Pemberdayaan
Masyarakat Dalam Agribisnis
I.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam era otonomi
daerah, Pemerintah Daerah di seluruh Kalimantan Barat akhirnya mengeluarkan
kebijakan pengaturan pemberian izin penebangan hutan skala kecil. Izin
penebangan hutan skala kecil ini disebut dengan HPHH 100 ha. Namun, setelah itu
telah terjadi banyak penyimpangan seperti tumpang tindih areal HPHH 100 ha
dengan kawasan HPH dan hutan lindung.
Akhirnya, pada tahun 2002 pemerintah pusat membatalkan keputusan tentang
kebijakan tersebut. Akan tetapi, para bupati di Kalimantan Barat tetap
memberikan perpanjangan izin dan proses perpanjangan tersebut berakhir pada
tahun 2003.
Kebijakan HPHH 100 ha ini
memberikan kesempatan bagi masyarakat sekitar hutan untuk terlibat langsung
dalam pengelolaan sumberdaya kayu. Tujuan kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat miskin dan yang tergantung pada sumberdaya hutan.
Namun, keberhasilan dari efektivitas pelaksanaan kebijakan ini terhambat oleh dua alasan utama yaitu yang
pertama, kebijakan HPHH 100 ha ini hanya berlaku pada sebagian kecil kawasan
hutan di setiap kabupaten yaitu hanya mencakup 2% dari seluruh kawasan hutan
provinsi. Yang kedua, proses perumusan yang dilakukan secara tergesa-gesa dan
tertutup serta pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan. Hal ini telah
membatasi kesempatan masyarakat sekitar hutan untuk berperan serta dalam
merancang kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat dan
memperoleh manfaat nyata dari pelaksanaan kebijakan ini.
Masyarakat merasa bahwa
kebijakan yang dikeluarkan sangat dipengaruhi oleh kepentingan elit lokal dan
nasional, khususnya kalangan penanam modal swasta dimana persyaratan yang ada
terlalu eksklusif dan tidak menjamin adanya pembagian keuntungan yang adil
antara masyarakat lokal dengan mitra swastanya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan kebijakan HPHH 100 Ha?
2. Apa kebijakan permasalahan yang dihadapi pada
pelaksanaan kebijakan HPHH?
3. Bagaimana korelasi
permasalahan kebijakan HPHH dengan social exclusion/marginalisasi?
4. Bagaimana solusi
kreatif dalam penanganan permasalahan tersebut?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pelaksanaan
kebijakan HPHH 100 Ha
2. Mengetahui permasalahan
yang dihadapi pada pelaksanaan kebijakan HPHH?
3. Mengetahui korelasi
permasalahan kebijakan HPHH dengan social exclusion/marginalisai.
4. Mengetahui solusi
kreatif dalam penanganan permasalahan yang dihadapi.
II.TINJAUN
PUSTAKA
2.1 Konsensi (HPH)
Konsesi yang di Indonesia dikenal sebagai HPH (Hak
Pengusahaan Hutan) atau dalam peraturan baru (PP 34 Tahun 2002) disebut IUPHHK
(Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) adalah suatu pemberian izin kepada
suatu organisasi berbadan hukum untuk mengelola suatu kawasan hutan produksi di
mana kayu dalam hutan tersebut dapat diambil pada suatu periode tertentu.
Konsesi dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan didasarkan pada Undang-undang Pokok
Kehutanan No. 5 Tahun 1967, dan peraturan turunannya antara lain peraturan
pemerintah No. 21 Tahun 1970 yang kemudian diganti dengan PP No. 6 Tahun 1999. HPH
diberikan untuk periode 20 tahun dengan masa rotasi selama 35 tahun dan dapat
diperbaharui kemudian menurut SK 05.1 Tahun 2000 sebagai peraturan pelaksanaan
dari PP 6 Tahun 1999 ijin diberikan untuk periode 20 tahun. Kedua peraturan
pemerintah ini telah dicabut dengan diterbitkannya PP 34 Tahun 2002. Menurut pasal
35 PP 34 Tahun 2002 IUPHHK dapat diberikan paling lama sampai 55 tahun.
Perusahaan pemegang IUPHHK mempunyai kewajiban untuk
melakukan perawatan dan penanaman kembali serta membayar iuran pemanfaatan
hutan sebagai penerimaan negara bukan pajak. Menurut Pasal 48 PP 34 Tahun 2002
iuran ini terdiri dari Iuran Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPHH), Provisi Sumberdaya
Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) untuk melakukan penanaman kembali. Kenyataan
menunjukkan bahwa kebanyakan kawasan bekas HPH tidak ditanami kembali dan telah
rusak. Di beberapa kabupaten di Sumatera selain pungutan di atas sering masih
ada pungutan lain seperti retribusi sehingga menimbulkan perbedaan pendapat
antara Kabupaten dengan Propinsi dan Pusat dan bahkan ada konflik antar
Kabupaten. Di dalam kebijakan perijinan HPH pemegang ijin diwajibkan melakukan
pembinaan masyarakat desa yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan HPH
sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 523/Kpts-II/1997
tentang Pelaksanaan PMDH (Pembinaan Masyarakat Desa Hutan). Selain HPH atau
IUPHHK ada beberapa bentuk konsesi lain seperti Ijin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan
serta Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu.
2.2 Konversi
Salah
satu pola baru yang mungkin bisa memberikan sumbangan untuk mendukung
konservasi adalah dengan pemberian izin dan hak untuk mengelola kawasan
konservasi yang disebut konsesi konservasi (Conservation Concession). Belum ada
terjemahan resmi ke dalam bahasa Indonesia. Mungkin bisa disebut Ijin Usaha
Konservasi Hutan jika kita ingin konsisten dengan tata cara penamaan ijin-ijin
dalam PP 34 Tahun 2002. Konsesi konservasi atau hak konservasi hutan adalah
izin tertentu untuk melaksanakan tugas dan fungsi perlindungan dan pelestarian.
