Jika ada seorang wanita yang paling mencitaiku
maka dapat aku pastikan dia adalah ibuk. Hanya dia wanita yang sudi untuk
selalu menjaga dan menyayangiku meski seringkali aku berbuat salah kepadanya.
Akan tetapi ibuk seperti tak pernah peduli akan semua salahku dan selalu
memaafkan tanpa harus kami minta. Benar, ibuklah yang telah melahirkanku di
dunia yang penuh dengan kepalsuan ini. Lalu dengan telaten dan penuh kasih
sayang ia ajarkan bagaimana caranya berjalan, berbicara, makan, menulis, atau
hanya sekedar untuk bernyanyi. Dia juga yang mengenalkan aku dengan Allah yang
maha sempurna, hingga hanya Dia-lah Tuhan yang benar-benar pantas untuk aku sembah
dan aku mintai pertolongan. Ada banyak sekali pelajaran hidup yang telah ibuk
ajarkan kepadaku. Salah satunya tentang bagaimana seharusnya memperlakukan
orang lain selayaknya memperlakukan diri sendiri. Hingga pada akhirnya aku
sadar bahwa ibuklah guru terbaik yang pernah aku temui.
Aku tahu, tidak ada manusia yang pantas
dikatakan sempurna kecuali para Nabi dan Rasul yang telah disempurnakan oleh Allah
akan segala tindakan dan ucapannya supaya layak untuk diteladani umatnya. Namun
bagiku dan adek, segala bentuk pengorbanan dan kasih sayang yang telah ibuk
persembahkan untuk kami, merupakan bukti yang nyata bahwa hanya dialah seorang
ibu yang paling sempurna untuk kami. Meski aku paham, sebagai manusia biasa
ibuk juga punya banyak kelemahan dan kesalahan. Pada suatu waktu akupun mulai
merasa ketergantunganku kepadanya sangatlah besar. Akupun menjadi takut, takut
apabila tiba-tiba dia pergi meninggalkan kami dan tiada lagi manusia yang sudi
memanjakanku. Rasa takut itupun selalu datang menghantuiku dikala ibuk sedang
mengalami sesak nafas.
Sesak nafas, merupakan sepenggal kata yang
paling aku benci. Penyakit itulah yang tega menyeret Mbah Kamah kedalam masa
keabadian meninggalkan ibuk dan anak-anaknya yang lain, hingga mereka semua
menjadi piatu. Kemudian kami harus menerima kenyataan jika takdir juga telah menuliskan sebuah ketentuan
bahwa ibuk juga menderita penyakit yang sama dengan yang diderita Mbah Kamah
yang aku sendiri belum pernah menjumpai orangnya. Kami tidak mau apa yang telah terjadi pada Mbah
Kamah di masa yang lalu kembali terjadi pada ibuk. Oleh karenanya aku dan adek
akan selalu berusaha menjaga ibuk, meski aku tahu keputusan akhir tetap berada
ditangan-Nya.
Seringkali aku teringat masa kecilku dulu,
saat aku dan adek mungkin masih belum genap berusia tujuh tahun. Setiap kali
ibuk kambuh sesak nafas, aku ambil uang koin seratus rupiah beserta minyak kayu
putih untuk untuk mengeroki pundak ibuk. Sedang adek memijat telapak kakinya,
sembari mengoleskan minyak kayu putih. Dan hebatnya tangan-tangan kecil kami selalu
sukses menyembuhkan penyakit yang mengerikan itu. Entahlah apa karena kami
memang berbakat, atau mungkin kerena
keikhlasan kami, hingga Allah memberikan kesembuhan kepada ibuk. Tapi yang
jelas apa yang kami lakukan adalah sebuah hasil pendidikan yang ibuk berikan
melalui contoh nyata dari sikap yang baik saat merawat keluarganya yang sedang sakit.
Dari situlah aku dan adek banyak belajar mengenai sikap tanggap untuk menolong dan
prihatin jika mengetahui saudaranya sakit.
Sangat mudah untuk menyembuhkan orang yang
menderita asma. Tapi asma juga sangat mudah membunuh penderitanya. Setiap kali
aku mendengar suara ibuk yang tersengal-sengal di dalam panggilan telpon,
pengen sekali rasanya aku cepat pulang, meski aku tahu dirumah ada bapak yang
selalu menjaga ibuk dengan baik. Aku hanya ingin menemani ibuk saat ia kesulitan
bernafas, berbagi penderitaan dan mengambilkan segelas air hangat
untuknya. Bagiku lebih menyenangkan
dipanggil anak yang sholeh dari pada anak berprestasi. Namun aku juga tahu jadi
anak sholeh yang berprestasi itu akan jauh lebih menyenangkan, meski
kenyataannya sulit untuk terwujud. Maka biarkanlah kesempatan-kesempatan itu
untuk sementera pergi meninggalkan aku. Karena aku sangat yakin keputusanku menggunakan
waktu luangku untuk pulang ke Trenggalek demi menjaga bapak dan ibuk bukanlah
suatu kesalahan. Andaikan tanpa mereka aku tak akan sampai disini. Dan dengan
restu mereka aku akan mencapai titik tertinggi.
Sesak nafas, ingatkan aku akan ibuk..
Sesak nafas, mencemaskan batinku..
Sesak nafas, memaksaku untuk pulang..
Sesak nafas, mengajarkan keikhlasan..
Sesak nafas, mengantarkan pada sebuah
kebaktian..
Sesak nafas, kadang duka kadang suka..
Sesak nafas, membawaku terbang ke dimensi yang
membingungkan..
Sesak nafas, menjatuhkanku pada surgaku..
No comments:
Post a Comment