Untuk Tanah Ku Tercinta














Didedikasikan kepada

Bapak Gusani dan Ibu Emy Rahmawati

Saya bisa sampai di sini karena perjuangan kalian, dan dengan restu kalian aku akan terus berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi agama kita, bangsa kita, dan tanah air kita.













Catatan Si Penulis


Bismillahirrohmanirrohim.

          Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Swt, Tuhan yang telah memberikan kesempatan bagi saya untuk mempersembahkan sebuah karya bagi orang-orang yang saya cintai. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi dan teladanku Baginda Muhammad Saw, bersama orang-orang yang selalu mengikuti ajarannya.
          Para pembaca yang mulia, saya ingin sekali menjelaskan alasan mengapa saya menuliskan novel ini. Semua berawal dari perjalanan hidup saya saat meneruskan pendidikan di kota Malang, tepatnya di Universitas Brawijaya. Masih teringat dengan jelas saat pertamakali saya mengikuti kegiatan perkuliahan. Seperti biasanya semua anak saling memperkenalkan diri kepada kawan barunya. Satu-persatu kita berdiri untuk menyebutkan nama dan kota asal. Dari perkenalan itu aku mengetahui kebanyakan teman baruku berasal dari Mojokerto, Malang, Kediri, dan Jombang. Setelah itu barulah tersebutkan nama kabupaten seperti Bojonegoro, Bayuwangi, Probolinggo, Sidoarjo, Bangkalan, Sumenep, Ponorogo,Gresik, Ngawi, dan bahkan ada pula yang berasal dari Jakarta dan Palembang. Hingga tibalah kesempatan bagiku untuk memperkenalkan diri. “Nama saya Muhammad Guruh Arif Zulfahmi, biasanya dipanggil Fahmi, asal dari Trenggalek.” Dan beberapa anak pun langsung menoleh kepadaku seraya berkata, “Trenggaplek yo?” Lantas semuanya pun tertawa.
Jelek banget, apa gara-gara di Trenggalek banyak pengusaha gaplek? Ada-ada saja mereka. Dan yang lebih parah lagi, ada beberapa teman yang berasal dari luar Jawa Timur bertanya,“Trenggalek itu daerah mana sih?” Pertanyaan itu seakan terbang pelan ke telingaku dengan menggunakan sayap-sayap sapu lidi, hingga terasa sangat geli dan sungguh menggelitik.
Mulai saat itu, aku berusaha mempromosikan kabupaten Trenggalek tercinta kepada seluruh teman satu kelas, tanpa terkecuali. Mulai dari keindahan pantainya, keramahan penduduknya, ketenangan dan kedamaian alamnya, dan semuanya saja yang bisa dibanggakan. Hingga suatu saat ada salah seorang teman yang bertanya, “Mi, apa benar nama Trenggalek itu ada kaitannya dengan gaplek?” Aku hanya terdiam, otak ku berusaha mengingat apa saja yang bisa ku ingat. Tidak ada, tak satu pun dokumen di otakku yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan itu. Lalu aku pun mencoba untuk berkonsultasi ke tempat orang pintar, beliau bernama “Mbah Google.” Dari penuturan beliau dapat aku peroleh beberapa jawaban yang semuanya terasa tidak meyakinkan, karena tidak ada bukti yang mendukung. Prasasti Kamulan yang selama di jadikan dasar penentuan hari jadinya Trenggalek, ternyata sama sekali tidak menceritakan asal mula terbentuknya kabupaten Trenggalek.
Dari beberapa jawaban yang dikemukakan mbah Google tadi, sebenarnya ada satu jawaban yang menurutku memiliki makna sangat mulia. Trenggalek berasal dari kata Terang Ing Penggalih (Terang di hati). Ada rasa bangga ketika mengetahui Trenggalek itu memiliki arti terang di hati. Itu berarti semua rakyat Trenggalek memiliki kualitas moral yang mumpuni. Namun sayang sekali, lagi-lagi tidak ada bukti sejarah yang mampu membenarkannya. Hingga akhirnya terlintas dibenak saya untuk membuat sebuah cerita fiksi yang bisa mendukung pendapat tersebut.
Para pembaca yang saya hormati, sekiranya perlu saya tegaskan sekali lagi bahwa cerita yang saya tuliskan ini 100% hanyalah cerita fiksi. Adapun tentang nama tokoh kebanyakan adalah rekaya semata, kecuali Ibu Suri Tribuana Tunggadewi, Mpu Nala, dan semua tokoh dalam peristiwa perang bubat memang benar adanya. Selanjutnya tentang nama Wengkerkidul, itu hanyalah rekayasa saya belaka dengan dasar sebuah analisa bahwa wilayah Trenggalek dahulu termasuk wilayah kekuasaan Wengker (sekarang Ponorogo) dengan posisi geografis disebelah selatan. Karena letaknya di bagian selatan, maka saya beri nama Wengkerkidul. Sekalagi lagi ini hanya rekayasa penulis.
Disini saya banyak menceritakan tentang desa Kamulan dan desa Kampak. Desa itu saya pilih karena memiliki referensi sejarah yang lebih banyak ketimbang desa lainnya. Saya minta maaf apabila dalam cerita yang saya buat ada kalimat yang menyinggung perasaan warga Kamulan ataupun warga Kampak. Satu yang pasti, melalui tulisan ini saya telah berusaha untuk menjunjung tinggi nama baik Kamulan dan Perdikan Kampak.
Saya juga minta maaf apabila dianggap telah lancang mengarang cerita yang tidak bermutu dan mencemari nama baik Trenggalek. Dengan lapang dada saya siap menerima saran, kritik atau hujatan sekalipun atas tulisan saya ini. Karena tujuan saya menulis Terang Ing Penggalih ini semata-mata untuk meyakinkan semua sahabatku bahwa Trenggalek sangatlah istimewa dan begitu berharga bagi semua warganya. Dan saya juga percaya bahwa memang benar adanya jika seluruh warga Trenggalek itu memiliki karakter Terang Ing Penggalih.
Sebagai penutup, saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para pembaca yang mulia. Semoga buku yang saya tulis ini bisa memberikan manfaat bagi sahabat semua.


                                                                                          Hormat saya


Muhammad Guruh Arif Zulfahmi

Daftar Cerita

Tangisan Si bayi
Risalah yang Indah
Sayatan Duka
Tirani Kehidupan
Perdikan Kampak
Di Goa Lowo         
Melukis Sejarah dengan Darah
Bertemunya Kebaikan dengan Kebaikan
Pasukan Hitam
Wewangian Hati
Secangkir Peradaban
Terang Ing Penggalih                                                                                             

1
Tangisan Si Bayi



Wengkerkidul, Enam ratus empat puluh tahun yang lalu. Tatkala Gajah Mada menjelma Majapahit menjadi kerajaan terbesar yang mampu menyatukan nusantara. Terletak disebalah selatan gunung Wilis, Wengkerkidul berada dalam daerah kekuasan Wengker yang dipimpin Bhre Wengker Wijaya Rajasa. Tersusun lembah dan bukit yang berjejer rapi  membentuk suatu kontruksi alam yang menakjubkan, ditengahnya terhampar  luasan sawah hijau nan segar, kebun, semak dan hutan melengkapi keindahan yang nyata. Di kawasan selatan,  gunung-gunung besar menggelagar dari barat membujur ke arah timur seakan menjadi tembok kokoh yang melindungi kota dari bahaya dan malapetaka laut selatan. Sungai yang jernih mengalir menyusuri belahan bukit-bukit menuju ke arah pantai yang menawan.  Kicauan burung kendari diatas pohon jati diiringi alunan suara hembusan angin yang  menerpa rerimbunan batang bambu mampu melantunkan simponi alam yang teramat menakjubkan bagi siapapun yang mendengar.
Apabila musim penghujan tiba, Tuhan menurunkan air dari langit, sungai-sungai mengalirkan air yang bening dari pegunungan, semuanya berada dalam ukuran yang telah Tuhan tentukan. Dan sebagian dari air itu mengalir membasahi sawah dan kebun. Lalu dengan air yang turun dari langit itulah Tuhan telah menumbuhkan tumbuhan yang bermanfaat bagi manusia. Berbahagialah para petani, mereka berbondong-bondong pergi kesawah dan lekas menanam padi, jagung, ataupun kedelai. Sampai tibalah musim kemarau, semua orang melalui musim ini dengan penuh  suka cita karena musim panen juga telah tiba. Dan apabila purnama telah datang, para nelayan sejenak berhenti untuk menangkap ikan di laut, sementera anak-anak asyik bermain dibawah cahaya rembulan yang sayu.
Di antara  eloknya bentangan alam  tersebut  hiduplah seorang pendekar tua sakti tak terkalahkan. Dialah  Mpu Tirto yang telah menghabiskan waktunya selama bertahun-tahun untuk bertapa dan bermunajat di dusun Bendungan yang terletak di lereng gunung Wilis. Kesaktian ilmu kanuragan Rawarontek  yang ia kuasai mampu membakar dan membelah segala wujud dan rupa. Sehingga membuat sedemikian besar pengaruh kewibawannya dalam dunia persilatan, hingga namanya tersohor  tidak hanya di Wengkerkidul, tapi sampai ke seluruh daerah kekuasaan Majapahit.
Dianugrahi kekuatan yang hebat, tak lantas menjadikan Empu Tirto bersikap tinggi hati apalagi menindas kaum yang lemah. Budi luhurnya tak kalah hebat dengan kesaktiannya. Dia adalah hamba Tuhan yang penyayang, berjalan di muka bumi dengan segala kerendahan hati, dan apabila ada yang mengoloknya maka akan ia balas dengan perkataan yang baik. Baginya kedudukan dan kekuasaan lebih dikarenakan oleh penyakit batin yang membuatnya sungguh mengagungkan kesederhanaan dalam hidup. Anugerah dan pemberian Tuhan dia sebarkan secara merata disetiap jengkal kemiskinan. Dia kawan yang baik  dan menyenangkan bagi kaum saudagar, hartawan atau bahkan pangeran dan sang baginda raja sekalipun. Tempat berseminya harapan bagi kaum yang tertindas oleh kesewenang-wenangan kekuasaan.
Setiap empu pastilah pandai membuat senjata, begitu juga dengannya.  Memiliki pekerjaan sebagai pembuat senjata bukan berarti setiap empu menginginkan adanya pertumpahan darah. Manusia dibedakan dengan binatang karena akalnya, jika setiap persoalan harus diselesaikan dengan adu fisik lalu apa bedanya manusia dengan binatang. Baginya setiap persoalan haruslah diselesaikan dengan cara bermusyawarah. Kalaupun tidak ada titik temu, maka pendapat mayoritaslah yang harus dijadikan keputusan akhir, meski dia sadar suara mayoritas belum tentu suara yang benar. Dan bukan berarti ia mengharamkan perang, karena pada suatu kondisi perang memang harus terjadi.
Semua manusia menginginkan kedamaian, dan mereka akan murka tatkala kedamaian itu terusik. Mulailah mereka berdebat, atau hanya sekedar berdiskusi, dan jikalau ada dari sebagian manusia menyumpal kebebasan manusia yang lain untuk berpendapat, tak ada kata lain perang harus segara dikobarkan. Penjajahan harus ditumbangkan, manusia ditakdirkan untuk merdeka. Tidak akan pernah dijumpai kedamaian jika kebebasan masih dibekukan. Hanyalah mereka yang berjiwa kesatria yang mau berperang merobohkan  tirani hingga mereka menemui sebuah kemerdekaan sejati.
v     
Kesunyian yang menyelimuti lereng gunung Wilis seketika buyar tatkala terdengar suara sabetan pecut.
“Cetar! Cetar! Cetar! Cetar!” 
Sabetan-sabetan pecut Empu Tirto menghujam keras  pada sebatang pohon besar, kulitnya mengelupas sampai pohon itu terlihat setengah telanjang. Daun-daunya berterbangan, cabang dan rantingnya pun berserakan menutupi tanah. Andai saja sabetan pecut itu mengenai tubuh lawan tarungnya, maka kulit dengan tulangnya akan mengelupas dan terpisah. Kalau sudah begini, semua hewan entah yang di atas tanah, di udara, atau didalam tanah sekalipun memilih untuk menjauh agar tak terkena dampaknya.
 “Ajian Rawarontek!”.
Suaranya memekik keras, membelah mendung hitam yang sedari tadi menghalangi cahaya mentari yang sedang menerangi sang sore.
Dengan segenap tenaga dia meloncat ke arah sebuah batu besar yang tergeletak di samping jurang. Kepalan tinjunya meluncur keras menghantam batu yang ia injak. Sambil mengerang sejadi-jadinya, tanpa ampun ia remukkan batu besar di hadapannya.  Terdengarlah suara ledakan layaknya bunyi petir yang menyambar, disertai  berhamburannya kepingan batu yang hancur oleh tinju Empu Tirto. Tinju yang dahsyat untuk ukuran laki-laki tua seumurannya, entahlah apa jadinya jika tinju itu mengenai dada seseorang.
Sewaktu masih menjadi prajurit Majapahit dia dikenal banyak orang sebagai pendekar bayangan. Pergerekannya yang sangat cepat dan gesit layaknya sebuah bayangan yang hanya bisa dilihat tetapi tidak bisa dipegang. Kemampuannya dalam berkelahi satu lawan satu sangatlah mengerikan, menyiutkan nyali setiap lawan yang berduel dengannya. Instingnya untuk membunuh tak tertandingi oleh lawan manapun. Dia selalu menjadi pengacau serangan ataupun perusak pertahanan lawan. Setiap ada dirinya tergabung dalam pasukan di medan laga, maka dapat dipastikan kemenangan akan mudah untuk diraih. Lawanpun akan menjadi gentar sebelum perang berkobar.
Puluhan lonjor bambu sepanjang tubuhnya ditancapkan ke tanah berjejer rapi menuruni bukit. Empu Tirto menaiki bambu yang paling ujung, dengan penuh konsentrasi ia mencoba menyeimbangkan badannya lalu berdiri tegak di atasnya. Sambil memeragakan gerakan ilmu kanuragan Rawarontek ia melewati bambu-bambu itu satu demi satu hingga sampailah di ujung yang lain. Sesaat kemudian ia memejamkan matanya dan mengambil napas secara perlahan melalui hidungnya, terlihat tubuhnya mulai melayang. Sambil terbang ia memukul dan menendang bambu-bambu itu satu demi satu hingga berterbangan ke langit. Dan tatkala bambu itu mulai turun ke tanah maka terlihat seperti sedang terjadi hujan bambu.
Begitulah suasana saat Empu Tirto berlatih. Meski sudah berusia lanjut, semangatnya untuk terus berlatih tak pernah lekang dimakan usia. Saat mereka yang berumur tua berkata sudah tibalah waktuku untuk beristirahat dan sejenak menikmati sedikit waktu yang tersisa, Empu Tirto berujar lain, biarlah aku manfaatkan sisa waktuku dengan belajar agar aku tahu kebaikan mana yang belum aku lakukan. Kewajiban bagi manusia untuk selalu menuntut ilmu sejak dari kandungan sampai liat lahat agar bertambah kesempurnaan baginya.
v     
Dengan cekatan Empu Tirto melatih kecepatan tendangannya. Secara bergantian ia menjadikan pohon disekitarnya sebagai samsak untuk ditendang dan ditinju. Karena terhanyut oleh situasi dan semangat yang membara, tanpa disedari lelaki tua itu telah menendang istrinya yang datang untuk mengantarkan makanan.
“Walah, Nyi!”.
Sekelebat wanita itu menghilang, sekejap kemudian sepakan keras mendarat sempurna mengenai dada empu Tirto disusul sebuah tamparan keras Maka tersungkurlah empu Tirto diatas  gundukan tanah.
“Ampun Nyi, Demi Tuhan, aku tidak melihat kalau ada Nyi cantik di belakangku”. Sejurus rayuan maut Empu Tirto dilayangkan kepada Nyi Damas  sambil meringis kesakitan.
“Dasar Aki, masak punggungku di tinju. Sekuat tenaga lagi, sakit rasanya ki.” Gerutu Nyi Damas menyalahkan tindakan suaminya  yang sembrono mendaratkan  tendangnnya.
“Waduh Nyi maaf. Aki benar-benar  tidak sengaja”.
“Enak saja cuma bilang minta maaf. Aki sudah kelewatan”.
Kemudian Nyi Damas berlalu begitu saja meninggalkan Empu Tirto dengan wajah yang memerah sebagai ciri khas wanita kalau sedang marah.
“Weleh-weleh! Istriku sayang tunggu Aki! Tidaklah mungkin aki tega menyakiti wanita yang sangat aku cintai”  Teriak Empu mengejar  sang istri pujaan hatinya menuju gubuk reyotnya yang terletak di kaki gunung Wilis.
Tiba-tiba Nyi Damas menghentikan langkah kakinya, lalu memalingkan wajah keriputnya yang masih menyisakan sedikit kecantikan di masa yang lalu ke arah suaminya yang memelas meminta belas kasih. “berhentilah bertutur tentang cinta melalui mulutmu Ki. Bukankah kau sendiri yang mengatakan mulut ini sering berubah menjadi mulut setan. Banyak menuturkan tentang kedustaan, bercerita risalah palsu dan dinginnya hati yang membeku. Cukuplah kau katakan dengan diam.”
“Biarlah mulutku terus merayu, kau telah lama melihat apa yang bersamayam dibalik dadaku. Aku mencintaimu dengan sederhana. seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku telah mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”. Sahut si Aki.
“Iya aku melihat dan selalu merasakannya suamiku”. Jawab Nyi Damas sembari melempar senyum simpulnya.
Cinta bisa dilafalkan dalam sekejap mata, namun kiranya tak akan cukup separuh usia kita untuk membuktikannya. Hanyalah mereka yang telah menyeberangi luasnya samudera kehidupan dengan berdayung berdua dalam cinta yang mampu merasakan keagungngannya. Begitu indah masa yang telah terlewatkan Empu Tirto dengan Nyi Damas. Derita dan cobaan hidup semakin medawasakan benih cinta yang telah mereka tanam. Mereka senantiasa berjalan bersama dalam cinta meski  terkadang berselimutkan duka. Karena cinta yang dibasuh oleh air mata akan tetap murni dan indah senantiasa.
v   
Keramahan mentari di sore hari menyapa sepasang suami istri yang sedang bersenda dalam mesra. Sampai tibalah waktu senja yang memaksa mereka untuk segera kembali pulang. Sambil bergandengan tangan mereka bergegas menuju rumah seolah sedang dikejar malam. Di tengah perjalanan, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan suara tangisan bayi dari bawah jurang. Keduanya bersegera menuruni jurang itu, lalu terlihat oleh mereka sesosok wanita cantik jelita yang tergelatak tak berdaya. Wanita itu mendekap hangat bayi mungil yang kulitnya masih berwarna kemerahan, suatu yang menandakan bahwa bayi itu baru lahir ke dunia yang penuh kepalsuan ini.
Sesegera mungkin Nyi Damas  menghampiri wanita itu, dan beberapa saat kemudian dia tahu tiada detak yang terdengar pada jantung manusia setengah peri ini. Sontak nenek paruh baya itu merasa kaget sekaligus prihatin dengan kematiannya sekaligus nasib anak yang ditinggalkannya. Empu Tirto merengkuh bayi yang terus menangis itu, lalu digendong dan dihibur. Sesaat bayi itu berhenti menangis, dengan matanya yang berkaca-kaca ia menatap wajah Empu Tirto seolah ingin menceritakan kesedihannya. Tanpa ia sadari, mata kakek itu juga mulai meneteskan air mata, karena iba melihat kesedihan yang dirasakan bayi itu.
“Ki cobalah periksa disekitar sini, sekiranya ada orang yang juga meniggal atau mungkin hanya sekedar terluka” Pinta Nyi Damas.
            Dengan posisi masih menggendong bayi, Empu Tirto menelusuri dasaran jurang untuk mencari kawan atau saudara dari mereka berdua yang mungkin juga berada ditempat itu. Mata kekek itu mendelik, mencoba menembus setiap sisi yang mulai terlihat gelap. Tak ada manusia lain yang di jumpainya, hanyalah terdengar suara jangkrik yang menyingkap kesunyian malam.
“Tidak ada orang lagi disini Nyi. Waktu sudah semakin larut, sebaiknya kita lekas pulang. Kasian juga bayi ini terus menangis, mungkin dia kehausan.” kata Empu Tirto.
Setelah tidak menjumpai siapa-siapa lagi mereka membuat sebuah tandu dan obor untuk membawa ibu dan anak ini. Dibawalah keduanya kegubuk reyot mereka. Sesampainya di rumah, Nyi Damas membawa bayi itu ke tetangga yang sedang menyusui. Sementara itu, Empu Tirto mempersiapkan pemakaman ibu Si jabang bayi dengan dibantu para tetangga lainnya. Setelah dimandikan, wanita anggun itu di semayamkan kedalam ruang keabadian dengan diringi doa-doa tentang kebaikan, meninggalkan anaknya menangis sendirian ditengah kerasnya kehidupan.
Sungguh sial nasib bayi yang ditinggal mati ibunya. Tiada lagi pelukan yang menghangatkannya disaat malam dingin tiba. Hilanglah belaian dan cubitan manja dipipinya yang memerah, disaat ibu yang lain menimang anaknya. Nikmatnya air susu yang mengalir dari dalam tubuh sang pemilik surga tak akan pernah lagi ia rasakan. Oleh karenanya tak ada manusia yang sudi hidup sebagai piatu. Maka terkutuklah umat manusia yang tega menghardiknya dan teramat mulia kalbu setiap insan yang mau menyantuninya.



2
Risalah yang Indah


Sejak menemukan si jabang bayi Empu Tirto  berhenti bertapa di atas bukit gunung wilis karena memilih mengasuh dan mendidik  bayi mungil itu dengan istrinya tercinta. Mereka berdua begitu bahagia setelah berpuluh-puluh tahun lamanya mengarungi mahligai rumah tangga  namun belum jua dikaruniai seorang momongan. Lelaki yang telah berusia senja itu senang bukan kepalang. Nasibnya dikala itu tergambar bagai seorang musafir yang menemukan mata air di tengah-tengah gurun pasir yang  tiada ujung.  Mereka  mengangkat bayi itu sebagai cucu yang kelak akan mewarisi segala ilmu dan budipekerti yang mereka miliki. Kemudian dengan perasaan bangga mereka sebut bayi itu dengan nama Rawarontek. Seperti nama ilmu kanuragan yang dikuasai Empu Tirto dan Nyi Damas.
Bayi laki-laki itu benar-benar menakjubkan bagi siapapun yang melihatnya. Bayi itu bersinar secerah cahaya mentari pagi, indah dan begitu menawan hati. Wajahnya tampan mempesona, bagai berlian diantara batuan-batuan sungai. Rambutnya hitam, tebal bergelombang. Kulitnya kemerah-merahan, matanya sejernih embun pagi, ditambah dengan lesung pipit dipipinya yang membuat setiap mata akan terpana jika menatapnya. Bayi itu berkah terbesar yang diberikan Tuhan kepada Empu Tirto dan istrinya, Nyi Damas.
Sejak menemukan Rawarontek, Nyi Damas dan Empu Tirto seolah tak ingin sekejap pun melewatkan kebahagiaan bersama cucu kesayangannya.  Kehadiran Rawarontek benar-benar dapat membasuh debu kesedihan dalam hati mereka yang telah begitu lama menantikan seorang anak. Ia dibimbing dan diasuh dengan segenap tumpahan jiwa. Dianugerahi berbagai kesenangan dan kasih sayang, serta dijauhkan dari berbagai marabahaya. Lelaki dan perempuan tua itu kini tak lagi tertarik berlatih dan bersemedi di atas bukit gunung Wilis sebagaimana mereka telah menghabiskan waktunya terdahulu. Tiap detik waktunya mereka gunakan untuk menimang dan memanjakan si cucu tersayang.
v   
Hari berganti dan tahun berbilang. Rawarontek tumbuh menjadi calon pendekar yang sangat menjajikan. Meskipun usianya belum genap sepuluh tahun, tubuhnya mulai terlihat bagai pilar-pilar kokoh, wajahnya semakin tampan, dan suaranya merdu bagai buluh perindu. Dia dianugerahi Tuhan dengan kepandaian dan kecerdasan. Ia menjadi cahaya pengetahuan, menguasai dengan cepat seluruh ilmu kanuragan yang diajarkan kakek dan neneknya, dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit. Cahaya anak itu benar-banar mempesona, jikalau esok pagi  matahari tidak terbit, cukuplah kemuliaan Rawarontek yang menggantikan sinarnya. Bila rembulan enggan datang dimalam hari, kesantunan akhlak Rawarontek sudah cukup untuk menyejukkan bumi
“Rawarontek, pasang kuda-kuda dengan kokoh.” Seru  Empu Tirto kepada cucunya  layaknya intruksi jendral perang kepada prajurit terbaiknya.
“Kuda-kuda yang kokoh adalah dasar  terkuat bagi sebuah pertahanan, Nak!” Sahut Nyi Damas.
Secepat kilat Empu Tirto meloncat membelakangi Rawarontek. Kemudian lelaki jangkung itu menjatuhkan tubuhnya diatas rerumputan tebal  yang terhampar hijau. Kaki kurusnya melakukan sapuan keras kearah kuda-kuda Rawarontek.
“Buuaakkk.”
Seketika itu Rawarontek jatuh dan terjungkir balik dengan rautan wajah meringis kesakitan.
“Hahaha! cobalah lihat cucu laki-laki kita terlihat begitu lemah, seolah-olah dia bukanlah jagoan yang kita harapkan”. terdengar suara tawa yang menghina keluar dari mulut Nyi Damas. “Ayolah Nak jangan mudah menyerah, orang yang kuat bukan mereka yang tidak pernah dijatuhkan, melainkan mereka yang tetap tegar dan segera bangkit saat ia terjatuh”.
Bocah tampan itu segera bangkit dan memasang sikap menyerang. Hembusan angin bertiup keras, berputar sangat cepat, merobohkan setiap makhluk yang diterjang. Suatu pertanda bahwa Rawarontek sedang mengeluarkan ilmu kanuragannya. Dia melakukan salto kearah pohon yang terdapat disebalah kakeknya. Empu Senduk mengerutkan dahi lebarnya, berusaha menebak dengan tepat dari setiap pergerakan cucunya. Tiba-tiba dengan sekuat tenaga Rawarontek menendang pohon itu.
Bruussshhh”.
Belum sempat Si Empu berpikir  panjang, pohon itu roboh dan menimpa dirinya yang sedari tadi hanya melongo mengawasi gesitnya  pergerakan Rawarontek yang mungkin tak satu setanpun dapat menerkanya. Empu Tirto tersungkur diatas rumput, badannya tertindih batang dan ranting, adapun mukanya dipenuhi dedaunan. Malang benar nasib Si tua itu, dia merangkak tertatih-tatih mencoba menegakkan punggungnya dan lekas berdiri untuk membuat sebuah perlawanan baru. Rawarontek kini telah berhasil membuat kedudukan menjadi sama kuatnya.
“Hebat cucuku! Pergerakanmu semakin gesit begitu pula dengan bobot tendangan dan pukulanmu sudah cukup mantap”. Teriak riang Nyi Damas
“Aduh bagaimana denganmu Ki, ayo tunjukkan kehebatanmu pada cucu kita! masak kalah sama anak kecil”.
“Jangan meremehkan Nyi, tadi itu Aki cuma mengalah biar seolah-olah Rawarontek sudah bisa mengalahkan Aki. Kulakukan ini untuk mengangkat mental cucu kita, agar ia lebih bersemangat.”. Jawab lelaki tua itu dengan segera, meski terlihat jawaban itu hanyalah sebuah alibi belaka.
“Hahaha. Gimana Aki masih sanggup?” Ledek Rawarontek dengan senyum yang menunjukkan lesung indah di pipinya.
“Kurang ajar kamu Nak! Ini terima serangan balasan dari kakekmu”.
Badai berhembus menggoyang seluruh pohon. Batang, ranting, dedaunan satu persatu mulai berguguran. Sambaran cahaya kilat menjilat-jilat ketubuh Empu Tirto. Suara gemuruh menggelagar memecah keheningan langit. Batu dan kerikil pun tak luput ikut berhamburan terbang seperti kapas yang tertiup angin.
“Ajian Rawarontek..!”.
Empu Tirto berteriak, suaranya terdengar amatlah keras oleh burung-burung yang sedari tadi mengintip ketakutan  dibalik awan putih. Kedua tangannya mengepal mantap membentuk sebuah tinju. Matanya melotot mengintai setiap pergerakan cucunya. Entahlah apa yang terjadi, Rawarontek tiba-tiba menghilang dibalik nyala api yang membara. Sungguh Empu Tirto tiada mengira cucunya dapat bergerak segesit itu. Dan secara mengejutkan kepalan tangan kecil telah berada tepat di ujung batang hidungnya.
“Ajian Rawarontek...!”
Dengan cekatan Rawarontek menghempaskan tinju kerasnya mengenai batang hidung kakeknya. Dia melakukan loncatan ringan, melesat  membelakangi kakeknya. Sambil meloncat sekali lagi kedua kakinya menjejak punggung lelaki kerempeng itu.
“Bruakkkk.”
Terdengar benturan keras layaknya gulungan ombak besar menerkam tebing, ketika tubuh empu Tirto terlempar dan menghantam sebuah pohon mahoni. Kembali tubuh kerempeng itu terbanting untuk yang kedua kalinya. Pakainnya yang semula bersih dan utuh kini layaknya pakaian pemengemis yang compang-camping dan dipenuhi tanah. Meskipun demikian, jelas Si Aki tidak mengalami luka walau sedikitpun.
“Sudah cukup Nak! Aki sudah merasa lelah!” Belas Si Empu dengan posisi terjengkang di dalam semak.   
“Aduh ternyata Aki tak setangguh yang aku kira, begitu saja sudah menyerah”. Jawab Rawarontek sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah kakeknya.
v   
Dilingkungan dusun Bendungan, Rawarontek termasuk anak yang pandai bergaul, karena memiliki kefasihan lidah, dan pandai merangkai kata-kata menjadi sebait syair yang indah. Dia termasuk anak yang ringan tangan, gemar membantu kawan-kawannya yang ditimpa musibah dan kemalangan. Kawan-kawanya akan merasa terhibur jika Rawarontek berada disamping mereka.  Dia laksana sungai Brantas yang selalu menjadi pengharapan bagi penduduk Majapahit. 
Tempaan hidup yang memilukan serta pola didik kakek neneknya yang tegas dan penuh disiplin perlahan tapi pasti, telah membentuk watak dan mental yang teguh,  tegar, dan penuh semangat dalam menghadapi setiap cobaan. Ia selalu bersikap sederhana namun penuh keyakinan dan tanggung jawab. Tidak mudah tergiur oleh kemewahan yang bersifat keduniawian, serta senantiasa berpegang pada prinsip kejujuran, kebenaran dan keadilan.
Begitulah kehidupannya selama ini, hatinya lapang seluas samudra disebelah pantai Prigi. Keberaniannya menjulang tinggi, setinggi barisan pegunungan Munjungan yang hampir menyentuh indahnya cakrawala. Begitu pula dengan tanduk tawaduknya selembut awan putih penghias  puncak gunung Dongko. Setiap pemikirannya terasa jernih sebening  mata air yang selalu memancar diantara lembah Bendungan. Tiadalah tercela baginya jika disetiap salah maka mohon ampunlah dia kepada Sang Pencipta hidup.
v   
Suatu ketika datanglah Rawarontek kepada bapak dan anak yang tengah berselisih.
“Maaf paman, persoalan apakah yang telah membuat paman memarahi putera sulungmu?”.
Seketika mata merah itu menatap perangai mungil Rawarontek dengan tatapan meremehkan “Siapa kamu anak kecil, buat apa kamu menanyakannya?”. Dengan nada sedikit membentak. 
“Saya Rawarontek, cucu dari Empu Tirto dan Nyi Damas. Saya menyaksikan paman bersilih akan sesuatu”.
Tercenganglah saat dia tahu bahwa bocah di depan matanya merupakan cucu kesayangan pendekar sakti yang selalu menolong kaum yang lemah. Dengan lidah yang bergemetar, bertutur lirihlah mulut yang telah kering itu.
“Aku murka karena dia telah memohon sesuatu yang tidak mungkin aku upayakan”.
“Apa gerangan yang diminta anak kisana?”
“Andaikan semua anggota berkumpul, rumah kami terasa bagitu sesak”. Matanya berputar memandangi setiap sisi dari rumahnya yang kumuh dan sempit. Sesaat kemudian, ia kembali menuturkan kisah pilunya, “Dia meminta saya supaya memperluas rumah ini, padahal untuk makan besok saja kami belum tentu ada uang”.
Rawarontek melihat tanda goresan kesedian di wajah lelaki  yang mulai menua itu, dengan tutur yang lembut disampaikanlah sebuah nasihat “ Aku akan membuat rumah ini menjadi lebih terasa lapang kisana, setelah ini ambillah seluruh ayam yang kisana punya dan peliharalah didalam rumah ini beserta anak dan istri kisana sepuluh hari lamanya. Kelak saya akan kembali singgah ketempat ini”.
Pada suatau pagi yang cerah, Bocah kecil itu kembali mendatangi rumah si bapak dengan penampilan yang bersahaja. Dari kejahuan dilihatnya anak dan istri si bapak sedang duduk bersandar  pada sebatang bambu yang menyangga atap teras. Langkah kakinya  semakin cepat menapaki jalan bebatuan menuju rumah itu  “ Nyi kenapa tidak tinggal didalam rumah?”.
“Sekarang rumah kami terasa semakin sempit dan sangat berisik nak. Kemarin suamiku memasukkan seluruh ayam peliharaannya kedalam rumah”  keluh wanita berambut ikal itu sembari menipasi tubuh anak-anaknya yang kegerahan dengan tipas dari anyaman bambu sederhana.
Hati Rawarontek semakin iba mendengarkan keluh kesahnya. “Nyi aku mohon dengarkan nasihatku. Peliharalah ketiga ekor kambingmu kedalam rumah beserta dengan ayam-ayam itu selama empat puluh hari, niscaya rumahmu esok akan semaikin lapang”.
Dipatuhilah segala tuturkata yang dinasihatkan Rawarontek. Tiga ekor kambing dipeliharalah di dalam rumah bersama seluruh ayam peliharaannya. Bukannya semakin luas, rumah Si Ayahanda tadi terasa semakin sesak. Bahkan untuk sekedar tidur, lelaki paruh baya itu setiap malam mesti rela membeber tikar  usangnya di teras rumah.
Tatkala Rawarontek menjenguk kembali rumah itu, tiadalah rasa simpati maupun kepercayaan. Semuanya hilang, terbang bersama semua harapan yang palsu. Setiap orang memandang dengan pandangan benci, pandangan kecewa.
“Aku bukanlah anak yang pandai menipu. Kakek dan nenek mengajariku tentang indahnya bertutur dan berperilaku jujur. Demi kehormatan Empu Tirto dan Nyi Damas yang telah membesarkan dan mendidikku, tambahkanlah seekor sapi untuk di pelihara didalam rumah kisana”. Walaupun api kekecewaan telah tersulut dan membakar  habis seluruh rasa percaya yang tersisa, namun budi luhur Empuk Tirto  mampu memaksa keluarga miskin itu untuk sekali lagi tunduk akan nasihat Rawarontek.
Siang dan malam berlalu, hari pun telah berganti bulan. Tak satu jengkalpun  rumah bertambah luas. Hanyalah  kesempitan, kesengsaraan serta kenestapaan yang kian menyegat disetiap jiwa yang merasa. Hati yang rindu akan kenikmatan dan keberkahan kini semakin kering dan tandus.  Kesabaran maupun ketabahan tak lagi mampu menyirami kalbu yang tengah layu.
Setelah tak sanggup lagi hidup dengan penuh kesesakan bersama hewan piaraan mereka di dalam rumah, maka dikeluarkanlah satu persatu hewan peliharaan itu dari rumahnya yang sempit. Setiap satu dari mereka keluar maka bertambahlah satu kelapangan yang dirasakan dalam rumah itu. Dan tatkala semua binatang itu dikeluarkan dari dalam rumah, maka ruangan kecil itu mulai terasa sangat longgar.
Kelapangan itu hadir memenuhi setiap hati penghuni rumah. Bergembiralah Si Ayahanda beserta keluarganya. Sekarang dapat mereka rasakan rumahnya menjadi sangat longgar setelah satu bulan lamanya mereka hidup dengan hewan piaran mereka. Tiada rumah baru yang tercipta, tak satu jengkalpun ruangan yang diperluas. Jiwa merekalah yang kian lapang, mata hati mereka mampu melihat lebih jernih setiap kesulitan yang ia hadapi. Manusia tidak akan bisa menjumpai apa itu kebahagian bila mereka belum mengerti dan merasakan tentang apa itu kesedihan. Dan mungkin inilah yang dimaksud selalu ada hikmah dibalik musibah.
Barulah Si bapak itu sadar bahwa Rawarontek telah menentramkan hati yang gelisah, menghancurkan dinding kenistaan yang menghalangi  hati untuk selalu merendah dan bersyukur. Sesungguhnya hati dan cobaan ibarat air dengan butiran garam. Jika segelas air dicampur satu tekam  garam pastilah akan sangat terasa asin. Namun beda halnya jika satu tekam garam itu ditaburkan ke dalam danau, tiadalah berubah sedikitpun kesegaran airnya. Hati yang kian lapang pastilah mampu menetramkan pahitnya setiap cobaan yang datang silih berganti. Adapun hati yang sempit hanyalah akan menghadirkan kesedihan serta kegelisahan semata. Alangkah  indahnya risalah yang telah diukir  Rawarontek pada dinding-dinding kehidupan keluarga itu.