Konsesi konservasi adalah salah satu bentuk penerapan mekanisme pembiayaan
untuk pemanfaatan jasa lingkungan yang agak berbeda dari konsesi pengusahaan hutan
(HPH). Pola ini pertama kali diperkenalkan oleh CI (Conservation International)
sebuah lembaga pelestarian alam internasional yang mempunyai Kantor Pusat di AS
dan juga mempunyai cabang di Inonesia. Ada juga beberapa bentuk mekanisme
pembiayaan pengelolaan kawasan konservasi yang dikembangkan oleh lembaga lain
seperti WWF (World Widelife Fund for Nature), Birdlife dan TNC (The Nature
Conservation). Jika pada pola HPH atau IUPHHK pemerintah memberi hak kepada
perusahaan untuk mengambil kayu, dalam pola ini lembaga tertentu diberi hak
untuk mengelola suatu kawasan untuk tujuan konservasi.
Suatu kawasan akan disewa sesuai dengan mekanisme
pasar sebagaimana dalam HPH atau IUPHHK. Pemerintah akan mendapat uang dari
kawasan tersebut karena kawasan tersebut telah dibeli hak kelolanya dari
pemerintah. Prosedur pelelangan, pemberian hak atau izin, pajak dan kewajiban
fiskal dan teknis lainnya dibuat berdasarkan model HPH atau IUPHK. Mungkin
karena kegiatan ini tidak merusak hutan maka dana reboisasi atau pungutan lain
sejenis akan diubah. Juga karena kegiatan ini tidak merupakan ekploitasi hutan
maka kewajiban finansial atau fiskal lainnya akan disesuaikan. Tentu saja kebijakan
pemerintah untuk mendukung hal ini sangat penting peranannya Konsesi ini
diberikan dengan misi dan sasaran untuk lebih mendorong kegiatan konservasi
hutan,melakukan penghutanan kembali (reboisasi), atau menjamin keselamatan dan
melindungi warisan budaya masyarakat asli melalui mekanisme pemberian insentif
pembiayaan. Ada juga misi yang ditujukan untuk mempromosikan keberlanjutan
sumberdaya dan pelestarian hutan, melindungi satwan dan fauna langka
serta
memperbaiki, mempertahankan keanekaragaman hayati dan mempertahankan cadangan
karbon di hutan. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah bahwa dalam model
konsesi ini dorongan untuk melakukan konservasi adalah karena adanya uang sewa
kawasan. Bagaimana keberlanjutannya? Bagaimana Beberapa tahun lalu pemerintah
Peru pernah mencoba melelang 800.000 ha pemerintah yang telah menerima uang
sewa kawasan bisa melakukan upaya mengelola dan memutar untuk membantu proses
pelestarian dan pembangunan sehingga dana yang ada bisa terus bergulir dan
tidak tergantung lagi pada dana sewa baru lagi? Kegiatan yang dapat dilakukan
di dalam model ini adalah dengan mencegah perusakan hutan, melakukan penghutanan
kembali atau penanaman tanaman hutan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan sebagai
proyek menghasilkan keuntungan dari perdagangan atau kompensasi mempertahankan
karbon. Kegiatan juga dapat dilakukan dengan mengubah praktek pembalakan
(penebangan kayu) konvensional dengan cara-cara yang lebih lestari guna
menghasilkan cadangan atau penyimpanan karbon yang lebih tinggi.
Dengan demikian dalam pemberian izin konsesi ini, misi,
tujuan dan kegiatan yang akan dilakukan harus disebutkan dalam perjanjian
kerjasama atau dalam perizinan. Artinya ijin konsesi ini juga dapat diberikan bukan
hanya di kawasan koservasi tetapi juga di hutan produksi yang akan
dilestarikan. Dalam kegiatan konsesi konservasi harus ada perhatian dan
tanggung jawab untuk bekerjasama dengan masyarakat lokal yang hidupnya
tergantung pula pada kawasan konservasi tersebut. Masyarakat lokal juga
mempunyai kepentingan dalam pelestarian lingkungan dan lingkungan karena
menyangkut hidup mereka juga. Hampir semua peraturan IUPHHK (Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) mensyaratkan kewajiban pemilik ijin untuk
melakukan pembinaan masyarakat dan penguatan kelembagaan masyarakat di sekitarnya
tetapi bagaimana pelaksanaannya?
2.3
Kebijakan Pemerintah
Rencana
pemberian konsesi konservasi masih sedang dijajagi di Indonesia. Pada bulan
April 2001 Menteri Kehutanan mengeluarkan pernyataan publik untuk mendukung
pelaksanaan konsesi konservasi ini. Namun sampai sekarang belum berjalan karena
Menteri Kehutanan sudah berganti. Selain itu kebijakan dan peraturan pemerintah
yang menjadi landasan pengembangan model konservasi ini belum ada. Sebagaimana
diuraikan di atas untuk penyelenggaraan konsesi ini diperlukan lembaga konservasi
untuk diberi izin atau membeli hak kelola yang mendapatkan dukungan dana dari
donor atau sumber lain. Lembaga internasional Conservation International (CI) mempunyai
cabang di Indonesia yang tengah melakukan penelitian pendahuluan di Pulau Siberut
dan Papua untuk mencari peluang membangun konsesi konservasi. Tantangan yang
dihadapi lembaga ini tidak begitu mudah melihat berbagai persoalan kehutanan
dalam masa otonomi daerah saat ini.
Salah
satu persoalan yang dihadapi dalam pengembangan konsesi konservasi ini ialah
dalam segi kebijakan dan peraturan pemerintah tentang pembagian kewenangan
pemerintah pusat dan daerah di bidang konservasi. Berdasarkan Undangundang No.
