Sifat Virus Tungro
Tungro merupakan penyakit padi yang
kompleks, disebabkan oleh dua jenis virus yang secara taksonomis berbeda satu
dengan lainnya, yaitu virus batang tungro padi (rice tungro bacilliform
virus, RTBV) dan virus bulat tungro padi (rice tungro spherical virus,
RTSV) (Hibino et al., 1991; Jones et al. 1991). Kedua virus
ditularkan secara semi persisten oleh beberapa spesies wereng hijau dan wereng
daun lainnya (Ling, 1969; Hibino et al., 1978).
RTBV berbentuk batang dan berukuran (150-350) x 35 nanometer
(nm) (Hibino et al., 1978; Hibino et al., 1991). Tiap
partikel virus mempunyai asam deoksiribonukleat berutas ganda (double-stranded
deoxyribonucleic acid, ds-DNA) yang melingkar dan dengan besaran genom kurang
lebih 8,5 kpb (kilopasangbasa). Karena cara replikasinya dengan transkripsi
terbalik, RTBV merupakan pararetrovirus. Pernah ditetapkan sebagai anggota dari
genus badnavirus (Hull, 1996), tetapi RTBV kini digolongkan dalam
kelompok sementara “RTBV-like group” di bawah famili Caulimoviridae
(Mayo dan Pringle, 1998). Laporan hasil penelitian jaringan tanaman padi yang
terinfeksi virus-virus tungro dengan menggunakan elektron mikroskop (Sta Cruz et
al., 1993) menunjukkan bahwa partikel RTBV dapat ditemukan di dalam
pembuluh tapis (floem) maupun dalam pembuluh kayu (silem).
RTSV berbentuk bulat dengan garis tengah 30 nm (Hibino et
al., 1991; Jones et al., 1991). Paket genetik virus ini terdiri
atas asam ribonukleat berutas tunggal (single-stranded ribonucleic acid,
ss-RNA) yang mengandung poly-A dan berukuran 12 kb (kilobasa). Menurut Mayo dan
Pringle (1998), RTSV mempunyai genus Waikavirus dan di bawah famili
Sequiviridae; tatanamanya ialah rice tungro spherical waikavirus.
Berdasarkan kesamaan fiturnya dengan “animal picornavirus”, maka virus
ini pun dikenal sebagai pikornavirus tanaman. Berbeda dengan RTBV, partikel
RTSV ditemukan terbatas di dalam pembuluh tapis (floem) saja (Sta Cruz et
al., 1993).
RTBV dan RTSV tidak
ditularkan melalui telur serangga vektornya, dan juga tidak dapat menular
melalui biji, tanah, air dan secara mekanis (misal pergesekan antara bagian
tanaman yang sakit dengan yang sehat) (Ling, 1969). RTBV dan RTSV mempunyai
beberapa vektor dari spesies wereng hijau Nephotettix cinticeps, N.
malayanus, N. nigropictus, N. virescens, dan N. parvus serta
wereng loreng Recilia dorsalis; dibandingkan dengan spesies lainnya N.
virescens Distant merupakan vektor yang paling efisien (Ling, 1972). N.
virescens bertelur dalam kelompok hingga berjumlah 44 dan diletakkan di
dalam jaringan pelepah daun tanaman padi (Cheng dan Pathak, 1971). Daur
hidup wereng hijau dari fase bertelur, menetas, menjadi nimfa (pradewasa)
dengan lima stadia, hingga dewasa membutuhkan waktu rata-rata 25 hari, sehingga
mungkin ditemukan 11 generasi di daerah yang ditanami padi sepanjang tahun.
Tanaman Inang dan Gejala Tungro
Tanaman
padi yang terinfeksi virus-virus tungro umumnya tampak kerdil dan menunjukkan
adanya diskolorasi daun yang bergradasi dari kuning hingga jingga (Ou, 1972).