3
Sayatan Duka



Pagi ini mentari bersinar terang. Bias cahayanya menghangatkan setiap jiwa yang merindukan kedamaian. Membangunkan raga  yang masih terlelap dalam dunia mimpi. Maka diantara mereka bersegeralah berduyun-duyun mengais karunia Tuhan yang tersebar merata di daratan dan lautan. Empu Tirto mengayunkan sebilah cangkul pada sebidang tanah, memecahkan agregat sehingga terciptalah pori-pori baru yang akan menampung lebih banyak air dan udara. Memberikan sebuah napas dan kehidupan bagi makhluk yang hidup didalamnya, sehingga terciptalah kesuburan. Rumput, ilalang, bunga, padi, dan jagung  bisa tumbuh dengan sempurna.
Kepulan asap menggulung di atas wuwungan. Aroma khas ayam panggang  tercium dari sebuah gubuk tua yang berdiri diantara rerimbunan bunga sedap malam. Ibarat perilaku yang mampu melukiskan dengan jujur tentang sifat dan watak, aroma wangi itu menjelaskan betapa nikmatnya ayam panggang itu bila disantap untuk sarapan pagi. Berkumpullah seluruh keluarga pada sebuah batu ditepian sungai yang airnya mengalir dengan tenang. Dengan suasana yang harmonis, Nyi Damas mengambil dua piring yang terbuat dari tembaga untuk dirinya dan suaminya, lalu ia menyobek daun pisang untuk Rawarontek.
Mendapat perlakuan seperti itu Rawarontek merasa kecawa. Ia pun melakukan protes kepada neneknya. “Kenapa kau beri aku daun pisang Nyi? Sedang kalian menggunakan piring yang bagus.”
“Sudah jangan banyak mengeluh, ini makan Cu! Sambil memberikan lauk yang sama seperti yang Empu Tirto dan Nyi Damas makan.
“Gimana rasanya Ki? Enak?” Tanya Nyi Damas pada suaminya yang sedang melahap ayam panggang masakannya.
“Nikmat benar masakanmu pagi ini Nyi, bumbu apa saja yang telah kau campurkan dalam ayam panggang ini?”
“Tidak ada bumbu yang istimewa Ki. Hanyalah karena keikhlasan dan rasa baktiku sebagai seorang istri untuk  selalu melayanimu laksana seorang raja yang menjadikan makanan ini senikmat hidangan raja”.
Sambil menatap mata bundar Nyi Damas bertuturlah Aki dengan suara yang sangat lembut “Wahai sayang ketahuilah bahwa tiada harta yang lebih berharga bagi seorang laki-laki selain memilki istri yang selalu menghormati suaminya. Ya Tuhanku aku sungguh beruntung karena Kau anugerahi aku seorang istri yang penyayang, dan seorang cucu yang baik hatinya, maka jadikanlah mereka sebagai penyenang hati. Ijinkalah aku mejadi pemimpin yang baik bagi keduanya.”
            “Terimakasih Ki. Dan sungguh beruntung aku dianugerahi suami yang selalu menghargai setiap apa yang aku berikan padanya”. Jawab Nyi Damas dengan wajah yang berseri-seri.
“Aku juga tak kalah beruntung memiliki kakek dan nenek yang selalu memperlihatkan betapa  sikap saling menyayangi  itu jauh terasa lebih indah dari pada megahnya istana dengan segala kemawahannya yang dibangun dari penindasan dan penderitaan”. Seloroh Rawarontek memecahkan gelombang-gelombang cinta yang menggulung hati sepasang kekasih tua.
Kebahagiaan itu sejatinya sangatah sederhana. Bukan dengan harta hati wanita akan tergoda, melainkan cukup dengan perhatian dan kasih sayang. Dan bukan dengan tahta untuk meninggikan derajat seorang laki-laki, melainkan cukup dengan penghormatan dan pengabdian.
Nyi Damas melihat Rawarontek  juga melahap ayam panggang yang  ia pegang erat. “Makannya kok lahap banget Cu, enak ya?”
“Enak banget Nyi!” Jawabnya tanpa memperhatikan yang diajak bicara.
“Coba kamu rasakan dulu punya Nyai, pasti jauh lebih enak.” Ujar Nyi Damas sembari menawarkan ayam panggang dipiringnya kepada Rawarontek.
Rawarontek menoleh kearah neneknya, pandangannya mulai turun ke arah paha  ayam yang terletak di piring tembaga, lantas ia makan dengan pelan untuk merasakan perbedaan rasa antara ayamnya dengan milik neneknya.
“Ah, sama saja Nyi. Bumbunya kan sama jadi rasanya pasti sama.”
“Loh punyaku kan ditaruh dipiring tembaga.” Ujar Nyi Damas.
Rawarontek tertawa mendengar penuturan neneknya. “Haduh Nyi, piring tembaga tidak bakal mempengaruhi rasa ayam panggang ini.”
“Nah itu kamu tahu, kenapa tadi kamu mengeluh?”
Rawarontek menggaruk-garuk keningnya, ia berusaha mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan neneknya. “Tidak adil saja.” Hanya tiga kata itu yang  mampu di ucapkan Rawarontek.
Nyi Damas belum puas dengan jawaban cucunya. “Kenapa kamu bilang tidak adil?”
“Jujur Nyi, aku merasa harga diriku direndahkan dengan perlakuan Nyai tadi.”
“Jadi harga dirimu itu bergantung pada nilai piring-piring itu?”
Pancasona segera mengelak “Bukan seperti itu maksudku Nyi.”
“Cu banyak sekali orang pintar yang tersesat karena melihat segala sesuatu itu dari perhitungan materi saja. Bukan itu Cu hakikat kehidupan. Wadah itu bukanlah hal yang utama, karena yang paling penting itu isinya. Bukan raga, harta, dan jabatan yang bisa dijadikan penilaian terhadap baik buruknya seseorang, melainkan akhlaknya. Percuma mereka kaya tapi tidak bisa mensyukuri kekayaannya.”
Rawarontek memotong perkataan neneknya. “Percuma aku kuat jika menindas yang lemah, tak ada gunanya aku pintar tapi suka menipu yang bodoh. Karena derajat manusia itu hanya bisa diukur dari pengorbanan dan kebaikan yang mereka lakukan untuk manusia lainnya.”
Mendengar penuturan rawarontek membuat Nyi Damas dan Empu Tirto menjadi senang. “Hahaha, kamu sungguh pandai cucuku. Kau pelajari dengan cepat apa yang terjadi disekitarmu dan tahukah kau bahwa ilmu itu tersebar disetiap jengkal kehidupan”.
“Jelaskanlah tentang ilmu padaku Ki”. Pinta Rawarontek dengan semangat keingintahuannya.
“Sari semua ilmu pengetahuan ada lima. Pertama, selagi masih ada peluang untuk bersikap jujur, aku tidak akan pernah berbohong. Kedua, selama masih ada makanan yang baik, aku tidak akan pernah memakan makanan yang buruk. Ketiga, jika masih ada cela  dalam diriku, aku tidak akan pernah mencari-cari keburukan orang lain. Keempat, selagi rizki Tuhan masih ada di bumi, aku tidak akan memintanya kepada orang lain. Kelima, sebelum menginjakkan kaki di surga, aku tidak akan pernah melupakan tipu daya setan”. Begitulah laki-laki bijak itu menjelaskan perihal ilmu kepada cucu yang selalu dia sayangi.
“ Teruslah belajar Cu. Setiap hari manusia pasti akan bertambah tua, namun percayalah bahwa tidak setiap hari pula manusia akan bertambah dewasa. Hanyalah mereka yang sudi untuk terus belajar yang kelak akan menemui sikap kedewasaan sehingga sempurnalah amal perbuatannya”. Timpal nyi Damas turut menuturi Rawarontek.
Yakinilah bahwa mentari pagi ini akan nampak lebih indah jika umat manusia memulai hari-harinya dengan saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. Biarlah setan menggigit jemarinya dengan gigitan keputus asaan  tatkala tiada lagi ruang dan waktu yang tersisa untuk menghasut dan menjerumuskan anak adam kedalam kenistaan hidup.
v   
Simponi kebahagiaan yang tengah mereka rasakan sontak hancur berantakan tatkala sebusur panah melesat cepat melintasi embun dan dinginnya udara pagi menembus jantung Nyi Damas. Berhentilah detak-detak yang memompa aliran kehidupan pada setiap makhluk yang bernapas. Malaikat pencabut nyawa pun turun dari kerajaan langit untuk menggantikan tugas malaikat pencatat amal. Maka akan berakhirlah semua riwayat.
Tak ingin kehilangan orang yang memanah neneknya secepat kilat Rawarontek meloncat dan berlari mengejar seorang prajurit berperawakan kekar yang dengan gesit pula berusaha menjauh dari kejaran anak kecil yang sudah begitu terkenal akan kepiwaiaannya dalam berperang.
Runtuhlah tiang-tiang yang menyangga jiwa lelaki tua itu saat melihat sekarat menghampiri wanita yang selalu setia menemaninya. Kesedihan kian terasa ditandai dengan peluh yang terus menetes dari kedua belah kelopak mata yang keriput. Kedua tangan itu berusaha memeluk untuk memberikan kehangatan meski dia sadar  semua itu hanyalah semu.
“Amalkan ajian Rawarontekmu Nyi! kau tak mati hanya karena  satu busur panah.”
“Tak ada satupun kekutan yang mampu menghentikan kehendak Tuhan Ki. Kematian adalah suatu kepastian, maka biarlah takdir menyeretku untuk menghadap kepada Sang Pencipta hidup.”
Suara lirih kembali terucap dari rongga mulut terdalam disertai hembusan-hembusan napas yang kian terdengar berat “Jangan menangis Ki. Janganlah menangis dan berbahagialah, karena kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan cinta yang indah kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan”.
Rambut putih yang terurai panjang itu di elus oleh Empu Tirto dengan lembut seraya membisikkan kalimat pelipur lara “Aku bersedih bukan karena takdir yang akan membawamu kehadapan Tuhan, sungguh aku tak tega melihat engkau kesakitan seperti ini.  Aku yakin Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini. Pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan datang”.
“Sungguh terasa singkat kehidupan ini Ki. Dengan caraku, aku selalu berusaha untuk merubah wajah dunia ini menjadi lebih baik meski aku tahu itu hanyalah sedikit saja. Namun aku juga takut jika kehadiranku di alam ini mejadi keburukan bagi kehidupan yang lain. Sampaikan maafku kepada makhluk Tuhan yang pernah ku dzolimi hak dan kebebasannya”.
Jiwa itupun terlepas bebas dari raga yang fana. Terbang melayang meninggalkan panggung sandiwara. Membawa cerita panjang untuk disampaikan kepada Tuhan. Jika Tuhan suka maka berbahagialah, dan bersiaplah untuk menderita kalau ternyata Tuhan murka dengan cerita itu.
“Dulu aku berjalan tertatih-tatih sendirian untuk mengarungi luasnya samudera kehidupan ini. Hingga Tuhan menganugerahkan kepadaku seorang wanita yang dengan telaten memandu setiap langkahku. Kau basuh keletihanku dengan perhatianmu, menghiburku disaat sedih, menguatkan jiwaku tatkala mulai melemah,dan dengan sabar mengingatkanku hingga aku terhindar dari dosa dan kesalahan. Kini Tuhan telah memisahkan engkau dari sisiku sayang. Maka tibalah saatnya aku kembali berjalan sendiri lagi meski tak sekuat jika kau disampingku. Kembalilah kemana Tuhan telah menyediakan tempat terbaik untukmu. Dan semoga Tuhan mempertemukan kita lagi  Nyi”. Kata-kata itu tersusun rapi menjadi sebuah kalimat penutup dari lembaran cerita mereka.
v   
Dari kejahuan terlihat dengan garang Rawarontek menyeret laki-laki yang telah memanah neneknya. Darah segar mengalir dari hidung dan bibir yang  terkoyak oleh tinju Rawarontek. Matanya sayu mencoba berharap pengampunan atas dosa yang dia perbuat. Hanyalah tersisa rasa penyesalan dan batin yang terus mengutuk atas tindakan bodoh yang ia perbuat. Biarlah ajal yang menyudahai nestapa ini.
“Telah aku bawa manusia yang memanah tubuh Nyi Damas di hadapanmu Ki. Berilah dia balasan yang setimpal agar berkurang kesedihan yang Aki rasakan”. Raut wajahnya  penuh kebencian saat menyerahkan pemanah itu ke hadapan Empu Tirto.
“Siapa namamu? Dosa apa yang telah diperbuat istriku sehingga kamu tega membunuhnya?” Alangkah bijaksananya Empu Tirto yang selalu menduhulukan akal sehatnya untuk mencoba bersikap adil dengan menanyakan alasan pemanah itu membunuh istrinya sebelum memberikan penghukuman atasnya.
Selama ini kalian terlalu baik terhadap orang yang lemah. Perjuangan kalian untuk senantiasa membela rakyat kecil dan kaum miskin telah membakar gairah kebencian pada setiap jiwa penguasa. Aku Damarwuluh pemanah terbaik yang pernah dilahirkan oleh wanita Wengkerkidul. Istri dan anak-anakku ditawan oleh wiyasa Galuh Buana  sampai aku berhasil membunuh diantara kalian. Aku lebih memilih mati ditanganmu dari pada hidup dengan menyaksikan kematian istri dan anak-anakku”. Dengan suara yang gugup Damarwuluh mencoba menjelaskan kondisi sebenarnya yang dia alami.
“Kalau benar itu yang terjadi, maka aku memaafkanmu”. Jawaban yang hampir mustahil untuk didengar, tiba-tiba terlontar begitu saja dari kedua bibir yang sudah terbasahi oleh air mata.
“Kenapa Aki memaafkan orang yang telah membunuh istrimu sendiri”. Rawarontek belum mengerti dengan sikap kakeknya.
“Karena mungkin aku akan melakukan hal yang sama apabila berada di posisi dia”.
“Apakah sikap Aki ini sudah cukup adil untuk Nyi Damas?” ternyata dia masih belum puas dengan jawaban kakeknya dan terus mencoba untuk menuntut keadilan pada kakeknya sendiri.
“Semoga keputusanku ini akan terasa adil bagi istri dan anak-anaknya, dan aku menyerahkan keadilan yang engkau harapkan kepada Tuhan”. Pandangan Empu Tirto mengarah pada mata Damarwuluh yang mulai berkaca-kaca.
“Maaf Ki, aku masih belum bisa menerima keputusan yang Aki buat”. Rasa marah berkecamuk disetiap sudut pengrasa  Rawarontek. Sungguh jiwanya masih terlalu labil untuk memahami ucapan kakeknya. Sekuat tenaga dia menendang laki-laki tak berdaya itu hingga tersungkur ketanah. Mulutnya memuntahkan darah kental yang keluar dari organ dalamnya.
“Rawarontek hentikan!” Bentak Empu Tirto melarang cucunya menyiksa orang yang telah membunuh istrinya sendiri.
“Kau akan lebih tercela dari pada dia jika tetap membiarkan amarah mengendalikanmu.”
Setelah melihat Rawarontek mulai bisa mengendalikan diri dia kembali berujar untuk menguatkan hati Rawarontek “Jika kita memelihara kebencian dan dendam, maka seluruh waktu dan pikiran yang kita miliki akan habis dan kita tidak akan pernah menjadi orang yang berguna. Wahai cucuku kita sedang ditimpa satu musibah. Jika kita tetap berkeluh kesah dan tidak bersabar maka musibah ini menjadi dua.”
Terlihat Rawarontek menundukkan kepalanya. Hati dan pikirannya perlahan mulai merasakan setiap bait kata yang dilantunkan kakeknya. Tanpa dia sadari air matanya telah berlinang membasahi wajahnya yang polos nan rupawan.
“Kemarilah Nak! Peluklah kakekmu ini.” orang tua itu memanggil cucunnya yang sedang dirundung kedukaan.
Dengan terisak-isak tangis anak yang tidak pernah tau siapa ayahanda dan ibundaya itu berlari mendekap erat tubuh kurus laki-laki tua yang telah sudi merawat dan mengasuhnya.
“Maafkan aku tidak menuruti nasihatmu Ki. Aku hanya tidak ingin kehilangan Nyi Damas.”
Menggunakan jemari-jemarinya dihapuslah air mata anak malang itu dengan penuh kasih sayang. “Percayalah Nak, sebaik-baik perbekalan hidup adalah kesabaran menghadapi penderitaan. Anggunkanlah jiwamu dengan keiklhasan menerima ujian dan cobaan.”
Kobaran api kebencian ternyata masih belum mampu membakar logika dan kesabaran dalam batin Empu Tirto. Dinding-dinding kesabaran masih berdiri kokoh pada jiwa yang tenang. Laksana benteng yang tangguh, melidungi batin dari ancaman nafsu dan amarah yang acap kali menjadikan manusia lupa akan firman Tuhannya. Semoga orang seperti merekalah yang akan dibalasi martabat yang tinggi dalam surga karena kesabaran mereka, dan semoga pula mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat didalamnya. karena hanya di surgalah sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.
Menyaksikan dua anak adam yang memiliki sifat lembut dan mulia membuat hati Damarwuluh menjadi gamang. Air matanya menetes bercampur darah dari pipinya yang tersayat tinju Rawarontek, jatuh mengenai  sebidang dada yang telah disesaki rasa penyesalan. Segala kebaikan kakek dan cucunya terlalu lembut menyapa dosa-dosa yang telah ia lakukan. Biarlah kebaikan yang mereka kerjakan dalam keindahan sujud penuh muhasabah itu menjadi bekal dalam menuju kedamaian yang kekal abadi.
“Seluruh alam semesta berhak menghujat atas dosa yang aku perbuat pada istrimu. Darahku halal kiranya mengalir di pedangmu. Aku tak tahu harus bersembunyi kemana supaya aku tidak malu kepada Tuhan akan segala khilaf dan kebodohanku. Sekiranya hal apakah yang bisa aku perbuat untuk mengurangi dosa-dosaku kepada kalian?” Kalimat penyesalan yang mungkin sudah terlambat untuk diucapkan keluar perlahan dari mulut yang beku karena dinginnya batin yang merasa sangat bersalah.
“Pulanglah, kemudian  selamatkan istri dan anak-anakmu.” pinta empu Tirto kepada prajurit yang telah bertobat atas segala kesalahannya.
“Aku akan menuruti perintahmu, tapi sebelumnya ijinkanlah aku untuk turut membantu menyemayamkan istrimu.”
“Jika kebaikan itu yang kau inginkan maka ikutlah bersama kami.” jawab Empu Tirto.
Sebatang pohon kopi tua ditebas, cabang dan rantingnya dipilih yang terkuat untuk dibuat sebuah tandu sederhana. Raga istrinya yang tiada lagi bernyawa ditidurkan diatasnya dengan baik. Mereka berjalan bersama, membopong jasad  Nyi Damas melintasi terjalnya hutan Perdikan Kampak dan pegunungan Watulimo. Hingga sampailah pada sebuah pantai yang membantang  luas dengan pasir berwarna putih dan menjadi pemisah yang nyata antara daratan dengan lautan. Suara angin pantai berhembus dengan sepoi-sepoi laksana harmoni keabadian yang  tak hentinya mengikis duka dalam hati yang masih tersisa.
Berkumpullah kaum yang lemah dan rakyat miskin untuk menyertai  dan medoakan mendiang Nyi Damas. Tak ketinggalan para saudagar, kaum cendikiawan, dan penguasa bermuka dua turut mengiringi pemakaman yang berjalan dengan hikmat. Semua doa yang terlantunkan mengiringi jiwa itu kembali pada kehidupan yang abadi. Meninggalkan nyanyian kehidupan dan himne perjuangan.