22 Tahun1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Pokok Kehutanan No. 41
Tahun 1999 konservasi ada di tangan pemerintah pusat. Peraturan Pemerintah No.
25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai
daerah otonom juga menyebutkan bahwa kewenangan konservasi ada di tangan pemerintah
pusat. Apa lagi jika urusan ini melibatkan pihak luar atau menyangkut hubungan internasional.
Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 1999, urusan luar negeri adalah kewenangan pemerintah
pusat. Pasal 10 Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah menyatakan secara spesifik tentang kewenangan hanya di wilayah laut (dalam hal ini umumnya ekosistem pantai) bukan ekosistem darat. Pasal ini menyebutkan bahwa pemerintah daerah berwewenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan.
Persoalan konservasi ini perlu juga memperhatikan kebijakan
pemerintah tentang dekonsentrasi (Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2001) dan
tugas pembantuan (Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2001). Kewenangan untuk
menetapkan kawasan untuk konsesi konservasi ini tampaknya menjadi wewenang pusat.
Demikian pula dalam hal penandatanganan kontrak dan pengelolan uang hasil sewa
konsesi ini. Namun bagi daerah di mana ada kawasan konservasi mereka akan
menuntut pembagian karena kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil
penerimaan daerah karena kawasan tersebut tidak bisa dieksploitasi. Dalam hal
ini mekanisme kerjasama serta model hubungan keuangan atau kebijakan fiskal
antara pusat dan daerah perlu diperhatikan.
Menurut pasal 6 tentang dana perimbangan dari Undang-undang No. 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, penerimaan
negara dari sumberdaya alam sektor kehutanan (dan beberapa sektor lainnya)
dibagi dengan perimbangan 20 persen untuk pemerintah pusat dan 80 persen untuk
pemerintah daerah. Apakah dari konsesi konservasi ini pemerintah daerah akan mendapatkan
80 persen hasil sewa perlindungan kawasan? Persoalan ini belum ditentukan dalam
peraturan pemerintah secara khusus. Apakah dapat dilakukan terobosan seperti
yang pemerintah pernah melakukannya dengan mengeluarkan SK KDTI (Kawasan Dengan
Tujuan Istimewa) pada tahun 1998? Dengan SK No. 47/KPTSII/ 1998 Menteri
kehutanan memberikan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat dengan system manajemen
lokal walaupun kawasan tetap milik negara. Penetapan KDTI pada waktu itu
merupakan sumbangan dan terobosan yang sangat bagus untuk menghargai peran
serta dan hak masyarakat lokal.
Namun ada resiko politik karena tidak ada landasan hukum yang kuat
di dalam Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 yang seharusnya menjadi
landasannya sebelum Undang-Undang 41 diterbitkan. Pasal 8 Undang-undang 41
Pokok Kehutanan Kehutanan Tahun 1999 menetapkan bahwa pemerintah dapat
menetapkan kawasan hutan tertentu dengan tujuan khusus. Namun penetapan ini
hanya ditujukan untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta
untuk tujuan religi (upacara ritual keagamaan dan upacara adat) dan budaya.
Apakah kegiatan konservasi konsesi dapat dimasukan dalam kategori ini? Peluang
ini ditegaskan kembali dalam pasal 4 PP 34 tahun 2002. Ketentuan tentang tata hutan
dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan
kawasan hutan untuk tujuan ini dapat diatur dengan KeputusanMenteri.
Pada tahun 1999 Menteri Kehutanan dan Perkebunan mengeluarkan
kebijakan untuk pemberian hak pemanfaatan hutan untuk pendidikan, pelatihan dan
penelitian yang dituangkan dalam Surat Keputusan No. 465/Kpts-II/1999. Di sini
ada peluang untuk memperoleh kesempatan membuat landasan kebijakan pengelolaan
konsesi konservasi ini. Namun persoalannya Surat Keputusan ini didasarkan pada
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1999 sebagai
peraturan
pelaksanaan Undang-Undang Kehutanan No. 5 Tahun 1967 sebelum Undang-Undang No.
41 tahun 1999 diterbitkan.
Walaupun
kewenangan ada di tangan pemerintah pusat tetapi dengan adanya otonomi daerah pemerintah
kewenangan daerah memang kekuasaan yang besar. Bagaimana pengaturannya?
Walaupun menurut peraturan kewenangan akan lebih besar di tangan pemerintah
pusat bagaimana hal ini bisa dilaksanakan? Proses transisi pelaksanaan otonomi daerah
menghadapi berbagai persoalan serius di mana ada kecenderungan daerah
mengabaikan sebagian kewenangan pusat. Bagaimana peran BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya
Alam) dan BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) yang sebelumnya
bernama BRLKT (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah)? Jika lokasi
konsesi konservasi juga dilakukan di Taman Nasional artinya lembaga Balai Taman
Nasional yang berwewenang juga bisa terlibat. Dengan demikian badan-badan yang
menyelenggarakan tugas dekonsentrasi ini perlu tahu model konsesi ini terutama dari
aspek teknis pelestarian atau konservasi hutan. Di lapangan masyarakat sering
tidak memahami pembagian tugas antara lembaga-lembaga pengelola konservasi ini.
Walaupun
kegiatan ini tampaknya untuk tujuan konservasi namun dari pengalaman di Amerika
Latin menunjukkan hak konservasi konsesi dapat dilakukan di kawasan hutan yang
dapat diekploitasi seperti dalam contoh di Peru di atas. Artinya konsesi ini
dapat dilakukan di kawasan hutan produksi yang sudah rusak maupun yang bisa
dilindungi atau yang bisa dicegah untuk tidak diekploitasi. Apalagi jika salah
satu tujuannya adalah untuk mempertahankan cadangan karbon. Apakah konsesi ini
juga bisa menyewa kawasan hanya untuk direhabilitasi dengan menggunakan jenistamama
non-komersial namun dapat diperhitungkan kemampuan penyerapan karbonnya?
