kesayangannya itu.
Aryayuda menghampiri Rawarontek lalu merangkul pundaknya. “Terimakasih
banyak Ki, selama ini kau telah membesarkan dan mendidiknya hingga menjadi anak
yang berakhlak mulia. Dan terimakasih juga untuk perlakuan baikmu terhadap
jenazah Sekar Dewi. Andai saja saat itu aku memperkenalkan Sekar Dewi kepadamu pastilah aku tak akan
segila ini untuk mencari dan menanti mereka.”
Lelaki tua itu perlahan mulai memahami situasi yang sedang terjadi.
“Jadi wanita itu Sekar Dewi? Dan Kau Rawarontek, kau anak Aryayuda?”
Aryayuda bersimpuh dikaki Empu Tirto. “Aku malu Ki, kau selalu
memberikan yang terbaik untukku tapi aku dengan gampangnya melupakan semua
kebaikanmu dan Nyi Damas.”
Empu Tirto membungkukkan tubuhnya, lalu
memegang pundak muridnya. “Kau tidak pernah melupakanku, kau tidak pernah
melupakan kebaikanku, kau juga tidak melupakan semua yang telah kami berikan
kepadamu. Kau patuhi semua nasihatku, kau jalankan semua kebaikan yang aku
ajarkan, hingga manjadikanmu sangat sibuk dengan segala
urusanmu. Maka wajar jika sekiranya kau tak sempat untuk menyambangi kami.”
Aryayuda dengan wajah tertunduk berdiri, dan penyesalan seakan tak bisa
terhapus oleh ucapan gurunya tadi. “Celakah bagi orang sepertiku. Aku banyak
belajar dari semua sikap bijaksana yang kau lakukan. Kau ajarkan kebaikan pada
setiap orang melalui perbuatanmu.”
Melihat penyesalan muridnya itu, sang guru sekali lagi mencoba
menenangkan jiwanya. “Taukah engkau mengapa selama ini aku dan Nyi Damas sangat
menyayangimu?”
Mendengar ucapan gurunya Aryayuda mengangkat wajahnya. Mulutnya tak
mampu mengucapkan sepatah katapun, hanya matanya yang menatap wajah keriput
Empu Tirto dengan pandangan ketidaktahuan.
“Kau sangat pintar untuk menilai
kekurangan dan kesalahan dalam dirimu. Kau juga tidak malu untuk mengakui
kesalahanmu, lalu bersegara minta maaf. Bermodalkan itulah kedewasaan dan
kepandaian dapat kau capai dengan sempurna.”
Hati Aryayuda kini mulai tentram. Ia yakin jika gurunya benar-benar
sudah memaafkan kesalahannya. Dihadapan sang guru yang kepalanya dipenuhi ilmu
dan pemikiran yang bijaksana, ia mulai menceritakan maksud kedatangannya. “Aku
telah mendengar jika Nyi Damas dibunuh utusan wiyasa Galuh Buana. Sejak saat
itu dia semakin gencar memerangi setiap orang yang berani menentang
kehendaknya. Dia mengadukan Rakyat Kamulan kepada Bhre Wengker Wijaya Rajasa dengan tuduhan telah
melakukan pemberontakan. Lantas Bhre Wengker Wijaya Rajasa mengirim tiga ratus
pasukan terbaiknya untuk bergabung dengan pasukan wiyasa Galuh buana. Rakyat
Kamulan dapat mengalahkan mereka, tapi Ranggadayu berhasil mereka tangkap, dan
dijatuhi hukuman pancung. Saat ini bupati licik itu sedang menghasut Majapahit
supaya membantunya dalam melanggengkan kesewenang-wenangannya terhadap
rakyatnya sendiri. Bagaimana menurut pendapatmu Ki?”
“Situasi Majapahit saat ini sedang kacau. Belum lama ini pasukan Bhayangkara
dibawah pimpinan Gusti Patih Gajah Mada
membantai pasukan Sunda Galuh di Pesanggrahan Bubat. Dalam pertempempuran itu
Maharaja Linggabuana dan tuan Usus gugur. Tak hanya itu putri kerajaan pasundan
Dyah Pitaloka yang akan dinikahi Gusti
Prabu Hayam
Wuruk juga mati bunuh diri setelah melihat ayahandanya dan semua pasukan Pasundan di bunuh oleh pasukan
Majapahit.”
Aryayuda terlihat kaget mendengar cerita Empu Tirto. “Bagaimana mungkin
dua kerajaan besar yang memiliki hubungan yang sangat baik bisa bermusuhan
seperti itu Ki? Apa sebenarnya yang menyebabkan peperangan itu?”
“Majapahit sangat berambisi untuk menaklukkan kerajaan Pasundan. Gusti Prabu Hayam Wuruk ingin menikahi Dyah Pitaloka
Citrasemi agar kedua kerajaan terbesar ditanah Jawa ini bisa disatukan. Tapi Gusti Patih Gajah Mada memiliki pemikiran lain, ia ingin Pasundan
berada di bawah kekuasaan Majapahit. Maharaja Linggabuana merasa terhina dengan
keinginan Gusti Patih Gajah Mada,
mereka menyerang pasukan Bhayangkara dan peperangan pun tak bisa dihindarkan.”
“Aku sangat mengenal Gusti
Patih Gajah
Mada, dia telah bersumpah untuk mempersatukan Nusantara ini dalam kekuasaan
Majapahit. Strategi pilitiknya sangat baik, begitu juga dengan strategi
perangnya. Hanya saja untuk mewujudkan ambisinya yang besar itu pasti akan ada
banyak hal yang akan dikorbankan, termasuk persahabatan Majapahit dengan
Pasundan.” Jelas Aryayuda mengomentari cerita Empu Tirto.
“Lalu apa yang harus aku lakukan Ki?”
“Temuilah Empu Nala, saat ini dialah orang yang paling dipercaya Gusti Prabu Hayam Wuruk setelah hubungannya dengan Gusti Patih Gajah Mada
renggang akibat perang Bubat. Mintalah supaya dia menyampaikan semua kejahatan
yang dilakukan wiyasa Galuh Buana kepada ibu suri Tribuana Tunggadewi, karena
dialah orang yang sangat dihormati Prabu Hayam Wuruk. Aku yakin dia lebih
mempercayai ucapan Empu Nala dari pada ucapan wiyasa Galuh Buana.”
Sembari menunjuk kearah wilayah Perdikan Kampak ia kembali berkata. “Kemudian mintalah bantuan pemuda
Perdikan Kampak untuk mengalahkan wiyasa Galuh Buana. Tidak akan ada bantuan dari Majapahit untuk wiyasa Galuh
Buana.”
Setelah berpikir
sejurus, berkatakalah Aryayuda. “Besok pagi aku akan
pergi ke Majapahit.”
“Kau jangan pergi ke Majapahit, pergilah bersamaku untuk mencoba
merundingkan kesepakatan dengan wiyasa Galuh Buana, karena kau tahu segalanya
tentang tata hukum Majapahit.” Sembari
berjalan mendakati Rawarontek yang sedari tadi mengamati pembicaraan dua lelaki
dewasa di hadapannya, ia kembali berkata. “Biarlah Rawarontek yang akan pergi
ke Majapahit untuk menemui Empu Nala. Tunjukkan pedang Cakra buana itu kepada Empu
Nala maka ia akan tahu siapa kau ini.”
“Aku akan mematuhi perintahmu Ki, tapi sebelumnya izinkan dulu aku pergi
wilayah Kerandon untuk menemui Damarwuluh.” Ujar Rawarontek.
Ucapan Rawarontek membawa ingatan Empu Tirto pada kematian Nyi Damas.
“Apa yang akan kau perbuat kepadanya? Bukankah dia sudah minta maaf atas
kesalahannya, dan kau juga telah memaafkannya bukan?”
“Aku hanya ingin meminta bantuannya untuk memata-matai perkembengan
strategi yang akan dimainkan wiyasa Galuh Buana. Bukankah dia orang kepercayaan
wiyasa Galuh Buana? Aku yakin dia bisa dihandalkan untuk menjalankan tugas ini.
Selain itu aku juga ingin dia untuk melindungi kalian jika wiyasa Galuh Buana
melakukan tindakan curang yang tidak kita perhintungkan.”
“Ide yang bagus Nak! Kita memang memerlukan orang dalam untuk
mendapatkan segala informasi tentang wiyasa Galuh Buana.” Ujar Aryayuda
menyetujui ide anaknya sekaligus memujinya. Ia melepaskan lencana yang melilit lengannya, lantas diberikan
kepada putranya. “Pakailah lencana ini, kau akan aman disana.”
“Kau memang bocah yang cerdas Cu.” Timpal Empu Tirto.
“Kalau begitu aku akan berangkat besok pagi. Jadi kita masih punya waktu
satu malam untuk melepaskan rasa rindu ini. Hahaha.” Ujar Rawarontek kegirangan.
Terlihat pribadi-pribadi yang bijaksana dan kepala-kepala yang disesaki dengan ilmu pengetahuan mau menerima usulan dari anak
kecil. Mau mendengar dengan segala kerendahan hati, mau menerima dengan hati
yang ikhlas, dan tak segan untuk dijalankan dengan penuh keyakinan. Kemudian
mereka jadikan usulan itu sebagai landasan untuk berpikir. Hakikatnya kebenaran
itu bisa datang dari mana saja, entah dari si pintar atau si bodoh, si kaya
atau si miskin, dari anak kecil maupun orang dewasa. Merekalah yang akan selalu menaiki tangga
kemuliaan, yaitu orang-orang yang mau menerima kebenaran meski datangnya dari
sesuatu yang mereka anggap rendah.
9
Pasukan Hitam
Rawarontek
memacu kuda hitamnya dengan cepat. Melesat menembus kabut putih yang menutupi
jalan setapak diantara pegunungan Bendungan. Embun pagi membasahi wajahnya yang
rupawan, dan udara yang dingin pun menembus kulit putihnya. Langkah kaki kuda
hitam itu semakin cepat, membawa sang tuan melintasi hutan, gunung, sungai dan
sawah yang terbentang luas di dataran Wengkerkidul.
Sesekali ia berhenti untuk bertanya
arah jalan menuju Trowulan kepada setiap orang
yang ia jumpai. Hatinya agak gelisah mengingat ini merupakan perjalanan
pertamanya untuk menemui pembesar Majapahit. Sepanjang jalan otaknya terus
memikirkan bagaimana cara menyampaikan risalah yang ia bawa, agar Empu Nala
tidak salah paham dan bersedia untuk menyampaikannya kepada ibu Suri Tribuana
Tunggadewi. Rasa takut akan tuduhan pemberontakan pun selalu bergelayutan di
dalam rongga dadanya.
Saat malam menjelang, bocah sakti
itu sudah sampai di depan gerbang kerajaan terbesar dalam sejarah nusantara
ini. Salah seorang prajurit yang menjaga gerbang mendatanginya untuk menanyakan
maksud kedangan Rawarontek ke Majapahit. “Siapa namamu anak muda? Dan apa maksud
kedatanganmu?”
“Namaku Rawarontek, putra Aryayuda.
Aku datang kemari untuk menyampaikan sebuah pesan untuk Empu Nala.” Jelas
Rawarontek sembari memperlihatkan lencana yang ia pakai.
“Baiklah, aku akan mengantarkanmu sampai
ke rumah Empu Nala.”
Rawarontek berjalan menuntun kudanya menuju rumah Empu Nala dengan
dikawal dua prajurit. Matanya terbelak tatkala melihat rumah Empu Nala yang
sangat kecil dan sederhana seolah-olah tertelan bangunan-bangunan megah
disekelilingnya. Berbeda dengan rumah-rumah yang lain, di depan rumah itu tidak
ada satupun prajurit yang berjaga. Hanya ada satu patung wanita cantik yang
dikerubuti kain putih berdiri dibawah pohon beringin yang rindang.
Dua prajurit yang mendampinginya masuk kedalam rumah kecil itu. Tak lama
berselang seorang lelaki tua berperawakan kurus keluar bersama kedua prajurit
yang menyertainya. Bibirnya tersenyum menyambut kedatangan pemuda di hadapannya
dengan sopan dan ramah. Rawarontek pun membalas dengan senyuman yang tak kalah
manis. Dengan perasaan yang gugup ia berjalan mendekati Empu Nala, lantas menghaturkan sembah dan menyampaikan maksud
kedatangannya.