Sebenarnya tingkat keparahan gejala penyakit ini sangat bervariasi bergantung
pada umur tanaman, varietas padi dan strain atau komposisi virus yang
menginfeksi. Makin rentan varietas padi dan makin muda umur tanaman terinfeksi,
makin parah gejala yang ditimbulkan, demikian pula sebaliknya. Interaksi kedua
virus tungro dapat menyebabkan gejala penyakit yang parah. Sebaliknya pada
kasus infeksi tunggal gejala yang ditimbulkan sedang-sedang saja (oleh RTBV)
atau bahkan tidak jelas, karena tanaman tampak sehat, walaupun agak kerdil
(oleh RTSV) (Hibino, 1983).
Lebih lanjut Rivera and Ou (1965) dan Ling (1969) menguraikan
bahwa gejala penyakit tungro umumnya muncul kurang lebih seminggu setelah
inokulasi, dimulai dari adanya diskolorasi kekuningan pada ujung daun muda,
kemudian diikuti klorosis di antara vena daun. Tanaman yang sakit parah
mempunyai anakan sedikit, pertumbuhan akar terhambat, sangat kerdil, dan
menghasilkan panikel yang kecil dengan bulir-bulir gabah kosong. Gejala
penyakit akan persisten pada varietas yang rentan, sedangkan pada varietas yang
agak tahan gejala tidak berkembang pada daun muda dan ada kecenderungan sehat
kembali.
Serangan tungro di
suatu hamparan sawah pada umumnya terlihat berkelompok, suatu indikasi bahwa
waktu infeksi berbeda-beda. Sebaran tanaman sakit yang mengelompok dapat
menyebabkan hamparan tanaman padi terlihat seperti bergelombang karena adanya
perbedaan tinggi tanaman antara tanaman sehat dan sakit. Pada varietas yang
agak tahan, setelah petani memberikan tambahan pupuk nitrogen, pertanaman padi
yang semula sakit tampak seperti sembuh, menghijau kembali dan memberikan
harapan untuk memperoleh hasil panen, walaupun sebenarnya virus-virus tungro
masih tetap ada dan berkembang di dalamnya. Yang sering terjadi pada varietas
yang rentan, pertanaman tampak merana sampai waktu panen atau sampai ada usaha
sanitasi untuk menghilangkan sumber penyakit. Pada kasus yang lain apabila
pertanaman padi terhindar dari infeksi sampai umur dua bulan, maka virus-virus
tungro tidak akan mengakibatkan kerusakan tanaman dan kehilangan hasil panen
(Ling, 1972; Pathak, 1972).
Pengendalian Penyakit Tungro
Pada prinsipnya
penyakit tungro tidak dapat dikendalikan secara langsung artinya, tanaman yang
telah terserang tidak dapat disembuhkan. Pengendalian bertujuan untuk mencegah
dan meluasnya serangan serta menekan populasi wereng hijau yang menularkan
penyakit. Mengingat banyaknya faktor yang berpengaruh pada terjadinya serangan
dan intensitas serangan, serta untuk mencapai efektivitas dan efisiensi, upaya
pengedalian harus dilakukan secara terpadu yang meliputi :
a.
Waktu tanam
tepat
Waktu tanam harus disesuaikan dengan pola fluktuasi
populasi wereng hijau yang sering terjadi pada bulan-bulan tertentu. Waktu
tanam diupayakan agar pada saat terjadinya puncak populasi, tanaman sudah
memasuki fase generatif (berumur 55 hari atau lebih). Karena serangan yang
terjadi setelah masuk fase tersebut tidak menimbulkan kerusakan yang berarti.
b.
Tanam
serempak
Upaya menanam tepat waktu tidak efektif apabila tidak
dilakukan secara serempak. Penanaman tidak serempak menjamin ketersediaan inang
dalam rentang waktu yang panjang bagi perkembangan virus tungro, sedangkan bertanam
serempak akan memutus siklus hidup wereng hijau dan keberadaan sumber inokulum.
