Disusun
Oleh:
Muhammad
Guruh Arif Zulfahmi / 105040201111091
Fakultas
Pertanian
Universitas
Brawijaya Malang
Abstrak
agroforestry adalah suatu nama kolektif untuk
sistem tata guna lahan dan teknologi, dimana species tanaman keras (pohon,
semak, bangsa palm, bambu dan
sebagainya) secara sengaja dengan tujuan tertentu ditanam atau diusahakan pada
unit manajemen lahan yang sama, dengan tanaman pertanian dan hewan, baik dalam
bentuk tata ruang yang sama atau dalam penataan menurut urutan dimensi waktu.
Di dalam agroforestry terjadi
interaksi secara ekologis dan ekonomis antara komponen yang berbeda. Tanaman
memberikan masukan bahan organik melalui daun-daun, cabang dan rantingnya yang
gugur, dan juga melalui akar-akarnya yang telah mati. Daun pepohonan yang gugur
dan hasil pangkasan yang dikembalikan ke dalam tanah dapat menjadi rabuk
sehingga tanah menjadi remah. Bahan
organik tanah berperanan sangat penting dalam kesuburan tanah, baik sifat
kimia, fisika maupun biologi tanah.
Key
word: Agroforestry, bahan organik, sustainable
I. PENDAHULUAN
Setiap
orang berkepentingan terhadap tanah. Tanah sebagai sumberdaya alam yang dapat
dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai macam aktivitas guna memenuhi
kebutuhan hidupnya. Tanah sebagai sumberdaya yang digunakan untuk keperluan
pertanian dapat bersifat sebagai sumberdaya yang dapat pulih (reversible)
dan dapat pula sebagai sumberdaya yang dapat habis (Santoso, 1991). Dalam usaha
pertanian tanah mempunyai fungsi utama sebagai sumber penggunaan unsur hara
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, dan sebagai tempat tumbuh dan
berpegangnya akar serta tempat penyimpan air yang sangat diperlukan untuk kelangsungan
hidup tumbuhan.
Sejak
manusia melakukan pertanian menetap, mulailah petani mengupayakan pengelolaan
kesuburan tanah, yaitu dengan penambahan bahan organik untuk memulihkan kembali
status hara dalam tanah. Perkembangan selanjutnya tidak terbatas pada
penggunaan pupuk organik, namun juga dengan penggunaan pupuk buatan. Pada tahun
enampuluhan terjadilah biorevolosi di
bidang pertanian, yang dikenal sebagai revolosi
hijau yang telah berhasil merubah pola pertanian dunia secara
spektakuler.
Di
Indonesia, sejak tahun 1968 terjadi peningkatan kebutuhan pupuk buatansecara
tajam. Penggunaan pupuk buatan yang berkonsentrasi tinggi yang tidak
proporsional ini, akan berdampak pada penimpangan status hara dalam tanah
(Notohadiprawiro, 1989), sehingga akan memungkinkan terjadinya kekahatan hara
lain. Di samping itu, petani mulai banyak yang meninggalkan penggunaan pupuk
organik baik yang berupa pupuk hijau ataupun kompos, dengan anggapan penggunaan
pupuk organik kurang efektif dan efisien, karena kandungan unsur hara dalam
bahan organik yang relatif kecil dan lambat tersedia.
Akibat
dari itu, akan berdampak pada penyusutankandungan bahan organik tanah, bahkan
banyak tempat-tempat yang kandungan bahan organiknya sudah sampai pada tingkat
rawan (Juarsah, I. 1999). Dilaporkan, sekitar 60 persen areal sawah di Jawa
kadungan bahan organiknya kurang dari 1 persen (Sugito, et al.,
1995). Sementara, sistem pertanian bisa menjadi sustainable (berkelanjutan)
jika kandungan bahan organik tanah lebih dari 2 % (Handayanto, 1999).
Menyadari
dampak negatif pada tanah dari pertanian yang boros energi tersebut, maka
berkembanglah pada akhir-akhir ini konsep pertanian organik, yang salah satu
langkah untuk pemeliharaan kesuburan tanahnya, adalah dengan penggunaan kembali
bahan organik. Walaupun penggunaan bahan organik sudah bukan bahan yang baru
lagi, namun mengingat betapa pentingnya bahan organik dalam menunjang
produktivitas tanaman dan sekaligus mempertahankan kondisi lahan yang produktif
dan berkelanjutan, maka pembahasan terhadap bahan organik tidak henti-hentinya
untuk dikaji.