“Wahai Gusti yang bijaksana, hamba datang menghadapmu dengan niat yang tulus ingin
menyampaikan sebuah penderitaan yang sedang dialami saudara-saudaraku di
Wengkerkidul. Sebelumnya hamba minta kelapangan hati
tuanku apabila apa yang hamba sampaikan kurang
berkenan di hati Gusti. Kami telah memerangi
wiyasa Galuh Buana yang telah membebani rakyat dengan
kenaikan upeti melebihi ketentuan yang telah Majapahit tetapkan. Bukan berarti
kami tidak mau mengabdi pada wiyasa Galuh Buana, kami hanya menjalankan sesuai
peraturan yang telah dibuat Majapahit. Hamba bersedia menerima
hukuman apapun dari tuan apabila yang hamba ucapkan ini salah,
bahkan jika tuanku mengingankan nyawa hamba, niscaya akan hamba berikan dengan hati yang ikhlas.”
Mendengar penuturan kesatria muda yang tak
dikenalnya itu, membuat sang penasihat kerajaan merasa kagum. Sebagai penasihat istana yang syarat akan
pengalaman dan pengetahuan ia bisa mengatahui kejujuran seseorang dalam
berbicara. “Keparat! Siapa namamu hai bocah ingusan? Lancang sekali kau datang kemari membawa berita
seperti itu. Kau pikir aku
akan termakan oleh tipu muslihatmu? Aku bukanlah orang dungu yang akan terkagum
serta menangis iba mendengar cerita murahan yang kau tuturkan melalui mulut
busukmu itu. Aku sudah menemui seribu pemberontak sepertimu, jadi jangan
berharap aku akan mempercayai kata-katamu.” Gertaknya untuk menguji ketulusan
hati Rawarontek.
Rawarontek
sama sekali tidak terpengaruh dengan kemarahan dan caci maki Empu Nala. Dia
sangat meyakini akan kebenaran yang ia bawa, dan itu harus tersampaikan. “Namaku
Rawarontek, satu dari ribuan rakyat Wengkerkidul yang merasakan pahitnya
kehidupan dibawah penindasan pemimpin yang dzolim. Tak ada kalimat indah yang bisa hamba riwayatkan kepada tuanku
melainkan sebuah kalimat tentang kebenaran. Jika Majapahit menganggap salah apa
yang hamba ucapkan, maka hamba
bersedia
menerima hukuman.” Ujarnya dengan penuh kerendahan hati sembari menyerahkan
pedang Cakra Buana kepada Empu Nala.
Lelaki tua itu menerima pedang yang rawarontek berikan, lantas menyuruh dua prajuritnya untuk mengikat bocah pembawa
kabar derita itu pada pohon beringin yang sedari tadi juga mendengar cerita pilu
Rawarontek.
“Hai
Prajurit! Ikat keparat, bedebah yang ada di hadapanku ini pada pohon beringin.
Mandikan dia dengan kalajengking dan ular, agar ia merasakan bagaimana perihnya
hukuman bagi setiap orang yang berani membohongiku.”
Pendekar muda itu pun hanya
pasrah
menerima perlakuan tak menyenangkan dari Empu Nala. Wajahnya meringis-ringis menahan sakit.
“Nikmatilah malam yang indah ini, sampai esok pagi datang lantas
menyeretmu pada sebuah peradilan.” Empu Nala dan dua prajurit kerajaan pergi
meninggalkan Rawarontek yang terikat pada pohon beringin. Kini ia akan
menghambiskan malam yang cerah ditemani patung wanita cantik yang seolah merasa
iba dengannya.
v
Aryayuda dan Empu Tirto pergi
menyambangi kediaman wiyasa Galuh Buana. Sebelum sampai di rumah sang penguasa
Wengkerkidul, ia bertemu dengan Damarwuluh yang sedari tadi sudah menunggu
kedatangannya. Damarwuluh menceritakan semua berita yang ia dapatkan dengan penuh kejujuran. “Wiyasa Galuh Buana
sangatlah murka atas kekalahan pasukannya oleh pemuda Kamulan. Ia berusaha menggalang bala tentara untuk melakukan serangan balasan. Tak hanya itu, dia juga sudah mencantumkan
namamu dan Rawarontek sebagai pemberontak yang telah dilaporkan ke Majapahit.
Kalian harus berhati-hati dengan rencana wiyasa Galuh Buana ini.” Ucapan
Damarwuluh mengalir keluar dari sudut-sudut kecil di hatinya yang telah
disesaki rasa kekhawatiran setelah melihat rencana besar dari sang Penguasa
Wengkerkidul.
“Terimakasih
kakang telah bersedia membantu kami untuk memantau situasi di Kadipaten. Hari
ini kami akan menemui wiyasa Galuh Buana dan mencoba merundingkan penurunan
jumlah upeti agar sesuai dengan ketentuan Majapahit.” Ujar Aryayuda kepada
Damarwuluh.
Kecemasan
dan kekhawatiran Damarwuluh seketika melangit tatkala mendengar penuturan
Aryayuda. “Kalian jangan pergi menemuinya, ia sangat licik. Aku kawatir kalian
akan terjebak dengan tipu muslihatnya.” Ia menjawab dengan suara bergetar tanda
meningginya kecemasannya.
“Kami
akan mewaspadai semua itu. Wahai saudaraku! Doakan agar kami bisa meyakinkan
wiyasa Galuh Buana sehingga mata hatinya kembali terbuka. Mencapai kebeneran
dengan cara berunding akan lebih bermartabat dari pada mengangkat senjata.”
“Bukankah
wiyasa Galuh Buana tidak pernah sudi mendengar pendapat dari rakyatnya.
Ranggadayu telah berkali-kali berusaha merundingkan hal ini dengan cara yang
baik dan sopan. Tapi apa balasan yang diberikan pemimpin biadab itu? Ia malah
menganggap Ranggadayu sebagai pemberontak dan menyerang Kamulan.” Damarwuluh
mencoba memperingatkan kedua sahabatnya.
“Sebagai
rakyat kita tidak boleh menyerah untuk mengingatkan pemimpin yang berbuat
salah. Berbekal pelajaran dari yang sudah dilakukan Ranggadayu, kami akan
mencoba untuk lebih berhati-hati menyikapi tindakan wiyasa Galuh Buana.” Ujar
Empu Tirto.
“Perkataan
dan pemikiranmu sungguh bijak Ki. Aku tidak bisa melarangmu untuk menyampaikan
kebenaran. Temuilah wiyasa Galuh Buana, aku akan selalu mengawasi dan menjaga
kalian.”
v
Sebuah
bangunan megah mewah berdiri di bawah langit yang menyimpan sejuta kisah
kehidupan. Padanya duduk seorang lelaki berperawakan gagah dikelilingi pejabat
bawahan serta prajurit yang selalu setia mengawalnya. Mata bundarnya menatap
tajam orang-orang disekelilingnya, melemahkan dan menundukkan. Mulutnya berkata
dengan nada yang membentak, memaksa mulut-mulut yang lain untuk berkata sepakat
dari semua ucapannya. Alun-alun itu ternyata tak cukup luas untuk ditulisi
penderitaan yang diakibatkan sikap sewenang-wenang wiyasa Galuh Buana.
Aryayuda
dan Empu Tirto datang menghadap wiyasa Galuh Buana. Kedua pendekar sakti itu
membungkukkan badannya sebagai tanda hormat kepada sang pemimpin. Sikap sopan
tetap mereka kedepankan, meski hati Empu Tirto pernah disayat oleh pria yang
sedang ia hadapi.
Mengetahui
orang yang menghadap kepadanya merupakan pendekar sakti, wiyasa Galuh Buana
memperlakukan mereka dengan baik-baik. Ia berikan penghormatan yang cukup,
serta menyediakan kursi yang empuk dengan posisi langsung berhadapan dengannya.
“Senang
sekali bisa bertemu denganmu Ki. Terlebih kau datang dengan ditemani singa
Majapahit yang telah lama tak aku dengar kabarnya. Bagaimana kabarmu Aryayuda?
Kau kembali lagi ke tanah kelahiranmu setelah lama mengabdi di Majapahit?”
Galuh Buana memulai pembicaraan dengan basi-basi untuk menghangatkan suasana.
“Aku
juga senang bisa menghadapmu wiyasa Galuh Buana. Kabarku masih sehat, sama
seperti dahulu saat kita pernah berjuang bersama membela Majapahit di setiap
pertempuran. Sampai akhirnya kau dipercayai untuk memimpin Wengkerkidul.”
Mereka
pun mulai terbawa dalam percakapan yang enak. Saling bertanya jawab perihal
kabar, kesehatan dan perjalanan hidup Aryayuda hingga Galuh Buana mengetahui
hubungan darah antara Aryayuda dengan Rawarontek yang sudah sejak lama ingin ia
singkirkan. Lama-kelamaan pembicaraan mulai menjurus ke inti permasalahan.
“Sebenarnya
aku dan Empu Tirto datang kemari ingin menanyakan besaran upeti yang telah kau
bebankan kepada rakyatmu. Aku telah lama mempelajari kitab Kutara Manawa dan
mengerti tata hukum Majapahit. Aku melihat banyak kejanggalan dari kebijakan
yang telah kau terapkan. Oleh karena itu aku ingin merundingkannya denganmu.”
Galuh
Buana mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah ia menyetujui perkataan Aryayuda.
Kepada pengawalnya ia meminta untuk mengumpulkan para petinggi Wengkerkidul
untuk mulai berdiskusi dengan Aryayuda dan Empu Tirto. Aryayuda mulai
menjelaskan isi kitab Kutara Manawa yang terkait dengan pajak yang Majapahit
tetapkan untuk daerah kekuasannya. Semua mata dan telinga menyimak setiap
perkataan bijak yang terlantun dari mulut Aryayuda. Satu-persatu mulai
terungkaplah kesalahan dari kebijakan-kebijakan wiyasa Galuh Buana. Perkataan
yang cerdas itu mendatangi hati dan pikiran petinggi Wengkerkidul, lalu menyapa
dan mencerahkannya.
Mengetahui
anak buahnya mulai terpengaruh dengan perkataan Aryayuda, penguasa Wengkerkidul
itupun segera menjelaskan maksud dan alasan dari penarikan upeti yang jauh
lebih tinggi dari peraturan dasarnya. Segala cara dan upaya ia lakukan untuk
kembali meyakinkan kawan-kawannya. Sia-sia, semua orang sudah terlanjur
memahami isi Kitab Kutara Manawa. Mereka menuntut wiyasa Galuh Buana untuk
mentaati peraturan dari Majapahit.
Melihat
sikap bawahannya yang mulai membangkang hatinya pun memanas. Api kebencian
menyulut otaknya hingga panas mendidih. Wajahnya memerah, tangannya mengepal
kuat-kuat hingga siap dihantamkan ke wajah setiap orang yang dibencinya. Hingga
ia menyadari ada dua singa yang sedang dihadapinya, cara kekerasan pun tak bisa
ia terapkan. Tak ada pilihan lain, ia harus menuruti tuntutan para petinggi
Wengkerkidul sampai ia mendapatkan cara lain untuk memenangkan perang pikiran
ini.
“Selagi
semua petinggi Wengkerkidul berkumpul disini, alangkah baiknya jika peraturan
yang keliru itu kita benarkan sekarang juga. Rakyat sudah terlalu lama menderita, mari kita
akhiri penderitaan itu sekarang juga.” Aryayuda benar-benar memanfaatkan
kesempatan yang berpihak padanya untuk memaksa wiyasa Galuh Buana merubah
kebijakannya.
Semua
orang menyetujui usulan Aryayuda. Galuh Buana pun kehabisan akal untuk
menghentikan langkah Aryayuda. Tak ada satu katapun yang sanggup keluar dari
mulutnya, hingga kepalanya mengangguk tanda setuju.
Takdir
datang dengan tiba-tiba, membawa kemenangan, kemerdakaan, dan kebahagian yang
kemudian diletakkan di atas pangkuan manusia yang telah lama merindukan. Ia
menjulurkan tangan lembutnya kepada bayi-bayi mungil, lalu mengangkatnya
tinggi-tinggi, dan melantunkan sebuah nyanyian tentang harapan. Aryayuda telah
membawa cahaya itu, dan semua orang mendekapnya hingga mereka tahu mana yang
benar dan mana yang salah. Merekapun mulai menyibukkan diri untuk mempersiapkan
segala sesuatunya untuk hari esok yang lebih baik.