Kegiatan
konservasi konsesi dapat dianggap sebagai bentuk pemanfaatan jasa lingkungan
dan sebagaimana disampaikan dalam pasal 39 PP 34 Tahun 2002 pemberian izin
tergantung pada lokasi kawasan. Izin diberikan oleh Bupati jika berada dalam
satu Kabupaten atau oleh Gubernur jika berada di kawasan yang mencakup beberapa
kabupaten. Namun jika berada dikawasan yang mencakup beberapa propinsi izin
dikeluarkan oleh Menteri. Pertanyaannya adalah karena sewa kawasan melibatkan
lembaga internasional maka urusan fiscal lintas negara apakah memerlukan
keterlibatan lembaga lain? Persoalan kunci sekarang juga adalah bagaimana konservasi
konsesi didukung oleh kebijakan pemerintah dari segi teknis (Departemen
Kehutanan) dan kebijakan fiskal (Depertemen Keuangan) serta kebijakan pemerintah
dalam pelaksanaan otonomi daerah (Departemen Dalam Negeri). Landasan perpaduan kebijakan
ini belum jelas terlihat.
Peraturan
pemerintah yang khusus berkaitan dengan konsesi konservasi ini belum ada sama
sekali. Sehingga dasar-dasar hukum dan peraturan yang lebih tinggi untuk
memfasilitasi peraturan lokal dan perjanjian di tingkat lapangan maupun dengan
lembaga internasional yang memiliki uang dan kemampuan teknis untuk kegiatan
ini belum kuat.
2.4
Bagaimana Melaksanakan
Konservasi
Konsesi?
Pelaksanaan
konsesi konservasi memerlukan perjanjian kerjasama antara investor lingkungan dengan pemerintah atau
pemilik sumberdaya alam lain misalnya
masyarakat adat atau masyarakat desa kalau
mungkin. Berdasarkan pengalaman pelaksanaan
konsesi konservasi di Amerika Latin hal-hal
yang dapat dirundingkan untuk pelaksanaan
kegiatan ini adalah sebagai berikut:
Di mana izin bisa diberikan?
konsesi konservasi dapat diberikan di semua kawasan yang kritis
dan harus dilindungi baik di darat maupun di kawasan perairan. Jadi kawasan
hutan tropis, kawasan bakau atau ekosistem pantai yang harus dilindungi bisa diberikan
konsesi pelestarian ini. Hal ini berbeda dengan HPH atau IUPHHK di mana izin
diberikan untuk pengambilan kayu hanya di hutan produksi di kawasan hutan alam
untuk tujuan produksi kayu. Demikian pula HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
Industri) atau Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman.
Idealnya konsesi konservasi dapat dilakukan di mana saja jika daerah tersebut
dapat atau ingin dilindungi. Kebanyakan kawasan ini di Indonesia dikuasai negara
jadi perundingan hanya bisa dilakukan dengan pemerintah. Bagaimana jika kawasan
dikuasai oleh masyarakat adat juga? Jadi jika pemerintah daerah dan masyarakat
adat merasa memiliki hak untuk pengelolaan suatu wilayah tentu harus melakukan kerjasama
dengan pemerintah pusat. Persoalan-persoalan tata ruang dan kepemilikan tanah
atau kawasan hutan memerlukan penyelidikan dan penyelesaian sengketa terlebih
dahulu sebelum mengambil keputusan untuk konsesi konservasi ini dilakukan.
Siapa yang bisa diberi izin?
Dalam kegiatan konservasi konsesi harus ada investor lingkungan,
bukan kontraktor atau investor seperti pengusaha kayu untuk pengusahaan hutan.
Investor lingkungan dalam hal ini adalah lembaga konservasi atau lembaga mana
saja yang mempunyai dana dan perhatian pada kegiatan pelestarian sumberdaya hutan.
Sejauh ini perhatian kita pasti ditujukan kepada lembaga lembaga-konservasi
internasional karena mereka mempunyai dana yang cukup. Perlu diperhatikan bahwa
lembaga konservasi internasional tugas utamanya sejauh ini adalah mencari dana
dan melakukan negosiasi dengan pemerintah. Karena itu sangat diperlukan pihak
lain yang bertanggung jawab dan dapat melaksanakan tugas konservasi di
lapangan. Pihak ketiga ini bisa menjadi badan pelaksana konsesi konservasi yang
tentu saja sudah dilibatkan dalam proses perundingan dan penawaran. Karena itu
izin juga dapat diberikan kepada lembaga swadaya masyarakat nasional
bekerjasama dengan lembaga internasional seperti yang terjadi di Peru.
Pemberian konsesi konservasi oleh pemerintah Guyana mengharuskan lembaga
konservasi dan LSM melakukan kerjasama dengan masyarakat lokal untuk mengusahakan
hutan tersebut. Dalam kegiatan ini kerjasama juga mungkin saja dilakukan dengan
lembaga penelitian, universitas dan lembaga lain yang sesuai.
Masa Waktu Konsesi
Masa waktu konsesi konservasi seharusnya diberikan untuk selama-lamanya
karena biasanya upaya pelestarian hutan tidak dibatasi waktu atau kawasan konservasi
harus dijaga secara permanen. Izin dan kewajiban pelaksanaan konservasi dapat
diberikan untuk jangka waktu tertentu apakah 25 tahun atau 35 tahun dan izin pelestarian hutan secara permanen dapat dilakukan melalui pembaharuan izin secara langsung pada akhir masa izin tersebut selesai.
