Oleh : Aldi Akbar
Sepertinya kejadian ini akan terus berulang dari masa ke masa sampai terdengarnya bunyi sangkakala, dimana para ulama dicaci, dibenci dan bahkan difitnah. Ujian ini bukan hanya untuk para ulama, tapi juga untuk kita.
karena Rosululloh saw. pernah berkata: “Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi)
Apakah kita mampu “menggenggam bara” ini sampai ajal menjemput?
Panas bara yang mengantarkan rasa sakit ke otak lalu menjalar ke seluruh tubuh, panas yang kadang membuat kalap kemudian muak, panas yang kadang memancing amarah.
Namun Allah takkan pernah merugikan umat yang benar-benar mencintainya, siapa yang mampu bersabar diatas ujian “menggenggam bara” ini, telah dijanjikan oleh Allah satu hal yang diimpikan semua umat Islam, yaitu pertemuan yang sangat manis dengan-Nya.
Lalu bagaimana cara meredam rasa sakit, muak dan marah tersebut? Apa yang mampu menolong kita dalam meredam semua rasa sakit, kesal dan marah tersebut?
Allah menjawab: “Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan shalat itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) bagi mereka yang yakin bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali pada-Nya.” (QS. Al-Baqarah, 45-46)
Dengan melewati ujian “menggenggam bara” ini menggunakan shalat dan sabar, mudah-mudahan Allah mengizinkan kita untuk bisa berjumpa dengan-Nya di akhirat kelak. Aamiin ya Robbal’alamin.
—
Sejarah dengan jelas mengungkap fakta.
Tidak hanya hari ini para ulama diserang.
Presiden pertama, founding father-nya negara inipun pernah menyerang seorang ulama besar.
Dianggap melawan pemerintah (yang menurut saya sebenarnya pemerintah waktu itu tak ingin mendapat kritikan yang cerdas), M. Yamin dan Soekarno berkolaborasi menjatuhkan wibawa Buya Hamka melalui headline beberapa media cetak yang diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer.
Berbulan-bulan Pramoedya menyerang Buya Hamka secara bertubi-tubi melalui tulisan di koran (media yang paling tren saat itu), Allahuakbar! sedikitpun Buya Hamka tak gentar, fokus Buya tak teralihkan, beliau terlalu mencintai Allah dan saudara muslimya, sehingga serangan yang mencoba untuk menyudutkan dirinya tak beliau hiraukan, Buya Hamka yakin jika kita menolong agama Allah, maka Allah pasti menolong kita. Pasti!
Oh! Buya Hamka terlalu kuat dan tak bisa dijatuhkan dengan serangan pembunuhan karakter melalui media cetak yang diasuh oleh Pram, tak sungkan-sungkan lagi, Soekarno langsung menjebloskan ulama besar tersebut ke penjara tanpa melewati persidangan.
Seperti doa nabi Yusuf as. ketika dipenjara: Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf, 33)
Yah! Saat itu penjara jauh lebih baik bagi Buya Hamka, jauh lebih baik daripada menyerahkan kepatuhannya terhadap Allah kepada orang-orang yang hanya mengejar dunia.
2 tahun 4 bulan di dalam penjara tak beliau sia-siakan dengan bersedih, malah Buya Hamka bersyukur telah dipenjara oleh penguasa pada masa itu, karena di dalam penjara tersebut beliau memiliki lebih banyak waktu untuk menyelesaikan cita-citanya, merampungkan tafsir Al-Qur’an 30 juz, yang sekarang lebih kita kenal dengan nama kitab tafsir Al-Azhar.
Lalu bagaimana dengan ketiga tokoh tadi?
Ternyata Allah masih sayang kepada Pramoedya, M. Yamin dan Soekarno. Karena apa yang telah dilakukan oleh ketiga tokoh bangsa tersebut terhadap Buya Hamka, tak harus diselesaikan di akhirat, Allah telah mengizinkan permasalahan tersebut untuk diselesaikan di dunia saja.