II. PEMBAHASAN
Definisi Agroforestry
Agroforestry dipahami sebagai suatu pola perpaduan
yang harmonis antara tanaman semusim, herba, perdu dan pepohonan yang
dibudidayakan dalam suatu unit lahan yang penampilan fisik dan dinamikanya
menyerupai hutan primer atau sekunder (Foresta dan Michon, 2000).
Reinjtjes dkk (1999) mengatakan bahwa rancangan agroforestry
memperlihatkan perpaduan atau gabungan antara ciri ekosistem alami dan
kebutuhan usaha tani. Oleh karena itu, agroforestry sebaiknya memiliki fungsi
ekologis, ekonomis dan sosial. Fungsi ekologis berarti memiliki nilai
konservasi terhadap sumber daya alam dengan pemanfaatan yang berkelanjutan (sustainable
use). Fungsi ekonomi berarti melalui pola agroforestry, pendapatan
petani pengelola lahan agroforestry dapat ditingkatkan dengan cara
diversifikasi kegiatan dan pengelolaan komponen agroforestry yang bernilai
ekonomi tinggi. Fungsi sosial diartikan bahwa kegiatan agroforestry
sedapat mungkin mudah dilaksanakan dan ditiru oleh masyarakat serta mampu
merubah sikap masyarakat terhadap sistem pertainan yang bersifat subsistem menuju
sistem pertanian yang komersil.
Vergara (1982) menyatakan bahwa agroforestry merupakan
salah satu pola atau suatu sistem tata guna lahan yang lestari dan terpadu
yaitu antara komponen tanaman budidaya (pertanian) dan tanaman pohon/kehutanan
dengan atau tanpa komponen piaraan/peternakan atau perikanan ikan dan udang.
Dengan demikian diharapkan produktivitas lahan menjadi optimal dan
berkesinambungan. Factor manusia setempat (sosial, ekonomi dan budaya) perlu
dijadikan pertimbangan, di samping faktor ekologi setempat (vegetasi, tanah,
iklim, dan sebagainya).
Bagi daerah kering kehadiran pepohonan dalam sistem agroforestry
selain berfungsi sebagai jaringan pengamanan daur hara juga menjaga
kestabilan produktivitas (hasil panen per satuan luas ) dalam lahan model agroforestry.
Ini disebabkan karena pepohonan memiliki sistem perakaran luas sehingga lebih
tahan kering dibandingkan dengan tanaman semusim yang berakar dangkal
(Reijntjes dkk,1999).
King dan Candra (1978), mengemukakan agroforestry
adalah pola pengelolaan lahan yang dapat mempertahankan dan meningkatkan
produktifitas lahan secara keseluruhan yang merupakan kombinasi kegiatan
kehutanan, pertanian, peternakan dan perikanan, baik secara bersama maupun
berurutan dengan menggunakan manajemen praktis yang disesuaikan dengan pola
budaya penduduk setempat.
International Center for Research in
Agroforestry/ICRAF (1983), mendefinisikan agroforestry adalah
suatu nama kolektif untuk sistem tata guna lahan dan teknologi, dimana species
tanaman keras (pohon, semak, bangsa palm, bambu dan sebagainya) secara
sengaja dengan tujuan tertentu ditanam atau diusahakan pada unit manajemen
lahan yang sama, dengan tanaman pertanian dan hewan, baik dalam bentuk tata
ruang yang sama atau dalam penataan menurut urutan dimensi waktu. Di dalam agroforestry
terjadi interaksi secara ekologis dan ekonomis antara komponen yang
berbeda.
Djogo (1992), menyatakan bahwa agroforestry dianggap
sebagai salah satu teknik dan pendekatan yang cukup baik untuk membantu
pertanian lahan kering terutama di daerah pedesaan dimana, banyak petani masih
subsistem atau sedang bergerak dalam upaya perbaikan sistem pertanian yang
lebih mantap. Agroforestry pada dasarnya sudah merupakan teknik atau
pendekatan atau sistem yang secara tradisional sudah dilakukan oleh petani
dimana-mana atau hampir semua sistem pertanian lahan kering di NTT sudah
menerapkan teknik agroforestry atau menggunakan pendekatan agroforestry.