Namun komitmen pemerintah sangat penting
peranannya. Konsesi ini juga dapat diberikan
untuk batas waktu tertentu pada suatu kawasan
yang harus dilindungi atau dilestarikan
sebagai tindakan sementara sampai pemerintah
suatu negara atau daerah berhasil membentuk
badan resmi untuk melindungi kawasan tersebut. Alternatif lain adalah memberikan izin untuk masa transisi antara masa penetapan status kawasan yang bisa digunakan untuk pengelolaan sumberdaya alam sampai dengan penetapan kawasan lindung secara definitif. Sebagai contoh pemberian izin konsesi konservasi untuk areal seluas 400.000 ha di daerah Amazon di Brazil diberikan untuk waktu yang tidak terbatas sedangkan di Chili untuk areal
seluas 120.000 ha diberikan izin selama 50
tahun.
Foto: Brian Belch
III.PEMBAHASAN
3.1
Pelaksanaan Kebijakan HPHH 100 Ha
Perumusan kebijakan HPHH 100 ha ini secara jelas
menetapkan sasarannya untuk memajukan pembangunan ekonom yang memberi manfaat
bagi masyarakat lokal. Dalam proses perumusannya,
Surat Keputusan Bupati No. 19/1999 tentang “Pemberian Izin Hak Pemungutan Hasil
Hutan melalui permohonan dengan luas maksimal 100 hektar” disusun rancangannya oleh
Dinas Kehutanan kabupaten dan diserahkan kepada bupati. Walaupun sebuah
keputusan bupati tidak perlu melalui mekanisme konsultasi publik, Bupati
Sintang tetap menyerahkan rancangan tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) untuk mendapatkan persetujuan informal. Pada tanggal 30 November
1999, DPRD memberikan dukungan informal atas kebijakan tersebut2, dan pada
tanggal 23 Desember 1999, keputusan tersebut ditetapkan dan diundangkan melalui
sebuah SK Bupati3, dan sejak saat itu juga keputusan tersebut
mulai berlaku.
Beberapa pihak merasa bahwa keputusan
tersebut dikeluarkan terlalu cepat karena adanya kepentingan-kepentingan elit-elit
lokal, seperti oknum pejabat pemerintah dan DPRD serta investor swasta, yang diduga
memperoleh keuntungan besar dari kebijakan tersebut. Karena sempitnya waktu,
masyarakat tidak dilibatkan di dalam proses perumusan dan tidak dimintakan
pendapat dan aspirasinya. Selain itu, juga tidak ada upaya untuk mengkaji
sejauh mana kebijakan tersebut memenuhi tujuannya memajukan pembangunan
masyarakat setempat.
3.1.1 SK Bupati 19/1999: Ketentuan-ketentuan tentang Akses dan Perlindungan
Sumberdaya Hutan
SK Bupati ini menyatakan bahwa izin
HPHH dapat diberikan kepada koperasi, kelompok tani atau perorangan warga
negara Indonesia atau badan hukum yang seluruh modalnya dimiliki oleh warga
negara Indonesia. Dikarenakan berbagai persyaratan dan tingginya investasi awal
untuk kegiatan tersebut, dalam prakteknya, lebih banyak perusahaan-perusahaan yang
bermitra dengan masyarakat setempat untuk mengajukan diri mendapatkan izin.
Untuk dapat memenuhi persyaratan tersebut, masyarakat lokal harus memiliki
badan hokum sebagai suatu kelompok usaha tani (KUT) dan harus membuktikan
hak-hak kepemilikan tradisional atas lahan hutan. Namun demikian, peraturan
yang ada tidak menjabarkan pengertian “hak-hak milik tradisional”, atau
bagaimana cara pembuktiannya. Dalam pelaksanaannya, hanya masyarakat yang dapat
membuktikan bahwa mereka memiliki hak-hak tradisional “damar tebok” yang dianggap
memenuhi persyaratan. Menurut sejarah, hak “damar tebok” digunakan masyarakat
setempat sebagai bentuk pengakuan secara tradisional terhadap beberapa jenis
pohon penghasil damar, yaitu dengan melakukan penyadapan atau menebok atau
melubangi batang pohon dammar di hutan alam. Hak tersebut bukan merupakan hak
milik, tetapi hanya hak untuk pemanfaatan (usufruct).
Bukti-bukti atas hak hutan adat damar tebok
mengacu pada pengakuan dari para tetua desa atau dan tanda bukti pembayaran
cukai kepada pemerintahan kolonial Belanda. Praktek penyadapan damar telah lama
berakhir, tetapi pengakuan melalui hak damar tebok muncul kembali seiring
dengan berlakunya kebijakan HPHH 100 ha. Hak damar tebok digunakan sebagai
salah satu mekanisme klaim atas wilayah hutan dan bukan pohon-pohon tertentu yang
menjadi calon areal HPHH 100 ha. Akses terhadap pohon-pohon bukan penghasil damar
sebelumnya terbuka untuk kelompok masyarakat lain yang tidak memiliki hak damar
tebok. Namun, dengan adanya praktek pengakuan hak milik berdasarkan damar
tebok, manfaat-manfaat sumberdaya alam lebih besar dinikmati oleh sebagian
kelompok masyarakat yang secara turun temurun merupakan penyadap pohon-pohon
damar pada zaman colonial Belanda.
Hal ini menyebabkan kelompok-kelompok masyarakat
lain, khususnya kelompok-kelompok masyarakat miskin lainnya dan pendatang,
tidak memiliki hak untuk mengajukan permohonan izin HPHH 100 ha. Dalam SK
Bupati tertuang aturan mengenai kewajiban pemegang hak untuk melakukan upaya
pemeliharaan lingkungan dan batas-batas konsesi. Tetapi pemantauan dan
pengawasan kegiatan tersebut kurang memadai karena terbatasnya kemampuan dan
jumlah personil. SK tersebut menyatakan bahwa HPHH 100 ha tidak dapat diberikan
pada areal yang telah dibebani hak atau izin yang dikeluarkan oleh pemerintah
pusat, seperti HPH5 atau Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). SK Bupati juga mewajibkan
pemegang hak untuk menanam kembali pohon dengan jumlah yang sama dengan yang
dipanen. Pemungutan kayu pada areal HPHH 100 ha harus dilaksanakan secara
manual dan semi mekanis yaitu berupa jalan kuda-kuda tradisional dan/atau lokomotif
kecil untuk menarik kayu gelondong.