Jemari
dan pena menari di atas kertas menggoreskan kebijakan-kebijakan yang lebih merakyat.
Melepaskan rantai yang mengikat kebebasan, dan merobohkan dinding yang menyekat
napas kehidupan. Seharian penuh Aryayuda dan para petinggi Wengkerkidul
membenarkan ketentuan pajak yang dibuat wiyasa Galuh Buana. Mentari pun mulai
jemu untuk berlama-lama menunggu, lantas sang rembulan datang untuk
menggatikannya.
Kebijakan
baru telah lahir tepat saat rembulan berada di tengah-tengah langit. Rasa lelah
datang menghinggap pada tubuh yang berkeringgat. Beberapa gadis cantik datang
dengan membawakan hidangan yang lezat dan tuak untuk berpesta. Galuh buana
memanggil Aryayuda dan Empu Tirto untuk membicarakan kebijakan baru itu di
sebuah kamar yang mewah.
Meski
ada rasa kawatir mereka berdua tidak menolak ajakan Galuh Buana. Dalam kamar
itu telah disiapkan makanan dan minuman yang jauh lebih istimewa jika dibanding
dengan hidangan di luar sana. Sambil menyantap makanan mereka mulai
merundingkan baik buruk, untung ruginya dari kebijakan yang baru saja selesai
dibuat. Galuh Buana terlihat begitu antusias menyambut ide-ide yang bermunculan
dari otak Aryayuda. Sampai tiba-tiba mereka bertiga tergolek di atas meja
makan.
Dalam
keadaan setengah sadar, mata aryayuda melihat seorang wanita berwajah cantik
datang menghampirinya. Wanita itu datang tanpa sehelai kainpun yang menutupi
tubuh putihnya. Aryayuda mulai merasakan nafsu bergejolak hebat dalam jiwanya
tatkala tangan lembut itu merengkuh tubuhnya dan membawanya ke kamar yang lain.
Dikamar itulah terjadi peperangan yang hebat antara nafsu dan nurani. Jemari-jemari
yang nakal bergerilya melepaskan pakaian yang dikenakan Aryayuda.
Disaat
yang bersamaan nurani yang luhur berhasil memadamkan nafsu yang terus
bergejolak akibat ramuan perangsang yang telah dicampur dalam makan dan minuman
yang baru saja ia makan. Nawang Sari masih berusaha menggoda Aryayuda dengan
memamerkan kemolekan tubuhnya. Dalam keadaan yang semakin melemah Aryayuda
terus berusaha melawan pengaruh obat perangsang yang kian menguasainya. Ia
mencoba bangkit dan berlari keluar meninggalkan kamar. Melihat Aryayuda
berusaha melarikan diri, Nawang Sari bergegas mengambil balok kayu yang
tergeletak di sebalah pintu dan memukulkannya ke punggung Aryayuda. Lelaki
tampan itupun terjatuh pingsan dan tubuhnya terkulai lemas di atas lantai.
Jika
seseorang telah membiasakan diri dengan kebaikan maka kebaikan itu akan menyatu
dengan jiwanya. Membentuk nuruni yang mulia dan senantiasa memalingkannya dari
perbuatan keji dan mugkar. Nurani yang suci tak akan mampu dimabukkan dengan
secawan racun ataupun desahan kepuasan duniawi yang sering kali menyeret kaum
adam dalam jurang kenistaan. Ia seperti wewangian yang selalu memancarkan aroma
harum dalam hati seseorang.
v
Fajar
datang dan melipat kebahagian menjadi api nestapa yang memanggil-manggil
ketabahan. Pada saat itu awan hitam berusaha menutupi cahaya mentari yang
menghangatkan pagi. Wiyasa Galuh Buana berteriak-teriak seperti orang yang
kesetanan. Semua orang berkumpul mendekatinya, termasuk Empu Tirto yang
terbangun karena teriakan Galuh Buana. Semua mata terbelalak menyaksikan
Aryayuda dan Nawang Sari tidur berdua di atas ranjang tanpa sehelai kain yang
menutupi tubuh mereka.
Mendengar
suara kerumunan orang yang ricuh dan gaduh membicarakannya, Nawang Sari segera
terbangun sambil menjerit-jerit histeris.
“Aku
telah diperkosa lelaki biadab ini!” Nawang Sari menangis sambil menuding
Aryayuda yang masih tergolek pingsan di atas ranjang. “Dia memaksaku untuk
melayani nafsu bejatnya. Suamiku hukumlah manusia biadab yang telah merampas
kehormatan istrimu ini.” Rengeknya kepada Galuh Buana.
Wiyasa
Galuh Buana memerintahkan prajuritnya mengambil rantai besi yang telah
dipanggang dalam bara api untuk mengikat
tubuh Aryayuda. Lelaki malang itu diseret ketengah alun-alun dengan diiringi
cemoohan dari mulut orang-orang yang menyaksikan. Tubuhnya di gantung pada
sebuah tiang, untuk diludahi dan dicaci maki. Sebagian ada yang hendak
melemparinya dengan batu, akan tapi Empu Tirto segera mencegahnya.
“Kalian
tidak boleh menghukumnya seperti ini sebelum mendengar pembelaan darinya. Belum
tentu dia yang memperkosa Nawang Sari, lihatlah punggungnya lebab terkena
pukulan. Apa mungkin dalam keadaan pingsan dia bisa memperkosa Nawang Sari?”
Petinggi
Wengkerkidul yang lain mengerti dengan ucapan Empu Tirto. Mereka juga
mencurigai wiyasa Galuh Buana yang telah sengaja merencanakan semua ini, untuk
menggagalkan upaya Aryayuda membenahi kebijakan Galuh Buana.
“Pancung
kepalanya!” Rupanya wiyasa Galuh Buana juga mempelajari ucapan Empu Tirto. Ia
harus segera membunuh Aryayuda sebelum lelaki malang itu sadarkan diri dan
melakukan pembelaan.
“Demi
kehormatanmu yang mulia wiyasa Galuh Buana, akan aku penggal kepala manusia
biadab ini.” Ujar Bajul Ireng yang juga terlibat dalam sekenario picik ini.
“Kamu
harus melangkahi dulu mayatku jika ingin menyentuh Aryayuda.” Dengan gagah
berani kakek tua itu menghadang Bajul Ireng.
“Aku
tahu Empu Tirto seorang pendekar hebat, tapi itu dulu. Kau sudah terlalu tua
untuk melawanku. Sebaiknya segeralah menyingkir sebelum pedangku ini menggorok
lehermu.” Ujar Bajul Ireng dengan nada yang sombong.
“Mulutmu
saja yang besar, tapi nyalimu tak lebih besar dari kerikil. Hadapilah aku jika
kau benar-benar seorang lelaki!” Empu Tirto menantang Bajul Ireng yang
terlanjur besar kepala.
Bajul
Ireng segera menyerang lelaki tua dihadapannya. Perang tanding antara kedua
pendekar sakti pun berlangsung mencekam. Tubuh Bajul Ireng yang besar bergulat
dengan tubuh Empu Tirto yang kerempeng. Mereka saling mempertontonkan
kedigdayaan dan kesaktian. Bajul Ireng berkali-kali menebaskan pedangnya ke
arah Empu Tirto, tapi tak sekalipun mengenai tubuhnya. Kakek tua itu bergerak
lincah kesana-kemari, menghindari pukulan Bajul Ireng.
Kedigdayaan
dan kesaktian Empu Tirto rupanya belum mampu ditandingi Bajul Ireng. Dengan
santainya ia permainkan prajurit kebanggaan Galuh buana itu. Setelah merasa
cukup bermain-main dengan Bajul Ireng, Ia berbalik menghajar lelaki yang
berkumis tebal itu dengan ilmu kanuragan Rawaronteknya. Bajul Ireng seperti
kewalahan meredam serangan Empu Tirto yang teramat kuat dan cepat layaknya
kilat yang menyambar-nyambar tubuhnya. Beberapa tendangannya berhasil mengenai
kepala Bajul Ireng, hingga mengaliir banyak darah dari lubang hidung dan
telinganya. Merasa tertekan, Bajul Ireng segera melarikan diri kearah
pasukannya. Ia perintahkan pasukan petarungnya untuk mengepung Empu Tirto. Di
belakangnya berjejer rapi pasukan pemanah yang telah siap menghujani tubuh
kerempeng itu dengan anak panahnya.
“Serang!”
Teriak Bajul Ireng memberi aba-aba kepada pasukannya dengan suara yang lantang.
Tak
kurang dari sepuluh prajurit petarung mengeroyok Empu Tirto. Sedang pasukan
pemanah terus mengintai pergerakan pendekar tua itu, sembari menarik anak panah
yang sewaktu-waktu bisa melesat ke arah mangsanya. Pergerakan lincah sepuluh
prajurit itu mampu membuat Empu Tirto kelelahan, dan secara mengejutkan mereka
semua merebahkan tubuhnya ke tanah secara serentak. Praktis tubuh krempeng itu
terlihat berdiri bebas tanpa penghalang untuk dijadikan sasaran tembak pasukan
pemanah. Puluhan anak panah melesat, melayang-layang ke arah Empu Tirto. Tak ada kesempatan baginya untuk menghindar,
lima anak panah berhasil menembus dadanya.
Jantungnya
terkoyak, hingga berhenti berdetak. Napasnya tersengal-sengal menahan rasa
perih yang tak karuan. Tubuhnya mulai mengejang, sampai ia terjatuh di atas
tanah. Wajahnya meringis-ringis menahan sakit. Tangannya berkali-kali berusaha
menyangga tubuhnya untuk kembali berdiri, namun selalu gagal. Ia berusaha keras
mencabuti puluhan anak panah yang menancap memenuhi tubuhnya. Setiap satu anak
panah tercabut, darah mengalir deras dari lubang yang ditinggalkan.
Hening
menyelimuti alun-alun, rasa takut telah mencuri kekuatan orang-orang dan
menghalangi mereka untuk menghentikan kenestapaan ini. Mereka mulai mengerti
siapa yang salah dan siapa yang benar, meski sudah hampir terlambat. Setiap
orang masih saja menunggu yang lain untuk mulai melawan. Tapi pada akhirnya tak
ada satupun yang berani memulai. Kebenaran yang mereka yakini memuai sia-sia
karena tak ada keberanian yang mau menjemputnya.
Dari
arah selatan dua puluh pendekar berkuda berlari kencang, merengsek masuk
kedalam kerumunan orang. Semuanya memakai pakian hitam, dan menutupi wajah
mereka dengan cadar. Pasukan Bajul Ireng mencoba menghentikan laju mereka
dengan membentuk benteng pertahanan. Hanya dalam sekejap mereka sudah
memporak-porandakan benteng itu, dan membuat pasukan Bajul Ireng kocar-kacir.
Semua orang menjadi panik dan buyar melarikan diri. Pasukan misterius itu
tiba-tiba menghilang ditengah-tengah kegaduhan. Empu Tirto dan Aryayuda juga
ikut lenyap entah kemana.
10
Wewangian Hati
Pagi
merebahkan harapannya di atas tanah Trowulan. Menjemput rangkaian mimpi indah
yang tertimbun dalam sampah kehidupan. Membungkam suara jeritan tangis,
membuyarkan ratapan kenistaan. Angin kehidupanlah yang menerbangkan debu-debu
kepedihan hingga sampai ke pangkuan sang penguasa yang bijak. Dengan lembut, ia
membelai hati yang menderita sambil mendongengkan cerita tentang ibu itik yang
kehilangan anaknya.
Langkah kaki seekor kuda putih
terdengar lirih, membawa Sang Ibu Suri Tribuana Tunggadewi ke hadapan
Rawarontek. Beberapa prajurit Bhayangkari berjalan pelan mengawal ketat Sang
Ibu Suri dari belakang. Empu Nala dan dua pejabat terkemuka Majapahit menyambut kedatangan orang paling berpengaruh
di Majapahit itu dengan sembah sebagai bukti ketaatan mereka. Mereka semua
berkumpul mengelilingi Rawarontek, memperhatikan kondisinya yang sudah tak sadarkan
diri setelah semalaman menerima siksaan dari ular dan kalajengking.