Penularan tungro tidak akan terjadi apabila tidak tersedia sumber inokulum
walaupun ditemukan wereng hijau, sebaliknya walaupun populasi wereng hijau
rendah akan terjadi penularan apabila tersedia sumber inokulum.
c.
Menanam
varietas tahan
Menanam varietas tahan merupakan komponen penting
dalam pengendalian penyakit tungro.Varietas tahan artinya mampu mempertahankan
diri dari infeksi virus dan atau penularan virus oleh wereng hijau. Walaupun
terserang, varietas tahan tidak menunjukkan kerusakan fatal, sehingga dapat
menghasilkan secara normal. Sejumlah varietas tahan yang dianjurkan untuk
daerah NTB antara lain: Tukad Patanu, Tukad Unda, Bondoyudo dan Kalimas. IR-66,
IR-72 dan IR-74. Sejumlah varietas Inpari yang baru dilepas juga dinyatakan
tahan tungro. Hasil penelitian di daerah endemis membuktikan Tukad Unda cukup
tahan dengan intensitas serangan 0,0%-9,14% sedangkan varietas peka IR-64
berkisar 16,0%-79,1%. Penelitian di Lanrang Sulawesi Selatan juga menunjukkan
daya tahan Tukad Patanu terhadap tungro dengan intensitas serangan 18,20%
sedangkan varietas peka Ciliwung mencapai 75,7%.
d.
Memusnahkan
(eradikasi) tanaman terserang
Memusnahkan tanaman terserang merupakan tindakan yang
harus dilakukan untuk menghilangkan sumber inokulum sehingga tidak tersedia
sumber penularan. Eradikasi harus dilakukan sesegera mungkin setelah ada gejala
serangan dengan cara mencabut seluruh tanaman sakit kemudian dibenamkan dalam
tanah atau dibakar. Pada umumnya petani tidak bersedia melakukan eradikasi
karena mengira penyakit bisa disembuhkan dan kurang memahami proses penularan
penyakit. Untuk efektifitas upaya pengendlian, eradikasi mesti dilakukan
diseluruh areal dengan tanaman terinfeksi, eradikasi yang tidak menyeluruh
berarti menyisakan sumber inokulum.
e.
Pemupukan N
yang tepat
Pemupukan N berlebihan menyebab-kan tanaman menjadi
lemah, mudah terserang wereng hijau sehingga memudahkan terjadi inveksi tungro,
karena itu penggunaan pupuk N harus berdasarkan pengamatan dengan Bagan Warna
Daun (BWD) untuk mengetahui waktu pemupukan yang paling tepat. Dengan BWD,
pemberian pupuk N secara berangsur-angsur sesuai kebutuhan tanaman sehingga
tanaman tidak akan menyerap N secara berlebihan.
f.
Penggunaan
pestisida
Penggunaan pestisida dalam mengendalikan tungro
bertujuan untuk eradikasi wereng hijau pada pertanaman yang telah tertular
tungro agar tidak menyebar ke pertanaman lain dan mencegah terjadinya infeksi
virus pada tanaman sehat. Penggunaan insektisida sistemik butiran (carbofuran)
lebih efektif mencegah penularan tungro. Mengingat infeksi virus dapat terjadi
sejak di pesemaian, sebaiknya pencegahan dilakukan dengan antara lain tidak
membuat pesemaian di sekitar lampu untuk menghindari berkumpulnya wereng hijau
di pesemaian dan menggunakan insektisida confidor ternyata cukup efektif.
Insesektisida hanya efektif menekan populasi wereng hijau pada pertanaman padi
yang menerapkan pola tanam serempak. Karena itu pengendalian penyakit tungro
yang sangat berbahaya akan berhasil apabila dilakukan secara bersama-sama dalam
hamparan relatif luas, utamakan pencegahan melalui pengelolaan tanaman yang
tepat (PTT) untuk memperoleh tanaman yang sehat sehinga mampu bertahan dari
ancaman hama dan penyakit. (Lalu Wira Jaswadi)
Makalah yang bagus
ReplyDelete