Ada satu cerita tentang si 'banyak
bicara' dan si 'jarang bicara'.
Sama halnya dengan si 'banyak
bicara', orang-orang pun akan sadar jika suatu saat si 'jarang bicara'
menghilang. Perbedaannya hanya terletak di seberapa cepat orang-orang akan
peka.
Dan seberapa besar perbedaan
jika salah satu diantara mereka tidak ada.
Sebagian besar mengatakan
orang-orang akan lebih cepat menyadari jika si 'banyak bicara' menghilang
daripada si 'jarang bicara'.
Dan perbedaannya akan lebih
terasa jika yang lebih banyak bicara menghilang daripada yang tidak.
Lalu mana yang kamu pilih?
Si 'banyak bicara' yang
lebih banyak 'dianggap' oleh orang-orang, atau si 'jarang bicara' yang
jika dia menghilang orang bahkan seringkali tidak menyadarinya?
Aku tidak ingin menjadi si 'banyak
bicara' yang justru malah sebagian besar omongannya tidak perlu
didengar.
Aku tidak butuh kepekaan
orang-orang akan keberadaanku sendiri.
Kadang, saat orang-orang
kehilangan si 'banyak bicara', kita perlu telaah lagi apakah itu
benar-benar rasa kehilangan atau malah sebuah helaan nafas lega.
Ada yang mengatakan; jangan
mengerti apa yang kamu dengar, dan jangan memahami apa yang kamu lihat.
Mengertilah apa yang tidak dikatakan, dan pahamilah apa yang tidak terlihat.
Tapi toh, kita cuma manusia biasa. Bukan para dewa yang mampu membaca pikiran manusia.
Namun biasanya, si 'jarang
bicara' mampu melakukan hal ini.
Karna sejujurnya, ia pun sering
melakukannya. Ia sendiri pun jarang mengatakan apa yang sebenarnya ia rasakan.
Ada kemungkinan si 'jarang bicara' tahu, bahwa tidak semua orang perlu
tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Dan ia tidak keberatan, jika suatu saat kepergiannya tidak disesali atau disyukuri oleh siapapun.
No comments:
Post a Comment