Salah seorang prajurit melepaskan
rantai besi yang melilit tubuh Rawarontek. Pendekar muda itu dibopong ke
hadapan Ibu Suri Tribuana Tunggadewi. Seorang tabib istana segera melangkah
maju untuk mengobati Rawarontek. Tak lama berselang, pemuda Wengkerkidul itu
sudah mampu membuka kedua kelopak matanya, dan menyaksikan banyak petinggi
Majapahit berdiri di sekitarnya. Maka bersegeralah ia menghanturkan sembah
kepada Ibu Suri Tribuana Tunggadewi yang selalu menampakkan senyum anggunnya
kepada setiap orang.
“Berdirilah! Bagaimana keadaanmu
sekarang? Apakah tabib istana telah berhasil memulihkan kesehatanmu?” Tanya
Sang Ratu dengan penuh kewibawaan.
Wajah pucatnya menunduk, keningnya
sedikit mengerut berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. “Kondisi hamba
sangatlah baik yang mulia, terimakasih atas kebaikan yang telah Ibu Suri
limpahkan kepada hamba.”
“Kau telah melakukan perjalanan jauh
dari Wengkerkidul menuju Trowulan. Menyampaikan berita tentang kesalahan
pemimpinmu, dan dengan gigih memperjuangkan nasib saudaramu yang tertindas. Apa
yang sebenarnya ingin kau dapatkan dari ini semua?” Ucap wanita tua yang masih
terlihat cantik mengawali pembicaraan yang lebih serius.
Rawarontek tersenyum. “Yang Mulia
Ratu,” ujarnya dengan sopan, “Jika seseorang tidak menemukan sesuatu untuk
diperjuangkan sampai akhir hayatnya, berarti kehidupannya hanyalah dalam
kesia-siaan belaka. Hamba hanya menginginkan kebahagiaan, karena kebahagian
merupakan arti dan tujuan hidup hamba. Ia adalah keseluruhan arah dan cita-cita
akhir dari perjuangan manusia. Dan kebahagian hamba telah tenggelam kedalam
lautan penderitaan rakyat Wengkerkidul.”
Untaian kata yang diucapkan
Rawarontek menghadirkan kesejukan yang menghembus pada hati Ibu Suri Tribuana
Tunggadewi. “Kau telah mengilhamkan kebaikan di tanah Trowulon. Ketahuilah anak
muda, melalui utusannya Bhre Wengker Wijaya Rajasa telah menyampaikan kekacuaan
yang terjadi di Wengkerkidul. Ia mengetahui penyelewangan yang dilakukan wiyasa
Galuh Buana dari prajurit yang dikirimkan untuk memerangi dusun Kamulan. Aku
telah menunggu keberanian rakyat Wengkerkidul untuk membenarkan berita ini,
lalu kau datang dan berhasil meyakinkanku.”
Ibu Suri mendekati Rawarontek, dia
menyerahkan kembali pedang Cakra Buana yang sempat Rawarontek berikan kepada
Empu Nala. “Kau akan segera mendapatkan kebahagian itu kembali. Sekarang
kembalilah ke Wengkerkidul, karena tugasmu telah selesai. Sampaikan salamku
kepada Empu Tirto, yang selalu menularkan kebaikannya pada setiap orang.”
“Terimakasih yang mulia Ibu Suri.
Kemurahan hati yang Mulia Ibu suri adalah kebahagian pertama yang akan
mengawali kebahagian-kebahagiaan yang lain.” Ujar Rawarontek, sembari pamit
undur diri.
Dengan senyuman ramah, Ibu Suri
memperkenankan Rawarontek untuk meninggalkan Majapahit. “Sampaikan kepada
saudara-saudaramu, kepribadian adalah sesuatu yang lebih berarti bagi peradaban
manusia dari pada sebuah kebijaksanaan yang selalu mereka nantikan.”
Manusia tidak bisa menemukan
samudera baru selama ia tidak punya keberanian untuk memalingkan matanya dari
pantai. Setiap orang harus berani bertindak dengan sebuah keyakinan yang utuh.
Karena nasib baik tak akan pernah datang dengan sendirinya, ia selalu menunggu
untuk kita jemput.
v
Rawarontek menunggang kudanya mengelilingi
Wengkerkidul. Mata besarnya memandangi orang-orang ditepian jalan yang ramai
memperbincangkan sesuatu. Terbesitlah nama Empu Tirto dari pembicaraan itu,
Rawarontek pun turun dari kudanya dan ikut bergabung dalam perbincangan
tersebut. Dari situlah ia mengetahui telah terjadi sesuatu dengan Empu Tirto
dan Aryayuda.
Setelah memahami situasinya, ia
melanjutkan perjalanannya. Pikirannya mulai melayang kesana-kemari, mencoba
meraba semua kemungkinan yang terjadi dengan guru dan ayahandanya. Ia tidak
pernah mendengar kata pendekar hitam sebelumnya, jalan satu-satunya yang bisa
ia lakukan adalah terus berjalan untuk menemukan mereka. Sampai pada suatu
persimpangan jalan ia melihat Anggreng dan beberapa anak buahnya datang
menghampirinya.
“Hai saudaraku, Empu Tirto dan
Aryayuda sedang bersama kami.” Ujar pemimpin perampok Perdikan Kampak kepada
sahabat karibnya.
Mendengar ucapan Anggreng hati
Rawarontek merasa lega, keresahan itu hilang seketika.“Bagaimana keadaan mereka
sekarang?”
“Aryayuda berhasil kami selamatkan
dalam keadaan baik-baik saja, sementara Empu Tirto mengalami luka dalam yang
parah. Tapi kau tak perlu khawatir, Rahayu Pitaloka telah berhasil
menyembuhkannya. Saat ini ia sedang memulihkan tenaganya. Untunglah Pitaloka
segera datang kepada kami, andai saja ia datang tidak tepat waktu niscaya Empu
Tirto tak bisa kami selamatkan.”
“Ada dimana mereka sekarang?” Tanya
Rawarontek lagi.
“Sekarang mereka kami sembunyikan di
Grojogan Sewu, mereka aman di sana.” Jawab Anggreng.
“Antarkan aku ke Grojogan Sewu, aku
ingin sekali mengetahui keadaan mereka.” Pinta Rawarontek.
Rawarontek dan Aggreng bergegas
menuju dusun Panggul, bersama beberapa anak buah Anggreng yang mengiringinnya.
Kuda-kuda itu berlari kencang, saling berpacu menembus hutan belantara, dan
menaiki pegunungan yang terjal. Gunung Linggo nampak berdiri tenang, seolah
mengawasi delapan kuda yang melaju di bawahnya. Burung merak berkicau lantang,
menyambut kedatangan mereka dihutan abadi.
Dari puncak pegunungan mulai
terliihat samudera biru membentang luas, seolah telah menyatu dengan langit.
Suara gemuruh ombak menggelagar, mengagungkan keelokan semenanjung pantai
selatan. Gulungan ombak saling berkejaran, beradu cepat menuju pantai Pelang
yang menawan. Pasir yang putih dan sangat lembut sanggup memanjakan setiap kaki
yang menginjaknya. Sungai besar berkelok-kelok menuju sebuah muara,
menggoreskan lukisan terindah di tanah Panggul.
Sampailah mereka pada air terjun
Gerojogan sewu. Air yang jernih tumpah membasahi tubuh kerempeng Empu Tirto
yang sedang duduk bersila di bawahnya. Di balik keindahan Gerojogan Sewu, mata
Rawarontek menangkap keindahan lain yang jauh lebih mempesona, dan keindahan
itu bernama Rahayu Pitaloka. Gadis cantik itu datang menghampirinya. Tangan
lembutnya menyapa tangan dingin Rawarontek, mengenggamnya, lalu membimbingnya
menuju Sang Guru yang bersemedi.
“Bangunlah Ki, muridmu sudah
datang.” Suara lirih Pitaloka membangunkan Empu Tirto dari semedi panjangnya.
Melihat kedatangan Rawarontek,
lelaki tua itu berdiri lalu menyambut dengan sebuah tanya. “Apa yang kau bawa
dari Trowulan?
Rawarontek terdiam sesaat dan dalam
suara lemah, bercampur harga diri dan rasa bangga ia berucap. “Kebahagiaan Ki.”
Lalu ia tersenyum dan kembali berkata. “Kebahagiaanku, kebahagiaanmu, dan
kebahagiaan seluruh rakyat Wengkerkidul.”
“Hanya itu?” Tanya Empu Tirto lagi.
“Iya, hanya itu.” Jawab Rawarontek.
Jiwa Empu Tirto menjadi tentram
tatkala mendengar jawaban Rawarontek.
Rahayu Pitaloka tidak mengerti dengan ucapan Rawarontek dan Empu Tirto,
karena mereka berdua sedang berbicara tentang kemenangan hati. Ia roman surgawi
yang hanya bisa didengar dan dirasa oleh kalbu.
“Gadis ini sungguh sangat mulia,
lihatlah ia begitu menawan, menyejukkan dan menentramkan. Dia yang menolongku
dan Aryayuda dari hukuman Galuh Buana, lalu merawatku, dan membantu
menyembuhkan lukaku.” Empu Tirto memperkenalkan sesosok wanita yang ia
banggakan kepada cucunya.
“Aku juga sudah melihatnya Ki.”
Jawab Rawarontek sambil tersenyum manis.
“Kau sungguh beruntung memiliki
teman seperti dia.” Empu Tirto melanjutkan pujiannya.
Mendapat pujian yang berlebih dari
Empu Tirto, wanita cantik itu segera merespon. “Justru aku yang beruntung bisa
mengenal pemuda sebaik Rawarontek Ki.”
Mendengar penuturan Pitaloka, wajah
Rawarontek langsung memerah, darahnya berhenti mengalir, syaraf-syaraf
kehidupannya rusak untuk sementara waktu. Pitaloka juga kebawa salah tingkah
setelah melihat perubahan dari sikap Rawarontek. Pipinyi memerah, semerah buah
jambu yang di petik dari taman surga. Rawarontek dan Pitaloka tidak mampu lagi
menyembunyikan perasaan yang telah mengharumkan kehidupan meraka berdua.
“Hai Pitaloka, sudikah kau
menceritakan kepadaku bagaimana caramu menyelamatkan Ayahanda dan Guruku.”
Rawarontek berupaya mencairkan kebekuan itu, dengan mengalihkan pembicaraan.
“Aku mengetahui persengkokolan jahat
yang dilakukan wiyasa Galuh Buana dengan istrinya Nawang Sari. Oleh karena itu
aku segera datang ke Perdikan Kampak untuk meminta bantuan Anggreng.” Jelas
Pitaloka.
“Bagaimana kau bisa mengetahui
persengkokolan mereka?” Tanya Rawarontek dengan sedikit selidik.
“Aku tabib pribadinya.” Jawabnya
singkat.
“Lalu bagaimana pula caranya kau
meyakinkan Anggreng untuk bersedia membantumu?” Tanya pancasona lagi.
“Hembb.....” Belum sempat Pitaloka
menjawab, Anggreng langsung menyerobot. “Bagaimana mungkin aku berani menolak
perintahnya, kalau dia mengaku sebagai istrimu. Aku percaya saja dengan
ucapannya, karena kalian memang terlihat saling mencintai.”
Mendengar ucapan Anggreng, pemuda
tampan itu langsung kehabisan kata-kata, ia merasa malu tapi juga sangat
senang. Dia masih tidak bisa mempercayai Pitaloka mau mengatakan Rawarontek
sebagai suaminya. Sesuatu yang sangat berharga untuk didengarkan, ingin sekali
ia mendengar kata itu sekali lagi terucap dari bibir tipis Pitaloka.
“Maafkan aku telah berani mengatakan
seperti itu. Aku melakukan itu semua demi menyelamatkan Empu Tirto dan
Aryayuda.” Ucap Pitaloka mencoba menjelaskan situasi yang terjadi kala itu.
Pembelaan Pitaloka ternyata telah
menjatuhkan angan-angan Rawarontek dari langit tertinggi.