3.1.2 Permohonan dan
Pemberian Izin
Dinas
Kehutanan dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) melakukan evaluasi
tentang permohonan izin yang meliputi kenbenaran kelembagaan dan status
pemohon. Namun Dinas Kehutanan menyampaikan pertimbamgan tersebut kepada
Bupati, yang memiliki wewenag untuk memberikan izin. Keseluruhan prosedur dan
proses tersebut hampir seluruhnya dikendalikan oleh Bupati dan Instasi
pemerintah daerah terkait dan kurang memberikan kesempatan kepada masyarakat
untuk memberikan masukan terhadap keputusan-keputusan yang diambil, misalnya
mengenai aspek-aspek kelayakan areal atau kepatutan pemohon.
Sistem
HPHH 100 ha memberikan kesempatan kepada pemerintah kabupaten untuk secara
langsung mengelola dan meningkatkan penerimaan dari sektor kehutanan. Saat
kebijakan ini masih berlaku (1999-2002),sekitar 944 izin ini diterbitkan di
Kalimantan Barat yang berada di kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu. Sebagian
besar Bupati di Kalimantan Barat berpendapat besarnya izin HPHH 100 ha yang
diterbitkan,dikarenakan mereka melihat saatnya untuk penduduk setempat
menikmati hasil hutan.Kebijakan ini dilihat sebagai cara untuk mengatasi
ketidakadilan selama Rezim Orde Baru,yang menyedot keuntungan lebih banyak
sumber daya hutan untuk kepentingan pemerintah pusat dan pengusaha konglomerat
kayu. Namun hasil analisis peneletian menunjukkan bahwa oknum pengusaha dan
kelompok elit mendominasi dan melaksankan kebijakan tersebut untuk kepentingan
pribadi.
Walaupun
masyarakat setempat secara hukum berhak atas pembagian manfaat, penelitian
kami menunjukan bahwa rata-rata
kemitraan dengan pemegang HPH tidak mendatangkan manfaat bagi masyarakat
miskin. Sejumlah besar manfaaat tersebut dinikmati oleh elit-elit lokal dan
pengusaha HPH. Izin mereka dicabut karena terjadi konflik-konflik dengan
masyarakat setempat dan berbagai pelanggaran namun mereka masih tetap melakukan
penebangan dengan sistem HPHH 100 ha.
3.2
Masalah-masalah dalam Pelaksanaan
3.2.1
Areal yang Tumpang Tindih dan Hak-hak Properti
Pelaksanaan tata batas, survei potensi dan identifikasi hak-hak
pihak ketiga sebelum izin diterbitkan masih belum memadai. Dinas Kehutanan
Kabupaten seharusnya mempunyai kewajiban melakukan survey lapangan, tetapi pada
kenyataannya identifi kasi areal dan tata batas lebih banyak dilakukan “di atas
kertas”. Peninjauan dan pengukuran langsung di lapangan jarang sekali dilakukan
dan koordinasi antar berbagai instansi pemerintah di semua tingkat yang
bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan pelaksanaan operasional izin
dirasakan kurang.
Akibatnya, banyak areal HPHH 100 ha yang tumpang tindih dengan
areal konsesi HPH, hutan produksi, dan hutan lindung. Ada kasus-kasus di mana
terdapat lebih dari satu izin HPHH untuk wilayah yang sama. Survei lapangan
yang tidak memadai tersebut sering memicu konflik-konflik lokal. Sebagai
contoh: konflik antara penduduk Desa Nanga Sayan dan tetangganya di desa Mekar
Pelita dan Madya Raya yang disebabkan karena masing-masing penduduk desa merasa
memiliki hutan ulayat, yang diperbolehkan untuk dieksploitasi dengan sistem
HPHH. Batas-batas wilayah hutan ulayat masing-masing desa tersebut belum
disepakati. Batas-batas adat tersebut juga seringkali tidak sesuai dengan batas
administrative yang ditetapkan pemerintahan. Walaupun demikian, perbatasan
administratif masih digunakan untuk tujuan-tujuan perencanaan pembangunan.
Kawasan konsesi HPHH 100 ha juga seringkali tumpang tindih
dengan hutan lindung. Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat memperkirakan
sekitar 30% kawasan HPHH berada dalam kawasan hutan lindung. Hal ini
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang tertuang di dalam
kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten tentang penentuan
wilayah.
3.2.2
Lemahnya Mekanisme Pendistribusian Keuntungan
Sampai pertengahan April 2004, PSDH dan DR yang dibayarkan oleh
pemegang HPHH 100 ha tidak dilaporkan dan tidak disetorkan ke rekening Menteri
Kehutanan. Ketentuan-ketentuan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan tentang mekanisme pembayaran untuk penerimaan negara bukan
pajak dan penyetoran dana. Ketentuannya adalah bahwa PSDH (IHH) wajib disetor
langsung ke Kas Negara, yang tatacara penyetorannya diatur lebih lanjut oleh
Menteri Keuangan. Kenyataannya, pemerintah kabupaten mengharuskan para pemegang
hak untuk menyetor PSDH dan DR ke Kas Pemerintah Kabupaten Sintang dan tidak
diikuti dengan transfer dana kepada pemerintah pusat.