Keuntungan
dari argroforestry
Penggunaan teknologi agroforestry dapat
memberikan keuntungan/ manfaat yang cukup besar bagi para pemilik lahan.
Wiersum (1980), mengemukakan beberapa keuntungan yang diperoleh dengan
penggunaan teknik agroforestry yaitu sebagai berikut.
a)
Sumber bahan organik
Daun
pepohonan yang gugur dan hasil pangkasan yang dikembalikan ke dalam tanah dapat
menjadi rabuk sehingga tanah menjadi remah. Berapa banyaknya masukan daun gugur
setiap tahunnya?
b)
Menekan gulma
Naungan
pohon dapat menekan pertumbuhan gulma terutama alang-alang dan menjaga
kelembaban tanah sehingga mengurangi risiko kebakaran pada musim kemarau.
Adanya naungan dari pohon dapat memberikan keuntungan bagi tanaman tertentu
yang menghendaki naungan misalnya kopi.
c)
Mengurangi kehilangan hara
Akar
pepohonan yang dalam dapat memperbaiki daur ulang hara, melalui beberapa cara,
antara lain:
·
Akar pohon menyerap hara di lapisan atas
dengan jalan berkompetisi dengan tanaman pangan, sehingga mengurangi pencucian
hara ke lapisan yang lebih dalam. Namun pada batas tertentu kompetisi ini akan
merugikan tanaman pangan.
·
Akar pohon berperan sebagai "jaring
penyelamat hara" yaitu menyerap hara yang tidak terserap oleh tanaman
pangan pada lapisan bawah selama musim pertumbuhan (lihat contoh kasus 5.1).
·
Akar pohon berperan sebagai
"pemompa hara" terutama pada tanahtanah subur, yaitu menyerap hara
hasil pelapukan mineral/batuan induk pada lapisan bawah. Namun hal ini masih
bersifat hipotesis, dan masih perlu penelitian lebih lanjut.
d)
Memperbaiki porositas tanah
Akar
pepohonan berperan memperbaiki struktur tanah dan porositastanah, misalnya akar
pohon yang mati meninggalkan lubang pori.
e)
Menambat N dari udara
Pohon
berbunga kupu-kupu (legume) dapat menambat N langsung dari udara, sehingga
dapat mengurangi jumlah pupuk yang harus diberikan.
f)
Menekan serangan hama & penyakit
Ada
pepohonan yang dapat mengurangi populasi hama dan penyakit tertentu.
g)
Menjaga kestabilan iklim mikro
Pepohonan
yang ditanam cukup rapat dapat menjaga kestabilan iklim mikro, mengurangi
kecepatan angin, meningkatkan kelembaban tanah dan memberikan naungan parsial
(misalnya Erythrina (dadap) pada kebun kopi).
h)
Mengurangi bahaya erosi
Untuk
jangka panjang mengurangi bahaya erosi, melalui pengaruhnya terhadap perbaikan
kandungan bahan organik tanah dan struktur tanah.
Kelemahan dari Agroforestry
diantaranya adalah:
·
Segi
kesuburan tanah.
Masyarakat
sering dihadapkan pada dua pilihan yang berlawanan, di satu sisi petani
mengharapkan pohon yang cepat pertumbuhannya dengat tujuan cepat memperoleh
produksi, tetapi kenyataannya pohon ini justru memiskinkan tanah. Ada 2 hal
yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan pohon, bahwa produksi biomasa berhubungan
erat dengan besarnya intersepsi cahaya; dan produksi biomasa dengan jumlah
transpirasi air. Bila stomata membuka, maka CO2 dapat memasuki daun untuk
dipergunakan dalam proses fotosintesis. Dengan kejadian yang sama, air juga
dapat menguap ke atmosfer. Jadi memilih pohon yang pertumbuhannya cepat, petani
harus mempertimbangkan pula penyediaan energi yang dibutuhkan tanaman tersebut.
Pernah
pula dikeluhkan oleh petani bahwa pohon yang mereka tanam, perannya sedikit
terhadap perbaikan kesuburan tanah karena jumlah seresah yang jatuh tidak
terlalu banyak sehingga tanah tetap saja keras dan sulit diolah.