“Kau tidak perlu merasa bersalah
seperti itu, aku bisa memahaminya.” Ucapnya dengan nada sedikit kecewa.
v
Terik matahari menghangatkan pasir pantai,
membakar punggung para nelayan hingga nampak hitam legam. Angin laut bertiup
kencang, menghembuskan kesejukan pada jiwa yang kepanasan. Begitu pula dengan
Rahayu Pitaloka, ia layaknya angin laut yang mampu memberi kesejukan pada ruang
kalbu Rawarontek. Membawa jiwanya berlayar melewati samudera cinta, kemudian
menyandarkannya pada pantai harapan.
Rawarontek berjalan santai menyusuri
setiap jengkal keindahan pantai Pelang. Mata besarnya melihat Pitaloka duduk
bersandar pada sebuah batu besar. Rambut hitamnya terurai kedepan menutupi
sebagian wajah cantiknya. Di sekelilingnya berkumpul beberapa anak nelayan,
mereka duduk bersila menghadap sang peri pujaan hati. Semuanya terlihat akrab,
asik bercanda, saling tertawa riang, dan bercerita tentang lucunya anak kancil
yang mengibuli buaya. Sesekali Pitaloka mengelus rambut anak perempuan yang
duduk bersandar di bahunya.
Tiba-tiba Pitaloka berdiri, diikuti
seluruh anak disekelilingnya. Suaranya yang merdu mengalir liar dari
mulutnya yang suci. Di bibirnya yang
tipis terbayang senyum samar, menentramkan hati Rawarontek. Wanita itu
menyanyikan simponi alam, menceritakan kedamaian dalam kehidupan yang fana ini.
Tubuh indahnya menari, memutar lincah, melenggak-lenggok kesana-kemari, hingga
menenggelamkan Rawarontek dalam fantasi duniawi. Anak-anak nelayan itu
menirukan gerakannya, sambil bernyanyi mereka terus menari di atas pasir putih
yang menenangkan. Siang itu keindahan Pitaloka adalah keseluruhan dari duniawi
Rawarontek. Dewi cinta terbayang dari tubuh Pitaloka, ia seolah menyeret tubuh
pemuda itu untuk mendekatinya. Tanpa ia sadari, langkah kakinya telah
mengantarkannya berdiri bersanding dengan Pitaloka. Rawarontek tersenyum manis,
manis sekali hingga membuat gadis di depannya menjadi bingung.
“Rawarontek, kamu ternyata ada di
sini?” Sapa Pitaloka.
Pemuda itu sama sekali tidak
mendengar ucapan gadis cantik di depannya, ia masih tersenyum dan sedikit
tertawa tidak jelas. Melihat sikap aneh Rawarontek, gadis itu merasa
tergelitik, ia pun tersenyum dan tertawa kecil.
“Kamu ingin bernyanyi dan menari bersama
kita?” Tanya Pitaloka sekali lagi, sembari tangan lembutnya menggenggam erat
tangan pemuda tampan yang masih saja melamun.
Genggaman tangan si pujaan hati
semakin menenggelamkan pemuda itu dalam kegilaannya. Senyumnya semakin lebar,
dalam sekejap bibir itu sudah mengecup kening terindah Pitaloka. Gadis itu
hanya pasrah, ia tersenyum tipis, bunga-bunga surga berjatuhan menghiasi taman
hatinya. Kini mereka berdua terbang melayang menyapa langit kebahagiaan
tertinggi, hanya berdua.
Anak-anak kecil yang menyaksikan
kisah kasih itu merasa malu, mereka berlarian meninggalkan sepasang merpati
surga. Mereka tertawa dan berteriak riang, memecah suara gelombang ombak yang
menyapu batuan karang. Hingga terbangunlah pemuda dan pemudi itu dari mimpi
indahnya.
Mereka terdiam untuk beberapa saat.
Saling menatap satu sama lain, berusaha menyampaikan seluruh isi hati melalui
bahasa batin. Rawarontek mengulurkan tangannya, menyapa mesra jemari-jemari
Pitaloka. Pitaloka tak kuasa lagi menatap mata sayu itu, ia tutup wajahnya
dengan kedua telapak tangannya, berusaha kuat menyembunyikan sesuatu dari
pemuda di hadapannya. Tubuhnya terguncang hebat, menangis terisak-isak.
Peluhnya membasahi jentik jemari yang masih menutupi wajah cantiknya. Cinta
yang benar-benar agung telah mematahkan tiang-tiang duniawinya, meremukkan
jiwanya, semuanya hancur karena cinta.
“Apa yang terjadi denganmu?” Bisik
Rawarontek sembari memeluk tubuh pujaan hatinya, mecoba menenangkan jiwa
Pitaloka.
“Aku tidak mugkin bisa bersamamu.”
Jawab Pitaloka dengan suara yang terpatah-patah.
“Katakanlah sekali lagi.” Ucapnya
lirih.
“Aku tidak bisa, aku tidak mungkin
mencitaimu.” Gadis itu memeluk tubuh Rawarontek semakin erat. Ia menangis
sejadi-jadinya, air matanya tumpah bersama kesedihan yang ia rasakan. Ia tidak
tahan dengan cinta yang semakin menyiksa dirinya. Semakin besar rasa cintanya,
semakin besar ketakutannya untuk kehilangan Rawarontek.
Rawarontek melepaskan pelukannya. Ia
pandangi wajah cantik Pitaloka, bibirnya kembali tersenyum. Jemarinya menyentuh
pipi gadis itu, mengusap air matanya dengan penuh kelembutan. “Aku tidak tahu
apa yang harus kukatakan, Pitaloka, sejak pertama kali kau datang padaku, aku
merasakan sesuatu yang berbeda. Aku tak bisa berhenti memikirkanmu,
mengingatmu, menghayalmu, semuanya hanya dirimu Pitaloka. Cukup, kau tidak
perlu memaksakan hatimu. Aku sudah sangat bahagia, karena cinta telah
menyandarkan hatiku pada tempat terindah di kehidupan yang fana ini. Kau adalah
wewangian hatiku, wewangian hatiku.”
Rawarontek pergi berjalan
meninggalkan Pitaloka seorang diri. Membiarkan dewi cinta menjerit, memanggil
namanya untuk kembali. Cinta bukan hanya sekedar kata-kata tetapi dari
segumpal keinginan diberi pada hati yang memerlukan. Cinta yang sesungguhnya
selalu menghadirkan kebahagian, meski tidak selalu bersatu. Ia adalah sesuatu
yang murni, luhur dan tak akan pernah bisa terhapuskan oleh sebuah keadaan.
Maka dibiarkanlah pemuda itu pergi, meninggalkan dirinya yang masih menyimpan
rahasia hidupnya.
“Kau
juga wewangian hidupku, Rawarontek.” Kata itu keluar sangat pelan, terbang
disapu angin, dibawa pergi untuk menghiasi Pelang yang menawan.
11
Se Cangkir
Peradaban
Hari
yang satu telah menenggelamkan hari yang lain. Ia menelan semua cerita dalam
perut peradaban. Anak adam akan terus melukiskan sejarah, untuk dirinya,
kekasihnya, anaknya, sahabat, dan kaumnya. Memberi warna tersendiri dalam
rangkaian cerita kehidupan, entah itu indah atau menjijikkan. Tapi yang jelas,
semua itu akan dipertangung jawabkan pada Sang Pencipta kehidupan.
Dua utusan Majapahit datang
menghadap wiyasa Galuh Buana dengan membawa sepucuk surat. Surat itu mengatakan
bahwa Majapahit telah mengetahui semua penyelewengan yang diperbuat pemimpin
Wengkerkidul wiyasa Galuh Buana, dan memerintahkan untuk memperbaiki semua
kebijakannya agar sesuai dengan kebijkan Majapahit.
Sesegera mungkin wiyasa Galuh Buana
membuat surat balasan yang berisi permintamaafan atas segala kesalahan dan tindakan bodohnya. Dan
ia juga berjanji akan segera melaksanakan perintah yang telah dititahkan
Majapahit. Kemudian surat itu diberikan kepada dua utusan Majapahit untuk
disampaikan ke Sang Prabu Hayam Wuruk.
Tak berapa lama, dua utusan itu
kembali ke Trowulan. Melalui utusannya wiyasa Galuh Buana memanggil seluruh petinggi
Wengker untuk menghadap kepadanya. Alih-alih menyampaikan isi surat yang
diberikan Majapahit, pemimpin Wengkerkidul itu malah memaki-maki bawahannya. Ia
mengira ada salah satu diantara mereka yang berani melaporkan penyelewengannya
kepada Majapahit. Beberapa petinggi yang ia anggap kurang loyal ia panggil
diruang pribadinya.
“Siapa diantara kalian yang sudah
berani bermain api di belakangku?” Gertak wiyasa Galuh Buana kepada beberapa
petinggi Wengkerkidul yang ia curigai telah menghianatinya.
“Ampun Yang Mulia, kami tidak
mungkin berani melakukan hal tersebut. Kami selalu setia terhadap semua
perintah yang Mulia titahkan.” Jawab seseorang paling tua diantara mereka.
“Buktikanlah kesetian kalian itu.
Aku ingin kalian mencari tahu siapa orang yang telah berani melakukan tindakan
bodoh ini. Bawa dia kehadapanku, hidup atau mati.” Wiyasa Galuh Buana sangatlah
menginginkan orang yang ia anggap telah menikamnya dari belakang. “Dalam waktu
dua hari kalian belum menemukannya, maka kalianlah yang aku anggap sebagai
penghianat itu.” Ancamnya.
Semua petinggi Wengkerkidul menyebar keseluruh
penjuru, bertanya penuh selidik kepada siapa saja yang mereka kira mengetahui
sosok yang diinginkan wiyasa Galuh Buana. Hingga mereka dapatkan nama
Rawarontek, seorang pendekar muda yang beberapa hari lalu pergi ke Trowulan.
Hanya dalam sekejap saja, nama Rawarontek sudah sampai ke telinga wiyasa Galuh
Buana. Betapa murkanya ia mendapati berita itu, dalam keadaan mabuk berat ia
pecahkan semua kendi-kendi berisi tuak yang berserakan di lantai.
“Bocah
keparat itu lagi?” Betapa ia masih belum bisa mempercayai Rawarontek telah
melakukan tindakan sejauh itu.
“Dimana
dia sekarang?” Tanya lelaki berkumis tebal itu kepada semua orang yang ada di
sekitarnya.
“Rawarontek
bersama Empu Tirto, Aryayuda, Anggreng dan anak buahnya sedang berkumpul di
Grojogan sewu.” Jawab salah seorang diantara mereka.
“Apa
katamu? Kau bilang Rawarontek bersama Aryayuda dan si tua bangka sialan itu?”
Tanya wiyasa Galuh Buana keheranan.
“Benar
Yang Mulia, Ternyata pasukan hitam yang membuat keonaran di alun-alun beberapa
hari yang lalu adalah Angreng dan anak buahnya.”
“Biadab!”
“Keparat!”
“Perampok
kampungan itu selalu saja mencari masalah denganku.” Cacimaki, sumpah serapah,
begitu saja keluar mengiringi emosi yang meluap-luap wiyasa Galuh Buana.
Sambil berjalan sempoyongan, matanya memandang
tajam wajah Bajul Ireng yang berdiri di samping tiang penyangga.
“Bajul
Ireng!”
“Hamba
Yang Mulia.” Jawab Bajul Ireng.
“Kumpulkan
semua pasukanmu, tangkap bocah tengik itu, bawa kehadapanku. Aku ingin sekali
memakan jantungnya mentah-mentah.” Perintahnya dengan suara yang sangat geram.
“Baiklah
Yang Mulia.”
Selesai
menghaturkan sembah, Bajul Ireng bersama semua petinggi Wengkerkidul keluar
ruangan. Lantas Bajul Ireng segera menyiapkan pasukannya, dan semua peralatan
perang. Tak kurang lima ratus pasukan ia pimpin untuk menangkap Rawarontek.
v
Damarwuluh
yang mengetahui akan hal itu segera melesat menuju Panggul. Ia memacu kudanya
seperti orang yang kesetanan. Melaju bagai angin, melintasi hutan, bukit dan
pegunungan, beradu cepat dengan sang waktu. Setelah sampai di Grojogan sewu ia
bergegas menemui Empu Tirto.