4
Tirani Kehidupan



Selama lima tahun entah berapa banyak pergantian siang malam terjadi untuk selalu menjaga kehidupan. Dan sebanyak itulah perubahan yang terjadi di wiliyah Wengkerkidul pasca kematian Nyi Damas. Rupanya kematian Nyi Damas menghembuskan angin segar bagi setiap insan yang berkuasa untuk menancapkan kuku setannya pada jantung kemiskinan. Dengan buta hati Wiyasa Galuh Buana sekaligus antek-anteknya menetapkan jumlah pajak yang tidak pernah bisa diterima nalar. Setengah dari hasil panen petani dijadikan upeti untuk memenuhi ruang kosong yang tersisa pada lumbung-lumbung padi penguasa borjuis. Tak peduli musim paceklik sedang menggoroti tubuh rakyatnya sehingga kesemuanya nampak kurus kering kerontang. Mereka menyamarkan hak sekaligus menanggalkan kebebasan pada dinding tirani.
Wiyasa Galuh Buana juga mengirimkan puluhan prajurit terbaik yang ia miliki di pantai Prigi dan pantai Pelang. Diantara mereka berbaris rapi di bibir pantai sembari memantau setiap kapal nelayan yang pergi berlayar maupun yang sedang bersandar dengan membawa kerenjang-kerenjang yang dipenuhi  ikan tangkapan. Sedang yang lain sibukkan mengambili ikan tangkapan terbaik para nelayan untuk dijadikan upeti kepada wiyasa Galuh Buana dan antek-anteknya. Jikalau ada diantara nelayan berani menolak memberikan tangkapan terbaiknya maka dibakarlah perahu mereka. Dan tanpa rasa bersalah para penguasa tengik itu menjual ikan tangkapan itu ke pedangang Cina dan pedagang lokal yang kaya raya untuk meraup keuntungan yang berlebih.
Mereka yang memiliki binatang ternak rojokoyo wajib menyerahkan anak kedua dari setiap indukan sebagai pajak penghasilan. Para pedagang kecil tidak diperbolehkan menjual dagangannya di pasar karena pasar hanya diperuntukkan bagi saudagar kaya yang sudi membayar upeti dengan jumlah yang besar. Tak cukup sampai disitu sikap feodal yang wiyasa Galuh Buana lakukan, seluruh pemuda dipekerjakan secara paksa tanpa sepeser gaji untuk membangun sistem irigasi dan sarana transportasi yang menguhubungkan wilayah Wengkerkidul dengan Wengker dan wilayah kekuasaan Majapahit terdekat lainnya semisal Daha.
Kondisi semakin kacau saat mereka yang memilki kepandaian dan ilmu pengatahuan sudi memenuhi panggilan Wiyasa Galuh Buana untuk dijadikan pegawai pemerintahan sehingga mereka akan patuh dengan segala intruksi. Dan jikalau ada pemuda berperawakan kuat maka dijadikanlah mereka sebagai pengawal atau sekedar prajurit yang akan membungkam segala bentuk pemikiran yang datang dari rakyat. Pastilah karena penawaran yang menggiurkan sehingga manusia-manusia itu lupa bahwa upah yang akan mereka terima merupakan hasil rampasan dari rakyat kecil yang tertindas.
Tidak ada lagi perlawanan atau sekedar kritikan terhadap kesewenang-wenangan. Semuanya enggan menjadi oposisi dari sebuah ketidak adilan. Mereka terjajah oleh rasa takut, mereka takut untuk mencoba hidup sebagai kaum yang terhormat. Dan ketika itu pula alam menjadi durja,  sikap kesatria berjalan melewati jiwa-jiwa yang kosong dan tidak singgah sampai mereka menjumpai sebuah kehancuran.
Seharusnya mereka mampu berdiri kokoh seperti gunung-gunung yang mengelilingi Wengkerkidul. Merubah diri secara menyeluruh untuk menjadi pribadi yang lebih kuat layaknya Gatot Kaca yang berani berdiri didepan musuh dan menghadapi kesewenang-wenangan mereka. Andaikan terpaksa mati terbunuh, biarlah kematian itu sebagai penghormatan untuk Wengkerkidul.  Dan apabila kemenangan dapat diraih maka selamanya mereka akan hidup sebagai pahlawan. Kehormatan seharusnya dianggap sebagai nilai tertinggi untuk mencapai sesuatu yang belum dapat dicapai oleh sebuah peradaban.
v   
“Dahulu saat aku menemukan kau dan ibumu tergeletak dilereng gunung Wilis aku membaca sebuah kalimat yang tertulis indah di punggung wanita yang sungguh cantik jelita. Kata-kata itu sungguh bijaksana, melantunkan melodi bersayap  yang akan membawa terbang insan yang membacanya  dalam kedamian yang abadi.”  terdengar suara Empu Tirto ditengah kobaran api yang menyulut batangan besi, baja, timah dan perak sehingga meleleh  tercampur menjandi satu dalam cetakan pedang.
Rawarontek yang sedari tadi sibuk membantu kakeknya membuat sebuah pedang terkejut pula mendengar penuturan lelaki tua itu. Sontak dia mempertanyakan perihal perkara yang belum pernah ia ketahui itu. “Kenapa kakek baru menceritakannya sekarang. Katakanlah kepadaku bagaimanakah bunyi kalimat itu?”
Dalam nyala api yang menjilat-jilat besi dan tembaga, ia menyampaikan sebuah lirik syair yang mengandung beribu makna kehidupan di dalamnya. “Aku hanya akan terbang dengan sayap-sayap Tuhan meski pada akhirnya aku akan terjatuh lalu mati.”
Sejenak anak muda itu terdiam dan memejamkan kelopak matanya seolah menghayati pesan agung yang tertulis pada tubuh wanita yang baik hatinya. Setelah diam beberapa saat dalam keheningan barulah ia sadar bahwa selama hidupnya mendiang sang bunda selalu bergandengan tangan dengan kalimat suci itu. sebuah material terbaik untuk menyusun pondasi peradaban yang lebih bermartabat.
“Aku akan menuliskannya pada kedua belah sisi pedang yang aku buat ini, supaya setiap tangan yang memegangnya akan menebaskan pedang ini pada tegakan-tegakan yang menyangga tirani.” Ujar Si kakek dengan penuh keyakinan.
“Cukup berisiko Ki untuk bergerak melawan arus yang telah mengalir dengan deras” sebuah analisis yang sering diutarakan banyak orang ketika sedang dihadapkan pada kondisi oposisi kembali terlontarkan.
“Jika sikap mengkritisi dianggap suatu minoritas yang ingin dihancurkan, maka yakinkan bahwa dirimu telah berada diantara yang minoritas itu. Supaya tetap ada alasan bagimu untuk terus berjuang. Akan lebih mulia hidup terasingkan karena berani jujur pada kebenaran, dari pada harus menyerah terhadap kemunafikan.” jawab Empu Tirto
            “Cukupkah aku seorang diri untuk melakukan semua itu?”  pemuda itu belum sepenuhnya yakin akan dirinya sendiri.
Diletakkannya telapak tangan kanan pada pundak cucunya agar keyakinan tumbuh subur pada nurani Rawarontek “Apabila di dalam dirimu masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminannya engkau tidak akan pernah bertemu dengan kemajuan walau selangkahpun. Kau harus berani untuk memulainya, jangan pernah menunggu orang lain.”
Sebilah pedang berukuran sedang dengan model yang sangat sederhana, jauh dari kesan mewah telah selesai di buat oleh Empu Tirto. Pada belahan kedua sisi pedang itu terukir sepenggal kalimat “Aku hanya akan terbang dengan sayap-sayap Tuhan meski pada akhirnya aku akan terjatuh lalu mati.” Tulisan ini mampu membakar semangat juang setiap kesatria  yang memegangnya. Sangat cocok untuk menggambarkan karakter masyarakat Wengkerkidul yang berjiwa jujur dan penuh kesederhanaan baik dalam bertingkah maupun berpikir. Cakra Buana  merupakan sebuah nama yang disematkan Empu Tirto kepada pedang buatannya itu. Cakra Buana  memilki arti senjata bumi, senjata yang akan menjaga bumi Wengkerkidul.
v   
Berbekal makanan dan uang logam secukupnya, Rawarontek  berkelana menyusuri perkampungan wilayah Wengkerkidul yang sedang dilanda krisis ekonomi maupun sosial dampak dari kebijakan Wiyasa Galuh Buana yang tidak berpihak terhadap rakyat. Banyak ia jumpai jurang kesenjangan antara kalangan pejabat dengan kalangan bawah. Yang miskin terus kelaparan sedang yang kaya semakin asik menumpuk harta. Sebuah tatanan masyarakat yang jauh dari kata adil untuk kehidupan yang fana ini. Mereka bilang ini adalah kondisi yang ideal dimana akan selalu ada kaum yang tertindas pada sebuah peradaban. Tapi manusia seperti apa yang sudi untuk mengisi peran itu. Bukankah kesejahteraan itu datangnya dari rakyat, maka sudah sepantasnyalah bagi mereka untuk turut menikmati kesejahteraan itu.
Tibalah pengelana rupawan itu di sebuah dusun bernama Karangan. Kondisi warga dusun yang mayoritas bekerja sebagai petani itu sangat memprihatinkan. Semua penduduknya terlihat begitu menderita karena kemiskinan dan kelaparan, padahal hampir dua pertiga wilayahanda dusun itu merupakan hamparan sawah yang subur dengan saluran irigasi yang cukup baik. Sebuah pemandangan gundukan sisa panen padi nampak berjejer rapi ditengah hamparan sawah yang mulai menguning. Suatu kondisi yang menceritakan bahwa warga dusun Karangan baru saja melaksanakan panen raya. Rawarontek bingung bukan kepalang melihat keadaan di dusun ini, semua warga kelaparan disaat mereka baru saja merayakan panen raya.
Pastilah perih batin manusia yang menyaksikan penderitaan warga yang mengisi siang mereka dengan kelaparan dan membanjiri malam mereka dengan kesengsaraan. Tatkala melintasi sebuah gubuk tua Rawarontek dikejutkan dengan rintihan wanita gila yang terus menyebut nama seorang laki-laki. Ditanyailah anak laki-laki yang sedari tadi setia menunggui wanita gila itu.
 “Mengapa kau terus menunggui wanita itu?”
“Dia adalah ibundaku” jawabnya dengan singkat.
“Apakah dia sedang menangisi ayahandamu? apa yang diperbuat ayahandamu sehingga ibundamu terlihat menderita seperti itu?”
“Benar kakang, ibunda menangisi kematian ayahanda.”
Setelah menjawab pertanyaan Rawarontek, sejenak nak kecil itu terdiam lalu matanya berkaca-kaca dan seperti tak kuasa untuk menahannya maka air mata itu mulai berlinang membasahi wajahnya. Dengan terisak-isak tangis perlahan ia menjelaskan penyebab kematian ayahandanya.
“Kami ini keluarga yang sangat miskin. sawah kami sempit, dan tak ada hewan ternak yang kami pelihara. Ayahanda tidak mau menyerahkan setengah panen padi kami untuk dibayarkan sebagai upeti. Sungguh kesuluruhan panen padi kami saja tidak akan mencukupi untuk kita makan dalam setengah tahun. Jikalau setengahnya kita bayarkan untuk upeti, mau makan apa keluarga kami. Oleh sebab itulah ayahanda hanya mau membayar seperempat hasil panen padi kita, sama seperti yang diperintahkan Majapahit. Sikap ayahanda ini dianggap Ki Lurah sebagai sebuah perlawanan, maka ayahanda ditangkap dan diadili sampai mati.”
Setelah mengatakan hal ini, ia menutupi wajahnya, mencoba menyembunyikan kesedehinnya dengan telapak tangannya yang kecil. Rawarontek memegang tangan anak kecil yang menderita hatinya itu, ia letakkan tangannya di dadanya dan berkata “Jangan bersedih, ayahandamu tidak pergi jauh, keberaniannya bersemayam didadamu untuk menjaga kalian. Apakah warga yang lain hanya terdiam melihat ketidak adilan yang Ki Lurah perbuat?” Tanya Rawarontek.
“Mana ada laki-laki yang rela melihat istrinya menjadi janda dan anaknya menjadi yatim? Semua memilih diam dalam penderitaan yang berkepanjangan ini.”
Rawarontek memberikan seluruh bekal dan uang yang ia bawa ke anak malang itu “Makanlah bekal yang aku bawa ini bersama ibumu. Lalu pergilah ke pasar dan belikan ibumu pakaian baru, semoga kesedihannya lekas berkurang.”
Sebelum meninggalkannya ia berpesan pada anak kecil itu “ Dunia ini adalah rumah kalian, dan disini kalian aman. Tuhan telah menciptakan dunia ini untuk semua makhluknya, bukan hanya untuk sebagian makhluk.”
Bergegaslah Rawarontek menelusuri jalan untuk mencari rumah Ki Lurah yang harus bertanggung jawab atas segala kejadian di dusun Karangan ini. setelah bertanya ke penduduk setempat akhirnya dia menemukan rumah Ki Lurah. Mata Rawarontek terbelalak melihat betapa rumah pemimpin dusun itu berdiri megah diantara gubuk-gubuk reyot yang dihuni warganya. Lumbung padinya penuh terjejali hasil panen seolah tak akan habis jika dimakan seluruh warga karangan dalam satu musim panen. Alangkah memprihatinkan disaat seluruh warganya kelaparan seorang pemimpin justru terbuai menumpuk-numpuk harta benda. Memang sudah menjadi tabiat anak adam jika diberi satu gunung maka ia akan meminta dua gunung dan ketika sudah diberi dua gunung pastilah ia akan meminta tiga gunung. Keserakahan inilah yang kerap membutakan mata hati manusia, sehingga tak terlihat olehnya segela penderitaan yang dialami kerabat dan sahabatnya.
Sepertinya tidaklah terlalu sulit untuk menemui orang nomer satu di dusun Karangan tersebut. Dengan perangai yang supel lurah Karangan yang bernama Ki Joyogeni itu menyambut baik kunjungan Rawarontek. Kepandaian kesatria muda itu dalam berkomunikasi membuat situasi semakin kondusif saja. Dari sinilah mulai terkuak akar dari semua permasalahan di dusun Karangan.
“Aku mengerti kau pasti mengira aku ini pemimpin yang dzolim. Bersenang-senang akan segala kenikmatan duniawi ditengah kesengsaraan yang dirasakan wargaku. Hartaku melimpah ruah seolah aku tak pernah berbagi kepada mereka. Tapi ketahuilah anak muda, semua ini terjadi dengan sebab yang benar. Disetiap awal tanam dusun ini selalu mengalami paceklik pangan. Mereka yang persediaan pangannya sudah habis datang kepadaku untuk meminjam sekarung beras, dan kami bersepakat untuk mengembalikan dengan dua karung beras pada saat panen. Apakah menurutmu sesuatu yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak itu merupakan perkara yang keliru?” ki lurah berhenti berbicara selama sesaat. Kemudian terlihat sedikit saja simpul senyuman dibirnya dan matanya menatap dalam-dalam pemuda dihadapannya itu lalu mulailah ia mengatakan sesuatu “ Setiap orang memiliki cara yang berbeda untuk bertahan hidup. Ini adalah caraku dan ku harap kau menghargainya.”
Rawarontek menggeser posisi duduknya lalu mendekat dan bertanya “Maaf Ki Lurah, mengapa bisa secepat itu persediaan makanan itu habis. Sedang aku melihat tanah di dusun ini sangat subur, saluran irigasinya baik, serta terdapat banyak kerbau yang bisa digunakan untuk menggaru lahan, pastilah padi yang mereka panen sangat melimpah ruah.”
“Memang benar apa yang kau katakan. Setiap kali panen mereka selalu mendapatkan hasil yang cukup melimpah. Tapi mereka harus membayarkan setengah dari panen itu kepadaku sebagai upeti yang nantinya juga akan diserahkan ke Majapahit. Banyak pedagang dari Jambudwipa, Kamboja, Campa, Yawana, Cina, Siam, Goda, Karnataka datang ke Majapahit untuk membeli beras kita. Ketahuilah anak muda, berkembangnya perdagangan ini akan membawa kemakmuran kepada kerajaan dan peningkatan kesejahteraan di lingkungan rakyat. Dan berkat kunjungan pedagang-pedang asing itulah  nama Majapahit menjadi mashur di jagad raya ini.” jawab Ki Lurah.
“Wahai Ki Joyogeni, Bukankah prabu Hayam wuruk telah menetapkan pembayaran pajak pengahisalan hanya seperempat dari hasil panen.” tanya pemuda itu setelah merasa ada kejanggalan dari penjelasan Ki Lurah tadi.
“Sekali lagi kau benar anak muda, akan tetapi wiyasa Galuh Buana  telah membuat kebijakan untuk menaikkan jumlah pajak menjadi setengah dari hasil panen. Tentulah sisa dari pajak yang diserahkan ke Majapahit akan dijadikan upah bagi para pegawai dan prajurit.”
Sepintas terlihat mata Rawarontek menatap perangai Ki Lurah yang duduk dihadapannya. Karena belum puas dengan jawaban Ki Lurah ia sekali lagi melontarkan satu pertanyaan “ Aku sungguh tidak mengerti kenapa Wiyasa Galuh Buana tega membuat kebijakan seperti ini, padahal semua orang tahu kalau wiyasa dan seluruh bawahannya telah mendapatkan jatah bengkok tanah yang sangat luas sebagai gajinya. Apakah Majapahit tahu tentang kebijakan yang telah Wiyasa Galuh Buana  buat?”
Ki Lurah mencibirkan bibirnya, seperti tidak senang dengan pertanyaan Rawarontek. “Sekali lagi aku katakan kepadamu, setiap orang memiliki cara yang berbeda untuk bertahan hidup. Mungkin ini adalah keputusan terbaik yang wiyasa ambil maka kau juga harus menghargainya.”
Setelah mendengar kata-kata itu entah setan dari mana yang merasuki raga Rawarontek sehingga ia menghajar Ki Lurah tanpa ampun. Ia membanting tubuh gemuk Ki Lurah diatas meja hingga remuklah tulang rusuknya.  Belum sempat mulutnya berteriak kesakitan, sepakan keras Rawarontek mengenai mulut Ki Lurah hingga merontokkan gigi atas maupun gigi bawahnya. Perutnya yang buncit ditinju secara bergantian menggunakan kedua tangan yang kekar. Darah segar terus mengalir dari mulut Ki Lurah. Dalam keadaan setengah sadar dia berusaha mengatakan sesuatu. “Kenapa kau siksa aku seperti ini? Ayo kita bicarakan secara baik-baik kalau ada yang masih perlu dibicarakan.”
“Bukankah kau sendiri yang tadi mengatakan setiap orang memiliki cara yang berbeda untuk bertahan hidup. Dan ini adalah caraku, maka kau juga harus mengahargainya” Ujar Rawarontek sembari membentuskan kepala Ki Lurah pada lantai rumah sampai mucrat darah.
“Apakah kau sadar kalau caramu ini benar-benar tidak berprikemanusiaan.” Kata Ki Lurah.
“Lancang sekali mulutmu berbicara tentang prikemanusiaan.” Bentak Rawarontek.
“Kau tak lebih dari seorang perampok yang menyembunyikan dirimu dalam jubah kepemimpinan yang kau kenakan. Kau rampok makanan rakyatmu yang sedang kelaparan, keparat kau rentenir biadab! Kau bunuh warga yang mencoba menyuarakan haknya. Hanya sekali saja aku melintasi dusun ini, batinku terasa sangat prihatin melihat banyak manusia menyeret beban penderitaan yang amatlah berat. Selama ini kemana saja perginya prikemanusiaan yang kau katakan itu, bangsat!”
Ki Lurah yang mulai sekarat itupun hanya diam terkapar, merenungi semua perbuatannya di masa yang lalu.
Rawarontek berjalan mendekati Ki Lurah, dan mulutnya didekatkan pada telinga lelaki gendut itu, lalu berbisiklah dia. “Aku telah berjalan dari timur sampai ke barat, dan melihat banyak anak kecil menangis karena kelaparan. Aku telah berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain, dan aku juga melihat banyak wanita menjadi janda setelah suaminya mati karena kerja paksa. Bumi akan mampu menyediakan segala sesuatu untuk memuaskan kebutuhan semua orang. Tapi ia tidak akan pernah mampu memenuhi segala ketamakan manusia seperti kalian.”
Dalam beberapa saat ia terdiam, dahinya mengerut entah karena sedang menahan rasa sakit, atau karena menyesali semua yang telah ia lakukan, atau mungkin karena keduanya. Terlihat ia berusaha mengumpulkan semua tenaga yang tersisa untuk berbicara. Mulutnya mulai berbicara, air matanya  berlinang menambahkan arti pada setiap kata yang terucap, jiwanya menyatu pada setiap kata yang terlontar. “Selama ini aku telah kehilangan diriku sendiri. Mata hati ini menjadi buta setelah berlama-lama aku menatap silaunya kenikmatan dunia yang hanya sesaat ini. Aku telah membiarkan keserakahan ini melilit jiwaku lalu merobohkannya. Tanpa aku sadari selama ini aku terduduk manis di atas tangisan wargaku yang kelaparan. Aku telah merontokkan bunga-bunga kedaimaian, lantas menginjaknya dengan sengaja hingga bunga itu hancur.  Sungguh maafkan aku anak muda.”
“Jangan kepadaku, wargamulah yang pantas mendapatkan kata maaf itu.” Cetus Rawarontek dengan penuh keraguan akan segala yang diucapkan Ki Lurah.
“Apa mereka sudi memaafkanku?” Tanya Ki Lurah.
“Jika mereka tidak ikhlas memaafkanmu, maka sungguh sial kehidupanmu setelah ajal memanggilmu.”
“Aku sungguh menyesal dengan semua ini. Aku tak ingin tangan, lidah, mata, dan telingaku menjadi saksi atas kedzoliman yang pernah aku kerjakan. Kumpulkan seluruh wargaku di depan balai dusun, lalu bagikan seluruh harta bendaku kepada mereka. Aku juga tak ingin harta bendaku ini menjadi bukti atas keserakahanku.” Pinta Ki Lurah.
“Lakukanlah sendiri, dan semoga kau sunguh-sungguh dengan ucapanmu Ki Joyogeni!” Sesaat kemudian Rawarontek berjalan meninggalkan Ki Lurah.
“Berhentilah anak muda, kau harus tetap di sini untuk menemaniku memperjuangkan nasib wargaku. Kau telah menjumpai persoalan yang rumit ini, jika dirimu seorang kesatria pastilah kamu akan menyelesaikannya.” Ki Lurah menahan pemuda itu agar mau membantu dirinya.
Langkah kaki pemuda itu berhenti, lalu ia menoleh kearah Ki Lurah. Didapatinya wajah yang dibanjiri luka dan darah itu benar-benar mengharapkan sesuatu. Ia bantu pria gendut berkumis tebal itu untuk berdiri dan membopongnya menuju sebuah kursi yang berada di sebalahnya.
“Baiklah, tapi dengan syarat kau harus berani mengembalikan besaran upeti untuk dusun ini sesuai dengan yang telah ditentukan Majapahit, hanya seperempat dari keseluruhan hasil panen.”
“Permintaanmu ini sulit untuk aku wujudkan. Berpikir itu gampang, bertindak itu sulit, dan melaksanakan suatu pikiran dalam tindakan adalah hal yang paling sulit di dunia. Andai permintaanmu kuturuti, maka waga dusun yang lain akan menuntut hal yang sama. Dan tentunya, dusun ini nanti akan mendapat tekanan dari wiyasa Galuh Buana  karena dianggap memberontak. Dia akan menghukum seluruh warga hingga bertambahlah penderitaan yang mereka alami.”
“Kita melakukan hal yang benar, kenapa kau harus takut. Selamanya kita akan selalu tertindas jika tak punya keberanian untuk berkata jujur pada kebenaran. Mati memperjuangkan kebenaran itu jauh lebih mulia dari pada terus-menerus hidup dalam kemunafikan. Ini tidak hanya perkara kesewenang-wenangan wiyasa Galuh Buana  dalam menentukan besaran upeti yang menyalahi aturan, lebih dari itu kita akan menuliskan sejarah yang akan selalu diceritakan oleh anak cucu kita kelak. Mereka akan bangga jika bercerita tentang nenek moyang mereka yang gagah berani dan selalu menentang penindasan. Sebaliknya mereka pastilah malu, kalau menceritakan nenek moyang mereka hanya diam dalam penindasan dan kesewenang-wenangan pemimpin.” Dengan argumentasi yang matang pemuda itu berusaha meyakinkan Ki Lurah.
“Baiklah aku sependapat denganmu. Tapi kita juga harus mempertimbangkan semua resiko yang akan terjadi, dan sangatlah penting untuk membuat perencanaan guna mengurangi resiko itu.” Kata Ki Lurah.
Tiba-tiba matan lelaki gendut itu berbinar terang, bertanda ia sedang mendapatkan ide yang cemerlang, lalu ia kembali berkata. “Lima puluh tahun yang lalu didusun ini pernah terlahir seorang kesatria sepertimu, namanya Aryayuda. Di usianya yang masih sangat muda ia sudah mendapatkan kehormatan dari Majapahit dengan di percaya sebagai bagian dari prajurit Bhayangkara. Beberapa tahun kemudian ia menjadi pengawal Ratu Tribuwana Tunggadewi sekaligus menjadi orang kepercayaan Patih Gajah Mada. Pemikirannya begitu cerdas dan terbuka, sikapnya yang supel dan bersahaja membuatnya disenangi banyak orang. Ia mengenal beberapa raja bawahan Majapahit seperti Rajadewi Maharajasa, Kertawardhana, Wijayarajasa dan juga Rajasawardhana. Dan yang paling penting, ia sangat paham akan isi kitab Kutara Manawa. Temuilah dia, lalu mintalah supaya membantu kita untuk mengembalikan hak rakyat yang terampas oleh aturan yang dibuat Wiyasa  Galuh Buana .”
“Dimanakah sekarang ia tinggal?” Tanya Rawarontek.
“Saat ini dia hidup dengan mengasingkan diri di Goa Lowo.” Jawab Ki Lurah
            “Apa yang terjadi dengannya?”
            Ki Lurah mulai mondar-mandir kesana-kemari sembari mencoba mengingat sesuatu yang sudah terkubur dalam ingatannya, lalu mulailah ia bercerita. “Sejak lima belas tahun yang lalu dia hidup di sana hanya seorang diri dalam sebuah pertapaan, dan sampai sekarang tidak pernah ada yang tahu apa alasannya melakukan itu. Sebagian orang menceritakan bahwa saat ia bergabung dengan pasukan Bhayangkara untuk mengamankan  istana dari pemberontakan Sadeng, salah seorang pemberontak meculik istrinya yang sedang mengandung tua. Dia sangat mencintai istrinya, sampai-sampai ia habiskan hari-harinya hanya untuk mencari kekasihnya itu. Hampir di setiap sudut wilayah majapahit ia datangi, tapi semua usahanya tak membuahkan hasil. Akhirnya ia mengundurkan diri sebagai senopati dan mulailah ia hidup menyendiri di dalam goa. Sementara yang lain mengatakan bahwa ia sudah gila semenjak ditinggal istri yang sangat dicintainya. Kemudian dia menjadi seorang petapa yang pergi meninggalkan segala hiruk pikuk politik di Majapahit dan pergi ke Goa Lowo untuk mendekatkan jiwanya pada Dzat yang menciptakan kehidupan.”
“Sungguh kasian dengan nasib senopati itu. Aku akan pergi ke goa Lowo untuk menemuinya.” Kata Rawarontek.
“Aku akan menemanimu anak muda” Sahut Ki Lurah.
“Lihatlah dirimu masih dipenuhi dengan luka, apa kau sanggup?”
“Luka ini memang sakit sekali, tapi semua jadi tak terasa sakit jika dibandingkan luka dan penderitaan yang aku sayatkan pada jiwa warga di dusunku. Aku masih cukup kuat untuk menemanimu.”
“Jika itu kehendakmu, maka aku tak akan melarangmu. Tapi sebelumnya kau harus menepati dulu janji yang kau ucapkan tadi untuk membagikan seluruh kekayaanmu kepada wargamu yang kelaparan.” Jawab Rawarontek.
Keesokan harinya Ki Lurah mengumpulkan seluruh warganya di depan balai dusun. Dibawah hangatnya mentari yang mulai bersinar ia membagikan beras dan uang kepada setiap kepala keluarga. Tersenyumlah bibir-bibir yang mengering itu, mereka bersuka cita dalam kebersamaan. Dengan merendahkan hati, Ki Lurah mencoba untuk meminta maaf atas segala kekhilafan yang pernah ia lakukan. Dengan lapang dada, semua warga memaafkannya.
Orang yang baik bukan berarti orang itu tidak pernah melakukan kesalahan, melainkan ia yang menyesali perbuatannya lalu segera bertobat dan memperbaikinya. Sungguhnya Sang Pencipta kehidupan membentangkan tangan kasihnya pada waktu malam supaya bertobat orang-orang yang telah melanggar pada siang hari. Juga mengulurkan tangan kemurahannya pada waktu siang, supaya bertobat orang yang berdosa pada waktu malam. Keadaan itu akan tetap terus terjadi hingga matahari terbit dari barat. Sungguh indah suasana dusun Karangan saat itu, andai bisa dilukiskan, mungkin patung Kandedes masih kalah indah olehnya.



5
Perdikan Kampak



Tuhan pastilah menyayangi setiap mereka yang berjalan dengan langkah kebenaran yaitu langkah-langkah yang lurus untuk menuju Tuhannya. Mereka yang masih berani menyuarakan kejujuran dalam ricuhnya suara kemunafikan. Atau mereka yang merelakan hartanya, kedudukannya, dan bahkan keluarganya demi memperjuangkan kebenaran. Dan semuanya mengetahui bahwa manusia hidup didunia laksana musafir yang singgah untuk sekedar minum. Maka merugilah mereka yang menghabiskan waktunya dengan melalaikan seruan Tuhannya. Dan sungguh beruntung bagi mereka yang menjadikan kesabaran dan amalan baiknya sebagai penolongnya. Maka yang demikian itu amatlah berat untuk dikerjakan kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. Yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
Berbekal keyakinan dan keinginan yang kuat untuk menumbangkan tegakan tirani yang sudah lama menyiksa rakyat Wengkerkidul maka berangkatlah Rawarontek dan Ki Lurah Joyogeni untuk mencari Aryayuda. Mereka berjalan kaki menyusuri setiap tapakan hijau nan subur yang terbentang luas dibumi Wengkerkidul. Menyeberangi sungai-sungai yang jernih dan mendaki bukit-bukit yang indah. Dan dari atas bukit itulah mereka dapat melihat sawah dan perkebunan subur yang ditanam padi dan tanaman palawija. Dan mereka yang menanamnya tentunya berhak untuk memanennya tanpa ada pungutan yang memberatkan. Karena bumi diciptakan Tuhan untuk seluruh umat manusia, bukan hanya sebagian umat.
Kegelapan melelapkan alam Gandusari, mengusir hiruk pikuk manusia dalam kehidupan yang fana. Kesunyian dan kegelapan datang menyelimuti setiap jengkal jalan yang akan mereka tempuh. Maka berhentilah dua pengembara itu dari perjalanannya untuk singgah pada sebuah gubuk ditepian jalan. Rawarontek mengumpulkan beberapa ranting pohon untuk membuat api unggun. Sedang Ki lurah duduk bersandar pada sebuah pohon di dekat gubuk itu. Setelah terkumpul beberapa ranting maka dibakarlah hingga api mulai menyala dan cahayanya menerangi dua insan yang kelalahan. Terlihat bibir tebal Ki Lurah berucap lalu terdengar suara yang lirih “ Siapa sebenarnya kau ini Nak? Siapa orang tua yang beruntung memiliki anak sepertimu? Mengapa kau begitu peduli dengan keadaan masyarakat di Wengkerkidul?”
Rawarontek mendekat pada Ki Lurah lalu ia duduk di sebelahnya dan dengan senyuman yang ringan ia menjawab pertanyaan Ki Lurah “ Aku tidak tahu siapa aku ini Ki. Aku juga tidak mengenal wanita yang melahirkanku begitu pula dengan siapa ayahandaku. Limabelas tahun yang lalu aku ditemukan oleh sepasang kakek dan nenek di lereng gunung Wilis. Merekalah yang kemudian merawat dan membesarkanku, mendidik serta mendawasakanku. Aku sangat menyayangi Empu Tirto begitu juga dengan Nyi Damas.”
Mendengar jawaban Rawarontek terlihat Ki Lurah mengerutkan dahinya seperti sedang menangkap informasi yang sangatlah penting. Kemudian ia berusaha meyakinkan apa yang barusan diucapkan Rawarontek. “Jadi yang mengasuhmu selama ini Empu Tirto dan Nyi Damas?”.
“iya benar Ki. Apa Ki Lurah mengenal kakek dan nenekku?” tanya Rawarontek.
“Aku sangat mengenal keduanya, Empu Tirto adalah saudara laki-lakiku. Kami sudah sangat lama tidak pernah berjumpa, bagaimana keadaan mereka sekarang Nak?”.
“Aku sungguh tak menyangka Ki kalau ternyata Ki Lurah ini saudara laki-laki Empu Tirto. Keadaan kakek sehat Ki, namun setelah kematian Nyi Damas semangat dan keceriaannya sudah jarang terlihat lagi.”
“Apa yang terjadi dengan Nyi Damas?” Sahut Ki Lurah.
“Lima tahun yang lalu Nyi Damas mati setelah jantungnya tertembuh sebusur panah utusan Wiyasa Galuh Buana . Sikap kakek dan nenek yang selalu menentang terhadap segala penindasan yang dilakukan oleh Wiyasa Galuh Buana membuatnya murka. Dan dengan buta hati pemimpin dzolim itu mengirim pemanah terbaiknya untuk membunuh Nyi Damas. Mungkin inilah takdir kehidupan orang-orang kecil seperti kami. Kesengsaraan yang dialami rakyat adalah tangisan abadi yang harus selalu didengar. Dan ini pulalah yang membuat jiwaku selalu memberontak melawan penindasan dan merendahkan semua kebijakan busuknya.” Jawab Rawarontek.
“Kau sungguh anak yang hebat, diusiamu yang masih muda aku sudah melihat kedewasaan, ketulusan dan keberanian terukir  indah pada dinding jiwamu. Kau persis seperti Empu Tirto diwaktu muda. Dan juga perlu kau ketahui bahwa Aryayuda merupakan murid kesayangan Empu Tirto.”
“Sungguhkah itu Ki?” tanyanya keheranan mendengar cerita Ki Lurah.
Lelaki gendut itu menganggukkan kepalanya seraya melempar sebuah senyuman kearah pemuda yang masih melongo dihadapannya itu.
“Aku sungguh tidak sabar untuk bertemu dengan Aryayuda”. timpal Rawarontek kegirangan.
Kedua makhluk tuhan itu larut dalam cerita yang dibawakan oleh satu dengan yang lainnya. Hingga Kesunyiaan malam yang menyeret mereka kepada mimpi yang fana dalam sebuah peristirahatan.
Ketika pagi menjelang, fajar merekah berwarna merah mengusir kegelapan malam. Ayam jantan berkokok keras berusaha menyampaikan pada angin dan embun bahwa kehidupan yang baru akan segera dimulai. Hingga terbitlah mentari pagi yang kilau cahayanya membangunkan Rawarontek dan Ki Lurah dari tidurnya. Keduanya bangkit dan bersegera melanjutkan perjalanannya. Untuk mempercepat perjalanan, mereka putuskan untuk mencari tumpangan pada sebuah cikar yang biasanya melintas disekitar jalanan Gandusari. Tak perlu menunggu terlalu lama, dari kejauhan terlihat sebuah cikar yang membawa belasan karung beras dengan di tunggangi seorang gadis cantik jelita. Ki lurah menghentikan cikar itu lalu menyampaikan maksudnya pada Si gadis untuk ikut numpang di cikarnya. Dengan senang hati gadis itu memperbolehkan Ki Lurah dan Rawarontek untuk bergabung dengannya.
“Maaf Kisana, siapakah nama kisana dan hendak kemanakah kisana akan pergi?” Suara yang terdengar santun terlantun dari kedua bibir tipis gadis jelita itu untuk membuka percakapan diantara mereka.
“Namaku Joyogeni, lurah di dusun Karangan dan ini Rawarontek. Rawarontek ayo perkenalkan dirimu”. Ujar Ki Lurah pada Rawarontek.
Rawarontek yang sedari tadi terpaku menatap wajah cantik gadis didepannya tidak mendengar perintah Ki lurah.
“Rawarontek!” Lelaki berkumis tebal itu membangunkan Rawarontek dari lamunannya tentang kecantikan yang menghiasi setiap sudut wajah gadis itu.
“Iya ada apa Ki?” Tanya bocah itu kebingungan.
“Ayo perkenalkan dirimu” Ki lurah kembali mengulangi perintahnya sambil tersenyum tipis.
“Aku Rawarontek, nama kisana siapa?” Seraya mengulurkan tangannya yang dingin karena rasa gelisah di hatinya.
Sesaat kemudian telapak tangan yang halus menyapa mesra tangan Rawarontek, hingga jiwa bocah tampan itu dibuat melayang oleh sentuhan lembutnya. “Namaku Rahayu Pitaloka, panggil saja aku Pitaloka” Jelas gadis itu sembari melempar senyuman yang manis. Bocah itu masih bengong dan tetap memegang erat tangan Pitaloka.
“Hai Nak, ayo lekas lepaskan tangan Pitaloka, nanti bisa gosong kalau tetap kamu pegang erat seperti itu. hahaha!” Ki Lurah mencandai bocah yang sedang dibuat mabuk kepayang oleh pesona Pitaloka.
Seketika itu pula  ia melepaskan tangan gadis manis didepannya sambil mencoba menetralkan raut wajahnya yang terlanjur memerah. “Aduh Ki Lurah jangan bikin aku salah tingkah seperti ini, malu Ki” bisik Rawarontek. Melihat tingkah Rawarontek Ki lurah hanya tersenyum sambil membuang mukanya ke tepian jalanan.
“Tadi Ki Lurah belum menjelaskan hendak kemanakah kalian akan pergi? Pitaloka mengingatkan pertanyaannya yang belum dijawab Ki lurah.
“Aku dan Rawarontek hendak ke watulimo untuk menemui pendekar Aryayuda yang tinggal di Goa Lowo” Jawabnya.
“Sepertinya aku pernah mendengar nama Aryayuda, apakah dia saudara kisana?”.
“Bukan, dia adalah mantan senopati Majapahit yang dulu di masa kecilnya pernah tinggal di dusun Karangan.” Jelas Ki lurah.
“Ada keperluan apa Ki lurah menemui Aryayuda, Maaf Ki saya tak bermaksud ikut campur urusan kalian, Ki lurah boleh tidak menjawab kalo memang tidak berkenan.” Terangnya.
Ki lurah memandangi mata bundar Pitaloka yang terlihat begitu penasaran, kemudian dia mulai mengatakan sesuatu. “Sebenarnya aku hanya mengantar Rawarontek, dialah yang memiliki hajat dengan Aryayuda. Cobalah kamu bertanya kepadanya.”
Dengan nada yang rendah Pitaloka bertanya kepada Rawarontek “Rawarontek sudikah kamu menjelaskan tentang tujuanmu menemui Aryayuda kepadaku.”
Bocah yang sedari tadi termenung itupun mulai berbica dengan menundukkan pandangannya karena tak sanggup menatap  paras anggun Pitaloka. “Aku hanya ingin meminta bantuan Aryayuda untuk mengembalikan beras yang digenggam wiyasa Galuh Buana  ke tangan rakyat yang kelaparan.”
Pitaloka masih belum mengerti dengan perkataan Pancosana “Kamu bisa menjelaskan maksud perkataanmu tadi?”
Rawarontek hanya terdiam, beberapa saat kemudian dia mulai memberanikan diri untuk menegakkan pandangannya ke arah Pitaloka. “Besaran upeti yang di tentukan Wiyasa Galuh Buana  jumlahnya terlalu besar dan tidak sesuai dengan ketentuan Prabu Hayam Wuruk. Kebijakan itu telah mencekik rakyatnya sendiri, memiskinkan rakyatnya yang sudah miskin, dan melukai hati mereka yang sudah lama menderita. Aryayuda punya pengetahuan tentang aturan hukum di Majapahit. Aku harap dia sudi membantuku untuk mengahadap ke wiyasa Galuh Buana  agar mengubah kebijakannya sesuai titah yang diberikan Prabu Hayam Wuruk.”
Mendengar penuturan Rawarontek Pitaloka hanya tersenyum lalu berucap “Aku sungguh bangga padamu, perjuangkanlah apa yang menurutmu benar.”
Mendengar ucapan Pitaloka bocah tampan itu kelihatan tersipu malu, namun kata-kata itu juga mampu mengilhami kekuatan di jiwa Rawarontek.
“Kamu sendiri mau kemana? Mau kau apakan tumpukan karung yang berisi beras ini? apakah akan kamu jual?” Untuk pertama kalinya Rawarontek berani bertanya ke gadis yang mungkin telah memikat hatinya.
“Aku hanya mengantar beras ini kepada pemiliknya.” jawab Pitaloka.
“Jadi kamu itu bekerja sebagai kuli pengantar beras?” sahut Rawarontek.
“Mungkin seperti itu” Jawabnya sembari tersenyum.
Mereka pun mulai akrab dan saling bergsenda gurau. Roda cikar terus berputar, membawa mereka kepada tujuannya masing-masing.
            Tatkala melintasi hutan di kawasan Perdikan Kampak delapan lelaki berperawakan kekar menghalangi cikar mereka. Terlihat lelaki bertubuh besar dan berkumis tebal yang merupakan orang tertua diantara lainnya berjalan kearah mereka dengan menggenggam sebilah kapak.
“Hai berhenti!” Bentaknya.
Pitaloka menghentikan cikarnya, lalu dia turun dan menghampiri lelaki itu. “Semua orang mendengar betapa kuatnya pemuda perdikan Kampak, aku pun mengetahui betapa sejarah telah menuliskan keberanian pendahulu kalian. Empat ratus lima puluh tahun yang lalu Empu Sendok Sang Maharaja Medang pun tak sungkan untuk menganugerahkan penghormatan dan kemuliaannya kepada pemuda Perdikan Kampak atas keberaniannya untuk membantu pasukan Medang mengalahkan pasukan Sriwijaya. Dan karena jasa  nenek moyang kalian itulah sejarah besar telah terukir di nusantara ini. Maka dengan rasa hormat biarkanlah kami melanjutkan perjalanan.” Tutur pitaloka dengan sopan.
“Kalian membawa beras begitu banyaknya padahal sekarang lagi musim paceklik. Kalian pasti saudagar kaya yang selalu serakah dan tamak akan harta. Menimbun beras disaat teman dan saudara kalian kelaparan. Ayo serahkan beras itu kepada kami!” Ujar lelaki berkumis tebal sambil mengacungkan kapaknya ke wajah cantik Pitaloka.
Melihat sikap kasar lelaki itu pada Pitaloka secepat kilat Rawarontek meloncat dari cikar dan menghadapinya. “Kami bukan orang yang kau maksudkan kisana. Biarkanlah kami melanjutkan perjalanan.”  Ujar Rawarontek dengan nada yang merendah dan sopan.
“Serahkan dulu seluruh beras itu pada kami, lalu pergilah sesuka hatimu.” jawabnya.
Rawarontek mendekati Pitaloka dan mengajaknya menjauh dari hadapan lelaki garang yang akan merampas beras yang dibawanya. “Beras ini bukanlah milik kami. Kami hanya bertugas mengantarkan beras ini kepada yang memiliki.” Jelas Rawarontek.
“Kau jangan banyak bicara anak muda, atau aku penggal kepalamu” Ancamnya.
“Aku tidak berbohong” Pemuda tampan itu berusaha meyakinkan lelaki dihadapannya.
Seorang pemuda berambut brintik datang menyambangi Rawarontek, tanpa banyak bicara ia layangkan bogem ke wajah Rawarontek. Dengan sigap Rawarontek menangkis tinju yang mengarah padanya menggunakan telapak tangannya. Sikap Rawarontek ini memantik emosinya, sekuat tenaga ia mencoba kembali menjejakkan kakinya pada dada cucu Mpu Tirto. Rawarontek segera menjatuhkan badannya untuk menghindari tendangan itu, dalam keadaan terlentang ia segera melakukan sapuan mengenai kaki lawannya. Lelaki berambut brintik itu pun terjungkal ke atas tanah. Melihat temannya terjatuh maka beberapa pemuda yang lain maju dan mengeroyoknya.
“Hai anak muda! Takdir kematianmu adalah hari ini di tangan Anggreng pemimpin kami” seru salah seorang diantara mereka.
“Jika itu yang kau inginkan maka lakukanlah” sahut Rawarontek.
Merekapun saling baku hantam, dan dengan lihai pendekar sakti berparas tampan itu sanggup melayani gempuran lawan-lawannya. Dia bahkan sempat menjatuhkan beberapa diantaranya, kemudian mereka bangkit lagi dan berbalik menghajar Rawarontek.
Meski kini tubuh mereka telah dibanjiri dengan keringat dan darah, namun tak terlihat tanda-tanda pertempuran akan berhenti. Baik Rawarontek maupun kawanan perampok itu masih saling menunjukkan kepiwaiannya dalam berkelahi. Dan perkelahian itu semakin menjadi-jadi tatkala pemimpin mereka ikut bergabung mengeroyok Rawarontek yang mulai terlihat kelelahan. Kemampuan silat pemimpin perampok itu sungguh mengesankan, beberapa kali tinjunya berhasil mengenai dada dan wajah Rawarontek. Darah segarpun mengalir dari dahinya yang robek. Dalam keadaan terluka ia masih berani meladeni perlawanan kawanan perampok hutan Perdikan Kapak yang terkenal sangat kuat dan kejam.
Ki Lurah yang sedari tadi hanya berani menonton, dengan bermodal nekat ia ikut berkelahi membantu kawannya yang mulai terdesak oleh serangan bertubi-tubi mereka. Namun sungguh sial nasib lelaki tua berperawakan gendut itu, belum sempat ia memeragakan kebolehan ilmu silatnya, sepakan keras Anggreng datang menghujam ke perutnya hingga badannya yang bundar menggelinding menabrak roda cikar.
Setelah merasa diatas angin, mereka semakin bernafsu untuk segera menghabisi Rawarontek. Sekuat tenaga mereka menyabetkan kapak ke tubuh Rawarontek. Dengan tubuh terseok-seok pendekar muda itu berhasil menangkis dan menghindari sabetan kapak Si perampok.
Pitaloka datang untuk terlibat langsung dalam perkelahian. Alangkah lincah nan piwai pergerakannya bak seekor burung kendari yang menari-nari diatas ranting pohon jambu. Sambil memainkan pedangnya ia mencoba mengacak-acak serangan lawannya. Suara dentingan pedang dan kapak yang beradu, diiringi suara jeritan dan erangan histeris dari mulut yang kesakitan melantunkan harmoni musik yang mencekam untuk didengar. Anggreng berlari menyambangi Pitaloka hingga duel fisik keduanya pun tak terelakkan. Meski sempat berhasil menepis tebasan kapak Anggreng, gadis belia itu tak mampu menahan tendangan Anggreng yang menyilang hingga mengenai perutnya. Pitaloka pun tersungkur lalu memuntahkan banyak darah.
Rawarontek yang menyaksikan hal itu segera berlari untuk melindungi Pitaloka. Dia hantam kepala Anggreng dengan sebuah tinju tepat di telinga kirinya. Meski tidak sampai terjatuh, tinju itu sudah cukup untuk membuat telingannya robek. Cucu kesayangan Mpu Tirto itu segera menjauh untuk membuat jarak yang cukup hingga kemudian ia memeragakan ilmu kanuragan Rawarontek. Badaipun mulai berdatangan merontokkan ranting dan dedaunan yang ada. Secepat kilat ia sudah berdiri dibelakang tubuh besar Anggreng. Sambil melakukan loncatan kecil dengan santainya ia sepak kepala Anggreng hingga muncrat darah. Rawarontek bergerak seperti bayangan diantara lawan-lawannya. Tanpa ampun ia hajar semua kawanan perampok itu sampai babak bunyak. Beberapa dari mereka ada yang patah hidungnya, hilang kupingnya dan yang lain rontok giginya.
“Sudah hentikanlah saudaraku!” teriak Anggreng.
“Kamu pastilah murid Mpu Tirto? kita ini saudara.” Lanjutnya.
Mendengar ucapan Anggreng ia menghentikan gerakan jurus kanuragan Rawarontek. “Bagaimana kau mengenal kakekku?” Sahut Rawarontek.
“Semua pendekar di tanah Jawa ini kenal dengan kakekmu. Belum ada yang mampu menandingi kesaktian ilmu kanuragan Rawarontek yang ia kuasai. Dan taukah kamu anak muda Ilmu kanuragan Rawarontek merupakan Ilmu kanuragan yang dititiskan Maharaja Empu Sendok kepada leluhur Perdikan Kampak saat mereka berperang melawan pasukan Sriwijaya. Tidak banyak yang mampu menguasai ilmu kanuragan itu, di wilayah Wengkerkidul hanya kakekmu dan Aryayudalah yang sanggup menguasinya. Lalu aku melihatmu pendekar yang masih belia memeragakan ilmu kanuragan itu dengan sangat sempurna, maka kehormatan dan kemuliaan kami padamu wahai saudaraku.” Semua kawanan perampok tanpa dikomando serentak membungkukkan punggungnya kepada Rawarontek yang telah mengalahkannya dengan gagah berani. 
“Kau tidak perlu melakukan itu saudaraku” pinta Rawarontek.
“Kakek sering bercerita tentang kehebatan leluhur kalian, mereka merampas harta saudagar kaya untuk kemudian dibagikan kepada rakyat miskin yang kelaparan.  Meski cara kalian tidak bisa dibenarkan tapi aku salut dengan niat baik yang kalian miliki. Maka segala hormat dan kemulianku kepada kalian semua wahai pemuda Perdikan Kampak.” Lanjutnya.
Anggreng berjalan mendekati Rawarontek, lalu dipeluknya erat tubuh Rawarontek. “Maafkan atas segala kesalahan kami anak muda.”
Rawarontek menganggukkan kepalanya. “Bolehkah kami melanjutkan perjalanan.”
Anggreng mempersilahkan Rawarontek dan rombongannya untuk melanjutkan perjalanan. “Pergilah  saudaraku, Perdikan Kampak akan selalu merindukan kedatanganmu.”
v   
Setelah melalui perjalanan yang berat, kini sampailah mereka pada sebuah perkampungan warga miskin. Rahayu Pitaloka menghentikan cikarnya, lalu sebagian warga mulai berduyun-duyun mendatangi mereka. Pitaloka bergegas turun dari cikar dan mulai menurunkan karung yang berisi beras itu, satu demi satu. Rawarontek dan Ki Lurah segera ikut turun dari cikar dan membantu Pitaloka untuk menurunkan karung. Hanya dalam sesaat seluruh warga sudah terkumpul di hadapan mereka. Dengan telaten dan sabar Pitaloka mengatur seluruh warga supaya mulai berjejer dengan rapi. Setelah semuanya berjejer secara teratur, mulalailah ia membagikan beras itu kepada warga miskin dihadapannya secara adil.
“Terimakasih atas segala kebaikan yang selalu ndoro putri berikan kepada kami. Seperti biasanya kami hanya bisa menerima pemberian dari ndoro putri Pitaloka tanpa bisa memberikan imbalan yang layak.” Ucap seorang wanita tua dengan menggendong sekarung beras dipundaknya yang mulai usang.
Pitaloka mendekati wanita itu, dengan suara yang dipelankan ia berujar “Tuhanlah yang telah memberikan rezekiNya kepada nenek, sedang saya ini tak lebih dari seorang perantara. Maka pujilah Dia dengan sebaik-baik pujian.”
Mendengar tutur katanya, Si nenek tersenyum sambil mengatakan “Segala puji bagi Tuhan yang tidak pernah lalai untuk mengurus dan mengasihi hambanya.” Tangannya yang keriput mengelus pundak Pitaloka dengan penuh kasih sayang “Hanya dalam beberapa hari saja beras yang kau berikan ini akan habis dimakan keluargaku, akan tetapi budi luhurmu akan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi seluruh anak cucu kami kelak dan tak akan pernah habis dimakan oleh waktu, Nak!”
Melihat pemandangan yang sedang terjadi membuat hati Ki Lurah dan Rawarontek menjadi terharu. Ribuan lilin dapat dinyalakan dari satu lilin dan nyalanya tidak akan berkurang. Begitu pun kebahagiaan tidak akan pernah berkurang walau dibagi-bagi. Senyuman yang tergores diwajah manusia miskin seakan melihat bunga yang indah merekah dilahan yang tandus. Alangkah mulia jiwa Pitaloka, ia siram tandusnya kehidupan dengan sebuah pesan kebaikan hingga kembali tegak harapan yang mulai melayu.
“Rawarontek kemarilah! Ayo berkumpul dengan kami.” Teriak Pitaloka dari kejauhan.
Rawarontek segera berlari menghampiri Pitaloka yang sedang asik bergurau bersama warga miskin. “Wahai saudaraku perkenalkan ini Rawarontek, dialah yang telah menyelamatkanku dari perampokan di hutan Perdikan Kampak.”
Semua warga terlebih kaum wanita melongo melihat betapa tampannya sosok pemuda yang diperkenalkan Pitaloka.
“Kisana sangat tampan, kelihatan sangat cocok apabila berpasangan dengan ndoro putri Pitaloka yang cantik jelita dan mulia hatinya. Benarkan teman-teman?” Seronoh seorang ibu berperawakan gendut yang menggendong bayi mungil.
“Benar sekali itu Nyi!” Jawab seluruh warga serentak tanpa ada yang mengomando. Sontak pipi Pitaloka memerah, sedang Rawarontek menjadi salah tingkah.
“Kalau keduanya tersipu malu seperti itu, maka tandanya cinta. Semoga takdir mempersatukan cinta kalian Nak!” Teriak seorang kakek kerempeng sambil tertawa terbahak-bahak memperlihatkan gusinya yang ompong.
“Semoga terkabul Kek!” Ujar Ki lurah sepontan dari balik cikar sambil tertawa terkekeh-kekeh. Semua orang kembali tertawa riang setelah mendengar ucapan Ki lurah.
Setiap manusia selalu berusaha untuk memperbaiki kualitas hidupnya, entah yang singgah di istana ataupun yang tinggal di gubuk derita. Tapi siapakah diantara mereka yang paling bahagia? Dialah yang peduli dan sudi meringankan segala penderitaan yang dialami saudaranya, kawannya, orang lain, atau musuhnya sekalipun. Janganlah kau bersedih akan datangnya sebuah cobaan dan jangan pula kau terlalu menyayangi kenikmatan dunia. Semua itu adalah fana, dan keindahannya hanyalah seperti fatamurgana, penuh dengan tipuan belaka.
Pitaloka berpamitan kepada Ki Lurah dan Rawarontek “Disinilah tujuan perjalananku, aku senang bisa bertemu dengan kalian, lalu kita saling mengenal. Waktu yang telah mempertemukan kita, dan ia pula yang menghendaki kita untuk segera berpisah. Aku akan kembali pulang dan kalian harus segera meneruskan perjalanan ke Goa Lowo.”
Ki Lurah juga menyampaikan rasa terimakasihnya “Kami tidak punya apa-apa untuk membalas jasa baikmu. Hanya terlantun doa yang kami panjatkan semoga kebaikan selalu menyertaimu Nak!”
            “Kalian telah memberikan banyak pelajaran kepadaku, itu sudah lebih dari cukup, Ki!”
“Apalagi Rawarontek telah menyelamatkanku dari hadangan pemuda Perdikan Kampak. Terimakasih atas pertolonganmu Pancanrontek!” Ucapan manis itu keluar dari bibir tipis Pitaloka yang indah.
            Rawarontek juga menyampaikan sepenggal kata perpisahan untuk Pitaloka. “Kebaikanku tidak seberapa bila dibandingkan dengan kebaikan yang telah kau tunjukkan padaku. Aku berharap waktu berkenan untuk kembali mempertemukan kita di lain waktu.”
Pitaloka tersenyum mendengar perkataan Pancosana, lesung pipinya yang pipit membuatnya nampak lebih menawan.
“Aku juga berharap seperti itu.”
Pemuda mana yang tidak pernah terjerat oleh cinta. Mereka anak cucu adam hatinya akan gelisah tatkala hari itu telah tiba untuk mencinta. Anak gadis mana yang hatinya tak pernah merindu. Sudah menjadi hakikat andai malam tercipta untuk menunggu datangnya siang. Kita hanya menunggu kapan malaikat akan menanggalkan sayapnya pada cinta kita, hingga cinta bisa terbang ke tempat yang pantas.