·
Segi
pertumbuhan tanaman lain.
Menanam
pohon yang tumbuh tinggi menjulang dengan bentuk percabangan yang menyebar luas
dalam sistem campuran akan merugikan tanaman lain terutama bila yang ditanam
adalah tanaman pangan. Keberadaan pohon dianggap sebagai kompetitor bagi
tanaman pangan karena adanya kompetisi akan cahaya, air dan hara.Jadi untuk
memperoleh keuntungan agroforestri yang optimal, maka diperlukan ketrampilan khusus
dalam mengelola tanaman. Untuk itu diperlukan pemahaman yang mendalam akan
adanya interaksi antar komponen penyusun agroforestri (Pohon-tanah-tanaman
semusim dan ternak bila ada).
·
Kompetisi cahaya
Pohon
biasanya tumbuh lebih tinggi daripada tanaman semusim, oleh karena itu kanopi
pohon akan menaungi tanaman semusim.
·
Kompetisi air dan hara
Akar
pepohonan dan tanaman semusim yang berkembang di lapisan yang sama akan saling
berebut air dan hara sehingga mengurangi jumlah yang dapat diserap tanaman
semusim. Kompetisi antara dua jenis tanaman terjadi bila kedua jenis tanaman
(atau lebih) membutuhkan sumberdaya yang sama dan ketersediaan sumberdaya yang
dibutuhkan tersebut terbatas. Tanaman yang pertumbuhannya cepat membutuhkan
cahaya, air dan hara
yang
lebih banyak. Oleh karena itu pemilihan pohon dalam sistem agroforestri harus
mempertimbangkan kecepatan tumbuhnya serta kebutuhan tanaman lain yang tumbuh
pada lahan yang sama.
·
Inang penyakit
Seringkali
pepohonan dapat menjadi inang hama dan penyakit untuk tanaman semusim.
Perbaikan Kesuburan Tanah Oleh
Agroforestri
Penerapan sistem agroforestri tradisional maupun
modern sangat terkait dengan komponen tanah dan pengelolaannya. Beberapa sistem
pertanian tradisional misalnya ‘ladang berpindah’ dan sistem multistrata pohon
(kebun campuran) seringkali terpaksa dilakukan untuk tujuan pemulihan dan pemeliharaan
kesuburan tanah. Penerapan sistem penggunaan lahan denganmemasukkan komponen
pepohonan atau agroforestri dapat memberikan beberapa keuntungan terhadap tanah.
Menurut Young (1997) ada empat keuntungan yang diperoleh melalui penerapan
agroforestri antara lain adalah: (1) memperbaiki kesuburan tanah, (2) menekan
terjadinya erosi (3) mencegah perkembangan hama dan penyakit, (4) menekan
populasi gulma. Peran utama agroforestri pada skala plot adalah dalam
mempertahankan kesuburan tanah, antara lain melalui empat mekanisme: (1)
mempertahankan kandungan bahan organik tanah, (2) mengurangi kehilangan hara ke
lapisan tanah bawah, (3) menambah N dari hasil penambatan N bebas dari udara,
(4) memperbaiki sifat fisik tanah.
Fungsi Bahan Organik Tanah (BOT)
Bahan organik tanah berperanan sangat penting dalam
kesuburan tanah, baik sifat kimia, fisika maupun biologi tanah. Dari segi
kimia, BOT berperanan penting dalam menambah unsur hara dan meningkatkan
kapasitas tukar kation (penyangga hara = buffer). Meningkatnya kapasitas
tukar kation tanah ini dapat mengurangi kehilangan unsur hara yang ditambahkan
melalui pemupukan, atau dari hasil mineralisasi BOT, sehingga BOT dapat
meningkatkan efisiensi pemupukan.
Dari
segi fisika tanah, tingginya kandungan BOT dapat mempertahankan kualitas sifat
fisik tanah sehingga membantu perkembangan akar tanaman dan kelancaran siklus
air tanah antara lain melalui pembentukan pori tanah dan kemantapan agregat
tanah. Dengan demikian jumlah air hujan yang dapat masuk ke dalam tanah
(infiltrasi) semakin meningkat sehingga mengurangi aliran permukaan dan erosi.