“Ki,
bahaya Ki, Bahaya Ki.” Kata-kata ketakutan keluar begitu saja disela-sela
napasnya yang tersengal.
“Tenangkan
dulu dirimu, lalu lekaslah katakan bahaya apa yang kau maksudkan?” Empu Tirto
mencoba menenangkan Damarwuluh.
Sejenak
Damarwuluh mengatur napasnya, menenangkan dirinya, lalu mulai berkata. “Wiyasa
Galuh Buana telah mengirimkan lima ratus pasukannya menuju kemari, untuk
menangkap kalian terutama Rawarontek.”
“Kenapa
ia menginginkan Rawarontek?” Tanya Aryayuda.
“Karena
ia mengetahui Rawarontek telah pergi ke Trowulan.”
“Aku
sudah memperhitungkan semua ini, kita sudah berusaha melakukan cara terbaik
untuk mengingatkan wiyasa Galuh Buana. Tapi ia justru membalas kebaikan kita
dengan ketamakan dan keangkuhannya. Mungkin sudah saatnya ia harus diingatkan
dengan cara kekerasan.” Aryayuda menyampaikan kegeramannya terhadap sikap
wiyasa Galuh Buana yang tidak mau mendengarkan nasihat dari rakyatnya, dan
mengabaikan perintah Majapahit.
“Pemimpin
keparat seperti dia harus segera disingkirkan. Biarlah aku kumpulkan seluruh
anak buahku untuk memberi pelajaran kepadanya. Dia harus mengerti bahwa rakyat
juga memiliki kekuatan untuk menghukum pemimpin yang lalai seperti dia.” Ujar
Anggreng menyetujui ucapan aryayuda.
Rawarontek
pun tak ketinggalan memberikan usulan. “Jika cara itu memang yang terbaik, maka
aku akan meminta bantuan Ki Joyogeni untuk menyatukan rakyat Karangan.”
“Jangan
lupakan pemuda Kamulan.” Ujar Aryayuda.
“Aku
juga akan berusaha untuk mengumpulkan pemuda Kerandon sebanyak mungkin untuk
membantu kalian.” Damarwuluh menyampaikan usulnya.
Setelah
semua orang selesai menyampaikan pendapatnya masing-masing, mereka mengalihkan
pandangannya ke arah Empu Tirto yang sedari tadi hanya diam.
“Bagaimana
pendapatmu Ki?” Tanya Rawarontek.
“Aku
sangat terilhalmi oleh perkataan Anggreng. Pada dasarnya rakyatlah yang
memiliki kekuasaan penuh atas pemimpinnya, bukan sebaliknya. Satukanlah seluruh
rakyat Wengkerkidul, dan kalian akan mendapatkan kekuasaan itu.”
“Sebenarnya
kita tidak usah membuang banyak waktu dan tenaga untuk menyatukan seluruh
rakyat Wengkerkidul. Cukuplah kita berlima saja ditambah lima puluh anak
buahku, aku yakin kita dapat memporak-porandakan prajurit Bajul Ireng. Aku
hanya tidak ingin melibatkan rakyat dalam pertempuran yang akan memakan banyak
korban ini.” Anggreng menawarkan ide kesatrianya.
“Hai
singa-singa Perdikan Kampak, apakah kalian masih memiliki nyali untuk
mengangkat golok kalian demi rakyat Wengkerkidul yang tertindas!” Seru Anggreng
kepada anak buahnya.
“Jika
kesejahtaraan rakyat adalah tujuannya, maka tuanku bisa mempersembahkan nyawa
kami untuk pertempuran ini.” Jawab seluruh perampok Perdikan Kampak.
Jawaban
anak buah Anggreng membuat hati siapapun yang mendengar pastilah tersentuh.
Pakaian yang disandang seseorang memang tidak bisa dijadikan satu-satunya dasar
untuk menilai seseorang. Meski terkenal sebagai perampok, tetapi Anggreng dan
anak buahnya selalu membagikan seluruh hasil rampokannya kepada rakyat
Wengkerkidul yang kelaparan. Bahkan mereka tak pernah merasakan hasil
rampokannya, walau sebutir beras saja. Mereka sangat membenci saudagar kaya dan
kaum hartawan yang melupakan penderitaan sahabat dan saudaranya disetiap musim
paceklik pangan tiba.
“Aku
sangat menghargai sikap kesatria kalian. Tapi kali ini kita tidak akan
menaklukkan kesewenang-wenanangan pemimpin dengan pedang dan darah, melainkan dengan
persaudaraan dan kasih sayang seluruh rakyat Wengkerkidul. Karena cinta dan
kasih sayang adalah kekuatan terbesar yang dianugerahkan Tuhan untuk umat
manusia, percayalah.” Sekali lagi Empu Tirto memberikan pelajaran yang bijak
kepada orang disekitarnya.
“Aku
percaya Ki dengan semua ucapanmu, tapi aku masih belum terlalu menggerti dengan
strategi yang kau usulkan itu.” Ujar Rawarontek
Empu
Tirto tersenyum mendengar penuturan cucunya itu. “Masih ingatkah kau dengan
ucapan Yang Mulia Ibu Suri Tribuana Tunggadewi, bahwa kepribadian adalah
sesuatu yang lebih berarti bagi peradaban manusia dari pada sebuah
kebijaksanaan. Itu artinya Yang Mulia Ibu Suri menginginkan adanya perbaikan
kepribadian seluruh rakyat Wengkerkidul. Karena hanya dengan kepribadian yang
mulia kita bisa menciptakan sebuah kebijaksanaan yang bermanfaat.”
“Yang
perlu diperbaiki itu bukan kepribadian rakyat Wengkerkidul Ki, tapi kepribadian
pemimpinnya, wiyasa Galuh Buana dan para antek-anteknya.” Serobot Rawarontek
dengan nada sedikit kesal.
“Jika
kamu menginginkan sebuah perubahan, maka mulailah dari dirimu sendiri. Kita
harus pandai-pandai mengoreksi kesalahan diri kita sendiri sebelum lekas
menilai kesalahan orang lain. Marilah kita terangi Wengkerkidul dengan
kepribadian yang mulia dari seluruh penghuninya. Karena sejatinya kepribadian
yang mulia itulah yang akan selalu memberikan kedamaian di dalam lubuk hati
rakyat Wengkerkidul.”
Semua
telinga mendengarkan dengan baik setiap kata yang diuacapkan Empu Tirto. Hati
mereka mulai merasakan hikmah yang terkandung di dalamnya. Namun pikiran mereka
masih kesulitan menemukan alasan yang logis untuk membenarkan strategi yang
ditawarkan Empu Tirto. Untuk membuktikan kebenaran ucapan Empu Tirto, maka
mereka semua harus mendahulukan kata hati ketimbang akal pikiran.
“Lalu
apa yang harus kami lakukan Ki?” Tanya Anggreng yang seakan sudah siap
menjalankan strategi Empu Tirto.
“Sampaikan
pesan moral Ibu Suri Tribuana Tunggadewi kepada seluruh rakyat Wengkerkidul.
Katakan pada mereka, bahwa seluruh rakyat Wengkerkidul akan segera mendapatkan
peperangan besar dalam sejarah peradabannya. Kita akan segera berperang melawan
kejahatan wiyasa Galuh Buana. Kalian ingat baik-baik, yang akan kita perangi
kali ini adalah kejahatannya, bukan wiyasa Galuh Buana. Oleh karena itu,
siapkanlah sebaik-baik bekal peperangan, yaitu kesabaran dan keikhlasan. Esok
lusa suruh mereka berkumpul di alun-alun.”
“Baiklah
Ki, kami telah memahami perintah yang kau berikan. Sebaiknya kita segera
bertindak sebelum prajurit Bajul Ireng
sampai kesini.” Ucap Aryayuda.
Kini
mulailah Empu Tirto memberikan tugas kepada kelima panglima perangnya. “Kita
akan menyebar. Rawarontek datangilah dusun Karangan, bantu Ki Joyogeni untuk
meyakinkan rakyatnya. Damarwuluh kau pergilah ke Kerandon. Aryayuda tugasmu
adalah meminta rakyat Kamulan untuk memaafkan semua kesalahan wiyasa Galuh
Buana, dan kembali ikut serta dalam peperangan akbar ini. Aku akan berusaha
mengajak warga Bendungan. Dan kau Aggreng pergilah bersama Rahayu Pitaloka
kesuluruh daerah kekuasaan Perdikan Kampak.”
Mendengar
nama Rahayu Pitaloka, segera terbesit bayangan seseorang dalam pikiran
Damarwuluh.
“Tadi
benar kau menyebutkan nama Rahayu Pitaloka, Ki?” Tanya Damarwuluh mengungkapkan
rasa penasarannya.
“Maaf,
aku sampai lupa memberi tahumu, bahwa ada seorang gadis cantik yang telah
membantu menyelamatkan kami dari hukuman wiyasa Galuh Buana. Namanya Rahayu
Pitaloka, dialah yang memberitahu Anggreng tentang kondisiku kala itu.” Ujar
Empu Tirto sembari mengenang kembali peristiwa yang hampir merenggutnya
nyawanya, juga Aryayuda.
“Bolehkah
aku bertemu dengannya?” Pinta Damarwuluh.
Permintaan
Damarwuluh itu menyadarkan mereka semua, bahwa sedari tadi Pitaloka tidak lagi
bersama mereka.
“Rawarontek
cobalah kamu cari dimana Pitaloka berada!”
Rawarontek
bergegas mencari Pitaloka. Ia telusuri setiap tapak jalan, melihat penuh teliti
pada hamparan pantai Pelang yang luas. Hingga ia temui ada seorang gadis duduk
diatas batu, menghadap ke samudera. Didekatinya gadis itu, dan telinganya mulai
mendengar suara isakan tangis. Rawarontek mengambil posisi duduk bersandingan
dengannya. Sejenak ia terdiam, matanya melihat matahari yang seolah-olah mulai
tenggelam kedalam samudra biru. Langit pun mulai menguning, mengusir
burung-burung untuk kembali kesarangnya. Pandangannya kembali menoleh ke arah
gadis disampingnya, di lihatnya pipi Pitaloka telah basah.
“Pitaloka!”
Suara yang pelan memanggil gadis yang sedang di landa kesedihan itu.
Pitaloka
menoleh ke arah Rawarontek, akan tetapi pandangannya dijatuhkan ke pasir yang
berwarna putih.
“Maukah
kau berbagi kesedihanmu denganku?” Ujar Rawarontek.
Air mata
gadis itu kembali berlinang, mengalir melawati pipi putihya, lalu menetes
membasahi pangkuannya. Ia kelihatan ingin sekali mengatakan sesuatu, tapi tak
tahu harus dimulai dari mana. Pitaloka menatap wajah Rawarontek, mata itu
memerah, menyimpan terlalu banyak kepiluan hidupnya. Barulah Rawarontek
mengerti seberapa besar derita yang ditanggung gadis yang dicintainya itu.
Bibir merah Pitaloka mulai membuka tabir rahasia yang selama ini ia tutup
rapat-rapat.
“Apa kau
sangat membenci wiyasa Galuh Buana?”
“Kenapa kau
bertanya seperti itu?” Bukannya menjawab pertanyaan Pitaloka, Rawarontek malah
balik bertanya.
“Jawablah
Rawarontek.” Pintanya.
“Jujur aku
sangat membencinya, sampai sekarang aku masih belum bisa memaafkan semua
kejahatan yang telah ia lakukan. Ia memaksa Damarwuluh untuk membunuh nenekku,
benar-benar manusia biadab.”
“Kau memang
berhak untuk membencinya.” Terasa berat sekali Pitaloka mengucapkan kalimat
itu. Air matanya kembali tumpah, tubuhnya bergetar tak kuat menahan
kesedihannya.
Rawarontek
khawatir sekali melihat keadaan Pitaloka. ia
benar-benar tidak mengerti dengan semua kesedihan yang dialami gadis
cantik itu. “Sebenarnya apa yang kau sembunyikan dariku?”
“Dia adalah
ayahandaku.” Ujar gadis itu tersendat di sela-sela nafasnya yang berat.
“Maksudmu
wiyasa Galuh Buana?” Tanya Rawarontek.
Pitaloka
tidak mampu menjawab pertanyaan Rawarontek. Ia menangis sejadi-jadinya,
seolah-olah matanya adalah bibir yang berkata dengan air mata.