 
6
Di Goa Lowo



Kabut putih meyelimuti pagi yang dingin. Nampak bukit-bukit kecil di  sekeliling kabut layaknya alam di negeri dongeng. Menyaksikan bapak dan anaknya berduyun-duyun membawa cangkul  pergi ke kebun. Sedang para istri berjalan menuruni gunung sambil menggendong hasil panen untuk dijual dipasar. Mereka saling bergotong-royong satu dengan yang lainnya. Tak peduli seberapa besar kesulitan hidup, pastilah akan mereka pikul bersama. Apabila yang satu menderita maka yang lain juga ikut merasakannya, dan apabila ada yang disakiti maka semua akan serentak untuk melawan.
Sampailah Rawarontek dan Ki Joyogeni pada suatu perkampungan di pegunungan selatan yang bernama Watulimo. Disanalah terdapat goa Lowo, tempat bersemedinya Aryayuda. Setelah menaiki dan menuruni bukit akhirya ia berhasil menemukan mulut goa yang dipenuhi kelelawar, sehigga nampak menakutkan untuk dimasuki.
“Selama ini hanya ada sedikit pendekar sakti saja yang berani memasuki goa ini. Yang pertama kali Lomedjo orang yang menemukan goa ini, dia adalah pendekar yang sangat sakti. Kemudian ada beberapa pendekar sakti di tanah jawa yang juga pernah bersemedi di sini.” Ki Joyogeni membisiki Rawarontek.
“Apakah Aki salah satu dari mereka” Selidik Rawarontek.
“Ow, jelas!” Jawab lurah dusun Karangan itu dengan nada yang mantap.
Si gendut tua itu segera berjalan menuju mulut goa. Hentakan langkah kakinya yang berat ternyata membangunkan kelelawar yang sedari tadi tidur bergelantungan di bebatuan. Sebagia dari mereka berterbangan masuk kedalam goa, sedang yang lain bergegas terbang menyerang Ki Joyogeni. Terlihat dia mengeluarkan sebilah pedang, lalu dengan cekatan dia sabetkan pedangnya pada kelelawar yang menghampirinya. Satu persatu kelelawar-kelelawar itu mati berjatuhan hingga tak satu pun tersisa.
“Kau lihat bagaimana caraku menaklukkan mereka Nak? Tirulah apa yang aku tunjukkan tadi jika kau ingin memasuki goa ini dengan selamat” Ujarnya menggurui Rawarontek.
“Baiklah Ki, aku akan menuruti nasihatmu.”
“Kau berjalanlah di belakangku, biar aku hadapi kelelawar tengik itu” Pinta Ki Joyogeni.
Dengan gagah berani ia berjalan memasuki goa, sambil sesekali menebaskan pedangnya pada kelelawar yang menyerangnya. Semakin masuk kedalam, dapat mereka rasakan ruangan di dalam goa begitu sunyi dan gelap. Sungai bawah tanah yang terdapat di dalam goa mengalirkan air yang terasa dingin dan segar. Batuan stalagmit dan stalagtit yang lancip seakan menjadi penghias dinding goa yang menawan. Bak dua sisi mata uang, batuan yang lancip itu juga bisa menjadi jebakan yang mematikan bagi manusia yang ceroboh.
Mereka terus berjalan menelusuri goa besar yang seakan tak berujung itu. Saat memasuki ruangan goa yang besar, mereka berdua dikejutkan oleh ribuan kelelawar yang meyerang dari atap goa. Di dalam kegelapan goa Lowo, Ki Joyogeni seperti tak berkutik untuk dijadikan mangsa empuk bagi ribuan kelelawar yang kelaparan. Dia berusaha melindungi dirinya dengan menebaskan-nebaskan pedangnya sembari berjumpalitan menghindari sambaran kelelawar yang mengejarnya.
 Akan tetapi semua usahanya itu masih belum cukup untuk menghentikan serangan kelelawar yang semakin liar. Dia berlari kesana-kemari sambil menjerit ketakutan, sebelum akhirnya dia jatuh pingsan. Rawarontek pun juga dibuat kewalahan oleh serangan kelelawar yang semakin liar itu, maka sesegera mungkin ia menyelamatkan Ki Joyogeni, lalu berlari meninggalkan goa.
“Ki ayo bangun!” Rawarontek berusaha membangunkan Ki lurah.
“Ampun! Tolong aku, Tolong!” Dalam keadaan masih setengah sadar Si tua itu berteriak ketakutan.
“Katanya pendekar hebat, masak digigit kelelawar saja sudah pingsan. Hahaha!”
“Mereka curang, beraninya main keroyokan. Coba kalau satu lawan satu, pastilah mereka semua habis ditanganku.” Bela Ki lurah sambil mengatur napasnya yang masih tersengal-sengal.
“Lagi pula goa itu sangat gelap, mataku tak bisa melihat pergerakan kelelawar sialan itu.” Lanjutnya.
“Sudahlah Ki, kita akui saja kalau memang kelelawar itu sangat menakutkan”
“Itu kan menurutmu, bagiku itu biasa saja” Ujarnya dengan gaya yang masih sok jagoan.
“Hahaha, baiklah aku tak meragukan keberanianmu Ki. Sekarang mari kita pikirkan bagaimana caranya agar kita bisa mengatasi kelelawar itu.”
Sejenak mereka berpikir keras untuk menemukan strategi yang jitu guna mengatasi serangan kelelawar yang menjaga goa tersebut. Ki Joyogeni mengumpulkan kayu bakar  dan membuat sebuah obor.
“Ide yang bagus Ki, semoga saja mereka takut dengan api”
“Siapa dulu, Joyogeni kok dilawan” Ucap Ki Joyogeni sambil menebahkan dadanya.
“Hahaha, kamu memang ahli strategi Ki.”
Kali ini mereka kembali memasuki goa dengan sikap lebih waspada dan hati-hati. Rawarontek berjalan didepan, melindungi Ki lurah yang membawa obor. Ketika memasuki ruangan goa, mereka kembali diserang oleh ribuan kelelawar yang kelihatannya semakin murka dengan kedatangan mereka. Rawarontek segera mengeluarkan pedang Cakra Buana  dari wadahnya. Ia bertarung hebat dengan ribuan kelelawar itu. Cahaya dari obor yang dibawa Ki Joyogeni mampu menerangi ruang goa itu, sehingga dengan mudah ia bisa membunuh beberapa diantara mereka.
Kebisingan suara sabetan pedang Cakra Buana  telah membuat kelelawar seisi goa menjadi terbangun dan ikut menyerang Rawarontek. Kini seluruh ruangan itu dipenuhi dengan kelelawar liar yang jumlahnya lipat sepuluh kali lebih banyak dari pada sebelumnya. Menyaksikan jumlah kelelawar yang teramat banyak, membuat Ki Joyogeni ketakutan setengah mati dan ia pun kembali jatuh pingsan. Obor yang ia bawa jatuh ketanah lalu padam. Suasana kembali gelap, Rawarontek pun kembali terdesak. Tubuhnya yang kekar kini dipenuhi dengan luka gigitan kelelawar. Darah segar mengalir deras dari sekujur tubuhya. Tak ingin mengalami luka yang lebih parah, maka ia putuskan untuk segera meninggalkan goa Lowo yang sungguh mengerikan itu. Tapi sebelumya ia harus menemukan dulu Ki Joyogeni. Dalam kegelapan ia berhasil melihat tubuh Ki Joyogeni tergeletak dicabik-cabik ribuan kelelawar. Secepat kilat ia segara berlari untuk menyelamatkannya.
Setelah keluar dari goa, barulah ia tahu bahwa luka yang dialami Ki lurah sungguh parah. Hembusan napasnya terdengar lirih, dan terkadang berhenti untuk beberapa saat. Rawarontek menggotong Ki Joyogeni ke goa Kedung biru, yang terletak disebelah timurnya Goa Lowo. Ia mengambil air di kedung untuk membersihkan darah yang mengalir di tubuh Ki lurah. Diambilya beberapa helai daun lamtoro disekitarnya, kemudian ia tumbuk sampai halus dan dioleskan pada bagian tubuh Ki Joyogeni yang terluka. Sambil menunggu Ki lurah sadarkan diri, ia melakukan semedi untuk mengamalkan ilmu kanuragan Rawaronteknya. Maka tatkala itu juga, seluruh lukanya kembali menutup dan tubuhnya kembali sehat seperti sediakala.
“Aku haus.” Terdengar suara lirih dari mulut Ki lurah yang mulai tersadar.
“Walah syukurlah Aki sudah kembali siuman, ini minum Ki.” Rawarontek meneteskan air minum pada bibir Ki Joyogeni.
“Lapar.” Rengeknya.
“Iya Ki, ini masih ada sisa bekal kita, ayo Aki makan.” Dengan telaten bocah itu menyuapi sahabatnya.
Meski dalam keadaan setengah sadar, selera makan Si Gendut itu masih sangat tinggi. Ia melahap habis semua makanan yang diberikan Rawarontek.
“Heeikkk.. Uenak. hehehe..” Ujarnya sambil cengar-cengir kesakitan.
Rawarontek pun tak kuasa menahan tawa atas sikap sahabatnya yang konyol itu. Dan seketika itu pula Ki Joyogeni ikutan tertawa terbahak-bahak tanpa mengetahui kenapa mereka harus tertawa.
“Kau sangat tangguh Nak. Sudah dua kali aku dibuat jatuh pingsan oleh kelelawar tengik itu, tapi kau masih bertahan untuk menyelamatkanku. Harus aku akui kalau dirimu itu memanglah pendekar yang hebat.”
“Hahaha.. Aku juga kagum dengan kehebatan Aki.” Timpal Rawarontek.
“Ow itu jelas. Semua orang tahu kalau Joyogeni adalah laki-laki yang pemberani dan pantang menyerah.. Hahaha..!”
“Ayo kita susun strategi lagi untuk menghabisi mereka.” Lanjutnya dengan penuh semangat.
“Aki masih belum meyerah?” Tanya bocah itu yang keheranan melihat semangat Ki Joyogeni.
“Seorang pemenang pasti pernah mengalami banyak kekalahan, tapi haram baginya untuk mengucapkan kata menyerah, walau cuma sekali saja.”
“Baiklah Ki, aku mengerti. Kata-katamu sungguh sangat bijak.”
“Itu adalah perkataan Aryayuda yang selalu disampaikan kepadaku tatkala ia masih muda dulu.”
Mereka berdua kembali berpikir untuk menemukan taktik yang tepat untuk memasuki goa tersebut dengan cara yang aman.
“Kelelawar itu takut dengan cahaya matahari.” Cetus Rawarontek.
“Betul itu, sama seperti yang aku pikirkan.” Sahut Ki Joyogeni.
“Tapi bagaimana caranya memindahkan matahari kedalam goa?”
“Kita tak perlu membawa matahari kedalam goa Ki, akan tetapi cukup cahanya saja yang kita masukkan ke dalam goa.” Jawab Rawarontek.
“Wah aku tadi juga berpikir seperti itu, baiklah biar aku saja yang melakukannya.” Ki lurah segera bangkit dan berusaha mengumpulkan sinar matahari. Dia pun mulai terlihat kebingungan untuk melakukannya. Sesekali ia berlari dan berusaha menangkap angin yang berhembus.
“Kamu ada ide lagi untuk menangkap sinar matahari?” Tanyanya kebingungan.
“Tidak ada Ki!”
Lantas apa yang akan kamu lakukan untuk memasukkan cahaya matahari ke dalam goa itu?”
“Ayo ikut Ki!”
Mereka menaiki bukit dan berjalan di atas goa Lowo. Rawarontek mengangkat sebuah batu besar dan menghantamkannya pada permukaan tanah.
“Blegh.. Blegh.. Blegh.. Blegh..” Dia terus menghantamkannya pada tanah yang berada di atas goa Lowo. Sikap bocah tampan itu membuat Ki lurah menjadi bingung.
“Apa yang kau lakukan Nak! apa kau sudah menyerah lalu meluapkan amarahmu dengan berbuat demikian?”
“Blugh..”
“Disinilah tempatnya Ki!” Teriaknya riang sekali.
Pendekar belia itu segera menyingkirkan batu besar tadi lalu menggali tanah dibawahnya menggunakan Cakra Buana. Dengan begitu semangat ia membuat lubang yang cukup lebar, entahlah apa yang ada dipikiraan bocah itu. Setelah cukup dalam ia menggali tanah itu, sesaat kemudian ia terdiam. Terlihat pandangannya fokus pada lubang dihadapannya. Dia kembali mengangkat batu besar disebalahnya, sembari mengumpulkan tenaga sebanyak-banyaknya.
“Hoee! Apa yang kau lakukan Nak!” Tanya Ki lurah sembari menggelengkan kepalanya.
“Lihatlah Ki! Aku akan menciptakan sejarah. Hahaha...!”
“Hiaaat..!” Rawarontek meloncat tinggi dan menghantamkan batu besar yang dibawanya tepat mengenai lubang besar yang barusan dia buat.
“Duarr..! Bruugghhh..!”
Sungguh mustahil bocah itu berhasil membuat lubang besar yang menembus atap goa Lowo. Batu besar yang ia hantamkan ke tanah tadi adalah sebagai alat untuk melihat ketebalan atap goa. Setelah mendapatkan lapisan tertipis, ia gali tanahnya agar lapisan itu semakin tipis, hingga bisa dihancurkan. Terik mataharipun berhasil ia masukkan kedalam goa. Ribuan kelelawar berhamburan, mereka kaget dan bingung mencari tempat yang gelap. Rawarontek pun berhasil membuat kelelawar itu kocar kacir.
“Wuah gila..! Kamu sungguh gila Nak..!” Ki lurah sungguh heran dengan ide gila Rawarontek.
“Woeee..! Ada Rawarontek Si Bocah ajaib..! Hahaha..! Huuuu..!” Teriaknya kegirangan.
“Hahaha..! Inilah satu sejarah yang telah kita ciptakan Ki. Dengan adanya cahaya yang menerangi goa ini, kelak anak cucu kita akan bisa menikmati betapa indahnya Sang Goa Lowo.”
“Benar sekali ucapanmu itu Nak! Hahaha...”
            “Akan ada banyak lagi sejarah yang akan kita goreskan. Apakah Aki masih punya keberanian untuk menciptakan sejarah itu?” Teriak Rawarontek pada sahabat karibnya.
“Iya aku berani! Hahaha” Jawab Ki Joyogeni sambil berteriak lebih keras.
Mereka pun bersuka cita atas keberhasilannya mengusir ribuan kelelawar yang menghuni goa Lowo.  Sungguh Tuhan tidak akan pernah membiarkan setiap kesungguhan hambaNya menjadi sebuah kesia-siaan belaka. Kebanyakan manusia akan menyerah tatkala kesulitan dan keterbatasan berhasil menggagalkan upayanya, entah yang pertama atau yang keduakalinya. Mereka seakan lupa bahwa ada Tuhan yang mampu merubah kesulitan menjadi kemudahan, dan keterbatasan menjadi kekuatan.
Tak ingin membuang banyak waktu, Rawarontek segera meloncat kedalam goa.
“Hoe! Apakah kau terluka Nak?”  Teriak Ki Joyogeni memastikan apakah Rawarontek masih selamat.
“Jangan kawatir Ki, Aku baik-baik saja.” Terdengar suara Rawarontek menggema dari dalam goa.
“Baiklah aku akan segera meloncat menyusulmu.”
“Sebaiknya Aki tetap tinggal diatas, biarlah aku sendiri yang akan mencari Aryayuda, lagi pula luka Aki kan belum sembuh?”
“Hahaha.. luka seperti ini bagiku tidak ada apa-apanya.”
“Ciaat!”
Dengan santainya ia meloncat ke dalam goa. Tubuh gendut Ki Joyogeni meluncur bebas ke dalam goa yang ketinggiannya hampir sama dengan pohon kelapa.
“Aaargghh..! “
“Buugh!”
Badan yang gemuk itu terbanting ke dasaran goa, Ki Joyogeni pun kembali pingsan.
“Waduh Ki lurah, kenapa kamu selalu memaksakan diri. Ayo bangun Ki!” Rawarontek harus membangunkan kembali Ki joyogeni yang kembali pingsan untuk ketiga kalinya.
“Aduh sakit, rasanya tulangku sudah patah semua.” Keluhnya saat ia mulai tersadar.
“Kenapa tadi kamu nggak bilang kalau ternyata sedalam ini”
“Tadi aku sudah mau bilang, tapi Ki lurah malah langsung melompat.” Bela Si Rawarontek sambil membantu Ki lurah berdiri.
“Hoe bocah tengik enyahlah kalian dari sini!” Bentak seorang lelaki berambut gimbal yang duduk bersila diatas batuan besar. Suara itu mengagetkan Rawarontek dan Ki Joyogeni yang tidak pernah menyadari jika ada orang bertapa di dekatnya.
“Maafkan kami jika sudah mengganggu kisana bersemedi.” Ujar Rawarontek.
Tanpa menjawab permintamaafan Rawarontek, petapa  itu langsung menyerang dengan brutal. Duel fisik antara Rawarontek dengan Si petapa tak bisa terhindarkan. Mereka saling menerkam, mencakar, menendang, memukul bak seekor singa yang berkelahi dengan anak macan. Rawarontek mencakar punggung Si petapa hingga robek, lalu Si petapa membalas dengan sebuah tinju yang menyasar ke wajah tampan Rawarontek hingga giginya patah satu. Keduanya saling mengeluarkan keahlian ilmu kanuragannya untuk mengalahkan lawan yang dihadapi.
“Bagaimana mungkin kamu bisa menguasai pergerakan ilmu kanuragan Rawarontek dengan sangat sempurna? Apakah kau ini Aryayuda?”
Seperti tak mau mendengar pertanyaan Rawarontek, lelaki gimbal itu makin girang melancarkan serangan kepada lawannya. Pergerakannya sangat lincah dan ia mampu membaca serangan Rawarontek dengan baik. Lama-kelamaan Rawarontek mulai kewalahan untuk meladeni serangan Si petapa. Pergerakannya sangat cepat, bahkan terkadang sampai tidak terlihat oleh pandangan mata. Dan tak bisa dihindari beberapa tinju dan tendangannya mengarah langsung ke rahang Rawarontek. Cucu Empu Tirto pun tersungkur keatas tanah dan mulutnya mengeluarkan banyak darah.Ki Joyogeni segera datang untuk melindungi sahabatnya yang terkapar tak berdaya.
“Dasar keparat, kalau berani ayo hadapi Joyogeni!”
Si petapa melesat ke arah Ki lurah sembari menendang perutnya yang buncit.  Hanya dengan sekali tendang saja Ki lurah sudah tersungkur dan memuntahkan semua yang ada di dalam perutnya.
“Huekk.. huekk..”
Rawarontek kembali bangkit dan mengeluarkan pedang Cakra Buana . Ia berlari kearah Si petapa dan menyerangnya dengan jurus pedang Cakra Buana. Pertarungan pun menjadi lebih menegangkan tatkala sabetan pedang Cakra Buana  menyambar beberapa batuan lalu semuanya hancur meledak. Si petapa masih terlihat menikmati pertarungannya dengan Rawarontek. Dia berjumpalitan menghindari tebasan pedang Cakra Buana, dan kemudian berbalik menghajar Rawarontek dengan tedangan dan tinjunya yang teramat kuat.
 Tubuh rawarontek dibuat remuk oleh tendangan dan tinju yang bertubi-tubi dari Si petapa. Keasikan menyerang ia seakan lupa bahwa sewaktu-waktu Rawarontek bisa melakukan serangan balasan. Benar adanya, Rawarontek melihat Si petapa tidak pernah melindungi perutnya. Dengan begitu tangkas ia menangkis pukulan Si petapa lalu menyabetkan pedangnya. Lelaki gimbal itu berusaha menghindar, tapi sayang gerakannya masih kurang cepat sehingga perutnya tersayat oleh pedang Cakra Buana . Segera dia menjauh dari Rawarontek dan berusaha memulihkan lukanya dengan ilmu kanuragan Rawarontek.
“Percuma saja kau lakukan itu, ilmu kanuragan Rawarontek tak akan pernah mampu menyembuhan luka sayatan pedang Cakra Buana .”
“Sudahlah ayo kita akhiri perkelahian ini, aku yakin kaulah Aryayuda yang aku cari. Kita memiliki guru yang sama, kenapa kita harus berkelahi saudaraku.” Rawarontek berusaha memberi pengertian kepada Si petapa yang dia yakini sebagai Aryayuda.
Si petapa masih saja terlihat begitu marah. Dia sama sekali tidak menggubris perkataan Rawarontek. Pandangan matanya dipenuhi api kemurkaan, tapi juga terlihat kosong. Atau mungkin Aryayuda sudah menjadi gila, sama seperti yang diceritakan banyak orang. Dia kembali menyerang Rawarontek, kali ini serangannya semakin brutal dan  bringas layaknya orang yang sedang kesurupan. Rawarontek benar-benar tidak berdaya menghadapi serangan Aryayuda. Beberapa kali ia tersungkur ke tanah, tapi masih berusaha untuk bangkiti lagi. Dengan sempoyongan Rawarontek masih berani berduel dengan Aryayuda. Merekapun kembali saling adu jotos, menghabiskan seluruh tenaga yang tersisa. Mendapatkan pukulan bertubi-tubi dari Aryayuda membuat bocah tampan itu kewalahan. Tenaganya semakin terkuras sehingga pukulannya melemah dan ketangkasannya pun berkurang. Aryayuda terlalu tangguh untuk dihadapi Rawarontek. Sebagai salah satu jendral perang terbaik yang pernah dimiliki Majapahit, Aryayuda memiliki segalanya untuk mengalahkan lawan-lawannya.
Tapi bukan Rawarontek namanya jika harus menyerah kepada kekalahan dan keterbatasan. Meski tak setangguh Aryayuda keberanian Rawarontek mampu membuatnya terus bertahan meski badannya sudah remuk ditinju dan ditendang Aryayuda. Dengan tubuh yang mulai gemetar kesakitan, dia masih berusaha menangkis pukulan Aryayuda yang menghujani tubuhnya. Aryuda mendesak tubuh Rawarontek, sekuat tenaga ia meninju dada sebelah kiri lawannya. Rawarontek berhasil menangkap kepalan tangan Aryayuda, akan tetapi ia tak kuasa menahan laju tinju yang teramat kuat itu.
Hantaman keras yang menggedor dadanya membuat Rawarontek tidak mampu lagi mempertahankan kuda-kudanya. Rawarontek rebah ketanah, darah yang kental menyembur dari mulut dan hidungnya. Ki Joyogeni berlari memeluk Rawarontek, ia menangisi Rawarontek yang tubuhnya basah dibanjari keringat dan darah.
“Sudah cukup Nak, berhentilah bertarung melawan Aryayuda, dia bukanlah lawanmu.” Ki Joyogeni berusaha menghentikan Rawarontek. Air matanya jatuh berderai saat melihat anak muda di pangkuannya mengerang kesakitan.
“Seorang pemenang pasti pernah mengalami banyak kekalahan Ki, tapi haram baginya untuk mengucapkan kata menyerah, walau cuma sekali saja.” Ujar Rawarontek menirukan ucapan yang pernah dikatakan Ki Joyogeni.
Mendengar ucapan Rawarontek membuat Aryayuda tertunduk dan seakan ia mulai menemukan kesadarannya kembali. Kata-kata itu, kata-kata yang selalu ia ucapkan disaat ia masih muda. Kata-kata itu, kata-kata yang selalu mengangkat moral dan semangat juangnya. Kata-kata itu, kini ia mendengarnya kembali. Kata-kata bocah itu mampu menembus kegelapan hatinya, perasaannya mulai mengembara mengenang masa yang sudah hilang. Mulailah kata-kata itu mengurangaikan kegilaan yang telah lama menyumpal pikiran Aryayuda. Memorinya mulai menceritakan kembali masa kecilnya, masa mudanya, masa kejayaannya, hingga masa dimana ia harus kehilangan istri yang sangat ia cintai.
“Lepaskan aku Ki, biar aku tunjukkan pada Aryayuda bahwa aku Rawarontek masih berani  menghadapinya.”
Rawa rontek berusaha bangkit lagi, namun tidak bisa. Tenaganya terkuras habis, bahkan untuk berdiri saja dia sudah tak sanggup. Dia pun mencoba untuk merangkak, lalu mendekati Aryayuda. Sebisanya ia berusaha menyerang Aryayuda meski pukulannya kini sangat lemah, bahkan tak akan terasa sakit jika mengenai anak bayi sekalipun.
Semangat itu, Keberanian itu, ketangguhan itu, jiwa yang kesatria itu, semuanya membawa Aryayuda terbang kembali kemasa lalunya. Jiwanya bergejolak hebat, membakar habis seluruh kegilaannya.
“Hoooeee..!” Teriak Aryayuda meluapkan semua emosinya.
Aryayuda merampas pedang Cakrabuana  yang masih dipegang erat Rawarontek. Ia meletakkan ujung pedang yang lancip pada leher Rawarontek.
“Apa kau masih berani melawanku?” Aryayuda menantang Rawarontek.
“Aku berani.” Jawab Rawarontek meyakinkan.
            “Namun sebelum kau menghunuskan pedang yang tajam itu keleherku, biarlah aku katakan bahwa diluar sana banyak saudaramu yang mati karena kelaparan. Mereka digantung pada tiang kekuasan yang dibangun wiyasa Galuh Buana . Berjanjilah kepadaku bahwa kau akan menyelamatkan mereka.”
“Kenapa harus aku yang melakukan?” Tanya Aryayuda sembari menurunkan pedang Cakrabuana .
“Takdir yang memintanya.”
“Kau dilahirkan sebagai pendekar yang tangguh, kau dianugerahi ilmu pengetahuan, maka takdir menyuruhmu untuk menjadi penyelamat bagi saudaramu yang tertindas.”
“Apa kau pikir itu mudah? Kenapa tidak kau lakukan sendir?” Cetus Aryayuda.
“Aku akan melakukannya bersamamu.” Jawab Rawarontek.
“Kau masih terlalu ingusan untuk mengerti betapa liciknya orang yang berkuasa. Kau belum mengerti besarnya kesengsaraan dan penderitaan yang bakal menimpamu jika berani mengusik ketenangan mereka. Kau akan dianggap sebagai pemberontak, lalu hidupmu terasingkan. Sudahlah, kau belum mengerti apa-apa tentang politik yang busuk.”
“Tapi aku terlanjur mengerti segala penderitaan yang dirasakan saudaraku, dan juga saudaramu. Maka tidak ada pilihan lagi, kita harus merobohkan tembok yang telah menyekat kebebasan rakyat.” Ujar Rawarontek dengan suara yang lirih.
“Kau akan hancur dengan segala angan-anganmu tentang kemerdekaan.”
“Aku hanya akan terbang dengan sayap-sayap Tuhan meski pada akhirnya aku akan terjatuh lalu mati.” Rawarontek mengucakapkan kalimat suci yang terukir indah pada sisi pedang Cakrabuana  yang dipegang Aryayuda. Lalu ia merebahkan tubuhnya ke tanah.
Terlihat aryayuda kaget dengan ucapan yang terlontar dari mulut Rawarontek. “Dari mana kau dapatkan kalimat itu? Siapa yang mengajarimu?” Terlihat Aryayuda begitu ingin tahu tentang kalimat yang di ucapkan Rawarontek.
“Hanya kalimat itu yang mungkin bisa membangkitkan hayalanku tentang ayahanda dan ibundaku yang belum pernah aku jumpai. Empu Tirto bercerita bahwa kata-kata itu terlukis pada punggung wanita yang telah melahirkanku. Dia telah mati dan meninggalkanku sendiri tanpa pernah memberitahu siapa ayahandaku. Apakah dia masih hidup atau sudah mati? Apakah dia mirip denganku? Entahlah.”
“Kau anaknya Sekar Dewi?”
“Siapa Sekar Dewi? Apakah nama ibundaku? Kau mengenalnya? Kau pasti juga mengenal ayahandaku? Ayo ceritakan padaku!” Tanya Rawarontek disertai harapan Aryayuda mengenal orang tuanya.
“Kau anakku.”
“Apa maksud perkataanmu?” Rawarontek semakin tidak mengerti dengan ucapan Aryayuda.
Aryayuda tak kuasa menahan gejolak batinnya, lalu ia mendekap tubuh Rawarontek yang telah ia remukkan hingga terasa detak jantungnya yang melemah. Air matanya tumpah membasahi bulu-bulu kasar yang menutupi pipinya. Mulutnya terus memuji Keagungan Tuhan yang telah mempertemukan mereka. “Anakku! Aku sungguh tak menyangka kau bakal hidup Nak. Sekar Dewi itu ibundamu, wanita yang selama ini aku cari. Terimakasih Tuhan Kau telah pertemukan aku dengan darah dagingku. Dekaplah ayahandamu ini Nak!” Aryayuda terus mendekap puteranya, tangannya mencengkram dengan erat tubuh anaknya, seolah ia tak mau kehilangannya lagi.
“Kau ayahandaku?”
Rawarontek menangis terisak-isak, ia mencium pipi ayahandanya yang terbasahi air mata. “Wahai Romo, aku tak pernah menyangka bahwa kau benar-benar ada. Membayangkanmu adalah hal terindah yang bisa aku lakukan. Kini Tuhan telah mempertemukan aku dengan mimpi terindahku. Peluklah aku Romo, peluklah anakmu ini.” Tak henti-hentinya Rawarontek menciumi pipi ayahandanya. Hatinya bahagia tak terkira, saat ia menyadari bahwa khayalannya tentang seorang ayah kini sudah  menjadi kenyataan, bahkan telah memeluknya dengan hangat.
Ki Joyogeni juga tak kuasa membendung air matanya. Ia terharu melihat pertemuan anak dengan ayahandanya, setelah mereka berusaha saling membunuh. Tuhan memilki jutaan sekenario hidup untuk membuat hambanya mengerti akan Keagungannya. Maka sepantasnyalah manusia selalu meyakini bahwa setiap ketentuan Tuhan pada dirinya adalah yang terbaik dan harus selalu disyukuri.
            “Hai singa yang kesepian kemarilah. Masih ingatkah kau dengan diriku?” Ki Lurah memanggil Aryayuda yang sudah kembali dari kegilaannya.
            Aryayuda memandangi lelaki gendut di hadapannya. “Kau seperti paman Joyogeni.  Apa benar kau ini paman Joyogeni?”
            “Katakan padaku siapa lagi manusia di Wengkerkidul ini yang memilki wajah seganteng Joyogeni?
            “Hahaha.. Sekarang aku yakin kau ini paman Joyogeni, bukan karena ketampananmu melainkan dari gayamu yang selalu merasa paling ganteng, padahal tidak.”
            Mendengar ucapan Aryuda semuanya tertawa. Ki Joyogeni merangkul Aryuda yang penampilannya sungguh berantakan. “Kenapa kau menjadi seperti ini. Dimana hilangnya ketampanan yang dulu selalu di kagumi gadis-gadis Wengkerkidul. Ayo ikut aku kesungai, biar aku mandikan tubuhmu yang usang ini bersama kerbau milik petani Watulimo.”
            Waktu memang sangat berkuasa dalam kehidupan ini. Bahkan ia juga mampu merenggut ketampanan lahiriyah seseorang. Semasa mudanya Aryayuda selalu mengikuti setiap peperangan Majapahit, hingga tubuhnya kini dipenuhi dengan bekas luka sayatan pedang. Namun itu semua justru semakin memperlihatkan keberanian dan kewibaannya. Bekas luka-luka itu adalah lencana penghormatan sekaligus sebagai tanda kebanggaan atas kepahlawanannya selama menjadi panglima perang pasukan Majapahit.