Di usia senjanya, Pramoedya akhirnya mengakui kesalahannya dimasa lalu dan dengan rendah hati bersedia “meminta maaf” kepada Buya Hamka, ya! Pramoedya mengirim putri sulungnya kepada Buya Hamka untuk belajar agama dan men-syahadat-kan calon menantunya.
Apakah Buya Hamka menolak? Tidak! Dengan lapang dada Buya Hamka mau mengajarkan ilmu agama kepada anak beserta calon menantu Pramoedya, tanpa sedikitpun pernah mengungkit kesalahan yang pernah dilakukan oleh -salahsatu penulis terhebat yang pernah dimiliki indonesia- tersebut terhadap dirinya. Allahuakbar! Begitu pemaafnya Buya Hamka.
Ketika M. Yamin sakit keras dan merasa takkan lama lagi berada di dunia ini, beliau meminta orang terdekatnya untuk memanggilkan Buya Hamka. Saat Buya Hamka telah berada di sampingya, dengan kerendahan hati M. Yamin (memohon maaf dengan) meminta kepada Buya Hamka agar sudi mengantarkan jenazahnya untuk dikebumikan di kampung halaman yang telah lama tak dikunjungi Talawi, dan di kesempatan nafas terakhirnya M. Yamin minta agar Buya sendiri yang menuntunnya untuk mengucapkan kalimat-kalimat tauhid.
Apakah Buya Hamka menolak? Tidak! Buya Hamka menuluskan semua permintaan tersebut, Buya Hamka yang “menjaga” jenazah -tokoh pemersatu bangsa- tersebut sampai selesai dikebumikan dikampung halamannya sendiri.
Namun, lain hal dengan Soekarno, malah Buya Hamka sangat merindukan proklamator bangsa Indonesia tersebut, Buya Hamka ingin berterima kasih telah diberi “hadiah penjara” oleh Bung Karno, yang dengan hadiah tersebut Buya memiliki lebih banyak waktu untuk menyelesaikan tafsir Al-Azharnya yang terkenal, dengan hadiah tersebut perjalanan ujian hidup Buya menjadi semakin berliku namun indah, Buya Hamka ingin berterima kasih untuk itu semua.
Lalu kemana Soekarno? Kemana teman seperjuangannya dalam memerdekakan bangsa ini menghilang? Dalam hati Buya Hamka sangat rindu ingin bertemu lagi dengan -singa podium- tersebut. Tak ada marah, tak ada dendam, hanya satu kata “rindu”.
Hari itu 16 Juni 1970, ajudan presiden Soeharto datang kerumah Buya, membawa secarik kertas, kertas yang tak biasa, kertas yang bertuliskan kalimat pendek namun membawa kebahagian yang besar ke dada sang ulama besar, pesan tersebut dari Soekarno, orang yang belakangan sangat beliau rindukan, dengan seksama Buya Hamka membaca pesan tersebut:
“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.”
Buya Hamka bertanya kepada sang ajudan “Dimana? Dimana beliau sekarang?” Dengan pelan dijawab oleh pengantar pesan “Bapak Soekarno telah wafat di RSPAD, jenazahnya sedang dibawa ke Wisma Yoso.”
Mata sayu Buya Hamka mulai berkaca, kerinduan itu, rasa ingin bertemu itu, harus berhadapan dengan tubuh kaku, tak ada lagi pertemuan yang diharapkan, tak ada lagi cengkrama tawa dimasa tua yang dirindukan, hanya hamparan samudera maaf untuk saudaranya, mantan pemimpinnya, pemberian maaf karena telah mempenjarakan beliau serta untaian lembut doa dari hati yang ikhlasagar Bung Karno selamat di akhirat, hadiah khusus dari jiwa yang paling lembut sang ulama besar, Buya Hamka.
—
Dizaman sekarang, Mulai terasa sejarah itu kembali terulang, dimana para penguasa mulai berusaha menyudutkan para ulama, menyerang para ulama melalui media-media pendukung mereka, menebar kebencian kepada para ulama melalui penulis-penulis pendukung mereka.