Rawarontek
tak tahan mengahadapi sebuah kenyataan yang baru saja ia ketahui. Begitu saja
ia pergi meninggalkan Pitaloka, membawa perasaan kecewa yang teramat mendalam.
Empu Tirto yang sedari tadi mengamati mereka berdua dari kejahuan segera
menghentikan Rawarontek.
“Rawarontek,
kau boleh saja membenci semua kejahatan yang telah diperbuat wiyasa Galuh
Buana. Tapi tidak ada alasan bagimu untuk membenci Pitaloka. Dia anak yang
baik, ingat itu!”
Damarwuluh
berlari mengejar Rawarontek. “Kalau kau masih merasa sakit hati dengan kejadian
itu, siksalah aku sesuka hatimu. Aku yang telah membunuh Nyi Damas, bukan
Pitaloka.” Ujar Damarwuluh sembari menghadang langkah Rawarontek.
“Dia
berbohong kepadaku, katanya dia bekerja sebagai tabib pribadi wiyasa Galuh
Buana, tapi apa kenyataannya? Apa?” Cetus Rawarontek.
“Dia sama
sekali tidak membohongimu, memang benar adanya ia bekerja sebagai tabib pribadi
wiyasa Galuh Buana. Bahkan dia tidak hanya mengobati wiyasa Galuh Buana, tapi
semua rakyat Wengkerkidul yang menderita penyakit, dengan sukarela. Tak hanya
itu anak muda, ketahuilah bahwa gadis mulia ini selalu mencuri beras simpanan
ayahandanya untuk dibagi-bagikan kepada,”
“Cukup
paman, kau tidak perlu membelaku seperti itu. Rawarontek memang berhak untuk
membenciku.” Pitaloka menghentikan pembelaan yang dilakukan Damarwuluh untuk
dirinya.
“Lalu kenapa
kau tidak mengatakannya dari dulu?” Tanya Rawarontek kepada Pitaloka.
Gadis itu
hanya membisu, tak ada sepatah kata pun yang mampu ia ucapkan. Bahkan untuk
memandang wajah Rawarontek saja ia tak sanggup.
“Karena dia
sangat mencintaimu. Dia takut sekali jika kau membencinya.” Sahut Damarwuluh.
Rawarontek
tersentak mendengar ucapan Damarwuluh. Kata-kata itu seperti gelombang ombak
besar yang tiba-tiba saja datang menggulung jiwanya. Perasaannya campur aduk,
hingga ia tak tahu harus merasa kecewa, sedih atau justru bahagia karena
ternyata pitaloka juga mencitai dirinya. Ia berusaha menenangkan dirinya,
meredam kuat-kuat emosi yang bergejolak dalam hatinya, dan mencoba untuk mulai
bisa berfikir dengan jernih.
Pemuda itu
menengadahkan wajahnya ke langit, seakan sedang mencari dimana Tuhan sedang
bersemayam. Ingin sekali ia bertemu denganNya, dan mencurahkan semua kekalutan
jiwanya. Tiba-tiba saja Aryayuda merangkul anaknya, ia pun ikut menengadahkan
wajahnya kelangit.
“Kau tidak
akan pernah bisa melihatnya, karena dia sedang bersamayam di sini.” Ujar
Aryayuda sembari menunjuk dada Rawarontek. “Dan di sini.” Lalu ia menunjuk
dadanya sendiri.
Setelah
mendengar nasihat ayahandanya, Rawarontek meresakan ketenangan menjalar keseluh
tubuhnya. Melilit kuat semua kegundahan jiwanya, hingga membuatnya hancur tak
tersisa. Ia tersenyum kearah Aryayuda, senyumnya itu mengatakan tentang
kelapangan hati Rawarontek.
“Terimakasih
Romo.” Ucapnya kemudian.
Rawarontek
mengalihkan pandangannya ke arah Pitaloka. Gadis tu masih menundukkan
pandangannya. Kepalanya tak mampu berdiri tegak, karena terlalu berat rasa malu
yang harus ia sangga. Pemuda itu berjalan mendekati Pitaloka, menyusuri pantai
Pelang di bawah senja. Dan tatkala mereka sudah saling bertatap muka,
Rawarontek melihat sekali lagi keindahan sang pujaan hati, tapi dengan makna
yang berbeda.
Wajah
Pitaloka terlihat begitu cantik, karena keramahan dan kesantunan yang selalu ia
tebarkan. Bibirnya tipisnya yang mempesona selalu menuturkan tentang kebaikan
dan doa-doa. Tatapan matanya begitu memikat karena ia mau melihat kesulitan
yang dialami sahabat dan kerabatnya. sedang tangan putihnya terasa sangatlah
lembut karena ia adalah gadis yang ringan tangan. Sore itu Rawarontek seolah
telah menatap peri yang turun dari surga, cantik dan begitu menentramkan.
“Maaf aku
telah berbuat salah kepadamu.”
Pitaloka
dapat melihat penyesalan pada mata pemuda yang telah lama memikat hatinya.
“Kau tidak
pernah melakukan kesalahan apapun, aku yang seharusnya meminta maaf padamu.
Dosa-dosa ayahku menumpuk terlalu banyak hingga sulit untuk kau hapuskan. Aku
mohon padamu Rawarontek, maafkan dia.” Pinta Pitaloka, diiringi air matanya
yang berlinang.
“Kau jangan
menangis lagi, aku sudah memaafkannya. Sebaiknya kita jangan terlalu larut
dengan masa lalu, karena masa ada masa depan yang sudah menanti kita.” Ujar
Rawarontek menenangkan hati Pitaloka.
Pitaloka
memeluk erat tubuh pemuda yang baik hatinya itu. Ia merasa sangat bahagia
setelah semua kesalahan ayahandanya termaafkan oleh Rawarontek. Hatinya telah
terbebaskan dari perasaan bersalah, yang selama ini membuatnya merasa takut
untuk mencintai Rawarontek. Kesedihannya kini sudah hilang, seperti senja yang
telah ditelan malam.
v
Mereka semua
berkumpul pada bibir pantai. Mengitari api unggun yang mampu menghangatkan jiwa
yang kedinginan. Empu Tirto memimpin semua sahabatnya, untuk kembali
menjalankan tugasnya.
“Kita akan
meninggalkan Panggul dengan kedamaian. Sebisa mungkin kalian hindari bertemu
dengan pasukan Bajul Ireng. Tempuhlah jalan yang tak biasa di lalui orang.
Laksanakan semua tugas yang telah kalian pilih, dan semoga perjuangan kita ini
bisa memberikan kebahagian bagi rakyat Wengkeridul.”
Lantas
mereka segera membubarkan diri, dan pergi meninggalkan Pelang menuju sebuah
medan perjuangan.
12
Terang Ing
Penggalih
Ketika manusia melihat penguasaan jiwa
sebagai cara terbaik untuk mengatasi segala permasalahan hidup. Ketika manusia
meninggalkan pedang dalam sebuah peperangan akbar. Ketika manusia berhasil
menenggelamkan egonya demi sebuah kebersamaan. Ketika keberanian telah
berbicara banyak tentang kebenaran. Ketika bunga cinta tumbuh dan mekar pada jiwa
yang suci. Saat itulah tangan-tangan peradaban melukiskan kisah terindah bagi
sebagian kaum yang mau melihat.
Dikala
mentari pagi baru menampakkan sinar emasnya, wiyasa Galuh Buana dikagetkan oleh
serangan yang teramat dahsyat. Seluruh rakyat Wengkerkidul tumpah ruah memenuhi
alun-alun, lelaki ataupun wanita, tua ataupun muda, bapak ataupun anak, bahkan
bayi yang baru lahir sekalipun mereka gendong untuk berkumpul bersama. Berjejer
rapi, dengan bergandengan tangan erat-erat seperti sebuah rantai besi yang
sangat kuat. Inilah kekuatan rakyat yang sesungguhnya, bukan datang dari sebuah
pedang melainkan datang dari persatuan dan rasa kebersamaan.
“Hai
penguasa Wengkerkidur, keluarlah! Temuilah rakyatmu yang ingin berbicara dengan
pemimpinnya.” Teriak Ki Joyogeni lantang.
Bajul
Ireng keluar dengan menunggangi kuda hitam kesayangannya, memimpin ratusan
prajurit terbaiknya menghadapi rakyat Wengkerkidul. Sedangkan wiyasa Galuh
Buana bersama istrinya dan beberapa petinggi Wengkerkidul berada dibarisan
paling belakang dengan mendapat pengawalan yang ketat. Pasukan Bajul Ireng
masih terus berjalan berderap, membentang dari utara keselatan membentuk sebuah pagar betis yang kokoh.
Tangan kanan mereka memegang pedang, sedang tangan kiri mengangkat tameng.
Pasukan pemanah selalu mengentai dengan penuh kewaspadaan dari barisan
belakang.
“Siapa
diantara kalian yang hendak menjadi pembangkang? Siapa diantara kalian yang
hendak berkhianat? Lekaslah maju dan tunjukkan keberanianmu.” Teriak Bajul
Ireng sembari mangacung-acungkan pedangnya ke arah rakyat Wengkerkidul.
Rawarontek
maju kedepan menghadapi Bajul Ireng dengan memegang pedang Cakra Buana ditangan
kanannya. Bajul Ireng segera turun dari punggung kudanya, lantas ia pasang
kuda-kuda seolah telah siap berduel dengan Rawarontek. Tak ada reaksi yang
ditunjukkan Rawarontek, ia justru melemparkan pedangnya ketanah, mengisyaratkan
pesan damai.
“Siapa
yang telah berkhianat? Rakyat atau justru wiyasa Galuh Buana?” Tanya Rawarontek
tegas.
“Apa
maksud perkataanmu? Kau jangan membuat kami bingung, dengan permainan
kata-katamu itu anak muda.” Bentak Bajul Ireng.
“Siapa
yang telah membuat rakyat bingung? Aku atau wiyasa Galuh Buana?” Tanya
Rawarontek lagi.
Bajul
Ireng semakin jengkel saja mendengar perkataan Rawarontek. “Sudah cukup, jangan
permainkan kami lagi?”
“Selama
ini siapa yang telah mempermainkan perasaan rakyat Wengkerkidul, aku atau
wiyasa Galuh Buana?”
Tanpa
mengucapkan sepatah kata lagi, Bajul Ireng langsung menyerang Rawarontek. Ia
tebaskan pedangnya ke arah leher Rawarontek. Pemuda itu menghindar dengan
tenang, tangan kirinya melesat cepat mengenai kening Bajul Ireng. Tubuh Bajul
Ireng tiba-tiba saja kaku, tak bisa bergerak sama sekali.
“Kami
datang kemari bukan untuk berperang dengan pemimpin kami, karena kami bukan
pembangkang, kami juga bukan penghianat, bukan pula seorang pemberontak. Kami
hanya ingin kedamaian untuk Wengkerkidul, persaudaraan, kebersamaan, kerukunan,
kebebasan, dan rasa saling menjaga. Aku mohon kepadamu wahai pemimpinku,
kembalikanlah kedamaian itu. Berhentilah menyiksa rakyatmu dengan kebijakan
palsumu itu. Taatilah perintah Majapahit, dan sayangilah rakyatmu sebagaimana
kau menyangi dirimu sendiri.” Pinta Rawarontek kapada wiyasa Galuh Buana.
“Kebijakan
seperti apa yang kauinginkan? Apakah kebijakan seperti yang di angan-angankan
lelaki bejat yang telah memperkosa istriku?” Teriak wiyasa Galuh Buana lantang
sekali seolah ia ingin semua rakyat Wengerkidul mendengar ucapannya.
Mendengar
ucapan wiyasa Galuh Buana, membuat hati Pitaloka tergerak untuk maju kedepan
menjawab tuduhan keji yang dilontarkan ayahandanya itu. “Tidak ada yang
memperkosa Ibunda Nawang Sari. Kalianlah yang telah merencanakan semua ini,
memfitnah Aryayuda agar kebijakan yang telah ia perbaharui tidak jadi
dilaksanakan. Berhentilah Romo, sampai kapanpun Romo tak akan pernah menemukan
kebahagian pada puluhan karung emas yang telah Romo kumpulkan. Karena sejatinya
kebahagian yang Romo cari itu ada disana, di hati rakyatmu.” Ujar Pitaloka
sembari menunjuk kearah rakyat Wengkerkidul yang tersenyum bangga kepadanya.