7
Melukis Sejarah dengan Darah



Kamulan 1279 Saka. Wiyasa Galuh Buana  mengirimkan seribu pasukannya untuk menangkap Ranggadayu yang dianggap sebagai pemberontak. Ranggadayu merupakan lurah dusun Kamulan yang masih keturunan dari Kusuma Wicitra, pendekar sakti yang mendirikan dusun Kamulan. Dengan jiwa berani ia  selalu menentang kebijakan wiyasa Galuh Buana  terkait besaran pajak yang  dianggapnya telah menyimpang dari kebijakan yang di buat prabu Hayam wuruk. Bersama rakyatnya yang pemberani mereka gigih mempertahankan kehormatan Kamulan. Segala bentuk ancaman dan provokasi yang dilancarkan wiyasa Galuh Buana  tak kuasa untuk menggoyahkan jiwa patriot mereka.
Puncak kemurkaan wiyasa Galuh Buana terhadap Kamulan terlihat tatkala Ranggadayu melaporkan penyelewengan yang dilakukannya kepada Bhre Wengker Wijaya Rajasa. Wiyasa Galuh Buana menganggap sikap yang diperlihatkan Ranggadayu sebagai  sebuah penghianatan dan pemberontakan terhadap dirinya. Dia pun berusaha menangkap Ranggadayu untuk diadili atas perbuatan yang dianggap menentangnya. Akan tetapi rakyat Kamulan selalu melindungi Ranggadayu, hingga akhirnya Galuh Buana sangat murka dan menyatakan perang dengan dusun Kamulan.
“Hai para prajurit terbaik Wengkerkidul, kalian telah melihat dan mendengar pembelotan yang dilakukan Ranggadayu kepadaku. Dia menentang kebijakan yang telah aku buat, dan mengajak warganya untuk memusuhiku. Maka demi menjaga keamanan dan keutuhan Wengkerkidul, aku perintahkan kalian untuk menyerang Kamulan dan menangkap Ranggadayu. Barang siapa yang berhasil membawa Ranggadayu kehadapanku baik dalam keadaan hidup maupun mati, maka akan aku hadiahi seratus ekor sapi dan berhak menjadi lurah di Kamulan.” Demikian wiyasa Galuh Buana memberikan ultimatum kepada pasukannya.
Tak kurang dari seribu pasukan wiyasa Galuh Buana bergerak menuju Kamulan dibawah komando Bajul Ireng. Bajul Ireng sendiri merupakan prajurit terbaik yang  selalu menjadi andalan wiyasa Galuh Buana . Dia prajurit bayaran yang sangat doyan mengahambur-hamburkan uang  dan bermain dengan wanita cantik. Tidak peduli benar atau salah baginya perintah yang diberikan wiyasa Galuh Buana haruslah ditaati oleh semua warga Wengkerkidul. Maka tak ubahnya dia seperti kerbau yang dicongok hidungnya oleh Sang majikan, benar-benar  manusia hina.

v   
“Pasukan wiyasa Galuh Buana telah bergerak menuju Kamulan untuk menangkapku. Biarlah aku menyerahkan diri agar peperangan bisa dihindari. Aku hanya ingin kalian semua hidup dengan sejahtera tanpa adanya penindasan dan tekanan dari wiyasa Galuh Buana.” Seru Ranggadayu kepada warganya.
“Kami akan selalu hidup dengan tenang jika kau ada disini saudaraku. Kau selalu mempertaruhkan hidupmu untuk melayani wargamu. Maka tidak ada alasan bagi kami untuk meninggalkanmu meski pada akhirnya kita akan mati bersama.” Ujar salah seorang warga yang rela mati untuk melindungi Ranggadayu.
“Lihatlah batu itu saudaraku!”
Teriak warga yang lain sambil menunjuk sebuah prasasti yang dianugerahkan Raja Kertajaya kepada nenek moyang warga Kamulan atas bantuan mereka menyelamatkan kerajaan Kadiri dari  pemberontakan. “Leluhur kita telah mengajarkan tentang keberanian dan persatuan, kita tidak akan mewariskan sejarah yang memakukan untuk  anak cucu kita kelak  dengan tidak tunduk terhadap kesewenang-wenangan wiyasa Galuh Buana. Dia tidak lagi memperhatikan rakyatnya, menetapkan kebijakan yang mencekik rakyatnya, dan memanfaatkan kekuasaan hanya untuk menumpuk harta.”
“Kita tidak takut dengan tajamnya pedang pasukan wiyasa Galuh Buana , justru yang harus kita takuti adalah rasa takut itu sendiri. Rasa takut akan menghilangkan kecerdasan dan keikhlasan kita dalam memperjuangkan kebenaran. Jaka Sumilir dan Gimbangkara memberi nama dusun ini Kamulan, karena mereka yakin rakyatnya kelak akan menjaga kemulyaan tanah ini sampai titik darah penghabisan.” Seorang kakek berusaha menasehati warga Kamulan.
“Kita harus melawan!” Teriak seluruh warga.
“Karena keberanian kalianlah aku masih bisa bernapas sampai hari ini. Awalnya aku takut jika peperangan ini akan menghancurkan kita, tetapi keyakinan akan kebenaran telah mengalahkan segala ketakutan itu.”
“Hai seluruh warga Kamulan, kita semua adalah satu dan satu untuk semua. Aku akan memimpin kalian untuk merobohkan kebijakan Galuh Buana  yang telah membelenggu kebebesan kita. Lebih baik mati dari pada hidup dalam penindasan.” Semangat berapi-api yang ditunjukkan Ranggadayu mampu membakar mental warga Kamulan.
Mereka segera mempersiapkan diri untuk melawan pasukan Galuh Buana . Sebagian dari mereka membuat bambu runcing, mengasah golok, membuat panah, dan sebagian yang lain memantau kedatangan pasukan Galuh Buana dari atas gunung. Sedang para tetua dan Ranggadayu merumuskan strategi perang yang akan mereka terapkan.
Ranggadayu mengumpulkan seluruh warganya dengan di saksikan batu prasasti Kamulan. Dia memberikan pengarahan mengenai strategi perang yang telah ia rumuskan.
“Kalian tidak perlu resah dengan peperangan ini, karena aku yakin kita akan memenangkannya. Galilah lubang yang dalam dibelakang rumahmu untuk menyimpan harta benda yang berharga. Lalu galilah pula lubang persis di depan pintu rumah kalian. Dibawahnya pasanglah bambu runcing yang telah diolesi racun ular, lalu ditutuplah lubang dengan tanah agar pasukan Galuh Buana  terjebak didalamnya. Bawalah istri dan anak kalian yang masih kecil kedalam hutan agar mereka selamat. Bagi kalian yang tidak sanggup berperang jagalah anak istri kalian dengan baik.”
“Kita akan pasang sebanyak mungkin jebakan disepanjang jalan menuju Kamulan untuk menjatuhkan mental mereka. Sebarkanlah duri yang beracun disepanjang jalan, serta buatlah parit yang dalam untuk menghentikan pasukan berkuda mereka. Jumlah laki-laki di Kamulan tak lebih dari dua ratus orang, sedang musuh yang kita hadapi berjumlah hampir lima ratus orang dengan persenjataan yang lengkap. Maka terlalu beresiko jika kita meladeni mereka dengan perang terbuka. Kita akan membuat mereka menunggu sampai malam tiba. Di kegelapan malam kita akan menghujani mereka dengan panah, lalu kita hantam mereka dengan penuh keberanian. Aku perintahkan diantara kalian untuk pergi ke gunung Watu Blandong guna mengawasi pergerakan pasukan Wiyasa Galuh Buana .
“Masa depan adalah milik mereka yang percaya pada keindahan mimpi-mimpi mereka. Ingatlah saudaraku keberanian itu punya kuasa, keajaiban serta kejeniusan didalamnya. Andaikan kita mati dalam peperangan ini, yakinilah bahwa kita akan menemui kehidupan yang jauh lebih mulia”. Tutup Ranggadayu.
v   
Menjelang sore pasukan yang dipimpin Bajul ireng sudah tiba di gerbang Kamulan.  Mereka terdiam dan kebingungan karena tak menjumpai satu orang pun yang akan melawan mereka, bahkan hewan ternak rakyat Kamulan sekalipun menghilang bersama majikannya. Beberapa dari mereka mulai berjatuhan karena menginjak duri yang beracun. Hal ini membuat mereka panik, sehingga Bajul Ireng menginstruksikan pasukan berkudanya untuk memeriksa terlebih dahulu kondisi dusun Kamulan. Sepuluh pasukan berkuda melesat saling berpacu sambil sesekali mengintai jikalau ada musuh yang bersembunyi. Sungguh sial bagi mereka saat kuda yang mereka pacu terjerungup dalam parit yang sengaja ditutupi dedaunan. Tubuh mereka terjungkal dalam lubang yang dipenuhi bambu runcing, hingga sebagian dari mereka mati tertusuk bambu runcing sedang yang lain mengalami luka tusuk yang sangat parah.
Bajul Ireng sangat murka melihat pasukan berkudanya tumbang dalam jebakan parit yang dibuat warga Kamulan. Dia pun langsung menyerbu rumah warga dengan maksud untuk menjarah barang berharga yang ditinggalkan. Ketika hendak memasuki rumah, kembali pasukan Bajul Ireng masuk dalam perangkap yang telah dipasang warga Kamulan. Tak kurang dari dua puluh pasukannya masuk dalam lubang yang terdapat didepan pintu yang telah dipasang bambu runcing beracun. Dan tak satupun barang berharga yang mereka jumpai, karena seluruh rumah sudah dikosongkan.
Sore itu Kamulan terasa mencekam bagi pasukan bajul Ireng. Mental mereka jatuh tatkala mereka mulai menyadari bahwa warga Kamulan telah mempersiapkan sambutan dengan jebakan yang mematikan.  Mereka hanya bisa menunggu kejutan apalagi yang bakal mereka hadapi. Beberapa dari mereka ada yang ingin keluar dari pasukan, tapi Bajul Ireng segera melarang mereka.
“Barang siapa yang ingin keluar dari pasukan, maka ia akan meninggalkan pasukan ini tanpa membawa kepalanya.”
Karena takut dengan ancaman Bajul Ireng, tak satupun dari mereka yang berani keluar dari pasukan. Pasukan Bajul Ireng masih berjaga untuk menanti kedatangan warga Kamulan. Di saat malam tiba, mereka mulai membuat api unggun sebagai penerangan. Bajul ireng membagi pasukannya menjadi tiga kelompok, kelompok pertama bertugas mencari keberadaan warga kamulan, kelompok yang kedua berjaga ditempat. sedang kelompok ketiga yang terdiri dari lima belas pasukan berkuda  ditugasi kembali ke kota untuk memberitahukan kondisi yang sedang terjadi kala itu.
Ratusan anak panah menghujani tubuh pasukan berkuda yang hendak melapor ke wiyasa Galuh Buana, lalu mengantarkan mereka pada kematian. Bajul Ireng yang mendengar jeritan pasukan berkuda segera mengutus pasukan kelompok pertama untuk mengejar warga kamulan yang telah memenah pasukan berkudanya. Tak kurang dari tiga ratus pasukan berlarian menyebar kesegala penjuru dusun Kamulan. Sekali lagi mereka tidak berhasil menemukan warga Kamulan yang lenyap ditelan kegelapan malam. Bajul Ireng memerintahkan pasukannya untuk membakar seluruh rumah dan pepohonan yang terdapat di dusun Kamulan. Ternyata ia sengaja ingin memancing keluar warga Kamulan. Belum sempat mereka menyalakan api, ratusan anak panah kembali menghujani pasukan kelompok kedua yang bertugas menjaga Bajul Ireng. Jumlah pasukan kelompok kedua yang mati terkena panah hampir mencapai tiga puluh orang, dan Bajul Ireng sendiri juga terkena anak panah. Pasukan Bajul Ireng mulai kalang kabut untuk menyelamatkan dirinya masing-masing.
Dua ratus pemuda Kamulan berlari kencang seakan membentuk dua sayap. Dalam kegelapan malam mereka menerkam pasukan Bajul Ireng. Perang pun tumpah, anak panah berterbangan kelangit menghiasi malam yang terlanjur kelam. Pasukan Bajul Ireng yang tidak siap dengan serangan pemuda Kamulan terlihat kewalahan. Sayap kanan pasukan kamulan menyerbu  pasukan Bajul Ireng dengan melempari tombak dan menghabisi mereka dengan serengan yag bertubi-tubi. Sedang pasukan sayap kiri terus berlari membentuk lingkaran untuk mengepung pasukan Bajul Ireng yang berusaha melarikan diri. Suara gesekan pedang serta jeritan pasukan yang kesakitan membuat suasana menjadi mencekam. Pasukan Bajul Ireng yang sedari tadi mentalnya sudah jatuh, dapat dengan mudah ditaklukkan pemuda Kamulan. Ranggadayu memimpin warganya untuk terus mendesak pasukan Bajul ireng sampai mereka menyerah.
“Wahai saudaraku tetaplah teguh dihadapan pedang lawan-lawanmu. Perangilah mereka dengan bara api semangatmu. Kita pemuda Kamulan seperti singa yang kelaparan, maka mangsalah setiap lawan yang berani mendekat.”
Bajul Ireng yang melihat Ranggadayu berperang tanpa pengawalan yang cukup, segera mengambil anak panah yang sudah dilumuri dengan racun. Ia menggelakkan kudanya mendekat ke arah ranggadayu , lalu dengan jitu dia lepaskan anak panah itu hingga melesat mengenai perut lurah Kamulan tersebut. Secepat kilat ia menyambar tubuh Ranggadayu yang terkapar diatas tanah, dan membawanya pergi menghilang di kegelapan malam.
Pemuda kamulan yang mengetahui Ranggadayu diculik oleh Bajul Ireng segera berlari mengejar. Tapi usaha mereka tak membuahkan hasil, kuda yang ditunggangi Bajul ireng terlampau gesit untuk mereka kejar. Warga yang marah dengan ulah Bajul Ireng menumpahkan kekesalan mereka kepada pasukan yang masih bertahan. Sekitar seratus pasukan Bajul Ireng mati terbunuh di medan perang. Ada seratus pasukan yang berhasil ditangkap dan dijadikan tawanan perang, sedang yang lainnya berhasil melarikan diri.
“Perang sudah berakhir, kita menang!” Teriak seorang pemuda membekukan suara bising pedang yang beradu.
“Kita kehilangan Ranggadayu” Teriak pemuda yang tidak berhasil mengejar Bajul Ireng.
“Tangkap seluruh pasukan Bajul Ireng yang tersisa!”
“Bunuh saja mereka.”
“Jangan! Kita bisa memanfaatkan mereka untuk ditukar dengan Ranggadayu.”
v   
Fajar merekah kemerahan di ufuk timur. Mengusir paksa kegelapan malam lalu menyambut hangat datangnya siang.  Cahaya mentari pagi menelanjangi seluruh dusun Kamulan yang hancur berantakan diterpa amuk perang. Tanahnya yang kecoklatan kini memerah, basah dan amis berbau darah. Mayat bergelempangan, manusia seperti tak berharga dimata sang pemuja kekuasaan. Kupu-kupu pun enggan datang, untuk menghimbur kawula yang sakit jiwanya. Biarlah batu prasasti itu saja yang mau menjadi saksi bahwa sang penindas telah tumbang di tangan pemuda Kamulan.
“Panggillah istri dan anak kalian yang bersembunyi di hutan. Kabarkan kepada mereka bahwa kita telah menaklukkan pasukan yang dikirim wiyasa Galuh Buana . Lalu bawalah mereka pulang dengan meninggalkan ketakutan yang tersisa. “ Ujar tetua dusun kepada pemuda Kamulan.
Sambil menarik napas yang dalam ia melanjutkan perkataannya. “Kuburlah dengan baik  semua mayat yang ada di hadapan kalian. Biar Tuhan yang menentukan apakah mereka mati dalam kebaikan atau mereka termasuk orang yang celaka. Perang belumlah usai, kalian akan menghadapi perang yang jauh lebih dahsyat dari pada ini. Dan musuh yang akan kalian hadapi adalah diri kalian sendiri.”
“Aku perintahkan kepadamu hai Seno untuk menghadap Galuh Buana , katakan padanya bahwa kami akan melepaskan pasukannya apabila ia mau menyerahkan Ranggadayu kepada warga Kamulan.” Tetua dusun itu mengutus salah seorang pemuda Kamulan untuk melakukan negosiasi dengan wiyasa Galuh Buana .
Pemuda itu segera pergi dengan menunggangi kuda hasil rampasan perang.  Seluruh warga bergotong royong untuk mengubur pasukan wiyasa Galuh Buana, lalu menata kembali dusunnya. Mereka juga mencari pakan untuk ternak mereka yang kelaparan. Para tahanan dikumpulkan di balai dusun, sembari berharap wiyasa Galuh Buana mau melepaskan Raggadayu. Beberapa pemuda yang ikut perang memunguti harta rampasan perang, terutama pedang dan rompi besi yang bisa mereka manfaatkan dikemudian hari. 
Asap mengepul membawa aroma khas ayam bakar yang nikmat. Api menyala-nyala membakar dandang buat menanak nasi. Pisau yang tajam menyayat daging yang empuk. Anak kecilpun bernyanyi riang membawa pisang dan buah kedondong. Pagi itu semua wanita Kamulan sibuk membuat hidangan ternikmat untuk merayakan kemenangan. Suara berisik keluar dari mulut yang tertawa. Sungguh indah membayangkan hari esok yang penuh kebebasan.
Puluhan daun pisang dibeber memanjang di depan balai dusun. Nasi yang hangat, ayam bakar, dan buah-buahan tumpah ruah diatasnya. Mereka seakan menggoda perut yang lapar untuk segera mendekat, lalu menyantapnya. Seluruh warga berkumpul mengelilinginya, menatapnya, dan bersiap untuk berpesta.
“Kita tidak akan menyentuh makanan ini sebelum Ranggadayu tiba.” Ujar seorang kakek mengingatkan anak cucunya agar tidak terlarut dalam kemenangan, dan melupakan Raggadayu.
Seluruh warga pun terdiam, duduk terpaku sambil menunggu kedatangan Seno yang ditugaskan menjemput Ranggadayu. Keadaan menjadi hening tatkala orang yang dinanti tak kunjung tiba. Para tahanan menjadi was-was takut kalau ternyata Ranggadayu tak akan kembali, maka habislah riwayat mereka. Lama sekali mereka menunggu Ranggadyu, sampai seluruh hidangan menjadi dingin, sedingin suasana saat itu.
“Prokk.. Prokk.. Prokk.. Hiiieehhh!”
Terdengar suara hentakan kaki kuda yang berlari kencang mendekat ke arah mereka. Seluruh warga berdiri, bersiap menyambut kedatangan pahlawan mereka. Suara itu semakin mendekat, kebahagian pun siap meledak. Dari kejauhan Seno mulai terlihat menunggang kuda dengan gesit. Semua mata terbelalak saat mengetahui Seno datang tanpa Ranggadayu. Ia hanya menggendong buntelan yang dibungkus karung goni. Seketika suasana berubah menjadi mencekam tatkala Seno jatuh dari kuda sambil menjerit, menangis dan meronta-ronta di atas tanah. Seluruh warga berlari mengerubungi pemuda itu, dan berusaha menenangkan.
“Seno apa yang terjadi? Dimana Ranggadayu? Kenapa kau tidak mengajaknya kembali? Apa yang terjadi dengannya?” Pertanyaan-pertanyaan itu keluar dari setiap mulut yang berbicara. Alih-alih menjawab pertanyaan yang terlontar, Seno malah tergeletak tak sadarkan diri. Sontak semua orang menjadi bingung, sebagian dari mereka ada yang berusaha untuk mencoba  menerka apa yang sedang terjadi dengan Ranggadayu. Tapi tak satupun jawaban dari mereka memuaskan rasa penasaran yang bergelayutan di pikiran warga Kamulan.
Akhirnya salah seorang tetua memberanikan diri untuk membuka buntelan yang dibawa Seno. Semua orang menjerit histeris ketika yang keluar dari dalam karung goni yang dibawa Seno merupakan kepala Ranggadayu. Angin kedukaan berhembus, menerpa Kamulan yang sunyi. Hati mereka hancur, menerima kesedihan yang teramat dalam. Ranggadayu kembali pulang ke kamulan tanpa nyawa. Pemimpin yang selalu memperjuangkan hak dan kepentingan rakyatnya itu telah pergi meninggalkan Kamulan yang dicintainya. Keberaniannya melawan wiyasa Galuh Buana harus dibayar mahal dengan kematian. Itu adalah jalan yang telah ia pilih, lebih baik mati dari pada hidup dalam penindasan.
“Galuh Buana  biadab!”
“Galuh Buana  mata hatinya telah buta.”
“Pemimpin laknat! Aku berjanji akan memenggal kepalanya.”
“Penguasa yang serakah.”
“Kita harus membunuh Galuh Buana .”
Sumpah serapah, caci makian, keluar dari mulut mereka yang marah. Tangisan wanita dan anak-anak mengiringi amarah yang berkecamuk pada jiwa pemuda Kamulan. Mereka semua murka kepada Galuh Buana yang serakah, tamak, kejam dan licik seperti iblis.
Seluruh tawanan juga ikut mengutuk Galuh Buana yang tega menghianati pengabdian mereka selama ini, “Habislah riwayat kita hari ini, mereka pasti akan memenggal kepala kita. Galuh Buana benar-benar manusia biadab. Dia sama sekali tidak peduli dengan nasib kita yang rela mempertaruhkan nyawa untuk membela kepentingannya.”
“Kita bunuh semua pasukan Galuh Buana !” Teriak salah seorang pemuda dengan nada emosi sembari menunjuk kearah para tawanan perang.
Semua orang bergegas mengambil pedang, golok, dan kayu untuk menghabisi nyawa pasukan Galuh Buana yang berhasil mereka tawan. Melihat warga yang akan membantainya, seluruh tawanan perang hanya pasrah terdiam menanti ajal menjemput nyawa mereka. Ada pula sedikit dari mereka yang menjerit ketakutan, karena tak sanggup melihat  tajamnya pedang yang akan menghunus tubuh mereka. Anak-anak dan wanita berlarian masuk kedalam rumah.
“Jangan lakukan itu saudaraku!” Teriak tetua dusun melarang pemuda Kamulan membunuh tawanan perang.
“Bukan itu yang diinginkan Ranggadayu. Kita berperang untuk mendapatkan kedamaian bukan untuk saling membunuh. Kalian akan menjadi hina jika membunuh musuh yang sudah tidak berdaya. Kalian telah mengalahkan pasukan yang kuat, dan sekaranglah saatnya  bagi kalian untuk memerangi diri kalian sendiri. Jangan biarkan nafsu dan amarah membutakan mata hatimu.”
“Jika mereka kita biarkan hidup maka mereka akan menyerang kita. Bukankah itu justru akan membahayakan kehidupan kita?” Salah seorang warga tidak sependapat dengan tetua dusun.
“Apakah yang kau ucakapkan itu benar-benar akan terjadi? Belum ada yang tau, jauhkan dirimu dari sangka-sangka, karena sangka-sangka itu sedusta-dusta berita. Kita harus berprasangka baik pada setiap orang, bahkan kepada musuh sekalipun.
Hai saudaraku janganlah kalian larut dalam duka. Apa yang telah ditentukan itu yang akan terjadi. Engkau dan seluruh makhluk hanyalah hamba belaka. Tentramkanlah hatimu, basuhlah duka yang kalian rasakan dengan keikhlasan.”
Dengan hati yang menyimpan seribu hikmah dan bibir yang lebih bersuara pada jiwa, lelaki tua itu kembali bertutur kata “Kemarahan akan menciptakan kekacuan dan bahkan penderitaan yang lebih besar ketimbang semestinya, sementara pengendalian diri adalah aksi yang berbeda tapi berkuasa. Menaklukkan diri sendiri adalah kemenangan yang paling akbar.”
Air mata terlanjur mengalir, dan hatipun telah berduka, namun pikiran pemuda Kamulan masih mampu memahami nasihat yang bijak dari tetua mereka. Kata-kata yang terlantun merayap pada tali kehidupan lalu mengilhami jiwa yang tengah gundah. Seno yang sedari tadi pingsan kini mulai sadarkan diri. Ia mulai merangkak, lalu bangkit dan berdiri tegak.
“Ada sesuatu yang disampaikan Ranggadayu kepadaku sebelum hukuman pancung itu dilaksanakan.” Ujar seno kepada kawan-kawannya.
Semua pandangan tertuju pada pemuda yang berkulit hitam itu “Apa yang dikatakan Ranggadayu?” Tanya semua warga penasaran.
Ia menarik napasnya sangat dalam, menatap orang-orang disekelilingnya, ia melantangkan suaranya dan mulai menyampaikan perkataan Ranggadayu “Bagiku kemenangan bukanlah segalanya, namun upaya untuk mencapai kemenangan adalah segalanya. Kematianku hanyalah suatu perjalanan, memenuhi panggilan kekasih yang merindu. Burung-burung akan berpesta menyambutku, dan berbahagialah hidupku disana.” Seno menangis tak kuasa membendung kesedihannya.
Kata-kata yang terlontar dari mulut Seno itu melegakan hati dan menentramkan pikiran warga Kamulan. Tak perlu lagi bertanya pada langit kapan hujan akan turun, apabila mendung tebal telah menggantung dipelupuk mata. Mereka bergegas membebaskan seluruh tawanan yang terikat di depan balai dusun. Para tetua dan pemuda Kamulan yang gagah perkasa membiarkan para tawanan untuk kembali kepada anak istri mereka.
“Kalian telah bebas, lakukanlah apa saja yang kalian kehendaki. Wiyasa Galuh Buana telah memenggal kepala Ranggadayu, dan tidak ada lagi alasan bagi kami untuk tetap menahan kalian, karena itu tidak akan membawa faedah bagi kami.”
Ketika mendengar ucapan tetua Kamulan, beberapa tawanan menitikkan air mata penyesalan. Sejenak mereka semua hanya terdiam dalam lamunan tentang dosa-dosa yang telah mereka kerjakan. Sampai salah satu dari mereka maju mendekati pemuda Kamulan, kemudian duduk bersimpuh sambil berkata “Kami datang ke sini untuk memerangi dan menaklukkan kalian. Kami telah menghancurkan dan membakar rumah yang kalian bangun. Kalian mengalahkan kami, lalu menjadkan sebagian dari kami sebagai tawanan.  Wiyasa Galuh Buana telah membunuh orang yang mencintai kalian, dan kalian cintai. Tak hanya itu wiyasa Galuh Buana juga telah menghianati pengorbanan yang kami berikan. Kalian terlalu berbaik hati dengan melepaskan kami. Kami tak akan pernah melupakan segala kebaikan yang kalian berikan kepada kami.”
“Ranggadayu merupakan pemimpin yang jauh lebih baik dari pada pemimpin yang kami taati. Ranggadayu mampu membesarkan semangat dan harapan-harapan kepada kalian. Mulai hari ini kami tidak lagi sebagai prajurit wiyasa Galuh Buana , tapi kami akan menjadi prajurit Wengkerkidul yang akan mempersembahkan jiwa dan raga kami untuk rakyat Wengkerkidul.”
Cahaya mentari di sore hari menghangatkan tubuh warga Kamulan yang basah oleh derasnya air mata, dan kesunyian bergetar dengan semilir angin. Langit yang luas tersenyum pada nurani rakyat Kamulan yang agung.  Dan dalam diamnya, langit melihat bayangan masa depan yang cerah pada batu prasasti yang diukuir raja Kertajaya. Sejarah kembali tercipta dan akan kembali terukir oleh anak cucu mereka.
Jenazah Ranggadayu dimakamkan disebalah batu prasasti Kamulan untuk mengenang keberaniannya dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Kamulan telah kehilangan satu kesatria yang gagah berani, namun mereka akan mendapatkan seribu kesatria baru pada jiwa pemuda-pemudinya. 
Kemenangan warga Kamulan atas pasukan yang dipimpin Bajul Ireng, tak lantas membuat wiyasa Galuh Buana  mengubah kebijakannya. Dia menghimpun pasukan yang lebih banyak, serta membuat laporan palsu kepada Majapahit tentang pemberontakan yang dilakukan warga Kamulan. Pihak Majapahit dimintai bantuan untuk mengirimkan seribu pasukan ke Wengkerkidul dan bergabung  dengan pasukan Galuh Buana . Batu ujian yang lebih besar siap datang untuk menguji keberanian laskar Kamulan.