Selain itu bahan organik mampu mengikat air
dalam
jumlah besar, sehingga dapat mengurangi jumlah air yang hilang. Dari segi
biologi tanah, bahan organik tanah juga memberikan manfaat biologi melalui
penyediaaan energi bagi berlangsungnya aktivitas organisme, sehingga meningkatkan
kegiatan organisme mikro maupun makro di dalam tanah.
Bagaimana agroforestri dapat mempertahankan
kandungan bahan organik tanah?
Agroforestri
dapat mempertahankan kandungan bahan organik tanah melalui:
a.
Masukan bahan organik dari hasil pangkasan pohon
Pada musim penghujan, petani sering juga melakukan pemangkasan
cabang dan ranting pohon yang sudah terlalu tinggi sehingga keberadaannya tidak
akan menggangu pertumbuhan tanaman lainnya. Hasil pangkasan bisa dikembalikan
ke dalam tanah atau diangkut ke luar plot untuk pakan ternak atau untuk tujuan
lainnya. Jumlah hasil pangkasan yang di kembalikan ke dalam plot tidak kalah
besarnya dengan jumlah seresah yang masuk lewat daun yang gugur. Bahan organik
hasil pangkasan tersebut mengandung N berkisar antara 100 -270 kg N ha-1, yang
berarti sama dengan memperoleh pupuk urea sekitar 200-400 kg ha-1.
b.
Masukan dari seresah
Tanaman memberikan masukan bahan organik melalui
daun-daun, cabang dan rantingnya yang gugur, dan juga melalui akar-akarnya yang
telah mati. Contoh dari tanah masam di Lampung Utara, pohon petaian (Peltophorum)
monokultur memberikan masukan seresah (daun, batang, ranting yang jatuh) sekitar
12 Mg ha-1 th-1; gamal (Gliricidia) monokultur sekitar 5 Mg ha-1 th-1. Sedang
hutan sekunder memberikan masukan sekitar 8-9 Mg ha-1 th-1. Seresah yang jatuh
di permukaan tanah dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan dan
mengurangi penguapan. Tinggi rendahnya peranan seresah ini ditentukan oleh
‘kualitas’ bahan organik tersebut. Semakin rendah ‘kualitas’ bahan (bila nisbah
C/N, lignin/N dan polifenol/N tinggi), maka semakin lama pula bahan tersebut
dilapuk, sehingga terjadi akumulasi seresah yang cukup tebal pada permukaan
tanah hutan. Pada sistem berbasis pohon
ini akumulasi seresah pada permukaan tanah bervariasi antara 3-7 ton ha-1. Bila
kandungan C dalam biomasa sekitar 45%, maka masukan C ke dalam tanah sekitar
1,5 – 3 ton ha-1. Pangkasan tajuk tanaman penutup tanah darikeluarga
kacang-kacangan (LCC = legume cover crops) dapat memberikan masukan
bahan organik sebanyak 1.8 – 2.9 ton ha-1 (umur 3 bulan) dan 2.7 – 5.9 ton ha-1
untuk yang berumur 6 bulan.
Berapa
jumlah masukan bahan organik yang dibutuhkan?
Telah disebutkan di atas bahwa masukan bahan organik
dari atas permukaan tanah memberikan pengaruh yang menguntungkan untuk
mempertahankan kesuburan tanah terutama di lapisan atas. Untuk mendapatkan
kondisi tanah yang optimal bagi pertumbuhan tanaman, diperlukan adanya bahan
organik tanah (Ctotal) di lapisan atas paling sedikit 2% (Young, 1989).
Jumlah tersebut hanya didasarkan pada taksiran kasar saja. Jumlah tersebut
harus dikoreksi oleh kandungan liat dan pH tanah. Dengan demikian target
kandungan BOT
yang
optimal ini bervariasi untuk berbagai macam tanah, tergantung pada tekstur dan
pH nya. Untuk itu Van Noordwijk, 1989 menyarankan target ratarata kandungan BOT
untuk berbagai jenis tanah di daerah tropika sebaiknya sekitar 2,5-4%. Guna
mempertahankan kesuburan tanah pertanian, maka tanah harus selalu ditambah
bahan organik minimal sebanyak 8-9 ton ha-1 th-1 (Young, 1989).
Bagaimana
memilih bahan organik yang tepat?
