BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar
Belakang
Dataran
tinggi Dieng merupakan kawasan di wilayah perbatasan antara Kabupaten Banjarnegara,
Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Batang, dan Kabupaten Temanggung. Kawasan
tersebut memiliki kurang lebih 20.161 hektar hutan Negara yang dikelola Perhutani
dan 19.472 hektar hutan rakyat. Wilayah ini berada pada ketinggian antara 1.500
sampai dengan 2.095 meter diatas permukaan laut dengan kemiringan lebih dari
antara 15-40% dan dibeberapa wilayah >40%. Dataran tinggi Dieng adalah
bagian hulu DAS Serayu dan merupakan sentra produksi sayuran dataran tinggi
Jawa Tengah. Curah hujan di dataran tinggi Dieng termasuk tinggi, yaitu 3.917
mm/tahun. Curah hujan yang tinggi ditambah dengan intensitasnya yang tinggi
merupakan penyebab utama tingginya laju erosi dan penurunan produktivitas tanah
di daerah tersebut. Terlebih lagi, budidaya yang dilakukan pada lahan berlereng
tersebut tanpa upaya pencegahan erosi.
Petani di dataran
tinggi Dieng umumnya berusaha tani sayuran pada bedengan-bedengan dengan
kemiringan lahan di atas 30% tanpa upaya-upaya melestarikan lahan atau
mengendalikan erosi. Bedengan-bedengan tersebut dibuat searah dan sepanjang
lereng tanpa upaya memperpendek atau memotong panjang lereng. Kebiasaan menanam
sayuran seperti itu bertujuan untuk menciptakan kondisi aerasi atau drainase
dan kelembaban tanah yang baik. Hal ini dikarenakan kondisi aerasi tanah yang
buruk dapat membahayakan pertumbuhan tanaman sayuran. Pada umumnya, petani di
sana membuat bedengan atau guludan searah lereng pada teras-teras bangku, namun
tanpa upaya menstabilkan teras tersebut, sehingga pada bibir dan tampingan
teras cenderung mengalami longsor. Teras bangku tersebut umumnya miring keluar
sehingga erosi atau longsor masih mungkin terjadi. Selain itu, pada ujung luar
teras (talud) tidak ditanami tanaman penguat teras dan permukaan tanah pada
tampingan teras juga terbuka atau bersih tidak ada tanaman.
Akibat dari erosi tersebut,
sedimentasi di DAS semakin meluas serta terjadi penurunan kesuburan di dataran
tinggi Dieng. Hal ini dikarenakan hara tanah yang terkandung di lapisan teratas
tanah hanyut terseret arus air. Miskinnya hara tanah otomatis akan berakibat
pada penurunan produktivitas lahan pertanian.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Karakteristik dan Permasalahan Kerusakan Lahan
Dataran tinggi Dieng memiliki
kemiringan antara 25-40% bahkan di beberapa wilayah > 40%, dengan jenis
tanah Andosol dan curah hujan rata-rata >3.000 mm/tahun. Dengan demikian
dataran tinggi Dieng memiliki kelas lereng curam dengan jenis tanah yang peka
terhadap erosi serta curah hujan sangat tinggi. Dataran tinggi Dieng berada
pada ketinggian lebih dari 2.000 m dpl, merupakan cagar budaya yang berupa
candi-candi Hindu, merupakan jalur pengaman Daerah Aliran Sungai dan merupakan
hulu Sungai Serayu. Berdasarkan kondisi tersebut maka Dataran Tinggi Dieng
ditetapkan sebagai kawasan fungsi lindung yang meliputi kawasan yang memberi
perlindungan kawasan dibawahnya dan kawasan cagar budaya. Alokasi ruang di
wilayah ini adalah untuk hutan lidung dan sebagai kawasan resapan air, serta
sebagai daerah konservasi peninggalan budaya yang berupa candi-candi Hindu.
Secara visual nampak bahwa lahan di kawasan tersebut
mempunyai lapisan olah yang sangat tipis dimana terlihat adanya batu-batu yang
nampak di permukaan tanah. Padahal berdasarkan sumber yang berasal dari
penduduk disekitar daerah tersebut, batu-batu itu dahulu tidak nampak. Hal ini
menunjukkan bahwa terjadi pengikisan lapisan olah yang disebabkan oleh adanya
run off yang tinggi pada saat hujan. Run off yang tinggi karena tidak adanya
penguat pada lapisan tanah atas karena tidak adanya tanaman keras maupun
tanaman penutup tanah, terlebih lagi lahan tersebut adalah lahan miring dengan
tersering yang buruk. Pola tanam yang monokultur dan terus menerus sepanjang
tahun juga menjadi penyebab semakin tingginya intensitas pengolahan tanah yang
berakibat pada semakin mudahnya tanah tererosi. Kondisi ini jelas merupakan
faktor yang menjadi pemicu semakin berkurangnya tingkat kesuburan tanah bahkan
lebih parah lagi terjadinya degradasi lahan yang semakin tinggi.