8
Bertemunya Kebaikan dengan Kebaikan

T
idak ada yang bisa merampas harga diri seseorang apabila ia tidak memberikannya. Pertempuran dapat dimenangkan dengan cara menjalankan prinsip-prinsip yang sungguh-sungguh kita yakini. Sayang seribu sayang banyak manusia yang rela menukar prinsip hidupnya dengan setumpuk uang atau dengan jabatan dan wanita. Padahal manusia dan hewan dapat dibedakan karena akal pikirannya yang terakumulasi dalam suatu wadah yang bernama idelogi. Apabila ada manusia yang berjalan tanpa membawa ideologinya, maka tak ubahnya ia seperti seekor hewan.
“Anakmu ini adalah satu-satunya anak kecil yang berani memukuli lurah.” Ujar  Ki lurah kepada Aryuda sembari mengingat pertemuan pertamanya dengan Rawarontek.
“Dia persis seperti masa kecilmu tampan, cerdas, bersamangat, kuat dan pemberani, tapi sayang dia takut dengan gadis cantik.”
“Hahaha!”
Aryayuda tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Ki Joyogeni. Rawarontek hanya bisa menahan malu, terlihat dari wajahnya yang selalu nampak kemerahan.
Sembari merangkul anaknya Aryayuda berkata. “Dahulu paman Joyogeni ini sangat pandai menyusun kata-kata menjadi syair yang indah. Setiap wanita pasti akan tergoda dengan keindahan syairnya.”
“Hahaha benar sekali itu. Aku adalah penyair terhebat di tanah Wengkerkidul.” Lelaki tua itu merasa bangga sekali dengan masa lalunya yang diceritakan Aryayuda.
Sambil menahan tawa, Aryayuda melanjutkan perkataannya. “Tapi sayang tidak ada wanita yang tergoda dengan dirinya. Mereka hanya tertarik dengan syair yang dilantukan, tapi tidak tertarik dengan yang melantunkan syair.”
Rawarontek tertawa sambil guling-guling mendengar cerita ayahandanya. Ki Joyogeni berusaha membela diri “Ah itu tidak benar sama sekali, buktinya aku dapat menikahi delapan wanita cantik.”
“Tapi janda semua kan?”
“Ya, meski janda yang penting kan cantik.”
Mereka kembali tertawa mendengar jawaban Ki lurah yang memilki istri paling banyak di tanah Wengkerkidul ini, mungkin ia hanya kalah dengan seorang raja yang memiliki banyak selir.
“Rawarontek sekaranglah waktunya kau ceritakan tujuanmu mencari Aryayuda.” Ujar Ki Joyogeni mengalihkan pembicaraan.
Belum sempat Rawarontek berkata, Aryauda sudah mendahuluinya “Aku tahu tujuan kalian kemari. Belum saatnya, kau masih perlu banyak belajar Nak.” Jelasnya, seakan ia tahu dengan pasti apa yang ada dipikiran anaknya.
“Apa yang harus aku pelajari Romo?”
“Belajarlah mengalahkan dirimu sendiri, sebelum kau mau mengalahkan orang lain.”
“Kau akan mengajariku?”
Aryayuda memandangi wajah anaknya yang selalu kehauasan akan ilmu, “Waktu dan tekatmulah yang akan menuntunmu. Jangan lihat keluar, lihatlah dalam dirimu sendiri dan cari itu. ” ia arahkan jari telunjuknya ke dada Rawarontek.
“Baiklah Romo, aku akan menuruti nasihatmu.”
“Belajar itu adalah penemuan bahwa segala sesuatu itu mungkin.” Ki joyogeni juga ikut nimbrung menasehati Rawarontek.
v   
Mentari mengintip dari balik gunung Spikul lalu ia menyapa mesra malaikat yang sedari tadi menyaksikan anak adam berdiskusi tentang ilmu. Cahayanya menyinari pantai, bukit, sawah, lembah dan semua keindahan yang dimiliki Watulimo. Mereka pun pergi meninggalkan goa Lowo untuk kembali berkelana  mencari apa saja yang dapat ditemukan, dan membela siapa saja yang pantas dibela. Harumnya bunga melati yang diterpa angin tercium saat mereka melintasi kebun di lereng gunung Spikul. Aryayuda memanjat penuh semangat, mendaki terjalnya gunung Spikul, lalu disusul Ki Joyogeni dan Rawantok. Setelah sampai dipuncak, maka terlihat betapa indahnya alam nan hijau yang terbentang luas dengan gunung-gunung kokoh yang menjaganya. Sejuk dan nyaman, dari puncak inilah manusia bisa mengerti bahwa Wengkerkidul sangatlah menawan bagi setiap mata yang melihat.
Takdir seakan menuntun mereka pada tanah yang tepat untuk diinjak. Setelah seharian berjalan akhirnya mereka sampai pada dusun Kamulan. Semua warga Kamulan yang menyaksikan kedatangan tiga pengelana itu menyambut dengan berbagai reaksi dan ekspresi.  Aryayuda penampilannya acak-acakan seperti orang gila yang tak pernah menyirami tubuhnya dengan air. Sedang Ki Joyogeni masih terlihat sangat berwibawa dengan tubuhnya yang gendut. Adapun kalau melihat Rawarontek pastilah mereka mengira ia seorang pemuda tampan yang hendak mencari pasangan hidup. Rasanya memang aneh melihat tiga orang dengan penampilan yang kontras bisa berjalan bersama dan asyik bersenda gurau.
“Aku mengenal lelaki tua yang gendut itu, ia adalah lurah Karangan yang serakah dan menjadi antek-antek wiyasa Galuh Buana.” Teriak seorang warga sambil menyuding kearah Ki Joyogeni.
Semua orang segera berkumpul untuk menghadang tiga pengelana yang memasuki dusunnya. “Buat apa kalian datang ke dusun kami? Jika kalian mau membuat keonaran maka sebaiknya kalian segera angkat kaki sebelum tombak kami menembus dada kalian.”
Tetua dusun yang melihat kejadian itu segera datang untuk melerai “Sudah hentikan, seharusnya kalian menyambut tamu yang datang di dusun ini dengan baik.”
“Tapi mereka orang suruhan wiyasa Galuh Buana . Mereka harus segera kita usir sebelum membuat kekacuan di dusun kita.”
“Dari mana kalian tahu kalau mereka datang kesini untuk mengacuakan dusun kita? Kalian tidak boleh berburuk sangka seperti itu.” Tetua dusun itu mencoba menenangkan warganya. Setelah situasi terkendali, ia mendatangi tamunya dan meminta maaf atas ketidaksopanan warganya.
“Maafkan sikap mereka yang kurang sopan Kisana.”
“Mereka tidak berbuat salah. Apa yang mereka katakan tentang diriku memang benar adanya. Aku Joyogeni lurah Karangan yang serakah, tamak, dan suka membuat tipu daya untuk menggerogoti harta rakyatnya.” Ujar Ki Joyogeni membenarkan pendapat warga Kamulan tentang dirinya.
“Tidak ada orang jahat yang mau mengakui kesalahannya. Aku mengenalmu sejak kita masih muda. Kau berubah menjadi tamak tatkala berkuasa di Karangan. Rupa-rupanya kau tak sanggup dengan godaan duniawi. Bagaimana kabarmu sahabatku?”
“Kau mengenalku? Siapa kau ini?” Tanya Ki lurah sambil mencoba mengingat-ingat wajah tua yang ada dihadapannya.
“Bagaimana mungkin kau lupa denganku, sahabat karibmu.”
Ki Joyogeni menarawang kemasa lalunya dan menemukan sketsa wajah Sawe teman karibnya, tapi tidak mirip dengan wajah manusia yang berdiri dihadapannya.
“Sawe? Apa kau Sawe?”
“Iya benar saudaraku.” jawab tetua Kamulan sambil tersenyum kecil.
“Astaga aku benar-benar  tak mengira kau ini Sawe, wajahmu tua sekali. Sudah tidak aku lihat lagi kegantenganmu yang dulu.” Ki Joyogeni menghampiri sahabatnya dan memeluknya untuk melepas rasa rindu yang begitu mendalam.
“Kau tau siapa dua orang yang bersamaku itu?” Ucapnya lagi.
“Aku tidak tahu. Siapa mereka?”
Belum sempat Ki Joyogeni menjawab pertanyaan Ki Sawe, Aryuda bersimpuh di kaki tetua Dusun Kamulan itu. Dia menangis sambil mencoba untuk mengatakan sesuatu “Maafkan aku tak bisa menjaga Sekar Dewi.  Aku suami yang bodoh, aku suami yang lalai, aku pantas kau hukum seberat-beratnya.”
“Kau Aryayuda? Berdirilah Nak!”
Ki Sawe membangunkan tubuh Aryayuda yang bersimpuh dihadapannya. “Aku telah mengetahui semuanya, kau sama sekali tidak bersalah. Ini semua adalah kehendak Tuhan, maka bersabarlah. Ayo peluk aku! sudah lama aku merindukanmu.” Sementara ia mengucapkan kata-kata bijak itu, air matanya terus menetes mengenai bahunya yang gemetar dengan kepiluan dan kebahagiaan. Air mata lelaki tua itu mengandung pahit manisnya kehidupan yang telah lama ia lalui. Pastilah air mata itu lebih bermakna dari pada air mata manusia yang masih muda.
Aryayuda memeluk ayah mertuanya, air mata di kelopak matanya mencoba menyampaikan pesan seribu maaf atas segala kesalahannya. Rawarontek yang mengetahui lelaki tua dihadapannya itu merupakan kakeknya segara bergegas mendekatinya.
“Kakek aku cucumu.” suranya terdengar lirih.
Ki sawe kaget mendengar penuturan remaja yang ada di hadapannya. Dia tidak mengerti dengan ucapan bocah itu.
“Dia anakku, anak Sekar Dewi.” Aryayuda menjelaskan kepada ayah mertuanya  perihal pemuda yang ada di depannya itu.
Tetua Kamulan itu menatap mata Rawarontek. Ia tenggelam dalam tatapan bocah yang memilki wajah seperti Sekar Dewi anaknya.
“Kau tampan sekali Nak! Kau sungguh mirip ibumu.” Ucapnya lirih sekali. Ki Sawe hanya mematung, tubuhnya beku, sistem syarafnya rusak, semua perasaan tentang kebahagian mengalir begitu kuat dalam pembuluh yang sudah terlalu lama merindu.
Pancasona memeluk tubuh kakeknya yang keriput termakan waktu. Pelukan yang hangat dari cucunya mampu menyadarkan kesunyian  dalam tubuhnya yang sempat mati karena merindu. Air matanya menetes, memercikkan kebahagiaan yang Ki Sawe rasakan. Tak ada yang mampu diucapkan oleh mulut, semua perasaan hanya tersampaikan lewat bahasa kalbu yang tak satu setanpun dapat mengetahuinya.
Seluruh warga Kamulan yang menyaksikan drama kehidupan yang mengharu biru itu turut merasakan kebahagiaan. Mereka senang karena saudara mereka menemukan kembali bongkahan  hidupnya yang telah lama hilang. Kini Ki Sawe tak akan melewati hari-harinya dengan kesendirian.Karena bakal ada Rawarontek dan Aryayuda yang akan menemani dan menjaganya.
v   
Waktu mampu merubah kecambah yang kecil menjadi pohon besar yang menjulang tinggi ke langit. Waktu mampu melunakkan batuan yang keras menjadi tanah pasir  yang lembut. Waktu juga mampu mengubah peradaban manusia dari satu zaman ke zaman berikutnya. Dan setiap manusia hanya memiliki sedikit waktu untuk memberikan kontribusi terbesar dalam mega proyek peradaban manusia yaitu mengubah wajah dunia menjadi lebih baik dan nyaman disetiap perjalanan waktu. Sampai pada akhirnya waktu itu berhenti, lantas mengantar kehidupan yang fana ini menuju kehidupan yang tak pernah kita ketahui dimensinya.
Satu minggu tinggal di Kamulan membuat Aryayuda dan Rawarontek mulai memahami tentang peristiwa yang baru saja menimpa dusun Kamulan. Dia melihat keberanian tergambar pada mata rakyat Kamulan yang membuat mereka tetap hidup dalam kemerdakaan. Hanya saja keberaniaan itu juga menimbulkan kebencian dari wiyasa Galuh Buana sehingga akan ada banyak masalah yang akan di terima rakyat Kamulan. Aryayuda berpikir keras untuk mencari solusi agar permasalahan di dusun itu bisa diselesaikan tanpa harus berperang. Dia menyuruh Rawarontek untuk mengantarkannya ke tempat Empu Tirto yang merupakan guru silat sekaligus guru spiritualnya.
“Ki, aku telah melihat situasi yang sangat rumit di dusun ini, dan hampir semua wilayah di Wengkerkidul mengalami masalah yang sama. Ada banyak perkara yang harus segera diselesaikan, terutama tentang ancaman yang datang dari wiyasa Galuh Buana. Aku dan Rawarontek akan pergi ke Bendungan untuk meminta nasihat Empu Tirto.” Ujar Aryayuda berpamitan kepada Ki Sawe.
“Kalau menurutmu itu yang terbaik, maka segera lakukanlah.  Sikap sewenang-wenang yang dilakukan wiyasa Galuh Buana memang harus segera dihentikan. Jangan lupa salamku untuk Empu Tirto.” Jawab Ki Sawe.
Ki Joyogeni yang sedari tadi melihat percakapan Aryayuda dengan Ki Sawe juga ikut nimbrung berbicara.
“Apa aku perlu ikut denganmu?”
“Saya rasa tidak perlu Ki. Sebaiknya kau kembali ke Karangan untuk menjaga rakyatmu dari hasutan wiyasa Galuh Buana.”
“Baiklah, aku akan segera kembali ke Karangan. Lagi pula aku sudah rindu dengan anak istriku. Jaga diri kalian baik-baik, kalau butuh bantuan datanglah ke Karangan.”
Setelah mendapat restu dari Ki Sawe, bapak dan anak itupun berangkat menuju wilayah Bendungan dengan menunggangi kuda hasil rampasan perang. Sedang Ki Joyogeni berangkat ke Karangan keesokan harinya.
Tak sampai setengah hari mereka sudah sampai di depan gubuk reyot yang di tempati Empu Tirto. Lelaki tua yang sedang menumbuk padi itu hanya bengong melihat kedatangan Rawarontek dengan Aryayuda. Dia belum mengerti bagaimana caranya kedua muridnya itu bisa bertemu dan bersama-sama mendatanginya.
“Hai cucuku senang sekali aku melihatmu kembali.” Empu tirto menyapa cucunya.
“Bagaimana keadaanmu Kek? Maaf aku baru bisa pulang sekarang.” Sahut Rawarontek.
“Aku sehat seperti yang kau saksikan saat ini.” Jawabnya sambil menghampiri cucu kesayangannya. “Kau membawa dia datang kesini, kau mengenalnya Cu?” Tangannya menunjuk kearah Aryayuda yang masih duduk di atas kuda.
“Bukankah dia murid kesayangan mu? Aryayuda pendekar terbaik Majapahit.”
Aryayuda turun dari kuda yang ditungganginya, dan berjalan mendekati Mpu Tirto. Ia kelihatan bahagia untuk menyapa guru yang sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri.
“Kau kelihatan makin muda saja Ki.” Ujar Aryayuda mencandai gurunya.
“Dasar bocah kurang ajar, dari mana saja kau selama ini.” Tanya Empu Tirto yang sama sekali tidak pernah mendengar kabar Aryayuda setelah ia bergabung dengan pasukan Majapahit.
“Panjang sekali kisah yang telah aku lalui Ki. Yang jelas aku telah melakukan keselahan terbesar dalam hidupku tatkala aku tidak pernah melibatkanmu dalam setiap masalahku, padahal kau itu guru yang sudah aku anggap seperti ayahandaku sendiri. Dan aku telah membayar mahal atas segala kesalahanku itu.”
“Apa maksud perkataanmu?” Tanya Ki Tirto yang tidak mengerti dengan ucapan  Aryayuda.
“Apakah kau masih ingat dengan Sekar Dewi putri Ki Sawe?”
“Sekar Dewi sahabat kecilmu? Jangan bilang kau telah menikahinya.  Bocah kecil yang gendut itu, lucu sekali.” Kenang lelaki tua akan Sekar Dewi putri semata wayang Ki Sawe sahabat karibnya.
“Dia tumbuh menjadi gadis yang cantik Ki. Sangat cantik, hingga aku tak kuasa untuk berpaling dari tatapan matanya, walau hanya sekejap.”
Mendengar jawaban Aryayuda lelaki tua hanya tersenyum, dan kembali melontarkan beberapa bertanyaan. “Kenapa kau tidak bawa istrimu kesini? Kau sudah dikaruniai anak kan? Bagaimana kabar mereka?”
“Kau lebih tahu semuanya dari pada aku?” Jawab Aryayuda.
“Apa maksud perkataanmu?” Empu Tirto bingung dengan jawaban yang dilontarkan murid kesayangannya itu.
Aryayuda menghampiri Rawarontek lalu merangkul pundaknya. “Terimakasih banyak Ki, selama ini kau telah membesarkan dan mendidiknya hingga menjadi anak yang berakhlak mulia. Dan terimakasih juga untuk perlakuan baikmu terhadap jenazah Sekar Dewi. Andai saja saat itu aku memperkenalkan Sekar Dewi kepadamu pastilah aku tak akan segila ini untuk mencari dan menanti mereka.”
Lelaki tua itu perlahan mulai memahami situasi yang sedang terjadi. “Jadi wanita itu Sekar Dewi? Dan Kau Rawarontek, kau anak Aryayuda?”
Aryayuda bersimpuh dikaki Empu Tirto. “Aku malu Ki, kau selalu memberikan yang terbaik untukku tapi aku dengan gampangnya melupakan semua kebaikanmu dan Nyi Damas.”
Empu Tirto membungkukkan tubuhnya, lalu memegang pundak muridnya. “Kau tidak pernah melupakanku, kau tidak pernah melupakan kebaikanku, kau juga tidak melupakan semua yang telah kami berikan kepadamu. Kau patuhi semua nasihatku, kau jalankan semua kebaikan yang aku ajarkan, hingga manjadikanmu sangat sibuk dengan segala urusanmu. Maka wajar jika sekiranya kau tak sempat untuk menyambangi kami.”
Aryayuda dengan wajah tertunduk berdiri, dan penyesalan seakan tak bisa terhapus oleh ucapan gurunya tadi. “Celakah bagi orang sepertiku. Aku banyak belajar dari semua sikap bijaksana yang kau lakukan. Kau ajarkan kebaikan pada setiap orang melalui perbuatanmu.”
Melihat penyesalan muridnya itu, sang guru sekali lagi mencoba menenangkan jiwanya. “Taukah engkau mengapa selama ini aku dan Nyi Damas sangat menyayangimu?”
Mendengar ucapan gurunya Aryayuda mengangkat wajahnya. Mulutnya tak mampu mengucapkan sepatah katapun, hanya matanya yang menatap wajah keriput Empu Tirto dengan pandangan ketidaktahuan.
            “Kau sangat pintar untuk menilai kekurangan dan kesalahan dalam dirimu. Kau juga tidak malu untuk mengakui kesalahanmu, lalu bersegara minta maaf. Bermodalkan itulah kedewasaan dan kepandaian dapat kau capai dengan sempurna.”
Hati Aryayuda kini mulai tentram. Ia yakin jika gurunya benar-benar sudah memaafkan kesalahannya. Dihadapan sang guru yang kepalanya dipenuhi ilmu dan pemikiran yang bijaksana, ia mulai menceritakan maksud kedatangannya. “Aku telah mendengar jika Nyi Damas dibunuh utusan wiyasa Galuh Buana. Sejak saat itu dia semakin gencar memerangi setiap orang yang berani menentang kehendaknya. Dia mengadukan Rakyat Kamulan kepada Bhre Wengker Wijaya Rajasa dengan tuduhan telah melakukan pemberontakan. Lantas Bhre Wengker Wijaya Rajasa mengirim tiga ratus pasukan terbaiknya untuk bergabung dengan pasukan wiyasa Galuh buana. Rakyat Kamulan dapat mengalahkan mereka, tapi Ranggadayu berhasil mereka tangkap, dan dijatuhi hukuman pancung. Saat ini bupati licik itu sedang menghasut Majapahit supaya membantunya dalam melanggengkan kesewenang-wenangannya terhadap rakyatnya sendiri. Bagaimana menurut pendapatmu Ki?”
“Situasi Majapahit saat ini sedang kacau. Belum lama ini pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gusti Patih Gajah Mada membantai pasukan Sunda Galuh di Pesanggrahan Bubat. Dalam pertempempuran itu Maharaja Linggabuana dan tuan Usus gugur. Tak hanya itu putri kerajaan pasundan Dyah Pitaloka yang akan dinikahi Gusti Prabu Hayam Wuruk juga mati bunuh diri setelah melihat ayahandanya dan semua pasukan Pasundan di bunuh oleh pasukan Majapahit.”
Aryayuda terlihat kaget mendengar cerita Empu Tirto. “Bagaimana mungkin dua kerajaan besar yang memiliki hubungan yang sangat baik bisa bermusuhan seperti itu Ki? Apa sebenarnya yang menyebabkan peperangan itu?”
“Majapahit sangat berambisi untuk menaklukkan kerajaan Pasundan. Gusti Prabu Hayam Wuruk ingin menikahi Dyah Pitaloka Citrasemi agar kedua kerajaan terbesar ditanah Jawa ini bisa disatukan. Tapi Gusti Patih Gajah Mada memiliki pemikiran lain, ia ingin Pasundan berada di bawah kekuasaan Majapahit. Maharaja Linggabuana merasa terhina dengan keinginan Gusti Patih Gajah Mada, mereka menyerang pasukan Bhayangkara dan peperangan pun tak bisa dihindarkan.”
“Aku sangat mengenal Gusti Patih Gajah Mada, dia telah bersumpah untuk mempersatukan Nusantara ini dalam kekuasaan Majapahit. Strategi pilitiknya sangat baik, begitu juga dengan strategi perangnya. Hanya saja untuk mewujudkan ambisinya yang besar itu pasti akan ada banyak hal yang akan dikorbankan, termasuk persahabatan Majapahit dengan Pasundan.” Jelas Aryayuda mengomentari cerita Empu Tirto.
“Lalu apa yang harus aku lakukan Ki?”
“Temuilah Empu Nala, saat ini dialah orang yang paling dipercaya Gusti Prabu Hayam Wuruk setelah hubungannya dengan Gusti  Patih Gajah Mada renggang akibat perang Bubat. Mintalah supaya dia menyampaikan semua kejahatan yang dilakukan wiyasa Galuh Buana kepada ibu suri Tribuana Tunggadewi, karena dialah orang yang sangat dihormati Prabu Hayam Wuruk. Aku yakin dia lebih mempercayai ucapan Empu Nala dari pada ucapan wiyasa Galuh Buana.”
Sembari menunjuk kearah wilayah Perdikan Kampak ia kembali  berkata. “Kemudian mintalah bantuan pemuda Perdikan Kampak untuk mengalahkan wiyasa Galuh Buana. Tidak akan ada  bantuan dari Majapahit untuk wiyasa Galuh Buana.”
Setelah berpikir sejurus, berkatakalah Aryayuda. “Besok pagi aku akan pergi ke Majapahit.”
“Kau jangan pergi ke Majapahit, pergilah bersamaku untuk mencoba merundingkan kesepakatan dengan wiyasa Galuh Buana, karena kau tahu segalanya tentang tata hukum Majapahit.”  Sembari berjalan mendakati Rawarontek yang sedari tadi mengamati pembicaraan dua lelaki dewasa di hadapannya, ia kembali berkata. “Biarlah Rawarontek yang akan pergi ke Majapahit untuk menemui Empu Nala. Tunjukkan pedang Cakra buana itu kepada Empu Nala maka ia akan tahu siapa kau ini.”
“Aku akan mematuhi perintahmu Ki, tapi sebelumnya izinkan dulu aku pergi wilayah Kerandon untuk menemui Damarwuluh.” Ujar Rawarontek.
Ucapan Rawarontek membawa ingatan Empu Tirto pada kematian Nyi Damas. “Apa yang akan kau perbuat kepadanya? Bukankah dia sudah minta maaf atas kesalahannya, dan kau juga telah memaafkannya bukan?”
“Aku hanya ingin meminta bantuannya untuk memata-matai perkembengan strategi yang akan dimainkan wiyasa Galuh Buana. Bukankah dia orang kepercayaan wiyasa Galuh Buana? Aku yakin dia bisa dihandalkan untuk menjalankan tugas ini. Selain itu aku juga ingin dia untuk melindungi kalian jika wiyasa Galuh Buana melakukan tindakan curang yang tidak kita perhintungkan.”
“Ide yang bagus Nak! Kita memang memerlukan orang dalam untuk mendapatkan segala informasi tentang wiyasa Galuh Buana.” Ujar Aryayuda menyetujui ide anaknya sekaligus memujinya. Ia melepaskan lencana yang melilit lengannya, lantas diberikan kepada putranya. “Pakailah lencana ini, kau akan aman disana.”
“Kau memang bocah yang cerdas Cu.” Timpal Empu Tirto.
“Kalau begitu aku akan berangkat besok pagi. Jadi kita masih punya waktu satu malam untuk melepaskan rasa rindu ini. Hahaha.”   Ujar Rawarontek kegirangan.
Terlihat pribadi-pribadi yang bijaksana dan kepala-kepala yang disesaki dengan ilmu pengetahuan mau menerima usulan dari anak kecil. Mau mendengar dengan segala kerendahan hati, mau menerima dengan hati yang ikhlas, dan tak segan untuk dijalankan dengan penuh keyakinan. Kemudian mereka jadikan usulan itu sebagai landasan untuk berpikir. Hakikatnya kebenaran itu bisa datang dari mana saja, entah dari si pintar atau si bodoh, si kaya atau si miskin, dari anak kecil maupun orang dewasa.  Merekalah yang akan selalu menaiki tangga kemuliaan, yaitu orang-orang yang mau menerima kebenaran meski datangnya dari sesuatu yang mereka anggap rendah.



9
Pasukan Hitam



Rawarontek memacu kuda hitamnya dengan cepat. Melesat menembus kabut putih yang menutupi jalan setapak diantara pegunungan Bendungan. Embun pagi membasahi wajahnya yang rupawan, dan udara yang dingin pun menembus kulit putihnya. Langkah kaki kuda hitam itu semakin cepat, membawa sang tuan melintasi hutan, gunung, sungai dan sawah yang terbentang luas di dataran Wengkerkidul.
            Sesekali ia berhenti untuk bertanya arah jalan menuju Trowulan kepada setiap orang yang ia jumpai. Hatinya agak gelisah mengingat ini merupakan perjalanan pertamanya untuk menemui pembesar Majapahit. Sepanjang jalan otaknya terus memikirkan bagaimana cara menyampaikan risalah yang ia bawa, agar Empu Nala tidak salah paham dan bersedia untuk menyampaikannya kepada ibu Suri Tribuana Tunggadewi. Rasa takut akan tuduhan pemberontakan pun selalu bergelayutan di dalam rongga dadanya.
            Saat malam menjelang, bocah sakti itu sudah sampai di depan gerbang kerajaan terbesar dalam sejarah nusantara ini. Salah seorang prajurit yang menjaga gerbang mendatanginya untuk menanyakan maksud kedangan Rawarontek ke  Majapahit. “Siapa namamu anak muda? Dan apa maksud kedatanganmu?”
            “Namaku Rawarontek, putra Aryayuda. Aku datang kemari untuk menyampaikan sebuah pesan untuk Empu Nala.” Jelas Rawarontek sembari memperlihatkan lencana yang ia pakai.
“Baiklah, aku akan mengantarkanmu sampai  ke rumah Empu Nala.”
Rawarontek berjalan menuntun kudanya menuju rumah Empu Nala dengan dikawal dua prajurit. Matanya terbelak tatkala melihat rumah Empu Nala yang sangat kecil dan sederhana seolah-olah tertelan bangunan-bangunan megah disekelilingnya. Berbeda dengan rumah-rumah yang lain, di depan rumah itu tidak ada satupun prajurit yang berjaga. Hanya ada satu patung wanita cantik yang dikerubuti kain putih berdiri dibawah pohon beringin yang rindang.
Dua prajurit yang mendampinginya masuk kedalam rumah kecil itu. Tak lama berselang seorang lelaki tua berperawakan kurus keluar bersama kedua prajurit yang menyertainya. Bibirnya tersenyum menyambut kedatangan pemuda di hadapannya dengan sopan dan ramah. Rawarontek pun membalas dengan senyuman yang tak kalah manis. Dengan perasaan yang gugup ia berjalan mendekati Empu Nala, lantas menghaturkan sembah dan menyampaikan maksud kedatangannya.
“Wahai Gusti yang bijaksana, hamba datang menghadapmu dengan niat yang tulus ingin menyampaikan sebuah penderitaan yang sedang dialami saudara-saudaraku di Wengkerkidul. Sebelumnya hamba minta kelapangan hati tuanku apabila apa yang hamba sampaikan kurang berkenan di hati Gusti. Kami telah memerangi wiyasa Galuh Buana yang telah membebani rakyat dengan kenaikan upeti melebihi ketentuan yang telah Majapahit tetapkan. Bukan berarti kami tidak mau mengabdi pada wiyasa Galuh Buana, kami hanya menjalankan sesuai peraturan yang telah dibuat Majapahit. Hamba bersedia menerima hukuman apapun dari tuan apabila yang hamba ucapkan ini salah, bahkan jika tuanku mengingankan nyawa hamba, niscaya akan hamba berikan dengan hati yang ikhlas.”
Mendengar penuturan kesatria muda yang tak dikenalnya itu, membuat sang penasihat kerajaan merasa kagum. Sebagai penasihat istana yang syarat akan pengalaman dan pengetahuan ia bisa mengatahui kejujuran seseorang dalam berbicara. Keparat! Siapa namamu hai bocah ingusan? Lancang sekali kau datang kemari membawa berita seperti itu. Kau pikir aku akan termakan oleh tipu muslihatmu? Aku bukanlah orang dungu yang akan terkagum serta menangis iba mendengar cerita murahan yang kau tuturkan melalui mulut busukmu itu. Aku sudah menemui seribu pemberontak sepertimu, jadi jangan berharap aku akan mempercayai kata-katamu.” Gertaknya untuk menguji ketulusan hati Rawarontek.
Rawarontek sama sekali tidak terpengaruh dengan kemarahan dan caci maki Empu Nala. Dia sangat meyakini akan kebenaran yang ia bawa, dan itu harus tersampaikan. “Namaku Rawarontek, satu dari ribuan rakyat Wengkerkidul yang merasakan pahitnya kehidupan dibawah penindasan pemimpin yang dzolim.  Tak ada kalimat indah yang bisa hamba riwayatkan kepada tuanku melainkan sebuah kalimat tentang kebenaran. Jika Majapahit menganggap salah apa yang hamba ucapkan, maka hamba bersedia menerima hukuman.” Ujarnya dengan penuh kerendahan hati sembari menyerahkan pedang Cakra Buana kepada Empu Nala.
Lelaki tua itu menerima pedang yang rawarontek berikan, lantas menyuruh dua prajuritnya untuk mengikat bocah pembawa kabar derita itu pada pohon beringin yang sedari tadi juga mendengar cerita pilu Rawarontek.
“Hai Prajurit! Ikat keparat, bedebah yang ada di hadapanku ini pada pohon beringin. Mandikan dia dengan kalajengking dan ular, agar ia merasakan bagaimana perihnya hukuman bagi setiap orang yang berani membohongiku.”
Pendekar muda itu pun hanya pasrah menerima perlakuan tak menyenangkan dari Empu Nala. Wajahnya meringis-ringis menahan sakit.
“Nikmatilah malam yang indah ini, sampai esok pagi datang lantas menyeretmu pada sebuah peradilan.” Empu Nala dan dua prajurit kerajaan pergi meninggalkan Rawarontek yang terikat pada pohon beringin. Kini ia akan menghambiskan malam yang cerah ditemani patung wanita cantik yang seolah merasa iba dengannya.
v   
            Aryayuda dan Empu Tirto pergi menyambangi kediaman wiyasa Galuh Buana. Sebelum sampai di rumah sang penguasa Wengkerkidul, ia bertemu dengan Damarwuluh yang sedari tadi sudah menunggu kedatangannya. Damarwuluh menceritakan semua berita yang ia dapatkan dengan penuh kejujuran.       “Wiyasa Galuh Buana sangatlah murka atas kekalahan pasukannya oleh pemuda Kamulan. Ia berusaha menggalang bala tentara untuk melakukan serangan balasan. Tak hanya itu, dia juga sudah mencantumkan namamu dan Rawarontek sebagai pemberontak yang telah dilaporkan ke Majapahit. Kalian harus berhati-hati dengan rencana wiyasa Galuh Buana ini.” Ucapan Damarwuluh mengalir keluar dari sudut-sudut kecil di hatinya yang telah disesaki rasa kekhawatiran setelah melihat rencana besar dari sang Penguasa Wengkerkidul.
            “Terimakasih kakang telah bersedia membantu kami untuk memantau situasi di Kadipaten. Hari ini kami akan menemui wiyasa Galuh Buana dan mencoba merundingkan penurunan jumlah upeti agar sesuai dengan ketentuan Majapahit.” Ujar Aryayuda kepada Damarwuluh.
            Kecemasan dan kekhawatiran Damarwuluh seketika melangit tatkala mendengar penuturan Aryayuda. “Kalian jangan pergi menemuinya, ia sangat licik. Aku kawatir kalian akan terjebak dengan tipu muslihatnya.” Ia menjawab dengan suara bergetar tanda meningginya kecemasannya.
            “Kami akan mewaspadai semua itu. Wahai saudaraku! Doakan agar kami bisa meyakinkan wiyasa Galuh Buana sehingga mata hatinya kembali terbuka. Mencapai kebeneran dengan cara berunding akan lebih bermartabat dari pada mengangkat senjata.”
            “Bukankah wiyasa Galuh Buana tidak pernah sudi mendengar pendapat dari rakyatnya. Ranggadayu telah berkali-kali berusaha merundingkan hal ini dengan cara yang baik dan sopan. Tapi apa balasan yang diberikan pemimpin biadab itu? Ia malah menganggap Ranggadayu sebagai pemberontak dan menyerang Kamulan.” Damarwuluh mencoba memperingatkan kedua sahabatnya.
            “Sebagai rakyat kita tidak boleh menyerah untuk mengingatkan pemimpin yang berbuat salah. Berbekal pelajaran dari yang sudah dilakukan Ranggadayu, kami akan mencoba untuk lebih berhati-hati menyikapi tindakan wiyasa Galuh Buana.” Ujar Empu Tirto.
            “Perkataan dan pemikiranmu sungguh bijak Ki. Aku tidak bisa melarangmu untuk menyampaikan kebenaran. Temuilah wiyasa Galuh Buana, aku akan selalu mengawasi dan menjaga kalian.”
v   
            Sebuah bangunan megah mewah berdiri di bawah langit yang menyimpan sejuta kisah kehidupan. Padanya duduk seorang lelaki berperawakan gagah dikelilingi pejabat bawahan serta prajurit yang selalu setia mengawalnya. Mata bundarnya menatap tajam orang-orang disekelilingnya, melemahkan dan menundukkan. Mulutnya berkata dengan nada yang membentak, memaksa mulut-mulut yang lain untuk berkata sepakat dari semua ucapannya. Alun-alun itu ternyata tak cukup luas untuk ditulisi penderitaan yang diakibatkan sikap sewenang-wenang wiyasa Galuh Buana.
            Aryayuda dan Empu Tirto datang menghadap wiyasa Galuh Buana. Kedua pendekar sakti itu membungkukkan badannya sebagai tanda hormat kepada sang pemimpin. Sikap sopan tetap mereka kedepankan, meski hati Empu Tirto pernah disayat oleh pria yang sedang ia hadapi.
            Mengetahui orang yang menghadap kepadanya merupakan pendekar sakti, wiyasa Galuh Buana memperlakukan mereka dengan baik-baik. Ia berikan penghormatan yang cukup, serta menyediakan kursi yang empuk dengan posisi langsung berhadapan dengannya.
            “Senang sekali bisa bertemu denganmu Ki. Terlebih kau datang dengan ditemani singa Majapahit yang telah lama tak aku dengar kabarnya. Bagaimana kabarmu Aryayuda? Kau kembali lagi ke tanah kelahiranmu setelah lama mengabdi di Majapahit?” Galuh Buana memulai pembicaraan dengan basi-basi untuk menghangatkan suasana.
            “Aku juga senang bisa menghadapmu wiyasa Galuh Buana. Kabarku masih sehat, sama seperti dahulu saat kita pernah berjuang bersama membela Majapahit di setiap pertempuran. Sampai akhirnya kau dipercayai untuk memimpin Wengkerkidul.”
            Mereka pun mulai terbawa dalam percakapan yang enak. Saling bertanya jawab perihal kabar, kesehatan dan perjalanan hidup Aryayuda hingga Galuh Buana mengetahui hubungan darah antara Aryayuda dengan Rawarontek yang sudah sejak lama ingin ia singkirkan. Lama-kelamaan pembicaraan mulai menjurus ke inti permasalahan.
            “Sebenarnya aku dan Empu Tirto datang kemari ingin menanyakan besaran upeti yang telah kau bebankan kepada rakyatmu. Aku telah lama mempelajari kitab Kutara Manawa dan mengerti tata hukum Majapahit. Aku melihat banyak kejanggalan dari kebijakan yang telah kau terapkan. Oleh karena itu aku ingin merundingkannya denganmu.”
            Galuh Buana mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah ia menyetujui perkataan Aryayuda. Kepada pengawalnya ia meminta untuk mengumpulkan para petinggi Wengkerkidul untuk mulai berdiskusi dengan Aryayuda dan Empu Tirto. Aryayuda mulai menjelaskan isi kitab Kutara Manawa yang terkait dengan pajak yang Majapahit tetapkan untuk daerah kekuasannya. Semua mata dan telinga menyimak setiap perkataan bijak yang terlantun dari mulut Aryayuda. Satu-persatu mulai terungkaplah kesalahan dari kebijakan-kebijakan wiyasa Galuh Buana. Perkataan yang cerdas itu mendatangi hati dan pikiran petinggi Wengkerkidul, lalu menyapa dan mencerahkannya.
            Mengetahui anak buahnya mulai terpengaruh dengan perkataan Aryayuda, penguasa Wengkerkidul itupun segera menjelaskan maksud dan alasan dari penarikan upeti yang jauh lebih tinggi dari peraturan dasarnya. Segala cara dan upaya ia lakukan untuk kembali meyakinkan kawan-kawannya. Sia-sia, semua orang sudah terlanjur memahami isi Kitab Kutara Manawa. Mereka menuntut wiyasa Galuh Buana untuk mentaati peraturan dari Majapahit.
            Melihat sikap bawahannya yang mulai membangkang hatinya pun memanas. Api kebencian menyulut otaknya hingga panas mendidih. Wajahnya memerah, tangannya mengepal kuat-kuat hingga siap dihantamkan ke wajah setiap orang yang dibencinya. Hingga ia menyadari ada dua singa yang sedang dihadapinya, cara kekerasan pun tak bisa ia terapkan. Tak ada pilihan lain, ia harus menuruti tuntutan para petinggi Wengkerkidul sampai ia mendapatkan cara lain untuk memenangkan perang pikiran ini.
            “Selagi semua petinggi Wengkerkidul berkumpul disini, alangkah baiknya jika peraturan yang keliru itu kita benarkan sekarang juga. Rakyat  sudah terlalu lama menderita, mari kita akhiri penderitaan itu sekarang juga.” Aryayuda benar-benar memanfaatkan kesempatan yang berpihak padanya untuk memaksa wiyasa Galuh Buana merubah kebijakannya.
            Semua orang menyetujui usulan Aryayuda. Galuh Buana pun kehabisan akal untuk menghentikan langkah Aryayuda. Tak ada satu katapun yang sanggup keluar dari mulutnya, hingga kepalanya mengangguk tanda setuju.
            Takdir datang dengan tiba-tiba, membawa kemenangan, kemerdakaan, dan kebahagian yang kemudian diletakkan di atas pangkuan manusia yang telah lama merindukan. Ia menjulurkan tangan lembutnya kepada bayi-bayi mungil, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, dan melantunkan sebuah nyanyian tentang harapan. Aryayuda telah membawa cahaya itu, dan semua orang mendekapnya hingga mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah. Merekapun mulai menyibukkan diri untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk hari esok yang lebih baik.
            Jemari dan pena menari di atas kertas menggoreskan kebijakan-kebijakan yang lebih merakyat. Melepaskan rantai yang mengikat kebebasan, dan merobohkan dinding yang menyekat napas kehidupan. Seharian penuh Aryayuda dan para petinggi Wengkerkidul membenarkan ketentuan pajak yang dibuat wiyasa Galuh Buana. Mentari pun mulai jemu untuk berlama-lama menunggu, lantas sang rembulan datang untuk menggatikannya.
            Kebijakan baru telah lahir tepat saat rembulan berada di tengah-tengah langit. Rasa lelah datang menghinggap pada tubuh yang berkeringgat. Beberapa gadis cantik datang dengan membawakan hidangan yang lezat dan tuak untuk berpesta. Galuh buana memanggil Aryayuda dan Empu Tirto untuk membicarakan kebijakan baru itu di sebuah kamar yang mewah.
            Meski ada rasa kawatir mereka berdua tidak menolak ajakan Galuh Buana. Dalam kamar itu telah disiapkan makanan dan minuman yang jauh lebih istimewa jika dibanding dengan hidangan di luar sana. Sambil menyantap makanan mereka mulai merundingkan baik buruk, untung ruginya dari kebijakan yang baru saja selesai dibuat. Galuh Buana terlihat begitu antusias menyambut ide-ide yang bermunculan dari otak Aryayuda. Sampai tiba-tiba mereka bertiga tergolek di atas meja makan.
            Dalam keadaan setengah sadar, mata aryayuda melihat seorang wanita berwajah cantik datang menghampirinya. Wanita itu datang tanpa sehelai kainpun yang menutupi tubuh putihnya. Aryayuda mulai merasakan nafsu bergejolak hebat dalam jiwanya tatkala tangan lembut itu merengkuh tubuhnya dan membawanya ke kamar yang lain. Dikamar itulah terjadi peperangan yang hebat antara nafsu dan nurani. Jemari-jemari yang nakal bergerilya melepaskan pakaian yang dikenakan Aryayuda.
            Disaat yang bersamaan nurani yang luhur berhasil memadamkan nafsu yang terus bergejolak akibat ramuan perangsang yang telah dicampur dalam makan dan minuman yang baru saja ia makan. Nawang Sari masih berusaha menggoda Aryayuda dengan memamerkan kemolekan tubuhnya. Dalam keadaan yang semakin melemah Aryayuda terus berusaha melawan pengaruh obat perangsang yang kian menguasainya. Ia mencoba bangkit dan berlari keluar meninggalkan kamar. Melihat Aryayuda berusaha melarikan diri, Nawang Sari bergegas mengambil balok kayu yang tergeletak di sebalah pintu dan memukulkannya ke punggung Aryayuda. Lelaki tampan itupun terjatuh pingsan dan tubuhnya terkulai lemas di atas lantai.
            Jika seseorang telah membiasakan diri dengan kebaikan maka kebaikan itu akan menyatu dengan jiwanya. Membentuk nuruni yang mulia dan senantiasa memalingkannya dari perbuatan keji dan mugkar. Nurani yang suci tak akan mampu dimabukkan dengan secawan racun ataupun desahan kepuasan duniawi yang sering kali menyeret kaum adam dalam jurang kenistaan. Ia seperti wewangian yang selalu memancarkan aroma harum dalam hati seseorang.
v   
            Fajar datang dan melipat kebahagian menjadi api nestapa yang memanggil-manggil ketabahan. Pada saat itu awan hitam berusaha menutupi cahaya mentari yang menghangatkan pagi. Wiyasa Galuh Buana berteriak-teriak seperti orang yang kesetanan. Semua orang berkumpul mendekatinya, termasuk Empu Tirto yang terbangun karena teriakan Galuh Buana. Semua mata terbelalak menyaksikan Aryayuda dan Nawang Sari tidur berdua di atas ranjang tanpa sehelai kain yang menutupi tubuh mereka.
            Mendengar suara kerumunan orang yang ricuh dan gaduh membicarakannya, Nawang Sari segera terbangun sambil menjerit-jerit histeris.
            “Aku telah diperkosa lelaki biadab ini!” Nawang Sari menangis sambil menuding Aryayuda yang masih tergolek pingsan di atas ranjang. “Dia memaksaku untuk melayani nafsu bejatnya. Suamiku hukumlah manusia biadab yang telah merampas kehormatan istrimu ini.” Rengeknya kepada Galuh Buana.
            Wiyasa Galuh Buana memerintahkan prajuritnya mengambil rantai besi yang telah dipanggang dalam bara api untuk  mengikat tubuh Aryayuda. Lelaki malang itu diseret ketengah alun-alun dengan diiringi cemoohan dari mulut orang-orang yang menyaksikan. Tubuhnya di gantung pada sebuah tiang, untuk diludahi dan dicaci maki. Sebagian ada yang hendak melemparinya dengan batu, akan tapi Empu Tirto segera mencegahnya.
            “Kalian tidak boleh menghukumnya seperti ini sebelum mendengar pembelaan darinya. Belum tentu dia yang memperkosa Nawang Sari, lihatlah punggungnya lebab terkena pukulan. Apa mungkin dalam keadaan pingsan dia bisa memperkosa Nawang Sari?”
            Petinggi Wengkerkidul yang lain mengerti dengan ucapan Empu Tirto. Mereka juga mencurigai wiyasa Galuh Buana yang telah sengaja merencanakan semua ini, untuk menggagalkan upaya Aryayuda membenahi kebijakan Galuh Buana.
            “Pancung kepalanya!” Rupanya wiyasa Galuh Buana juga mempelajari ucapan Empu Tirto. Ia harus segera membunuh Aryayuda sebelum lelaki malang itu sadarkan diri dan melakukan pembelaan.
            “Demi kehormatanmu yang mulia wiyasa Galuh Buana, akan aku penggal kepala manusia biadab ini.” Ujar Bajul Ireng yang juga terlibat dalam sekenario picik ini.
            “Kamu harus melangkahi dulu mayatku jika ingin menyentuh Aryayuda.” Dengan gagah berani kakek tua itu menghadang Bajul Ireng.
            “Aku tahu Empu Tirto seorang pendekar hebat, tapi itu dulu. Kau sudah terlalu tua untuk melawanku. Sebaiknya segeralah menyingkir sebelum pedangku ini menggorok lehermu.” Ujar Bajul Ireng dengan nada yang sombong.
            “Mulutmu saja yang besar, tapi nyalimu tak lebih besar dari kerikil. Hadapilah aku jika kau benar-benar seorang lelaki!” Empu Tirto menantang Bajul Ireng yang terlanjur besar kepala.
            Bajul Ireng segera menyerang lelaki tua dihadapannya. Perang tanding antara kedua pendekar sakti pun berlangsung mencekam. Tubuh Bajul Ireng yang besar bergulat dengan tubuh Empu Tirto yang kerempeng. Mereka saling mempertontonkan kedigdayaan dan kesaktian. Bajul Ireng berkali-kali menebaskan pedangnya ke arah Empu Tirto, tapi tak sekalipun mengenai tubuhnya. Kakek tua itu bergerak lincah kesana-kemari, menghindari pukulan Bajul Ireng.
            Kedigdayaan dan kesaktian Empu Tirto rupanya belum mampu ditandingi Bajul Ireng. Dengan santainya ia permainkan prajurit kebanggaan Galuh buana itu. Setelah merasa cukup bermain-main dengan Bajul Ireng, Ia berbalik menghajar lelaki yang berkumis tebal itu dengan ilmu kanuragan Rawaronteknya. Bajul Ireng seperti kewalahan meredam serangan Empu Tirto yang teramat kuat dan cepat layaknya kilat yang menyambar-nyambar tubuhnya. Beberapa tendangannya berhasil mengenai kepala Bajul Ireng, hingga mengaliir banyak darah dari lubang hidung dan telinganya. Merasa tertekan, Bajul Ireng segera melarikan diri kearah pasukannya. Ia perintahkan pasukan petarungnya untuk mengepung Empu Tirto. Di belakangnya berjejer rapi pasukan pemanah yang telah siap menghujani tubuh kerempeng itu dengan anak panahnya.
            “Serang!” Teriak Bajul Ireng memberi aba-aba kepada pasukannya dengan suara yang lantang.
            Tak kurang dari sepuluh prajurit petarung mengeroyok Empu Tirto. Sedang pasukan pemanah terus mengintai pergerakan pendekar tua itu, sembari menarik anak panah yang sewaktu-waktu bisa melesat ke arah mangsanya. Pergerakan lincah sepuluh prajurit itu mampu membuat Empu Tirto kelelahan, dan secara mengejutkan mereka semua merebahkan tubuhnya ke tanah secara serentak. Praktis tubuh krempeng itu terlihat berdiri bebas tanpa penghalang untuk dijadikan sasaran tembak pasukan pemanah. Puluhan anak panah melesat, melayang-layang  ke arah Empu Tirto.  Tak ada kesempatan baginya untuk menghindar, lima anak panah berhasil menembus dadanya.
            Jantungnya terkoyak, hingga berhenti berdetak. Napasnya tersengal-sengal menahan rasa perih yang tak karuan. Tubuhnya mulai mengejang, sampai ia terjatuh di atas tanah. Wajahnya meringis-ringis menahan sakit. Tangannya berkali-kali berusaha menyangga tubuhnya untuk kembali berdiri, namun selalu gagal. Ia berusaha keras mencabuti puluhan anak panah yang menancap memenuhi tubuhnya. Setiap satu anak panah tercabut, darah mengalir deras dari lubang yang ditinggalkan.
            Hening menyelimuti alun-alun, rasa takut telah mencuri kekuatan orang-orang dan menghalangi mereka untuk menghentikan kenestapaan ini. Mereka mulai mengerti siapa yang salah dan siapa yang benar, meski sudah hampir terlambat. Setiap orang masih saja menunggu yang lain untuk mulai melawan. Tapi pada akhirnya tak ada satupun yang berani memulai. Kebenaran yang mereka yakini memuai sia-sia karena tak ada keberanian yang mau menjemputnya.
            Dari arah selatan dua puluh pendekar berkuda berlari kencang, merengsek masuk kedalam kerumunan orang. Semuanya memakai pakian hitam, dan menutupi wajah mereka dengan cadar. Pasukan Bajul Ireng mencoba menghentikan laju mereka dengan membentuk benteng pertahanan. Hanya dalam sekejap mereka sudah memporak-porandakan benteng itu, dan membuat pasukan Bajul Ireng kocar-kacir. Semua orang menjadi panik dan buyar melarikan diri. Pasukan misterius itu tiba-tiba menghilang ditengah-tengah kegaduhan. Empu Tirto dan Aryayuda juga ikut lenyap entah kemana.


