Hak, Kewajiban Warga Negara dan Rule of Law



Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt. atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan Makalah Hak, Kewajiban Warga Negara dan Rule of Law untuk melengkapi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan tepat pada waktunya.
            Kami mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pendidikan Kewarganegaraan yaitu Bapak Moh. Anas yang telah membimbing dan memberikan ilmu kepada kami sehingga kami dapat membuat dan menyelesaikan  makalah ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada teman-teman jurusan Sosial Ekonomi Pertanian FP-UB khususnya kelas E yang telah banyak membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Terakhir, terimakasih kepada orangtua dan keluarga kami atas semua doa, dukungan, dan motivasi yang diberikan.
            Kami menyadari dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, namun kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat. Kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

I.     PENDAHULUAN

 Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam batas-batas tertentu telah difahami orang akan tetapi karena setiap orang melakukan akitivitas yang beraneka ragam dalam kehidupan kenegaraan, maka apa yang menjadi hak dan kewajibannya seringkali terlupakan. Dalam kehidupan kenegaraan kadang kadang kala hak warga negara berhadapan dengan kewajibannya. Bahkan tidak jarang kewajiban warga negara lebih banyak dituntut sementara ha-hak warga negara kurang mendapatkan perhatian.
Hak dan kewajiban warga negara dalam kehidupan kenegaraan maupun hak dan kewajiban seseorang dalam kehidupan pribadinya, secara historis tidak pernah dirumuskan secara sempurna, karena organisasi negara tidak bersifat statis. Artinya organisasi negara itu mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan manusia. Kedua konsep hak dan kewajiban warga negara/manusia berjalan seiring. Hak dan kewajiban asasi marupakan konsekwensi logis dari pada hak dan kewajiban kenegaraan juga manusia tidak dapat mengembangkan hak asasinya tanpa hidup dalam organisasi negara.

II.  PEMBAHASAN
2.1.1        Konsep Dasar tentang Warga Negara; hak dan kewajiban
Dalam pengertian warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara serta mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu negara, yakni peserta dari suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama. Dahulu istilah warga negara seringkali disebut hamba atau kawula negara yang dalam bahasa inggris (object) berarti orang yang memiliki dan mengabdi kepada pemiliknya. AS Hikam mendifinisikan bahwa warga negara yang merupakan terjemahan dari citizenship adalah anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri. Sedangkan Koerniatmanto S, mendefinisikan warga negara dengan anggota negara. Sebagai anggota negara, seorang warga negara mempunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya.Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya.
Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara (sesuai dengan UUD 1945 pasal 26) dikhususkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara. Dalam pasal 1 UU No. 22/1958 bahwa warga negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga negara Republik Indonesia.Dalam konteks Indonesia, hak warga negara terhadap negara telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan lainnya yang merupakan derivasi dari hak-hak umum yang digariskan dalam UUD 1945. Diantaranya hak asasi manusia yang rumusan lengkapnya tertuang dalam pasal 28 UUD gubahan kedua.

1 Lihat H. L. A. Hart, “Positivism and the Separation of Law and Morals”, Harvard Law Review 71 (1958); 593
(yang membela positivisme); Lon L. Fuller, “Positivism and Fidelity to Law – A Reply to Professor Hart”, Harvard Law Review 71 (1958): 630 (yang mengkritik Hart karena mengabaikan peran moralitas dalam pembentukan hukum).
2Teori-teori lain tentang sifat kedaulatan hukum dalam karya-karya Franz Neumann dan Otto Kircheimer juga
mengambil masa ini sebagai titik tolaknya. Lihat Franz Neumann, Behemoth: The Structure and Practice of National Socialism (Frankfurt am Main: Europäjsche Verlagsanshalt, 1977), 1933-44; Franz Neumann, The Rule of Law: Political Theory and the Legal System in Modern Society (Dover: Berg Publishers, 1986); William E. Scheuerman, ed., The Rule of Law under Siege: Selected Essays of Franz L. Neumann and Otto Kirchheimer (Berkley: University of California Press, 1996). Untuk suatu eksposisi yang menarik tentang pandangan para pakar tersebut, lihat William E. Scheuermann, Between the Norms and the Exception: The Frankfurt School and
the Rule of Law (Cambridge: MIT Press, 1994), yang mencoba menerapkan analisis Neumann dan Kirchheimer
ke dalam negara kesejahteraan kapitalis abad ke-20.
Sedangkan contoh kewajiban yang melekat bagi setiap warganegara antara lain kewajiban membayar pajak sebagai kontrak utama antara negara dengan warga, membela tanah air (pasal 27), membela pertahanan dan keamanan negara (pasal 29), menghormati hak asasi orang lain dan mematuhi pembatasan yang tertuang dalam peraturan (pasal 28 J),dan sebagainya.
Prinsip utama dalam penentuan hak dan kewajiban warga negara adalah terlibatnya warga secara langsung ataupun perwakilan dalam saetiap perumusan dan kewajiban tersebut sehingga warga sadar dan menganggap hak dan kewajiban tersebut sebagai bagian dari kesepakatan mereka yang dibuat sendiri.

