Sayyid Qutb


Sejak kecil, Sayyid sudah akrab dengan kitab suci Alquran. Pikirannya sangat kritis ketika mulai beranjak dewasa, bahkan pernah mengritisi pola pengajaran agama yang diajarkan para imam dan kehidupan tradisional mereka. Saat berusia 23 tahun, Sayyid memutuskan berangkat ke Kairo untuk menimba ilmu. Dia mengikuti pendidikan yang dikelola Inggris. Di kota ini pula dia menulis dan menerbitkan buku pertamanya berjudul Ashwak, atau yang berarti duri.
Dua tahun setelah perang dunia berakhir, Sayyid memutuskan berangkat ke Amerika Serikat dan berkuliah di Colorado State College of Education (sekarang University of Northern Colorado). Di negeri ini justru pemikiran tentang Islam semakin berkembang.
Setelah menghabiskan waktu selama dua tahun untuk belajar di negeri Paman Sam, Sayyid memutuskan kembali ke Mesir. Pengalamannya di AS membuatnya alergi terhadap kebudayaan barat. Hal itu pula yang mendorongnya bergabung bersama Ikhwanul Muslimin di awal 1950-an serta memutuskan mundur sebagai pegawai negeri.
Salah satu kata-katanya yang paling terkenal adalah, "Semua akan kembali pada Allah ketika mati, tapi yang berbahagia adalah orang yang dekat dengan Allah semasa hidupnya."
Pada Juli 1952, Sayyid mendukung Gerakan Perwira Bebas yang dipimpin Gamal Abdel Nasser untuk menjatuhkan raja dan menggantinya dengan sistem presidensial. Selama kudeta berlangsung, Sayyid dan Nasser sangat dekat bagai seorang sahabat.
Dalam beberapa kesempatan, Nasser kerap mengunjungi rumah Sayyid dan berdiskusi soal revolusi. Hubungan ini membuat Ikhwanul Muslimin berharap agar Nasser melahirkan pemerintahan yang Islami. Namun, hal itu ternyata tidak terjadi, sebab Nasser memilih ideologi nasionalis sekular yang sangat bertentangan dengan Ikhwanul Muslimin.
Rupanya, Nasser mempersiapkan agenda rahasia di dalamnya sebelum menduduki jabatan sebagai presiden. Hal itu disadari Sayyed dan memutuskan mundur, namun Nasser berkeras agar Sayyed tetap berada dalam satu barisan dengan menawarinya sebuah jabatan.
"Kami akan memberikan posisi apapun yang kamu inginkan di pemerintahan, apakah itu Menteri Pendidikan, Menteri Kesenian, atau lainnya," ujar Nasser saat itu.
Namun, tawaran-tawaran itu ditolaknya. Sayyed kesal karena Nasser telah mengecewakannya. Hingga suatu ketika, Mesir dikejutkan dengan berita rencana pembunuhan Nasser oleh kelompok Ikhwanul Muslimin. Terungkapnya rencana tersebut membuat Nasser menuduh seluruh anggota Ikhwanul Muslimin terlibat. Alhasil, Sayyed diburu militer dan dijebloskan ke penjara. 
Pada waktu terjadi penangkapan tahun 1965, As Syahid Sayyid Qutb telah mencapai usia 60  tahun. Dalam usia yang lanjut tersebut beliau menderita penyakit paru-paru, ginjal dan maag. Akan tetapi penderitaan yang beliau alami itu tidak berpengaruh atas keringanan hukuman yang beliau  terima bahkan justru dimanfaatkan oleh para petugas keamanan untuk memberatkan siksaannya. Beliau pernah diikat selama empat hari tanpa diberi makan dan minum.
Siksaan yang dialami Sayyid Qutb tidak hanya terbatas pada siksaan secara fisik, tapi lebih lagi siksaan secara psikologis . Salah seorang anggota keluarganya , Rif’at Bakr disiksa di depan matanya sampai mati. Mereka menginginkan Rif”at Bakr menjadi saksi saksi dalaml proses pengadilan terhadap pamannya Sayyid qutb dan membenarkan semua tuduhan tetapi Rif’at menolak semua permintaan itu sehingga dia disiksa secara terus  menerus hingga Allah menyelamatkannya dan menjadikannya syahid. Petugas keamanan juga menyiksa Azmi Bakr, saudara Rif’at Bakr dan ibunya Sayyidah Nafisah Qutb yang telah berusia lebih dari 65 tahun. Selain itu juga telah ditahan Aminah Qutb, Hamidah Qutb, saudara perempuan Sayyid Qutb.