10
Wewangian Hati



Pagi merebahkan harapannya di atas tanah Trowulan. Menjemput rangkaian mimpi indah yang tertimbun dalam sampah kehidupan. Membungkam suara jeritan tangis, membuyarkan ratapan kenistaan. Angin kehidupanlah yang menerbangkan debu-debu kepedihan hingga sampai ke pangkuan sang penguasa yang bijak. Dengan lembut, ia membelai hati yang menderita sambil mendongengkan cerita tentang ibu itik yang kehilangan anaknya.
            Langkah kaki seekor kuda putih terdengar lirih, membawa Sang Ibu Suri Tribuana Tunggadewi ke hadapan Rawarontek. Beberapa prajurit Bhayangkari berjalan pelan mengawal ketat Sang Ibu Suri dari belakang. Empu Nala dan dua pejabat terkemuka Majapahit  menyambut kedatangan orang paling berpengaruh di Majapahit itu dengan sembah sebagai bukti ketaatan mereka. Mereka semua berkumpul mengelilingi Rawarontek, memperhatikan kondisinya yang sudah tak sadarkan diri setelah semalaman menerima siksaan dari ular dan kalajengking.
            Salah seorang prajurit melepaskan rantai besi yang melilit tubuh Rawarontek. Pendekar muda itu dibopong ke hadapan Ibu Suri Tribuana Tunggadewi. Seorang tabib istana segera melangkah maju untuk mengobati Rawarontek. Tak lama berselang, pemuda Wengkerkidul itu sudah mampu membuka kedua kelopak matanya, dan menyaksikan banyak petinggi Majapahit berdiri di sekitarnya. Maka bersegeralah ia menghanturkan sembah kepada Ibu Suri Tribuana Tunggadewi yang selalu menampakkan senyum anggunnya kepada setiap orang. 
            “Berdirilah! Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah tabib istana telah berhasil memulihkan kesehatanmu?” Tanya Sang Ratu dengan penuh kewibawaan.
            Wajah pucatnya menunduk, keningnya sedikit mengerut berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. “Kondisi hamba sangatlah baik yang mulia, terimakasih atas kebaikan yang telah Ibu Suri limpahkan kepada hamba.”
            “Kau telah melakukan perjalanan jauh dari Wengkerkidul menuju Trowulan. Menyampaikan berita tentang kesalahan pemimpinmu, dan dengan gigih memperjuangkan nasib saudaramu yang tertindas. Apa yang sebenarnya ingin kau dapatkan dari ini semua?” Ucap wanita tua yang masih terlihat cantik mengawali pembicaraan yang lebih serius.
            Rawarontek tersenyum. “Yang Mulia Ratu,” ujarnya dengan sopan, “Jika seseorang tidak menemukan sesuatu untuk diperjuangkan sampai akhir hayatnya, berarti kehidupannya hanyalah dalam kesia-siaan belaka. Hamba hanya menginginkan kebahagiaan, karena kebahagian merupakan arti dan tujuan hidup hamba. Ia adalah keseluruhan arah dan cita-cita akhir dari perjuangan manusia. Dan kebahagian hamba telah tenggelam kedalam lautan penderitaan rakyat Wengkerkidul.”
            Untaian kata yang diucapkan Rawarontek menghadirkan kesejukan yang menghembus pada hati Ibu Suri Tribuana Tunggadewi. “Kau telah mengilhamkan kebaikan di tanah Trowulon. Ketahuilah anak muda, melalui utusannya Bhre Wengker Wijaya Rajasa telah menyampaikan kekacuaan yang terjadi di Wengkerkidul. Ia mengetahui penyelewangan yang dilakukan wiyasa Galuh Buana dari prajurit yang dikirimkan untuk memerangi dusun Kamulan. Aku telah menunggu keberanian rakyat Wengkerkidul untuk membenarkan berita ini, lalu kau datang dan berhasil meyakinkanku.”
            Ibu Suri mendekati Rawarontek, dia menyerahkan kembali pedang Cakra Buana yang sempat Rawarontek berikan kepada Empu Nala. “Kau akan segera mendapatkan kebahagian itu kembali. Sekarang kembalilah ke Wengkerkidul, karena tugasmu telah selesai. Sampaikan salamku kepada Empu Tirto, yang selalu menularkan kebaikannya pada setiap orang.”
            “Terimakasih yang mulia Ibu Suri. Kemurahan hati yang Mulia Ibu suri adalah kebahagian pertama yang akan mengawali kebahagian-kebahagiaan yang lain.” Ujar Rawarontek, sembari pamit undur diri.
            Dengan senyuman ramah, Ibu Suri memperkenankan Rawarontek untuk meninggalkan Majapahit. “Sampaikan kepada saudara-saudaramu, kepribadian adalah sesuatu yang lebih berarti bagi peradaban manusia dari pada sebuah kebijaksanaan yang selalu mereka nantikan.”
            Manusia tidak bisa menemukan samudera baru selama ia tidak punya keberanian untuk memalingkan matanya dari pantai. Setiap orang harus berani bertindak dengan sebuah keyakinan yang utuh. Karena nasib baik tak akan pernah datang dengan sendirinya, ia selalu menunggu untuk kita jemput.
v   
            Rawarontek menunggang kudanya mengelilingi Wengkerkidul. Mata besarnya memandangi orang-orang ditepian jalan yang ramai memperbincangkan sesuatu. Terbesitlah nama Empu Tirto dari pembicaraan itu, Rawarontek pun turun dari kudanya dan ikut bergabung dalam perbincangan tersebut. Dari situlah ia mengetahui telah terjadi sesuatu dengan Empu Tirto dan Aryayuda.
            Setelah memahami situasinya, ia melanjutkan perjalanannya. Pikirannya mulai melayang kesana-kemari, mencoba meraba semua kemungkinan yang terjadi dengan guru dan ayahandanya. Ia tidak pernah mendengar kata pendekar hitam sebelumnya, jalan satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah terus berjalan untuk menemukan mereka. Sampai pada suatu persimpangan jalan ia melihat Anggreng dan beberapa anak buahnya datang menghampirinya.
            “Hai saudaraku, Empu Tirto dan Aryayuda sedang bersama kami.” Ujar pemimpin perampok Perdikan Kampak kepada sahabat karibnya.
            Mendengar ucapan Anggreng hati Rawarontek merasa lega, keresahan itu hilang seketika.“Bagaimana keadaan mereka sekarang?”
            “Aryayuda berhasil kami selamatkan dalam keadaan baik-baik saja, sementara Empu Tirto mengalami luka dalam yang parah. Tapi kau tak perlu khawatir, Rahayu Pitaloka telah berhasil menyembuhkannya. Saat ini ia sedang memulihkan tenaganya. Untunglah Pitaloka segera datang kepada kami, andai saja ia datang tidak tepat waktu niscaya Empu Tirto tak bisa kami selamatkan.”
            “Ada dimana mereka sekarang?” Tanya Rawarontek lagi.
            “Sekarang mereka kami sembunyikan di Grojogan Sewu, mereka aman di sana.” Jawab Anggreng.
            “Antarkan aku ke Grojogan Sewu, aku ingin sekali mengetahui keadaan mereka.” Pinta Rawarontek.
            Rawarontek dan Aggreng bergegas menuju dusun Panggul, bersama beberapa anak buah Anggreng yang mengiringinnya. Kuda-kuda itu berlari kencang, saling berpacu menembus hutan belantara, dan menaiki pegunungan yang terjal. Gunung Linggo nampak berdiri tenang, seolah mengawasi delapan kuda yang melaju di bawahnya. Burung merak berkicau lantang, menyambut kedatangan mereka dihutan abadi.
            Dari puncak pegunungan mulai terliihat samudera biru membentang luas, seolah telah menyatu dengan langit. Suara gemuruh ombak menggelagar, mengagungkan keelokan semenanjung pantai selatan. Gulungan ombak saling berkejaran, beradu cepat menuju pantai Pelang yang menawan. Pasir yang putih dan sangat lembut sanggup memanjakan setiap kaki yang menginjaknya. Sungai besar berkelok-kelok menuju sebuah muara, menggoreskan lukisan terindah di tanah Panggul.
            Sampailah mereka pada air terjun Gerojogan sewu. Air yang jernih tumpah membasahi tubuh kerempeng Empu Tirto yang sedang duduk bersila di bawahnya. Di balik keindahan Gerojogan Sewu, mata Rawarontek menangkap keindahan lain yang jauh lebih mempesona, dan keindahan itu bernama Rahayu Pitaloka. Gadis cantik itu datang menghampirinya. Tangan lembutnya menyapa tangan dingin Rawarontek, mengenggamnya, lalu membimbingnya menuju Sang Guru yang bersemedi.
            “Bangunlah Ki, muridmu sudah datang.” Suara lirih Pitaloka membangunkan Empu Tirto dari semedi panjangnya.
            Melihat kedatangan Rawarontek, lelaki tua itu berdiri lalu menyambut dengan sebuah tanya. “Apa yang kau bawa dari Trowulan?
            Rawarontek terdiam sesaat dan dalam suara lemah, bercampur harga diri dan rasa bangga ia berucap. “Kebahagiaan Ki.” Lalu ia tersenyum dan kembali berkata. “Kebahagiaanku, kebahagiaanmu, dan kebahagiaan seluruh rakyat Wengkerkidul.”
            “Hanya itu?” Tanya Empu Tirto lagi.
            “Iya, hanya itu.” Jawab Rawarontek.
            Jiwa Empu Tirto menjadi tentram tatkala mendengar jawaban Rawarontek.  Rahayu Pitaloka tidak mengerti dengan ucapan Rawarontek dan Empu Tirto, karena mereka berdua sedang berbicara tentang kemenangan hati. Ia roman surgawi yang hanya bisa didengar dan dirasa oleh kalbu.
            “Gadis ini sungguh sangat mulia, lihatlah ia begitu menawan, menyejukkan dan menentramkan. Dia yang menolongku dan Aryayuda dari hukuman Galuh Buana, lalu merawatku, dan membantu menyembuhkan lukaku.” Empu Tirto memperkenalkan sesosok wanita yang ia banggakan kepada cucunya.
            “Aku juga sudah melihatnya Ki.” Jawab Rawarontek sambil tersenyum manis.
            “Kau sungguh beruntung memiliki teman seperti dia.” Empu Tirto melanjutkan pujiannya.
            Mendapat pujian yang berlebih dari Empu Tirto, wanita cantik itu segera merespon. “Justru aku yang beruntung bisa mengenal pemuda sebaik Rawarontek Ki.”
            Mendengar penuturan Pitaloka, wajah Rawarontek langsung memerah, darahnya berhenti mengalir, syaraf-syaraf kehidupannya rusak untuk sementara waktu. Pitaloka juga kebawa salah tingkah setelah melihat perubahan dari sikap Rawarontek. Pipinyi memerah, semerah buah jambu yang di petik dari taman surga. Rawarontek dan Pitaloka tidak mampu lagi menyembunyikan perasaan yang telah mengharumkan kehidupan meraka berdua.
            “Hai Pitaloka, sudikah kau menceritakan kepadaku bagaimana caramu menyelamatkan Ayahanda dan Guruku.” Rawarontek berupaya mencairkan kebekuan itu, dengan mengalihkan pembicaraan.
            “Aku mengetahui persengkokolan jahat yang dilakukan wiyasa Galuh Buana dengan istrinya Nawang Sari. Oleh karena itu aku segera datang ke Perdikan Kampak untuk meminta bantuan Anggreng.” Jelas Pitaloka.
            “Bagaimana kau bisa mengetahui persengkokolan mereka?” Tanya Rawarontek dengan sedikit selidik.
            “Aku tabib pribadinya.” Jawabnya singkat.
            “Lalu bagaimana pula caranya kau meyakinkan Anggreng untuk bersedia membantumu?” Tanya pancasona lagi.
            “Hembb.....” Belum sempat Pitaloka menjawab, Anggreng langsung menyerobot. “Bagaimana mungkin aku berani menolak perintahnya, kalau dia mengaku sebagai istrimu. Aku percaya saja dengan ucapannya, karena kalian memang terlihat saling mencintai.”
            Mendengar ucapan Anggreng, pemuda tampan itu langsung kehabisan kata-kata, ia merasa malu tapi juga sangat senang. Dia masih tidak bisa mempercayai Pitaloka mau mengatakan Rawarontek sebagai suaminya. Sesuatu yang sangat berharga untuk didengarkan, ingin sekali ia mendengar kata itu sekali lagi terucap dari bibir tipis Pitaloka.
            “Maafkan aku telah berani mengatakan seperti itu. Aku melakukan itu semua demi menyelamatkan Empu Tirto dan Aryayuda.” Ucap Pitaloka mencoba menjelaskan situasi yang terjadi kala itu.
            Pembelaan Pitaloka ternyata telah menjatuhkan angan-angan Rawarontek dari langit tertinggi.
            “Kau tidak perlu merasa bersalah seperti itu, aku bisa memahaminya.” Ucapnya dengan nada sedikit kecewa.
v   
            Terik matahari menghangatkan pasir pantai, membakar punggung para nelayan hingga nampak hitam legam. Angin laut bertiup kencang, menghembuskan kesejukan pada jiwa yang kepanasan. Begitu pula dengan Rahayu Pitaloka, ia layaknya angin laut yang mampu memberi kesejukan pada ruang kalbu Rawarontek. Membawa jiwanya berlayar melewati samudera cinta, kemudian menyandarkannya pada pantai harapan.
            Rawarontek berjalan santai menyusuri setiap jengkal keindahan pantai Pelang. Mata besarnya melihat Pitaloka duduk bersandar pada sebuah batu besar. Rambut hitamnya terurai kedepan menutupi sebagian wajah cantiknya. Di sekelilingnya berkumpul beberapa anak nelayan, mereka duduk bersila menghadap sang peri pujaan hati. Semuanya terlihat akrab, asik bercanda, saling tertawa riang, dan bercerita tentang lucunya anak kancil yang mengibuli buaya. Sesekali Pitaloka mengelus rambut anak perempuan yang duduk bersandar di bahunya.
            Tiba-tiba Pitaloka berdiri, diikuti seluruh anak disekelilingnya. Suaranya yang merdu mengalir liar dari mulutnya  yang suci. Di bibirnya yang tipis terbayang senyum samar, menentramkan hati Rawarontek. Wanita itu menyanyikan simponi alam, menceritakan kedamaian dalam kehidupan yang fana ini. Tubuh indahnya menari, memutar lincah, melenggak-lenggok kesana-kemari, hingga menenggelamkan Rawarontek dalam fantasi duniawi. Anak-anak nelayan itu menirukan gerakannya, sambil bernyanyi mereka terus menari di atas pasir putih yang menenangkan. Siang itu keindahan Pitaloka adalah keseluruhan dari duniawi Rawarontek. Dewi cinta terbayang dari tubuh Pitaloka, ia seolah menyeret tubuh pemuda itu untuk mendekatinya. Tanpa ia sadari, langkah kakinya telah mengantarkannya berdiri bersanding dengan Pitaloka. Rawarontek tersenyum manis, manis sekali hingga membuat gadis di depannya menjadi bingung.
            “Rawarontek, kamu ternyata ada di sini?” Sapa Pitaloka.
            Pemuda itu sama sekali tidak mendengar ucapan gadis cantik di depannya, ia masih tersenyum dan sedikit tertawa tidak jelas. Melihat sikap aneh Rawarontek, gadis itu merasa tergelitik, ia pun tersenyum dan tertawa kecil.
            “Kamu ingin bernyanyi dan menari bersama kita?” Tanya Pitaloka sekali lagi, sembari tangan lembutnya menggenggam erat tangan pemuda tampan yang masih saja melamun.
            Genggaman tangan si pujaan hati semakin menenggelamkan pemuda itu dalam kegilaannya. Senyumnya semakin lebar, dalam sekejap bibir itu sudah mengecup kening terindah Pitaloka. Gadis itu hanya pasrah, ia tersenyum tipis, bunga-bunga surga berjatuhan menghiasi taman hatinya. Kini mereka berdua terbang melayang menyapa langit kebahagiaan tertinggi, hanya berdua.
            Anak-anak kecil yang menyaksikan kisah kasih itu merasa malu, mereka berlarian meninggalkan sepasang merpati surga. Mereka tertawa dan berteriak riang, memecah suara gelombang ombak yang menyapu batuan karang. Hingga terbangunlah pemuda dan pemudi itu dari mimpi indahnya.
            Mereka terdiam untuk beberapa saat. Saling menatap satu sama lain, berusaha menyampaikan seluruh isi hati melalui bahasa batin. Rawarontek mengulurkan tangannya, menyapa mesra jemari-jemari Pitaloka. Pitaloka tak kuasa lagi menatap mata sayu itu, ia tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, berusaha kuat menyembunyikan sesuatu dari pemuda di hadapannya. Tubuhnya terguncang hebat, menangis terisak-isak. Peluhnya membasahi jentik jemari yang masih menutupi wajah cantiknya. Cinta yang benar-benar agung telah mematahkan tiang-tiang duniawinya, meremukkan jiwanya, semuanya hancur karena cinta.
            “Apa yang terjadi denganmu?” Bisik Rawarontek sembari memeluk tubuh pujaan hatinya, mecoba menenangkan jiwa Pitaloka.
            “Aku tidak mugkin bisa bersamamu.” Jawab Pitaloka dengan suara yang terpatah-patah.
            “Katakanlah sekali lagi.” Ucapnya lirih.
            “Aku tidak bisa, aku tidak mungkin mencitaimu.” Gadis itu memeluk tubuh Rawarontek semakin erat. Ia menangis sejadi-jadinya, air matanya tumpah bersama kesedihan yang ia rasakan. Ia tidak tahan dengan cinta yang semakin menyiksa dirinya. Semakin besar rasa cintanya, semakin besar ketakutannya untuk kehilangan Rawarontek.
            Rawarontek melepaskan pelukannya. Ia pandangi wajah cantik Pitaloka, bibirnya kembali tersenyum. Jemarinya menyentuh pipi gadis itu, mengusap air matanya dengan penuh kelembutan. “Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, Pitaloka, sejak pertama kali kau datang padaku, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku tak bisa berhenti memikirkanmu, mengingatmu, menghayalmu, semuanya hanya dirimu Pitaloka. Cukup, kau tidak perlu memaksakan hatimu. Aku sudah sangat bahagia, karena cinta telah menyandarkan hatiku pada tempat terindah di kehidupan yang fana ini. Kau adalah wewangian hatiku, wewangian hatiku.”
            Rawarontek pergi berjalan meninggalkan Pitaloka seorang diri. Membiarkan dewi cinta menjerit, memanggil namanya untuk kembali. Cinta bukan hanya sekedar kata-kata tetapi dari segumpal keinginan diberi pada hati yang memerlukan. Cinta yang sesungguhnya selalu menghadirkan kebahagian, meski tidak selalu bersatu. Ia adalah sesuatu yang murni, luhur dan tak akan pernah bisa terhapuskan oleh sebuah keadaan. Maka dibiarkanlah pemuda itu pergi, meninggalkan dirinya yang masih menyimpan rahasia hidupnya.
            “Kau juga wewangian hidupku, Rawarontek.” Kata itu keluar sangat pelan, terbang disapu angin, dibawa pergi untuk menghiasi Pelang yang menawan.