Pemerintah-pemerintah kabupaten setempat umumnya berdalih bahwa
mereka menahan pembayaran dana tersebut sebagai sebuah “pernyataan kekecewaan
mereka” dengan kebijakan Departemen Kehutanan tentang bagi hasil dari
kehutanan. Pemerintah kabupaten berpendapat bahwa jumlah dana PSDH dan DH yang
sebelumnya dikembalikan oleh pemerintah pusat adalah 40% lebih rendah dari yang
seharusnya diterima kabupaten. Sementara itu, Kelompok Usaha Tani (KUT) yang
mendapatkan izin HPHH umumnya tidak memiliki modal atau kemampuan untuk mengelola
sebuah konsesi sehingga mereka “menjual” izin mereka kepada pada mitra kerja,
yang seringkali adalah pemilik HPH. Akibatnya, KUT hanya menerima uang ganti
rugi (fee) berkisar antara Rp. 40.000-Rp. 60.000 per m3 kayu, yang
kemudian dibagi secara merata kepada seluruh anggota dari KUT. Setelah dipotong
Rp. 5.000 per m3 untuk koordinator KUT, uang yang bersih diterima KUT berkisar
antara Rp. 35.000 hingga Rp. 55.000 per m3. Dengan mengasumsikan nilai pasar
untuk kayu seperti Meranti yang umumnya berkisar Rp. 700.000 per m3, berarti
masyarakat, yang diwakili oleh kelompok-kelompok petani (yang semuanya
lakilaki) umumnya hanya menerima keuntungan kurang dari 9% dari nilai pasar
atas kayu yang ditebang di hutan-hutan adat.
Baik peraturan perundangan di tingkat pusat maupun daerah yang
mengatur izin pemungutan kayu skala kecil, tidak ada yang mengatur atau
menyediakan petunjuk tentang cara-cara mengatur pengelolaan dan pembagian
keuntungan. Dalam banyak kasus, surat kesepakatan yang disusun oleh mitra kerja
dan diakui oleh instansi berwenang justru menjadi acuan dan mengatur berbagai
syarat dan kondisi kemitraan yang mengikat antara kelompok tani dengan
pengusaha.
3.2.3
Lemahnya Pengawasan dan Pemantauan
Sesuai dengan peraturan perundangan, kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah kabupaten menetapkan bahwa pelaksanaan pemungutan hasil hutan pada
kawasan HPHH 100 ha hanya dilakukan secara manual dan semi mekanis yaitu berupa
jalan kuda dan atau menggunakan lokomotif. Tetapi, dalam pelaksanaannya, hampir
seluruh kegiatan penebangan dilakukan dengan alat-alat berat seperti traktor
dan truk logging.
Dalam peraturannya, ada ketentuan-ketentuan yang membatasi
terjadinya kerusakan lingkungan. Namun demikian, aturan-aturan tersebut tidak
diterapkan karena pemerintah kabupaten kurang mempunyai kemampuan, misalnya,
untuk mengawasi penggunaan alat-alat berat. Yang juga penting untuk dicatat
adalah bahwa pada areal konsesi yang dialokasikan bagi masyarakat pemilik hak
damar tebok, pohon-pohon yang telah disadap otomatis memiliki nilai jual yang
rendah karena kayunya sudah berlubang. Dalam prakteknya, penebangan pohon
dilakukan secara selektif dan kayu-kayu yang ditebang bukan penghasil damar
tetapi jenis-jenis kayu komersial.
Pemegang HPHH yang wilayahnya terletak dalam hutan produksi atau
lahan-lahan pertanian yang kering (bukan untuk dialihfungsikan), menurut
aturannya diwajibkan melakukan penanaman dengan jumlah pohon yang sama dengan
yang ditebang. Namun, banyak areal konsesi yang tidak ditanami kembali, karena
mitra kerja yang lebih banyak melakukan kegiatan pemungutan kayu sementara
kelompok tani yang memiliki izin. Mengingat kelompokkelompok tani memiliki
tuntutan kepemilikan jangka panjang atas lahan, mereka mempunyai insentif lebih
untuk melakukan penanaman kembali, tetapi mereka kurang memiliki keterampilan,
dana dan kemampuan. Izin hanya berlaku untuk satu tahun - waktu yang cukup
untuk melakukan penebangan. Ketika izin telah berakhir, kecil sekali insentif
bagi mitra investor untuk melakukan kegiatan-kegiatan penanaman kembali atau
regenerasi.
2.3 Korelasi
Permasalahan Kebijakan HPHH Dengan Social Exclusion/ Marginalisasi
Dalam
kasus HPHH 100 Ha ini muncul adanya marginaliasasi karena 2 alasan utama
Pertama, kebijakan tersebut hanya berlaku pada sebagian kecil kawasan hutan di
setiap kabupaten. Seperti disajikan dalam tabel di bawah ini, kebijakan ini
hanya mencakup luasan 2% dari seluruh kawasan hutan provinsi. Faktor kedua yang
membatasi efektivitas pelaksanaan kebijakan tersebut menyangkut proses perumusan
yang dilakukan secara tergesa-gesa dan tertutup serta pelaksanaanya yang tidak
sesuai
dengan ketentuan. Akibatnya, kondisi tersebut telah membatasi
kesempatan masyarakat sekitar hutan untuk berperan serta dalam merancang
kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat, dan memperoleh
manfaat nyata dari pelaksanaan kebijakan ini. Masyarakat merasa bahwa kebijakan
yang dikeluarkan sangat dipengaruhi oleh kepentingan elit lokal dan nasional,
khususnya kalangan penanam modal swasta. Persyaratan yang tertuang dalam kebijakan
tersebut terlalu eksklusif dan tidak menjamin adanya pembagian keuntungan yang
adil antara masyarakat lokal dengan mitra swastanya.
Sekalipun sebagian anggota masyarakat
telah menerima bagian kecil keuntungan dari pelaksanaan HPHH 100 ha, keuntungan
tersebut belum tersebar merata. Kelompok-kelompok tertentu yang paling terpinggirkan,
seperti yaitu perempuan dan pendatang, menerima bagian yang sangat kecil bahkan ada yang tidak menerima apa-apa. Elit lokal
yang berkuasa merupakan penerima bagian keuntungan yang terbesar. Di saat
masyarakat diberikan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan fi nansial melalui
izin pemungutan hasil hutan berupa kayu, konfl ik juga ternyata terjadi diantara
masyarakat sendiri, dan antara masyarakat dan mitra investor.