Lalu ada yang berkata, “ulama sekarang tak sehebat buya Hamka.” Tanya lagi hati kecil kita, apakah mereka yang tak hebat, ataukah kita yang ingin menolak pesan kebenaran itu sendiri.
Pertanyaannya:
– Di pihak siapa kita?
apakah di pihak para penguasa yang jelas sedang memuaskan nafsu duniawi mereka?
Ataukah di pihak para ulama yang menyampaikan kebenaran karena Allah, Tuhannya, Tuhan kita semua?
– Akankah para penguasa yang memfitnah para ulama saat ini, diberi kesempatan oleh Allah untuk meminta maaf sebelum ajal menjemput mereka? Semoga saja, semoga kesalahan mereka tak harus diselesaikan yaumul hisab. Aamiin ya Robbal’alamin
Demi Allah!
Saya mencintai Bung Karno, tanpa perjuangan beliau belum tentu kita bisa hidup seperti yang dirasa saat sekarang ini.
Demi Allah!
Saya mencintai M. Yamin, tanpa beliau, takkan pernah kita kenal apa itu Pancasila.
Demi Allah!
Saya mencintai Pramoedya Ananta Toer, beliau adalah mentor saya dalam menulis.
Demi Allah!
Cinta saya teramat besar kepada Buya Hamka, guru saya, orangtua saya, kakek saya, eyang buyut saya, salahsatu manusia yang selalu saya mintakan kepada Allah agar dapat mencium tangan dan memeluknya kelak di akhirat, salahsatu ulama yang paling saya banggakan, karena darah Minangnya, juga mengalir didalam tubuh saya, karena Tuhannya, Tuhan saya juga, Tuhan kita semua.
Maksud dari tulisan ini hanyalah untuk menumbuhkan rasa cinta kita kepada para ulama, para wakil Rosululloh, mulut mereka adalah “toa”nya Allah.
Tanpa mereka, kita takkan pernah tau mana ilmu yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, mana ilmu yang berasal dari nafsu saja.
Tanpa mereka, kita takkan bisa menimbang, mana yang banyak manfaatnya, dan mana yang banyak mudharotnya.
Tanpa mereka, rasanya hidup hanya sebuah kesia-siaan.
—
Mari saudaraku, mari kita tutup dengan doa:
Ya Allah, Ya Mu’min,
Lindungilah ulama-ulama kami, dimanapun mereka berada
Ya Allah, Ya Rozaq,
Limpahkan rezki-Mu kepada para ulama kami, sehingga mereka selamat dari sifat menjilat pada penguasa yang lalim
Ya Allah, Ya Rofi’,
Tinggikanlah wibawa para ulama kami, sehingga para penguasa yang lalim gemetar takut jiwa dan ruh nya ketika berhadapan dengan mereka
Ya Allah, Ya Hayyu,
Sehatkan jiwa dan panjangkanlah umur ulama-ulama kami
Ya Allah, Ya Dzul Jalali Wal Ikrom,
Jagalah kebesaran nama para ulama kami, dan muliakanlah hidup mereka baik di dunia, maupun di akhirat.
Ya Allah, Ya Syakur,
Balaslah kebaikan para ulama kami, baik di dunia, maupun di akhirat kelak
Ya Allah, Ya Tawwab,
Maafkanlah kami, jika pernah berprasangka buruk terhadap ulama-ulama kami
Ya Allah, Engkau Maha Mendengar
Ya Allah, Engkau Maha Melihat
Ya Allah, Engkau Maha Mengabulkan Doa
Sesungguhnya kami mencintai para ulama kami hanya karena Engkau
Maka ya Allah kabulkanlah doa kami ini
Aamiin ya Robbal’alamin.
—
Terima kasih untuk para ulama
Terima kasih untuk dorongan kalian agar kami selalu bertaqwa
Terima kasih untuk mengajarkan kami bagaimana cara hidup di dunia
Terima kasih untuk segala bantuan kalian agar kami selamat hidup di akhirat kelak
Terima kasih telah menjerumuskan kami kedalam jurang kebenaran.
No comments:
Post a Comment