11
Se Cangkir Peradaban



Hari yang satu telah menenggelamkan hari yang lain. Ia menelan semua cerita dalam perut peradaban. Anak adam akan terus melukiskan sejarah, untuk dirinya, kekasihnya, anaknya, sahabat, dan kaumnya. Memberi warna tersendiri dalam rangkaian cerita kehidupan, entah itu indah atau menjijikkan. Tapi yang jelas, semua itu akan dipertangung jawabkan pada Sang Pencipta kehidupan.
            Dua utusan Majapahit datang menghadap wiyasa Galuh Buana dengan membawa sepucuk surat. Surat itu mengatakan bahwa Majapahit telah mengetahui semua penyelewengan yang diperbuat pemimpin Wengkerkidul wiyasa Galuh Buana, dan memerintahkan untuk memperbaiki semua kebijakannya agar sesuai dengan kebijkan Majapahit.
            Sesegera mungkin wiyasa Galuh Buana membuat surat balasan yang berisi permintamaafan atas  segala kesalahan dan tindakan bodohnya. Dan ia juga berjanji akan segera melaksanakan perintah yang telah dititahkan Majapahit. Kemudian surat itu diberikan kepada dua utusan Majapahit untuk disampaikan ke Sang Prabu Hayam Wuruk.
            Tak berapa lama, dua utusan itu kembali ke Trowulan. Melalui utusannya wiyasa Galuh Buana memanggil seluruh petinggi Wengker untuk menghadap kepadanya. Alih-alih menyampaikan isi surat yang diberikan Majapahit, pemimpin Wengkerkidul itu malah memaki-maki bawahannya. Ia mengira ada salah satu diantara mereka yang berani melaporkan penyelewengannya kepada Majapahit. Beberapa petinggi yang ia anggap kurang loyal ia panggil diruang pribadinya.
            “Siapa diantara kalian yang sudah berani bermain api di belakangku?” Gertak wiyasa Galuh Buana kepada beberapa petinggi Wengkerkidul yang ia curigai telah menghianatinya.
            “Ampun Yang Mulia, kami tidak mungkin berani melakukan hal tersebut. Kami selalu setia terhadap semua perintah yang Mulia titahkan.” Jawab seseorang paling tua diantara mereka.
            “Buktikanlah kesetian kalian itu. Aku ingin kalian mencari tahu siapa orang yang telah berani melakukan tindakan bodoh ini. Bawa dia kehadapanku, hidup atau mati.” Wiyasa Galuh Buana sangatlah menginginkan orang yang ia anggap telah menikamnya dari belakang. “Dalam waktu dua hari kalian belum menemukannya, maka kalianlah yang aku anggap sebagai penghianat itu.” Ancamnya.
            Semua petinggi Wengkerkidul menyebar keseluruh penjuru, bertanya penuh selidik kepada siapa saja yang mereka kira mengetahui sosok yang diinginkan wiyasa Galuh Buana. Hingga mereka dapatkan nama Rawarontek, seorang pendekar muda yang beberapa hari lalu pergi ke Trowulan. Hanya dalam sekejap saja, nama Rawarontek sudah sampai ke telinga wiyasa Galuh Buana. Betapa murkanya ia mendapati berita itu, dalam keadaan mabuk berat ia pecahkan semua kendi-kendi berisi tuak yang berserakan di lantai.
            “Bocah keparat itu lagi?” Betapa ia masih belum bisa mempercayai Rawarontek telah melakukan tindakan sejauh itu.
            “Dimana dia sekarang?” Tanya lelaki berkumis tebal itu kepada semua orang yang ada di sekitarnya.
            “Rawarontek bersama Empu Tirto, Aryayuda, Anggreng dan anak buahnya sedang berkumpul di Grojogan sewu.” Jawab salah seorang diantara mereka.
            “Apa katamu? Kau bilang Rawarontek bersama Aryayuda dan si tua bangka sialan itu?” Tanya wiyasa Galuh Buana keheranan.
            “Benar Yang Mulia, Ternyata pasukan hitam yang membuat keonaran di alun-alun beberapa hari yang lalu adalah Angreng dan anak buahnya.”
            “Biadab!”
            “Keparat!”
            “Perampok kampungan itu selalu saja mencari masalah denganku.” Cacimaki, sumpah serapah, begitu saja keluar mengiringi emosi yang meluap-luap wiyasa Galuh Buana.
             Sambil berjalan sempoyongan, matanya memandang tajam wajah Bajul Ireng yang berdiri di samping tiang penyangga.
            “Bajul Ireng!”
            “Hamba Yang Mulia.” Jawab Bajul Ireng.
            “Kumpulkan semua pasukanmu, tangkap bocah tengik itu, bawa kehadapanku. Aku ingin sekali memakan jantungnya mentah-mentah.” Perintahnya dengan suara yang sangat geram.
            “Baiklah Yang Mulia.”
            Selesai menghaturkan sembah, Bajul Ireng bersama semua petinggi Wengkerkidul keluar ruangan. Lantas Bajul Ireng segera menyiapkan pasukannya, dan semua peralatan perang. Tak kurang lima ratus pasukan ia pimpin untuk menangkap Rawarontek.
v   
            Damarwuluh yang mengetahui akan hal itu segera melesat menuju Panggul. Ia memacu kudanya seperti orang yang kesetanan. Melaju bagai angin, melintasi hutan, bukit dan pegunungan, beradu cepat dengan sang waktu. Setelah sampai di Grojogan sewu ia bergegas menemui Empu Tirto.
            “Ki, bahaya Ki, Bahaya Ki.” Kata-kata ketakutan keluar begitu saja disela-sela napasnya yang tersengal.
            “Tenangkan dulu dirimu, lalu lekaslah katakan bahaya apa yang kau maksudkan?” Empu Tirto mencoba menenangkan Damarwuluh.
            Sejenak Damarwuluh mengatur napasnya, menenangkan dirinya, lalu mulai berkata. “Wiyasa Galuh Buana telah mengirimkan lima ratus pasukannya menuju kemari, untuk menangkap kalian terutama Rawarontek.”
            “Kenapa ia menginginkan Rawarontek?” Tanya Aryayuda.
            “Karena ia mengetahui Rawarontek telah pergi ke Trowulan.”
            “Aku sudah memperhitungkan semua ini, kita sudah berusaha melakukan cara terbaik untuk mengingatkan wiyasa Galuh Buana. Tapi ia justru membalas kebaikan kita dengan ketamakan dan keangkuhannya. Mungkin sudah saatnya ia harus diingatkan dengan cara kekerasan.” Aryayuda menyampaikan kegeramannya terhadap sikap wiyasa Galuh Buana yang tidak mau mendengarkan nasihat dari rakyatnya, dan mengabaikan perintah Majapahit.
            “Pemimpin keparat seperti dia harus segera disingkirkan. Biarlah aku kumpulkan seluruh anak buahku untuk memberi pelajaran kepadanya. Dia harus mengerti bahwa rakyat juga memiliki kekuatan untuk menghukum pemimpin yang lalai seperti dia.” Ujar Anggreng menyetujui ucapan aryayuda.
            Rawarontek pun tak ketinggalan memberikan usulan. “Jika cara itu memang yang terbaik, maka aku akan meminta bantuan Ki Joyogeni untuk menyatukan rakyat Karangan.”
            “Jangan lupakan pemuda Kamulan.” Ujar Aryayuda.
            “Aku juga akan berusaha untuk mengumpulkan pemuda Kerandon sebanyak mungkin untuk membantu kalian.” Damarwuluh menyampaikan usulnya.
            Setelah semua orang selesai menyampaikan pendapatnya masing-masing, mereka mengalihkan pandangannya ke arah Empu Tirto yang sedari tadi hanya diam.
            “Bagaimana pendapatmu Ki?” Tanya Rawarontek.
            “Aku sangat terilhalmi oleh perkataan Anggreng. Pada dasarnya rakyatlah yang memiliki kekuasaan penuh atas pemimpinnya, bukan sebaliknya. Satukanlah seluruh rakyat Wengkerkidul, dan kalian akan mendapatkan kekuasaan itu.”
            “Sebenarnya kita tidak usah membuang banyak waktu dan tenaga untuk menyatukan seluruh rakyat Wengkerkidul. Cukuplah kita berlima saja ditambah lima puluh anak buahku, aku yakin kita dapat memporak-porandakan prajurit Bajul Ireng. Aku hanya tidak ingin melibatkan rakyat dalam pertempuran yang akan memakan banyak korban ini.” Anggreng menawarkan ide kesatrianya.
            “Hai singa-singa Perdikan Kampak, apakah kalian masih memiliki nyali untuk mengangkat golok kalian demi rakyat Wengkerkidul yang tertindas!” Seru Anggreng kepada anak buahnya.
            “Jika kesejahtaraan rakyat adalah tujuannya, maka tuanku bisa mempersembahkan nyawa kami untuk pertempuran ini.” Jawab seluruh perampok Perdikan Kampak.
            Jawaban anak buah Anggreng membuat hati siapapun yang mendengar pastilah tersentuh. Pakaian yang disandang seseorang memang tidak bisa dijadikan satu-satunya dasar untuk menilai seseorang. Meski terkenal sebagai perampok, tetapi Anggreng dan anak buahnya selalu membagikan seluruh hasil rampokannya kepada rakyat Wengkerkidul yang kelaparan. Bahkan mereka tak pernah merasakan hasil rampokannya, walau sebutir beras saja. Mereka sangat membenci saudagar kaya dan kaum hartawan yang melupakan penderitaan sahabat dan saudaranya disetiap musim paceklik pangan tiba.
            “Aku sangat menghargai sikap kesatria kalian. Tapi kali ini kita tidak akan menaklukkan kesewenang-wenanangan pemimpin dengan pedang dan darah, melainkan dengan persaudaraan dan kasih sayang seluruh rakyat Wengkerkidul. Karena cinta dan kasih sayang adalah kekuatan terbesar yang dianugerahkan Tuhan untuk umat manusia, percayalah.” Sekali lagi Empu Tirto memberikan pelajaran yang bijak kepada orang disekitarnya.
            “Aku percaya Ki dengan semua ucapanmu, tapi aku masih belum terlalu menggerti dengan strategi yang kau usulkan itu.” Ujar Rawarontek
            Empu Tirto tersenyum mendengar penuturan cucunya itu. “Masih ingatkah kau dengan ucapan Yang Mulia Ibu Suri Tribuana Tunggadewi, bahwa kepribadian adalah sesuatu yang lebih berarti bagi peradaban manusia dari pada sebuah kebijaksanaan. Itu artinya Yang Mulia Ibu Suri menginginkan adanya perbaikan kepribadian seluruh rakyat Wengkerkidul. Karena hanya dengan kepribadian yang mulia kita bisa menciptakan sebuah kebijaksanaan yang bermanfaat.”
            “Yang perlu diperbaiki itu bukan kepribadian rakyat Wengkerkidul Ki, tapi kepribadian pemimpinnya, wiyasa Galuh Buana dan para antek-anteknya.” Serobot Rawarontek dengan nada sedikit kesal.
            “Jika kamu menginginkan sebuah perubahan, maka mulailah dari dirimu sendiri. Kita harus pandai-pandai mengoreksi kesalahan diri kita sendiri sebelum lekas menilai kesalahan orang lain. Marilah kita terangi Wengkerkidul dengan kepribadian yang mulia dari seluruh penghuninya. Karena sejatinya kepribadian yang mulia itulah yang akan selalu memberikan kedamaian di dalam lubuk hati rakyat Wengkerkidul.”
            Semua telinga mendengarkan dengan baik setiap kata yang diuacapkan Empu Tirto. Hati mereka mulai merasakan hikmah yang terkandung di dalamnya. Namun pikiran mereka masih kesulitan menemukan alasan yang logis untuk membenarkan strategi yang ditawarkan Empu Tirto. Untuk membuktikan kebenaran ucapan Empu Tirto, maka mereka semua harus mendahulukan kata hati ketimbang akal pikiran.
            “Lalu apa yang harus kami lakukan Ki?” Tanya Anggreng yang seakan sudah siap menjalankan strategi Empu Tirto.
            “Sampaikan pesan moral Ibu Suri Tribuana Tunggadewi kepada seluruh rakyat Wengkerkidul. Katakan pada mereka, bahwa seluruh rakyat Wengkerkidul akan segera mendapatkan peperangan besar dalam sejarah peradabannya. Kita akan segera berperang melawan kejahatan wiyasa Galuh Buana. Kalian ingat baik-baik, yang akan kita perangi kali ini adalah kejahatannya, bukan wiyasa Galuh Buana. Oleh karena itu, siapkanlah sebaik-baik bekal peperangan, yaitu kesabaran dan keikhlasan. Esok lusa suruh mereka berkumpul di alun-alun.”
            “Baiklah Ki, kami telah memahami perintah yang kau berikan. Sebaiknya kita segera bertindak sebelum prajurit  Bajul Ireng sampai kesini.” Ucap Aryayuda.
            Kini mulailah Empu Tirto memberikan tugas kepada kelima panglima perangnya. “Kita akan menyebar. Rawarontek datangilah dusun Karangan, bantu Ki Joyogeni untuk meyakinkan rakyatnya. Damarwuluh kau pergilah ke Kerandon. Aryayuda tugasmu adalah meminta rakyat Kamulan untuk memaafkan semua kesalahan wiyasa Galuh Buana, dan kembali ikut serta dalam peperangan akbar ini. Aku akan berusaha mengajak warga Bendungan. Dan kau Aggreng pergilah bersama Rahayu Pitaloka kesuluruh daerah kekuasaan Perdikan Kampak.”
            Mendengar nama Rahayu Pitaloka, segera terbesit bayangan seseorang dalam pikiran Damarwuluh.
            “Tadi benar kau menyebutkan nama Rahayu Pitaloka, Ki?” Tanya Damarwuluh mengungkapkan rasa penasarannya.
            “Maaf, aku sampai lupa memberi tahumu, bahwa ada seorang gadis cantik yang telah membantu menyelamatkan kami dari hukuman wiyasa Galuh Buana. Namanya Rahayu Pitaloka, dialah yang memberitahu Anggreng tentang kondisiku kala itu.” Ujar Empu Tirto sembari mengenang kembali peristiwa yang hampir merenggutnya nyawanya, juga Aryayuda.
            “Bolehkah aku bertemu dengannya?” Pinta Damarwuluh.
            Permintaan Damarwuluh itu menyadarkan mereka semua, bahwa sedari tadi Pitaloka tidak lagi bersama mereka.
            “Rawarontek cobalah kamu cari dimana Pitaloka berada!”
            Rawarontek bergegas mencari Pitaloka. Ia telusuri setiap tapak jalan, melihat penuh teliti pada hamparan pantai Pelang yang luas. Hingga ia temui ada seorang gadis duduk diatas batu, menghadap ke samudera. Didekatinya gadis itu, dan telinganya mulai mendengar suara isakan tangis. Rawarontek mengambil posisi duduk bersandingan dengannya. Sejenak ia terdiam, matanya melihat matahari yang seolah-olah mulai tenggelam kedalam samudra biru. Langit pun mulai menguning, mengusir burung-burung untuk kembali kesarangnya. Pandangannya kembali menoleh ke arah gadis disampingnya, di lihatnya pipi Pitaloka telah basah.
            “Pitaloka!” Suara yang pelan memanggil gadis yang sedang di landa kesedihan itu.
            Pitaloka menoleh ke arah Rawarontek, akan tetapi pandangannya dijatuhkan ke pasir yang berwarna putih.
            “Maukah kau berbagi kesedihanmu denganku?” Ujar Rawarontek.
Air mata gadis itu kembali berlinang, mengalir melawati pipi putihya, lalu menetes membasahi pangkuannya. Ia kelihatan ingin sekali mengatakan sesuatu, tapi tak tahu harus dimulai dari mana. Pitaloka menatap wajah Rawarontek, mata itu memerah, menyimpan terlalu banyak kepiluan hidupnya. Barulah Rawarontek mengerti seberapa besar derita yang ditanggung gadis yang dicintainya itu. Bibir merah Pitaloka mulai membuka tabir rahasia yang selama ini ia tutup rapat-rapat.
“Apa kau sangat membenci wiyasa Galuh Buana?”
“Kenapa kau bertanya seperti itu?” Bukannya menjawab pertanyaan Pitaloka, Rawarontek malah balik bertanya.
“Jawablah Rawarontek.” Pintanya.
“Jujur aku sangat membencinya, sampai sekarang aku masih belum bisa memaafkan semua kejahatan yang telah ia lakukan. Ia memaksa Damarwuluh untuk membunuh nenekku, benar-benar manusia biadab.”
“Kau memang berhak untuk membencinya.” Terasa berat sekali Pitaloka mengucapkan kalimat itu. Air matanya kembali tumpah, tubuhnya bergetar tak kuat menahan kesedihannya.
Rawarontek khawatir sekali melihat keadaan Pitaloka. ia  benar-benar tidak mengerti dengan semua kesedihan yang dialami gadis cantik itu. “Sebenarnya apa yang kau sembunyikan dariku?”
“Dia adalah ayahandaku.” Ujar gadis itu tersendat di sela-sela nafasnya yang berat.
“Maksudmu wiyasa Galuh Buana?” Tanya Rawarontek.
Pitaloka tidak mampu menjawab pertanyaan Rawarontek. Ia menangis sejadi-jadinya, seolah-olah matanya adalah bibir yang berkata dengan air mata.
Rawarontek tak tahan mengahadapi sebuah kenyataan yang baru saja ia ketahui. Begitu saja ia pergi meninggalkan Pitaloka, membawa perasaan kecewa yang teramat mendalam. Empu Tirto yang sedari tadi mengamati mereka berdua dari kejahuan segera menghentikan Rawarontek.
“Rawarontek, kau boleh saja membenci semua kejahatan yang telah diperbuat wiyasa Galuh Buana. Tapi tidak ada alasan bagimu untuk membenci Pitaloka. Dia anak yang baik, ingat itu!”
Damarwuluh berlari mengejar Rawarontek. “Kalau kau masih merasa sakit hati dengan kejadian itu, siksalah aku sesuka hatimu. Aku yang telah membunuh Nyi Damas, bukan Pitaloka.” Ujar Damarwuluh sembari menghadang langkah Rawarontek.
“Dia berbohong kepadaku, katanya dia bekerja sebagai tabib pribadi wiyasa Galuh Buana, tapi apa kenyataannya? Apa?” Cetus Rawarontek.
“Dia sama sekali tidak membohongimu, memang benar adanya ia bekerja sebagai tabib pribadi wiyasa Galuh Buana. Bahkan dia tidak hanya mengobati wiyasa Galuh Buana, tapi semua rakyat Wengkerkidul yang menderita penyakit, dengan sukarela. Tak hanya itu anak muda, ketahuilah bahwa gadis mulia ini selalu mencuri beras simpanan ayahandanya untuk dibagi-bagikan kepada,”
“Cukup paman, kau tidak perlu membelaku seperti itu. Rawarontek memang berhak untuk membenciku.” Pitaloka menghentikan pembelaan yang dilakukan Damarwuluh untuk dirinya.
“Lalu kenapa kau tidak mengatakannya dari dulu?” Tanya Rawarontek kepada Pitaloka.
Gadis itu hanya membisu, tak ada sepatah kata pun yang mampu ia ucapkan. Bahkan untuk memandang wajah Rawarontek saja ia tak sanggup.
“Karena dia sangat mencintaimu. Dia takut sekali jika kau membencinya.” Sahut Damarwuluh.
Rawarontek tersentak mendengar ucapan Damarwuluh. Kata-kata itu seperti gelombang ombak besar yang tiba-tiba saja datang menggulung jiwanya. Perasaannya campur aduk, hingga ia tak tahu harus merasa kecewa, sedih atau justru bahagia karena ternyata pitaloka juga mencitai dirinya. Ia berusaha menenangkan dirinya, meredam kuat-kuat emosi yang bergejolak dalam hatinya, dan mencoba untuk mulai bisa berfikir dengan jernih.
Pemuda itu menengadahkan wajahnya ke langit, seakan sedang mencari dimana Tuhan sedang bersemayam. Ingin sekali ia bertemu denganNya, dan mencurahkan semua kekalutan jiwanya. Tiba-tiba saja Aryayuda merangkul anaknya, ia pun ikut menengadahkan wajahnya kelangit.
“Kau tidak akan pernah bisa melihatnya, karena dia sedang bersamayam di sini.” Ujar Aryayuda sembari menunjuk dada Rawarontek. “Dan di sini.” Lalu ia menunjuk dadanya sendiri.
Setelah mendengar nasihat ayahandanya, Rawarontek meresakan ketenangan menjalar keseluh tubuhnya. Melilit kuat semua kegundahan jiwanya, hingga membuatnya hancur tak tersisa. Ia tersenyum kearah Aryayuda, senyumnya itu mengatakan tentang kelapangan hati Rawarontek.
“Terimakasih Romo.” Ucapnya kemudian.
Rawarontek mengalihkan pandangannya ke arah Pitaloka. Gadis tu masih menundukkan pandangannya. Kepalanya tak mampu berdiri tegak, karena terlalu berat rasa malu yang harus ia sangga. Pemuda itu berjalan mendekati Pitaloka, menyusuri pantai Pelang di bawah senja. Dan tatkala mereka sudah saling bertatap muka, Rawarontek melihat sekali lagi keindahan sang pujaan hati, tapi dengan makna yang berbeda.
Wajah Pitaloka terlihat begitu cantik, karena keramahan dan kesantunan yang selalu ia tebarkan. Bibirnya tipisnya yang mempesona selalu menuturkan tentang kebaikan dan doa-doa. Tatapan matanya begitu memikat karena ia mau melihat kesulitan yang dialami sahabat dan kerabatnya. sedang tangan putihnya terasa sangatlah lembut karena ia adalah gadis yang ringan tangan. Sore itu Rawarontek seolah telah menatap peri yang turun dari surga, cantik dan begitu menentramkan.
“Maaf aku telah berbuat salah kepadamu.”
Pitaloka dapat melihat penyesalan pada mata pemuda yang telah lama memikat hatinya.
“Kau tidak pernah melakukan kesalahan apapun, aku yang seharusnya meminta maaf padamu. Dosa-dosa ayahku menumpuk terlalu banyak hingga sulit untuk kau hapuskan. Aku mohon padamu Rawarontek, maafkan dia.” Pinta Pitaloka, diiringi air matanya yang berlinang.
“Kau jangan menangis lagi, aku sudah memaafkannya. Sebaiknya kita jangan terlalu larut dengan masa lalu, karena masa ada masa depan yang sudah menanti kita.” Ujar Rawarontek menenangkan hati Pitaloka.
Pitaloka memeluk erat tubuh pemuda yang baik hatinya itu. Ia merasa sangat bahagia setelah semua kesalahan ayahandanya termaafkan oleh Rawarontek. Hatinya telah terbebaskan dari perasaan bersalah, yang selama ini membuatnya merasa takut untuk mencintai Rawarontek. Kesedihannya kini sudah hilang, seperti senja yang telah ditelan malam.
v   
Mereka semua berkumpul pada bibir pantai. Mengitari api unggun yang mampu menghangatkan jiwa yang kedinginan. Empu Tirto memimpin semua sahabatnya, untuk kembali menjalankan tugasnya.
“Kita akan meninggalkan Panggul dengan kedamaian. Sebisa mungkin kalian hindari bertemu dengan pasukan Bajul Ireng. Tempuhlah jalan yang tak biasa di lalui orang. Laksanakan semua tugas yang telah kalian pilih, dan semoga perjuangan kita ini bisa memberikan kebahagian bagi rakyat Wengkeridul.”
Lantas mereka segera membubarkan diri, dan pergi meninggalkan Pelang menuju sebuah medan perjuangan.



12
Terang Ing Penggalih



Ketika manusia melihat penguasaan jiwa sebagai cara terbaik untuk mengatasi segala permasalahan hidup. Ketika manusia meninggalkan pedang dalam sebuah peperangan akbar. Ketika manusia berhasil menenggelamkan egonya demi sebuah kebersamaan. Ketika keberanian telah berbicara banyak tentang kebenaran. Ketika bunga cinta tumbuh dan mekar pada jiwa yang suci. Saat itulah tangan-tangan peradaban melukiskan kisah terindah bagi sebagian kaum yang mau melihat.
            Dikala mentari pagi baru menampakkan sinar emasnya, wiyasa Galuh Buana dikagetkan oleh serangan yang teramat dahsyat. Seluruh rakyat Wengkerkidul tumpah ruah memenuhi alun-alun, lelaki ataupun wanita, tua ataupun muda, bapak ataupun anak, bahkan bayi yang baru lahir sekalipun mereka gendong untuk berkumpul bersama. Berjejer rapi, dengan bergandengan tangan erat-erat seperti sebuah rantai besi yang sangat kuat. Inilah kekuatan rakyat yang sesungguhnya, bukan datang dari sebuah pedang melainkan datang dari persatuan dan rasa kebersamaan.
            “Hai penguasa Wengkerkidur, keluarlah! Temuilah rakyatmu yang ingin berbicara dengan pemimpinnya.” Teriak Ki Joyogeni lantang.
            Bajul Ireng keluar dengan menunggangi kuda hitam kesayangannya, memimpin ratusan prajurit terbaiknya menghadapi rakyat Wengkerkidul. Sedangkan wiyasa Galuh Buana bersama istrinya dan beberapa petinggi Wengkerkidul berada dibarisan paling belakang dengan mendapat pengawalan yang ketat. Pasukan Bajul Ireng masih terus berjalan berderap, membentang dari utara keselatan  membentuk sebuah pagar betis yang kokoh. Tangan kanan mereka memegang pedang, sedang tangan kiri mengangkat tameng. Pasukan pemanah selalu mengentai dengan penuh kewaspadaan dari barisan belakang.
            “Siapa diantara kalian yang hendak menjadi pembangkang? Siapa diantara kalian yang hendak berkhianat? Lekaslah maju dan tunjukkan keberanianmu.” Teriak Bajul Ireng sembari mangacung-acungkan pedangnya ke arah rakyat Wengkerkidul.
            Rawarontek maju kedepan menghadapi Bajul Ireng dengan memegang pedang Cakra Buana ditangan kanannya. Bajul Ireng segera turun dari punggung kudanya, lantas ia pasang kuda-kuda seolah telah siap berduel dengan Rawarontek. Tak ada reaksi yang ditunjukkan Rawarontek, ia justru melemparkan pedangnya ketanah, mengisyaratkan pesan damai.
            “Siapa yang telah berkhianat? Rakyat atau justru wiyasa Galuh Buana?” Tanya Rawarontek tegas.
            “Apa maksud perkataanmu? Kau jangan membuat kami bingung, dengan permainan kata-katamu itu anak muda.” Bentak Bajul Ireng.
            “Siapa yang telah membuat rakyat bingung? Aku atau wiyasa Galuh Buana?” Tanya Rawarontek lagi.
            Bajul Ireng semakin jengkel saja mendengar perkataan Rawarontek. “Sudah cukup, jangan permainkan kami lagi?”
            “Selama ini siapa yang telah mempermainkan perasaan rakyat Wengkerkidul, aku atau wiyasa Galuh Buana?”
            Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Bajul Ireng langsung menyerang Rawarontek. Ia tebaskan pedangnya ke arah leher Rawarontek. Pemuda itu menghindar dengan tenang, tangan kirinya melesat cepat mengenai kening Bajul Ireng. Tubuh Bajul Ireng tiba-tiba saja kaku, tak bisa bergerak sama sekali.
            “Kami datang kemari bukan untuk berperang dengan pemimpin kami, karena kami bukan pembangkang, kami juga bukan penghianat, bukan pula seorang pemberontak. Kami hanya ingin kedamaian untuk Wengkerkidul, persaudaraan, kebersamaan, kerukunan, kebebasan, dan rasa saling menjaga. Aku mohon kepadamu wahai pemimpinku, kembalikanlah kedamaian itu. Berhentilah menyiksa rakyatmu dengan kebijakan palsumu itu. Taatilah perintah Majapahit, dan sayangilah rakyatmu sebagaimana kau menyangi dirimu sendiri.” Pinta Rawarontek kapada wiyasa Galuh Buana.
            “Kebijakan seperti apa yang kauinginkan? Apakah kebijakan seperti yang di angan-angankan lelaki bejat yang telah memperkosa istriku?” Teriak wiyasa Galuh Buana lantang sekali seolah ia ingin semua rakyat Wengerkidul mendengar ucapannya.
            Mendengar ucapan wiyasa Galuh Buana, membuat hati Pitaloka tergerak untuk maju kedepan menjawab tuduhan keji yang dilontarkan ayahandanya itu. “Tidak ada yang memperkosa Ibunda Nawang Sari. Kalianlah yang telah merencanakan semua ini, memfitnah Aryayuda agar kebijakan yang telah ia perbaharui tidak jadi dilaksanakan. Berhentilah Romo, sampai kapanpun Romo tak akan pernah menemukan kebahagian pada puluhan karung emas yang telah Romo kumpulkan. Karena sejatinya kebahagian yang Romo cari itu ada disana, di hati rakyatmu.” Ujar Pitaloka sembari menunjuk kearah rakyat Wengkerkidul yang tersenyum bangga kepadanya.
            “Apa yang barusan kau ucapkan? Kau menghianati ayahandamu sendiri, dasar anak durhaka.” Bentak wiyasa Galuh Buana berang mendengar ucapan putri semata wayangnya itu.
            Pitaloka mengambil pedang Cakra buana yang tergeletak diatas tanah. Dengan langkah kaki yang mantap, ia terus berjalan mendekti ayahandanya. Setelah saling berhadapan, ia letakkan pedang tajam itu ketangan wiyasa Galuh Buana.
            “Hunuslah pedang ini kejantungku jika Romo menganggapku sebagai anak yang durhaka. Lebih baik aku mati dari pada hidup sebagai anak yang durhaka. Semua ini aku lakukan demi kebaikan Romo, aku hanya tak ingin dosa-dosa itu semakin membelit jiwa dan batin Romo. Kebahagian Romo adalah kebahagianku, begitu juga dengan kesedihan Romo adalah kesedihanku juga.” Gadis cantik itu berusaha mengetuk hati ayahandanya.
            Mendengar penuturan putri yang sangat ia cintai, membuat hati wiyasa Galuh Buana bergejolak hebat. Kata-kata itu seperti matahari yang mampu menerangi kehidupan hitam pemimpin Wengkerkidul. Menyalakan kembali lilin-lilin kehidupan yang telah lama padam. Kemudian kawanan setan datang lalu meniup lilin-lilin itu hingga mati.
            Tamparan keras mengenai pipi gadis malang itu, hingga ia tersungkur di atas tanah. Darah mengalir dari bibirnya yang sobek. Nawang Sari segera mendekap putri tercintanya itu. Ia menangis sejadi-jadinya tatkala mendapati Pitaloka terbaring lemah di atas tanah.
            “Apa yang kau lakukan? Kenapa kau tidak mau membuka mata hatimu? Pitaloka telah mengatakan suatu kebenaran, tidakkah kau dapat merasakan semua itu? Sungguh aku malu karena telah gagal menjadi istri dan ibu yang baik. Oh Tuhan wanita macam apa aku ini.” Rintihan Nawang Sari disela-sela penyesalan yang melanda jiwanya.
            “Diam!” Bentak suaminya.
            “Prajurit bunuh pengacau itu!” Teriak wiyasa Galuh Buana sembari menyuding Rawontek.
            Dua puluh pasukan petarung maju menyerbu Rawarontek. Pemuda itu mendapat serangan yang bertubi-tubi, pedang dan tombak melayang-layang hendak menerkamnya. Rawarontek berjumpalitan menghindari sayatan dan tusukan senjata yang mematikan itu. Pendekar muda itu sama sekali tidak melakukan serangan kepada lawan tarungnya. Ia tetap tenang, melayani berbagai jurus yang diperagakan prajurit wiyasa Galuh Buana. Geram melihat kelincahan yang dipertontonkan Rawarontek, lelaki berkumis tebal itu mengerahkan semua pasukannya untuk menyerbu anak Aryayuda. Perkelahian yang tidak seimbang pun terjadi, Rawarontek dibuat keteteran melayani ratusan prajurit yang sudah terlatih untuk berperang.
Meski dikroyok oleh ratusan prajurit, ia masih tetap saja tidak mau menyerang balik. Sungguh sulit situasi yang dihadapi Rawarontek kala itu, ia berusaha menahan amarahnya demi mendapatkan kemenangan yang sejati. Tubuh pemuda tampan itu mulai dipenuhi luka sayatan pedang. Darah mengalir dari hampir semua bagian tubuhnya, namun ia tetap tak mau melawan. Hal ini membuat lawan-lawannya menjadi bingung.
            “Kenapa kau tidak membalas serangan kami sama sekali?” Tanya beberapa prajurit.
            Rawarontek hanya tersenyum sambil terus menghindari serangan mereka.
            “Karena kami datang bukan untuk berperang. Kalian adalah saudara kami, mana mungkin aku menumpahkan darah saudaraku sendiri.” Jawab Rawarontek.
            Sebagian prajurit yang mendengar langsung menghentikan serangan mereka. Sedang yang lain tetap menyerang dengan penuh semangat. Sampai pada akhirnya mereka bisa menjatuhkan tubuh Rawarontek ke atas tanah.
            “Hentikan!” Teriak salah seorang prajurit kepada semua temannya.
            “Apakah kalian tidak malu tetap menyerang seseorang yang sesungguhnya menganggap kita sebagai saudara. Andai saja mereka mau, maka matilah kita hari ini. Tapi lihatlah semua orang itu, mereka marah tapi tak mau menyerang kita.” Ujarnya sambil menunjuk seluruh rakyat Wengkerkidul yang menyaksikan pengkroyokan itu.  “Kalian taruh mana kehormatan kalian, kita ini prajurit bukan hewan piaraan.”
            Wiyasa Galuh Buana mengambil sebatang tombak yang tergeletak di sebelahnya. Ia lemparkan tombak itu hingga menembus dada prajurit yang berusaha menyadarkan prajurit lainnya. Semua orang tersentak dengan tindakan wiyasa Galuh Buana. Ia sudah kehilangan akal sehatnya. Tak ia perhitungkan dampak dari tindakannya itu. Semua prajurit menatapnya dengan pandangan kebencian. Prajurit-prajurit itu sungguh kecewa dengan perlakuan wiyasa Galuh Buana terhadap sahabat mereka. Sebagian dari mereka ada yang hendak menyerang wiyasa Galuh Buana, tapi dihentikan oleh Rawarontek.
            “Jangan kalian lakukan itu, kendalikan emosi kalian.”
            Meski sangat ingin membunuh wiyasa Galuh Buana, tapi mereka masih sanggup mengendalikan diri. Rawarontek berusaha untuk kembali berdiri, tapi lukanya terlalu parah hingga tak mampu untuk melakukannya. Beberapa prajurit yang tadi menyerangnya, kini datang untuk membantunya berdiri.
            “Hai kenapa kalian tetap diam saja di situ, ayo lekas hajar mereka!” Gertak wiyasa Galuh Buana, memarahi petinggi Wengkerkidul.
            “Kami telah bosan menjadi pengecut. Kami telah bosan membohongi diri kami sendiri. Kini kebenaran itu telah datang, maka tidak ada pilihan lagi bagi Yang Mulia selain mengikutinya.” Jawab salah seorang dari mereka.
            “Kalian semua penghianat! Kalian semua pemberontak! Kalian semua harus mati! Aku sungguh murka dengan sikap kalian semua!” Wiyasa Galuh Buana merasa sangat terpojok. Tak ada lagi yang mau membelanya, selain setan-setan yang terus berbisik tentang kejahatan.
            Ia mengambil pedang Cakra Buana yang ada dihadapannya. Dengan wajah yang garang, ia hendak membabat semua leher manusia yang ia anggap telah menghianatinya. Pitaloka segera bergegas menghampiri ayahandanya. Ia peluk erat-erat tubuh yang telah dikuasai setan itu. Air matanya mengalir, membasahi dada wiyasa Galuh Buana.
            “Aku mohon jangan lakukan itu Romo. Kendalikan diri Romo, bukalah mata hati Romo. Jangan dengarkan semua bisikan yang menyesatkan itu.”
            “Aku akan bunuh mereka!” Teriak wiyasa Galuh Buana seperti orang yang kesetanan.
            “Jangan Romo!” Pinta Pitaloka sambil menangis sesenggukan. “Jika Romo bersikeras ingin membunuh mereka, maka bunuhlah aku dulu. Aku tak ingin melihat Romo melakukan dosa lagi.”
            “Kalau kau tak ingin mereka mati, maka aku yang harus mati.” Ujar wiyasa Galuh Buana merendahkan suaranya.
            “Jangan Romo!” Rengek Pitaloka menangisi sikap ayahandanya yang benar-benar kehilangan semangat hidup.
            “Lalu apa yang harus aku lakukan?” Ujarnya dengan penuh rasa frustasi. “Apaaa?” Teriaknya memecah keheningan saat itu.
            “Kabulkanlah permintaan rakyatmu. Pimpinlah mereka dengan penuh kebijaksanaan dan rasa kasih sayang. Kau masih punya waktu untuk meminta maaf kepada mereka. Benahilah semua kesalahanmu, dengar semua pendapat rakyatmu. Karena tidaklah ada gunanya seorang pemimpin tanpa adanya dukungan dari yang dipimpin. Sesungguhnya rakyat adalah alasan dan tujuanmu menjadi seorang pemimpin.”
Kata-kata bijak itu keluar dari seorang wanita yang berada ditengah-tengah kerumunan rakyat Wengkerkidul. Lantas beberapa lelaki yang ada disekitarnya segera membukakan jalan bagi wanita paruh baya itu untuk berjalan ke depan. Sebagian orang mulai menyadari bahwa wanita tua itu adalah Ibu Suri Tribuana Tunggadewi. Sedang beberapa lelaki yang ada disekitarnya tak lain adalah pasukan Bhayangkari yang sedang menyamar.
“Aku sungguh takjub melihat keindahan hati kalian semua wahai rakyat Wengkerkidul. Kalian telah berhasil menumbangkan kebatilan tanpa harus mengangkat pedang. Jiwa kalian sungguh terang dan mampu menerangi Wengkerkidul. Kalian telah mendapatkan kemenangan yang sejati, kemenangan yang agung, kemenangan yang tidak pernah aku jumpai sebelumnya. Wilayah ini telah mengilhamiku banyak pelajaran. Wilayah ini mampu menerangi jiwa dan pikiranku. Maka sepantasnyalah aku menyebut kalian sebagai masyarakat Terang Ing Penggalih. Masyarakat yang memiliki kelapangan hati dan pikiran, serta mampu menerangi jiwa manusia lainnya.”

Sekian






Tentang Penulis

M.G.A.ZULFAHMI lahir pada tanggal 15 Oktober 1991 di kabupaten Trenggalek. Ia mendapat pendidikan pertama di TK Bustanul Atfal Aisyiyah Salamrejo. Kemudian pada tahun 1998 melanjutkan pendidikannya di MI Muhammadiyah Salamrejo, MTsN Model Trenggalek. Di tahun 2010 ia mulai masuk perguruan tingga dan hingga sekarang masih aktif sebagai mahasiswa di Universitas Brawijaya Malang.
Semasa sekolah di SMAN 1 Trenggalek ia menjadi anggota SKI di Masjid Manarul Huda. Bersama sahabat terbaiknya ia mempelajari arti sebuah kehidupan dengan dibimbing Ustadz Edi Eli. Kemudian di bangku kuliah ia aktif sebagai anggota HMI Komisariat Pertanian UB. Disanalah ia mulai mempelajari tentang dinamika kehidupan sosial. Belajar tentang bagaimana caranya berkawan, hingga belajar tentang bagaimana caranya melawan.
Sama seperti semua manusia di planet bumi ini, penulis sangat mencita-citakan kehidupan yang bebas dari sebuah kemunafikan. Hidup saling bergandeng tangan, saling menjaga, dan saling menghargai. Baginya tidak ada manusia yang lebih baik karena semua manusia adalah yang terbaik.






Percaya dan yakinlah bahwa kita hidup di masa kini untuk belajar kebenaran abadi dari sejarah dan bermimpi untuk masa depan. Bagai berjalan di dalam sebuah terowongan, kita berjalan dalam kegelapan dan saat itu juga kita menyadari pernah melewati jalan yang terang dan akan menemukan jalan yang lebih terang di depan. Itulah ibarat sebuah perjuangan dalam sebuah kehidupan dan menghadapi rintangan. Ketika kita berusaha melewati rintangan itu belajarlah dari masa lalu dan yakin mampu melewati rintangan. Karena jalan yang lebih terang telah menunggu di depan kita, yaitu masa depan yang sempurna.

Cover Editor
M.A. Wicaksono





FAHMI

No comments:

Post a Comment

Instagram