Erosi juga mengakibatkan menurunnya kuantitas dan
kualitas air di telaga yang banyak terdapat di kawasan Dieng diantaranya adalah
Telaga Cebong di Desa Sembungan serta Telaga Warna dan Telaga Pengilon di Desa
Dieng. Pendangkalan yang terjadi di telaga-telaga tersebut menyebabkan
penurunan debit air pada musim kemarau. Pada musim dimana tidak ada hujan maka
air telaga juga digunakan untuk mengairi ladang kentang mereka. Sehingga
kondisi telaga semakin lama semakin rusak dan pemenuhan kebutuhan air untuk
konsumsi rumah tangga pun berkurang. Selain itu kualitas air pun menjadi sangat
buruk karena air menjadi keruh oleh banyaknya kandungan pupuk kandang dan sisa
bahan kimia dari pupuk dan pestisida.
Selain mengakibatkan bertambah luasnya lahan kritis,
erosi yang tinggi juga berakibat pada sedimentasi di daerah hilir. Seperti yang
telah dikemukakan di atas bahwa Dieng merupakan hulu sungai Serayu, dengan
beberapa anak sungainya, yang bermuara di Waduk Panglima Besar Jenderal
Sudirman. Erosi dan sedimentasi yang cukup tinggi dari Daerah Aliran Sungai
Serayu dan Merawu masih menjadi persoalan bagi Bendungan Panglima Besar
Sudirman (PLTA Mrica) di Kabupaten Banjarnegara. Erosi dan sedimentasi yang
tinggi menurunkan volume waduk. Selama 15 tahun volume waduk berkurang sekitar
43%. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap fungsi waduk sebagai sumber pembangkit
listrik, baik dari kapasitas daya yang dihasilkan maupun dari jangka waktu
operasi waduk itu karena semakin berkurangnya debit air waduk. Jika hal itu
dibiarkan, waduk tersebut akan tertutup sedimentasi. Bila waduk tertutup
sedimentasi, PLTA Mrica tak bisa lagi dioperasikan.
Besarnya erosi yang terjadi di dataran tinggi Dieng yang jauh melebihi besarnya erosi yang masih diperbolehkan, menunjukkan telah demikian tingginya degradasi lingkungan di dataran tinggi Dieng. Bila kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya upaya konservasi, maka pada beberapa tahun yang akan datang tidak ada lagi tanaman yang dapat tumbuh di sana karena tidak ada lagi lapisan olah yang mengandung bahan organik, sehingga yang muncul tidak hanya permasalahan lingkungan namun juga permasalahan ekonomi dan sosial yang semakin kompleks. Hal ini dikarenakan ketergantungan masyarakat yang sangat tinggi terhadap lahan, sehingga apabila lahan tidak dapat lagi berproduksi maka akan hilanglah sumber mata pencaharian mereka.
Besarnya erosi yang terjadi di dataran tinggi Dieng yang jauh melebihi besarnya erosi yang masih diperbolehkan, menunjukkan telah demikian tingginya degradasi lingkungan di dataran tinggi Dieng. Bila kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya upaya konservasi, maka pada beberapa tahun yang akan datang tidak ada lagi tanaman yang dapat tumbuh di sana karena tidak ada lagi lapisan olah yang mengandung bahan organik, sehingga yang muncul tidak hanya permasalahan lingkungan namun juga permasalahan ekonomi dan sosial yang semakin kompleks. Hal ini dikarenakan ketergantungan masyarakat yang sangat tinggi terhadap lahan, sehingga apabila lahan tidak dapat lagi berproduksi maka akan hilanglah sumber mata pencaharian mereka.
BAB III
STRATEGI MANAJEMEN
3.1
Strategi Konservasi Tanah
Untuk mencapai keberlanjutan
produktivitas lahan perlu dilakukan tindakan konservasi tanah dan air. Hal
tersebut dapat dicapai dengan menerapkan teknologi konservasi tanah secara
vegetatif dan mekanik. Konservasi tanah vegetatif mencakup semua tindakan
konservasi yang menggunakan tumbuh-tumbuhan (vegetasi), baik tanaman legum yang
menjalar, semak atau perdu, maupun pohon dan rumput-rumputan, serta
tumbuh-tumbuhan lain, yang ditujukan untuk mengendalikan erosi dan aliran
permukaan pada lahan pertanian.