Hajjah zainab al Ghazali bercerita “ Pada suatu hari saya berjalan  menuju tempat penampungan air di rumah sakit penjara, dimana saya dan al ustadz Sayyid Qutb ditahan. Waktu itu sel Sayyid Qutb tidak ditutup, karena kondisi kesehatannya yang sangat lemah. Di atas pintu hanya ditutupkan selebar kain selimut agar orang lain tidak dapat melihatnya dari luar. Pada waktu saya lewat di dekat selnya , sel itu terbuka karena tiupan angin. Penjaga menyangka bahwa sayyid qutb sengaja  mengangkat tabir selimut itu agar saya tahu bahwa ia berada di dalam sel. Maka para penjaga memaki dan mengutuknya . Kemudian datang shafwat ar Raubi, algojo penjara militer, lalu menyuruh Sayyid berdiri dan melontarkan makian padanya. Setelah itu datang pula Hamzah Al Basyuni yang langsung memukulkan cambuk.
As syahid Sayyid Qutb sangat menyayangi angota-annggota ikhwan sebagaimana halnya rasa sayang ayah terhadap anaknya. Saya masih ingat ketika kami akan memasuki ruangan pengadilan pada perkara hari pertama. Kulihat As Syahid Sayyid Qutb mengamati wajah kami satu persatu. Kami semua tersenyum dengan menunjukkan ketabahan dan kesabaran untuk menyenangkan hati beliau. Setelah agak lama memandang kami, beliau semakin haru dan menangis sambil mengangkat tangan mendoakan kehadirat Allah. Doa bagi keselamatan kami semua.
Penyakit yang diderita  Sayyid semakin lama semakin parah, sehingga dalam pemeriksaan di pengadilan banyak tidak hadir. Mamduh ad Dairi mengatakan bahwa sewaktu sedang diadili pernah seorang perwira mendekati Sayyid dan menanyakan arti kata syahid. Beliau menjawab “SYAHID berarti siapa yang bersaksi bahwa syariat Allah lebih mahal dari hidupnya sendiri.
Mamduh ad Dairi menceritakan bagaimana Sayyid menyambut keputusan hukuman atas dirinya .  “ Pada hari pembacaan keputusan, kami dikeluarkan dari mobil dan dimasukkkan ke dalam sangkar kawat pada sebuah kamar. Mereka juga membawa Sayyid dari kamar yang ada di samping ruangan pembacaan keputusan itu. Di ruangan itu terdapat petugas pencatat. Kami melihati petugas itu menangis , maka tahulah kami bahwa keputusannya adalah hukuman mati. Mamduh menambahkan , “ Saya telah mendengar dan menyaksikan tatkala as Syahid Sayyid Qutb mendengar  keputusan itu, beliau hanya berkata:  “ Alhamdulillah “.
Hajjah zainab Al Ghazali berkata, “ Di malam pelaksanaan hukuman mati, as Syahid Sayyid Qutb ditawari untuk menyelamatkan hidupnya dengan pernyataan mohon maaf. Dokter penjara militer , Madjid Hammadah menceritakan kepada saya tentang tawaran untuk memberikan  pengampunamam. Hamidah Qutb telah berusaha mendesak beliau agar mau minta maaf atas kesalahan yang dituduhkan kepada beliau, sehingga mendapatkan pengampunan. Namun as syahid Sayyid Qutb tidak mau mendengarkan segala saran-saran tersebut. Beliau hanya bercita-cita untuk mati syahid. Beliau menolak untuk mundur dan Allah semakin meneguhkan hatinya hingga Sayyid Qutb berjumpa denganNya.
Dalam salah satu kesempatan beliau pernah berkata ,”Perkataan yang mengandung pancaran ilahiyah, akan mendorong manusia untuk maju. Tetapi sebaliknya, kata-kata yang tidak mengandung pancaran ilahiyah merupakan kata-kata yang mati, tidak akan membawa kemajuan sejengkal-pun juga “

As Syahid Sayyid Qutb telah pergi dan kata-katanya tetap hidup, karena dia sendiri mengatakan apa yang dianggapnya benar dan menjadikan hidupnya sebagai tebusan bagi perkataan kebenaran. 

FAHMI

No comments:

Post a Comment

Instagram