Selain itu Sebagian besar bupati di
Kalimantan Barat berpendapat bahwa banyaknya jumlah izin HPHH 100 ha yang
diterbitkan karena mereka melihat bahwa telah tiba saatnya bagi penduduk
setempat untuk menikmati manfaat dari hutan yang ada di sekitarnya. Kebijakan
ini dilihat sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah ketidakadilan
selama rezim Orde Baru, yang lebih banyak menyedot keuntungan dari sumberdaya
hutan untuk kepentingan pemerintah pusat dan segelintir pengusaha konglomerat kayu.
Namun demikian, hasil analisis pemangku kepentingan (stakeholder)
terhadap akses HPHH 100 ha menunjukkan bahwa oknum penguasa, pengusaha dan
kelompok elit mendominasi perumusan dan pelaksanaan kebijakan tersebut guna
memenuhi kepentingan pribadi mereka.
Elit-elit lokal melakukan pendekatan
kepada para pemilik konsesi HPH untuk menjadi perantara dalam pembagian
keuntungan dan menjadi mitra kerja masyarakat setempat. Para pemegang HPH dan
industri kehutanan memanfaatkan kesempatan kemitraan dan mendapatkan keuntungan
dari adanya pasokan kayu murah hasil eksploitasi dari HPHH 100 ha. Selain itu,
lokasi HPHH 100 ha sering kali tumpang tindih dengan wilayah-wilayah HPH,
sehingga potensi konflik yang disebabkan oleh ketidak jelasan batas konsesi
meningkat.
Walaupun masyarakat setempat secara hokum
berhak atas pembagian manfaat, penelitian kami menunjukkan bahwa rata-rata
kemitraan dengan pemegang HPHH tidak mendatangkan manfaat bagi anggota
masyarakat termiskin. Sejumlah besar manfaat tersebut lebih dinikmati oleh
elit-elit lokal dan pengusaha-pengusaha HPH, serta industry pengolahan kayu.
Beberapa pemilik HPH yang telah menghentikan kegiatannya baik karena izin
mereka telah dicabut karena berbagai pelanggaran maupun
karena konfl ik-konfl ik dengan masyarakat setempat, dilaporkan
mendapat keuntungan dari system HPHH 100 ha dengan tetap melanjutkan kegiatan penebangan.
Beberapa factor
diataslah yang membuat kebijakan HPPH ini tidak menguntungkan untuk kalangan
masyarakat biasa. Dan hanya elit-elit masyarakat lokallah yng memiliki
keuntungan yang lebih. Hal ini karena kebijakan yang duturunkan oleh pemerintah
pusat memiliki kecenderungan keterpihakan untuk para elit lokal.
2.5
Pemerintah Pusat Mencabut Kebijakan
Departemen Kehutanan menarik kembali kewenangan bupati untuk
menerbitkan HPHH 100 ha yang berlaku mulai tanggal 1 Maret 2002. Akan tetapi,
pemerintah daerah Kabupaten Sintang tetap memperpanjang izin-izin setidaknya
sampai Desember 2003. Melalui penerbitan SK Menteri, Pemerintah pusat
memberikan kewenangan kepada gubernur dan bupati untuk mengeluarkan izin
pemungutan hasil hutan dengan batasan maksimum 20 m3 kayu atau 20 ton hasil
bukan kayu untuk jangka waktu satu tahun. Hasil pemungutan hasil hutan tersebut
ditujukan hanya untuk kepentingan pemakaian sendiri dan tidak untuk
diperdagangkan. Kebijakan baru tersebut tidak disambut antusias oleh para
pemangku kepentingan setempat, yang tidak lagi memiliki kesempatan untuk
mengendalikan atau mendapat keuntungan dari kegiatan-kegiatan penebangan komersial.
IV.KESIMPULAN
SARAN
3.1 Kesimpulan
Dampak
dari kegiatan HPHH 100 ha adalah masyarakat local yang kehidupannya bergantung
terhadap sumber daya hutan megalami kesulitan secara terus menerus. Hal ini
dikarenakan kriteria penetapan kelompok-kelompok masyarakat yang memenuhi
persyaratan memenuhi izin dipandang terlalu eksklusif, dan kurang
memperhitungkan perbedaan tingkat social, kebutuhan atau kemampuan masyarakat
yang sesungguhnya.
Singkatnya
periode kontrak, dan waktu yang terbatas menyebabkan kurang memadainya
perencanaan pengelolaan areal konsesi, dan tidak ada tuntutan untuk membuat
rencana pengelolaan jangka panjang. Tingkat eksploitasi hutan yang tinggi dan
berskala komersil, menyebabkan masyarkat yang mempunyai kemampuan kurang
kesulitan bersaing dengan pengusaha besar yang memiliki modal dan pengetahuan
yang lebih.
Kebijakan
ini membuat masyarakat yang sebelumnya berperan sebagai pengamat menjadi
pelaku. Pengenalan sistem baru yang terlalu cepat membuat kelompok yang
pinggiran tidak menikmati keuntungan dari kebijakan ini, hanya pejabat elit
pemerintahan dan penguhasa besar saja yang menikmati keuntungannya. Sehingga
kebijakan ini bisa dikatakan hanya menguntungkan sepihak saja.
Pemerintah
baik pusat maupun daerah seharusnya mempertimbangkan praktek pemanfaatan hutan
secara tradisional dan menerapkan kriteria dan indicator yang jelasbagi
pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan kesepakatan kemitraan. Hal ini akan
meningkatkan kemampuan masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan dan menjamin
adanya skema kemitraan yang memberikan manfaat yang adil bagi semua pihak.
No comments:
Post a Comment