Tindakan konservasi tanah vegetatif tersebut sangat
beragam, mulai dari pengendalian erosi pada bidang olah atau lahan yang
ditanami dengan tanaman utama, sampai dengan stabilisasi lereng pada bidang
olah, saluran pembuangan air (SPA), maupun jalan kebun.
Konservasi tanah mekanik adalah semua perlakuan fisik
mekanis yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan yang ditujukan
untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi serta meningkatkan kelas kemampuan
tanah.
Teknik konservasi tanah ini dikenal pula dengan sebutan
metode sipil teknis. Untuk mencapai hasil maksimum dalam mengendalikan erosi
dan aliran permukaan, sebaiknya tindakan konservasi tanah vegetatif dan mekanik
dikombinasikan sesuai dengan karakteristik lahan.
Pada umumnya, petani di dataran tinggi Dieng telah
membuat bedengan atau guludan searah lereng pada bidang-bidang teras bambu.
Namun, sangat disayangkan bahwa teras bangku tersebut umumnya miring ke luar,
sehingga erosi atau longsor masih mungkin terjadi. Selain itu, pada bagian
ujung luar teras (talud) tidak ditanami tanaman penguat teras dan permukaan
tanah pada tampingan teras juga terbuka atau bersih tidak ada tanaman. Jika
melihat tingkat erosi yang sangat tinggi di kawasan tersebut, usaha yang
dilakukan petani di sana masih belum sesuai dengan kaidah konservasi. Teras
bangku tidak sesuai untuk tanah yang mudah tererosi pada daerah berlereng curam
serta curah hujan yang cukup tinggi. Teras gulud menurut kaidah konservasi
lebih efektif untuk menahan erosi pada lahan yang demikian dengan biaya
pembangunan yang relatif lebih murah dibandingikan dengan teras bangku. Untuk
membantu mengurangi erosi, bedengan juga perlu dibuat searah dengan garis
kontur.
Untuk meningkatkan efektivitas teras yang dibuat, perlu
ditanami tanaman penguat teras pada bibir dan tampingan teras. Rumput Bede
(Brachiaria decumbens) dan Rumput Bahia (Paspalum notatum) merupakan contoh
dari tanaman penguat teras yang terbukti efektif mengurangi tingkat erosi pada
lahan yang curam. Dengan dilakukannya penanaman tanaman penguat teras tersebut,
juga akan didapat nilai tambah lainnya dari teras yang dibuat, yaitu sebagai
sumber pakan ternak dan bahan organik tanah. Pembangunan teras juga dapat
dikombinasikan dengan pembangunan rorak untuk memperbesar peresapan air ke
dalam tanah dan menampung tanah yang tererosi, serta pembangunan saluran teras
yang berada tepat di atas guludan. Saluran teras dibuat agar air yang mengalir
dari bidang olah dapat dialirkan secara aman ke SPA (saluran pembuangan air).
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Lahan di dataran tinggi Dieng telah mengalami kerusakan
akibat besarnya erosi yang terjadi di kawasan tersebut. Erosi tersebut
dikarenakan karakteristik dari dataran tinggi Dieng yang berlereng dengan
struktur tanah yang mudah lepas serta curah hujan yang relatif tinggi, ditambah
dengan praktek pertanian yang dilaksanakan oleh petani sangat tidak
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Petani menanam tanaman kentang secara
intensif pada bedengan yang dibuat searah lereng pada teras bangku yang miring
ke luar, serta tanpa ditanami dengan tanaman penguat teras.
Untuk menanggulangi masalah tersebut, perlu dilakukan
upaya konservasi yang mengkombinasikan upaya secara vegetatif dan mekanik.
Teras gulud memiliki efektivitas menahan erosi yang tinggi sehingga sangat
cocok untuk mengurangi masalah erosi pada lahan tersebut. Namun, teras gulud
juga haru diperkuat dengan tanaman penguat teras berupa tanaman Rumput Bede
(Brachiaria decumbens) dan Rumput Bahia (Paspalum notatum). Untuk memperbesar
peresapan air ke dalam tanah dan menampung tanah yang tererosi, perlu dibangun
rorak pada bidang olah dan saluran peresapan. Selain itu, agar air yang
mengalir dari bidang olah dapat dialirkan secara aman ke SPA (saluran pembuangan
air), teras gulud perlu dilengkapi dengan saluran teras yang dibangun tepat di
atas guludan.
No comments:
Post a Comment