Pemberian bahan organik ke dalam tanah seringkali
memberikan hasil yang kurang memuaskan, sehingga banyak petani tidak tertarik
untuk melakukannya. Hal ini disebabkan kurangnya dasar pengetahuan dalam
memilih jenis bahan organik yang tepat. Pemilihan jenis bahan organik sangat
ditentukan oleh tujuan pemberian bahan organik tersebut. Tujuan pemberian bahan
organik bisa untuk penambahan hara atau perbaikan sifat fisik seperti
mempertahankan kelembaban tanah yaitu sebagai mulsa. Pertimbangan pemilihan
jenis bahan organik didasarkan pada kecepatan dekomposisi atau melapuknya. Bila
bahan organik
akan
dipergunakan sebagai mulsa, maka jenis bahan organik yang dipilih adalah dari
jenis yang lambat lapuk. Apabila digunakan untuk tujuan pemupukan bisa dari
jenis yang lambat maupun yang cepat lapuk. Kecepatan pelapukan suatu jenis
bahan organik ditentukan oleh kualitas bahan organik tersebut. Sedangkan
kualitasnya ditetapkan dengan menggunakan
seperangkat
tolok ukur, di mana untuk setiap jenis unsur hara tolok ukur tersebut bisa
berbeda-beda.
·
Kualitas bahan organik berkaitan dengan penyediaan unsur N, ditentukan oleh besarnya
kandungan N, lignin dan polifenol. Bahan organik dikatakan berkualitas tinggi
bila
kandungan
N tinggi, konsentrasi lignin dan polifenol rendah. Yang juga penting adalah
memiliki sinkronisasi pelepasan hara dengan saat tanaman membutuhkannya.
Nilai kritis konsentrasi N adalah 1.9%; lignin > 15% dan polifenol > 2%.
·
Kualitas bahan organik berkaitan dengan penyediaan unsur P, ditentukan oleh
konsentrasi P dalam bahan organik. Nilai kritis kadar P dalam bahan organik
adalah 0.25%.
·
Kualitas bahan organik berkaitan dengan detoksifikasi Al. Bahan organik mampu
menetralisir pengaruh racun dari aluminium sehingga menjadi tidak beracun lagi
bagi akar tanaman. Kemampuan merubah pengaruh suatu zat beracun menjadi tidak
beracun ini disebut dengan detoksifikasi. Kualitas bahan organik berkaitan
dengankemampuan dalam mendetoksifikasi ditentukan dengan tolok ukur total konsentrasi
kation K, Ca, Mg dan Na. Pelepasan kation-kation tersebut dari hasil
dekomposisi bahan organik dapat menekan kelarutan Al melalui peningkatan pH
tanah.
III. KESIMPULAN
Dari uraian di atas jelas bahwa setiap komponen
penyusun agroforestri berperan dalam mengubah lingkungannya. Perubahan
lingkungan ini dapat merugikan ataupun menguntungkan komponen yang lain baik
dalam jangka pendek maupun panjang. Keberhasilan usaha pertanian dengan
menggunakan sistem agroforestri sangat tergantung pada tingkat pemahaman
interaksi antara pohon-tanah-tanaman semusim. Pemahaman interaksi ini dapat
berdasarkan pengamatan, pengalaman, maupun penelitian di lapangan. Model
simulasi interaksi pohon-tanah-tanaman ini, contohnya WaNuLCAS, sangat membantu
dalam memahami proses-proses yang terjadi. Pengalaman menunjukkan bahwa pada
dasarnya pengelolaan agroforestri terletak pada usaha menekan pengaruh yang
merugikan dan mengoptimalkan pengaruh yang menguntungkan, dengan mengatur
penampilan fisik dan morfologi pohon.
DAFTAR
ISI
Djogo,
A.P.Y. 1992. Agroforestrydan Sumbangan bagi PembangunanPertanian di
NusaTenggara. Kupang: Politani.
Rusmarkam,
A. 2000. Ilmu Kesuburan Tanah, Jurusan Ilmu Tanah. UGM. Yogyakarta.
Sugito,
Y. Nuraini, Y. dan Nihayati, E. 1995. Sistem Pertanian Organik. Faperta
Unibraw. Malang.
Young,
1997. Agroforestry for soil management.
Second edition. CABI International.
ISBN 0 85199 1890, 320 pp.
No comments:
Post a Comment