“Apa
yang barusan kau ucapkan? Kau menghianati ayahandamu sendiri, dasar anak
durhaka.” Bentak wiyasa Galuh Buana berang mendengar ucapan putri semata
wayangnya itu.
Pitaloka
mengambil pedang Cakra buana yang tergeletak diatas tanah. Dengan langkah kaki
yang mantap, ia terus berjalan mendekti ayahandanya. Setelah saling berhadapan,
ia letakkan pedang tajam itu ketangan wiyasa Galuh Buana.
“Hunuslah
pedang ini kejantungku jika Romo menganggapku sebagai anak yang durhaka. Lebih
baik aku mati dari pada hidup sebagai anak yang durhaka. Semua ini aku lakukan
demi kebaikan Romo, aku hanya tak ingin dosa-dosa itu semakin membelit jiwa dan
batin Romo. Kebahagian Romo adalah kebahagianku, begitu juga dengan kesedihan
Romo adalah kesedihanku juga.” Gadis cantik itu berusaha mengetuk hati
ayahandanya.
Mendengar
penuturan putri yang sangat ia cintai, membuat hati wiyasa Galuh Buana
bergejolak hebat. Kata-kata itu seperti matahari yang mampu menerangi kehidupan
hitam pemimpin Wengkerkidul. Menyalakan kembali lilin-lilin kehidupan yang
telah lama padam. Kemudian kawanan setan datang lalu meniup lilin-lilin itu
hingga mati.
Tamparan
keras mengenai pipi gadis malang itu, hingga ia tersungkur di atas tanah. Darah
mengalir dari bibirnya yang sobek. Nawang Sari segera mendekap putri
tercintanya itu. Ia menangis sejadi-jadinya tatkala mendapati Pitaloka
terbaring lemah di atas tanah.
“Apa
yang kau lakukan? Kenapa kau tidak mau membuka mata hatimu? Pitaloka telah
mengatakan suatu kebenaran, tidakkah kau dapat merasakan semua itu? Sungguh aku
malu karena telah gagal menjadi istri dan ibu yang baik. Oh Tuhan wanita macam
apa aku ini.” Rintihan Nawang Sari disela-sela penyesalan yang melanda jiwanya.
“Diam!”
Bentak suaminya.
“Prajurit
bunuh pengacau itu!” Teriak wiyasa Galuh Buana sembari menyuding Rawontek.
Dua
puluh pasukan petarung maju menyerbu Rawarontek. Pemuda itu mendapat serangan
yang bertubi-tubi, pedang dan tombak melayang-layang hendak menerkamnya.
Rawarontek berjumpalitan menghindari sayatan dan tusukan senjata yang mematikan
itu. Pendekar muda itu sama sekali tidak melakukan serangan kepada lawan
tarungnya. Ia tetap tenang, melayani berbagai jurus yang diperagakan prajurit
wiyasa Galuh Buana. Geram melihat kelincahan yang dipertontonkan Rawarontek,
lelaki berkumis tebal itu mengerahkan semua pasukannya untuk menyerbu anak
Aryayuda. Perkelahian yang tidak seimbang pun terjadi, Rawarontek dibuat
keteteran melayani ratusan prajurit yang sudah terlatih untuk berperang.
Meski dikroyok
oleh ratusan prajurit, ia masih tetap saja tidak mau menyerang balik. Sungguh
sulit situasi yang dihadapi Rawarontek kala itu, ia berusaha menahan amarahnya
demi mendapatkan kemenangan yang sejati. Tubuh pemuda tampan itu mulai dipenuhi
luka sayatan pedang. Darah mengalir dari hampir semua bagian tubuhnya, namun ia
tetap tak mau melawan. Hal ini membuat lawan-lawannya menjadi bingung.
“Kenapa
kau tidak membalas serangan kami sama sekali?” Tanya beberapa prajurit.
Rawarontek
hanya tersenyum sambil terus menghindari serangan mereka.
“Karena
kami datang bukan untuk berperang. Kalian adalah saudara kami, mana mungkin aku
menumpahkan darah saudaraku sendiri.” Jawab Rawarontek.
Sebagian
prajurit yang mendengar langsung menghentikan serangan mereka. Sedang yang lain
tetap menyerang dengan penuh semangat. Sampai pada akhirnya mereka bisa
menjatuhkan tubuh Rawarontek ke atas tanah.
“Hentikan!”
Teriak salah seorang prajurit kepada semua temannya.
“Apakah
kalian tidak malu tetap menyerang seseorang yang sesungguhnya menganggap kita
sebagai saudara. Andai saja mereka mau, maka matilah kita hari ini. Tapi
lihatlah semua orang itu, mereka marah tapi tak mau menyerang kita.” Ujarnya
sambil menunjuk seluruh rakyat Wengkerkidul yang menyaksikan pengkroyokan itu. “Kalian taruh mana kehormatan kalian, kita ini
prajurit bukan hewan piaraan.”
Wiyasa
Galuh Buana mengambil sebatang tombak yang tergeletak di sebelahnya. Ia
lemparkan tombak itu hingga menembus dada prajurit yang berusaha menyadarkan
prajurit lainnya. Semua orang tersentak dengan tindakan wiyasa Galuh Buana. Ia
sudah kehilangan akal sehatnya. Tak ia perhitungkan dampak dari tindakannya
itu. Semua prajurit menatapnya dengan pandangan kebencian. Prajurit-prajurit
itu sungguh kecewa dengan perlakuan wiyasa Galuh Buana terhadap sahabat mereka.
Sebagian dari mereka ada yang hendak menyerang wiyasa Galuh Buana, tapi
dihentikan oleh Rawarontek.
“Jangan
kalian lakukan itu, kendalikan emosi kalian.”
Meski
sangat ingin membunuh wiyasa Galuh Buana, tapi mereka masih sanggup
mengendalikan diri. Rawarontek berusaha untuk kembali berdiri, tapi lukanya
terlalu parah hingga tak mampu untuk melakukannya. Beberapa prajurit yang tadi
menyerangnya, kini datang untuk membantunya berdiri.
“Hai
kenapa kalian tetap diam saja di situ, ayo lekas hajar mereka!” Gertak wiyasa
Galuh Buana, memarahi petinggi Wengkerkidul.
“Kami
telah bosan menjadi pengecut. Kami telah bosan membohongi diri kami sendiri.
Kini kebenaran itu telah datang, maka tidak ada pilihan lagi bagi Yang Mulia
selain mengikutinya.” Jawab salah seorang dari mereka.
“Kalian
semua penghianat! Kalian semua pemberontak! Kalian semua harus mati! Aku
sungguh murka dengan sikap kalian semua!” Wiyasa Galuh Buana merasa sangat
terpojok. Tak ada lagi yang mau membelanya, selain setan-setan yang terus
berbisik tentang kejahatan.
Ia
mengambil pedang Cakra Buana yang ada dihadapannya. Dengan wajah yang garang,
ia hendak membabat semua leher manusia yang ia anggap telah menghianatinya.
Pitaloka segera bergegas menghampiri ayahandanya. Ia peluk erat-erat tubuh yang
telah dikuasai setan itu. Air matanya mengalir, membasahi dada wiyasa Galuh
Buana.
“Aku
mohon jangan lakukan itu Romo. Kendalikan diri Romo, bukalah mata hati Romo.
Jangan dengarkan semua bisikan yang menyesatkan itu.”
“Aku
akan bunuh mereka!” Teriak wiyasa Galuh Buana seperti orang yang kesetanan.
“Jangan
Romo!” Pinta Pitaloka sambil menangis sesenggukan. “Jika Romo bersikeras ingin
membunuh mereka, maka bunuhlah aku dulu. Aku tak ingin melihat Romo melakukan
dosa lagi.”
“Kalau
kau tak ingin mereka mati, maka aku yang harus mati.” Ujar wiyasa Galuh Buana
merendahkan suaranya.
“Jangan
Romo!” Rengek Pitaloka menangisi sikap ayahandanya yang benar-benar kehilangan
semangat hidup.
“Lalu
apa yang harus aku lakukan?” Ujarnya dengan penuh rasa frustasi. “Apaaa?”
Teriaknya memecah keheningan saat itu.
“Kabulkanlah
permintaan rakyatmu. Pimpinlah mereka dengan penuh kebijaksanaan dan rasa kasih
sayang. Kau masih punya waktu untuk meminta maaf kepada mereka. Benahilah semua
kesalahanmu, dengar semua pendapat rakyatmu. Karena tidaklah ada gunanya
seorang pemimpin tanpa adanya dukungan dari yang dipimpin. Sesungguhnya rakyat
adalah alasan dan tujuanmu menjadi seorang pemimpin.”
Kata-kata
bijak itu keluar dari seorang wanita yang berada ditengah-tengah kerumunan
rakyat Wengkerkidul. Lantas beberapa lelaki yang ada disekitarnya segera
membukakan jalan bagi wanita paruh baya itu untuk berjalan ke depan. Sebagian
orang mulai menyadari bahwa wanita tua itu adalah Ibu Suri Tribuana Tunggadewi.
Sedang beberapa lelaki yang ada disekitarnya tak lain adalah pasukan
Bhayangkari yang sedang menyamar.
“Aku sungguh
takjub melihat keindahan hati kalian semua wahai rakyat Wengkerkidul. Kalian
telah berhasil menumbangkan kebatilan tanpa harus mengangkat pedang. Jiwa
kalian sungguh terang dan mampu menerangi Wengkerkidul. Kalian telah
mendapatkan kemenangan yang sejati, kemenangan yang agung, kemenangan yang
tidak pernah aku jumpai sebelumnya. Wilayah ini telah mengilhamiku banyak
pelajaran. Wilayah ini mampu menerangi jiwa dan pikiranku. Maka sepantasnyalah
aku menyebut kalian sebagai masyarakat Terang
Ing Penggalih. Masyarakat yang memiliki kelapangan hati dan pikiran, serta
mampu menerangi jiwa manusia lainnya.”
Sekian
Tentang Penulis
M.G.A.ZULFAHMI lahir pada tanggal 15 Oktober 1991 di
kabupaten Trenggalek. Ia mendapat pendidikan pertama di TK Bustanul Atfal
Aisyiyah Salamrejo. Kemudian pada tahun 1998 melanjutkan pendidikannya di MI
Muhammadiyah Salamrejo, MTsN Model Trenggalek. Di tahun 2010 ia mulai masuk
perguruan tingga dan hingga sekarang masih aktif sebagai mahasiswa di
Universitas Brawijaya Malang.
Semasa
sekolah di SMAN 1 Trenggalek ia menjadi anggota SKI di Masjid Manarul Huda.
Bersama sahabat terbaiknya ia mempelajari arti sebuah kehidupan dengan
dibimbing Ustadz Edi Eli. Kemudian di bangku kuliah ia aktif sebagai anggota
HMI Komisariat Pertanian UB. Disanalah ia mulai mempelajari tentang dinamika
kehidupan sosial. Belajar tentang bagaimana caranya berkawan, hingga belajar
tentang bagaimana caranya melawan.
Sama
seperti semua manusia di planet bumi ini, penulis sangat mencita-citakan
kehidupan yang bebas dari sebuah kemunafikan. Hidup saling bergandeng tangan,
saling menjaga, dan saling menghargai. Baginya tidak ada manusia yang lebih
baik karena semua manusia adalah yang terbaik.
“Percaya dan yakinlah bahwa kita hidup
di masa kini untuk belajar kebenaran abadi dari sejarah dan bermimpi untuk masa
depan. Bagai berjalan di dalam sebuah terowongan, kita berjalan dalam kegelapan
dan saat itu juga kita menyadari pernah melewati jalan yang terang dan akan
menemukan jalan yang lebih terang di depan. Itulah ibarat sebuah perjuangan
dalam sebuah kehidupan dan menghadapi rintangan. Ketika kita berusaha melewati
rintangan itu belajarlah dari masa lalu dan yakin mampu melewati rintangan.
Karena jalan yang lebih terang telah menunggu di depan kita, yaitu masa depan
yang sempurna.”
Cover
Editor
M.A.
Wicaksono