2.1.2        Asas  Kewarganegaan
Asas kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan ketentuan yang telah disepakati dalam negara tersebut. Dalam menerapkan asas kewarganegaraan dikenal dua pedoman penetapan, yaitu:

1). Asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dijumpai dua bentuk asas yaitu, ius soli dan ius sanguinis. Dalam bahasa Latin ius berarti hukum, dalih atau pedoman, soli berasal dari kata solum yang berartinegeri, tanah atau daerah dan sanguinis yang berarti darah. Dengan demikian, ius soli berarti pedoman kewarganegaraan yang berdasarkan tempat atau daerah kelahiran,sedangkan ius sanguinis adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan darah atau keturunan.

2). Asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan yang dapat dilihat dari sisi perkawinan yang mencakup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.Asas kesatuan hukum berdasarkan pada paradigma bahwa suami- isteri ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat dan tidak terpecah dalam suatu kesatuan yang bulat, sehingga perlu adanya kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar hukum yang sama dan meniscayakan kewarganegaraan yang sama pula. Sedangkan dalam asas persamaan derajat ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-masingpihak. Mereka tetap memiliki status kewarganegaraan sendiri sama halnya ketika mereka belum diikatkan menjadi suami istri. Asas ini dapat menghindari terjadinya penyeludupan hukum sehingga banyak negara yang menggunakan asas persamaan derajat dalam peraturan kewarganegaraan .

2.1.3        Unsur-Unsur yang Menentukan Kewarganegaraan
Dalam menentukan kewarganegaraan setiap negara memberlakukan aturan yang berbeda, namun secara umum terdapat tiga unsur yang seringkali digunakan oleh negara - negara di dunia, antara lain :
1.Unsur Darah Keturunan (Ius Sanguinis)
Kewarganegaraan dari orang tua yang menurunkannya menentukan kewarganegaraan seseorang, prinsip ini berlaku diantaranya di Inggris, Amerika, Perancis, Jepang, dan Indonesia.
2. Unsur Daerah Tempat Kelahiran (Ius Soli)
Daerah tempat seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraan,prinsip ini berlaku di Amerika, Inggris, Perancis, dan Indonesia, terkecuali di Jepang.
3.Unsur Pewarganegaraan ( Naturalisasi)
Syarat-syarat atau prosedur pewarganegaraan disesuaikan menurut kebutuhan yang dibawakan oleh kondisi dan situasi negara masing-masing.Dalam pewarganegaraan ini ada yang aktif ada pula yang pasif. Dalam pewarganegaraan aktif, seseorang dapa menggunakan hak opsi untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi warga negara dari suatu negara. Sedangkan dalam pewarganegaraan pasif,seseorang yang tidak mau dijadikan warga negara suatu negara, maka yang bersangkutan dapat menggunakan hak repuidasi yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan tersebut.
Pembicaraan status kewarganegaraan seseorang dalam sebuah negara ada yang dikenal dengan apatride untuk orang-orang yang tidak mempunyai status kewarganegaraan, bipatride untuk orang- orang yang memiliki status kewarganegaraan rangkap/dwi-kewarganegaraan, dan multipatride untuk menyebutkan status kewarganegaraan seseorang yang memiliki dua atau lebih status kewarganegaraan.

2.1.4        Konsep dan Prinsip Dasar Rule of Law dalam konteks kewarganegaraan
Sebagai negara hukum, Indonesia perlu memperjelas upaya-upaya penjaminan hak-hak warga negaranya melalui sistem yang tertata rapi. Sistem penegakan hukum perlu dibuat agar kekuatan hukum bukan berada pada orang tapi pada institusi. Upaya penerapan penegakan hukum di Indonesia perlu dibenahi sehingga dapat menjangkau seluruh kalangan, tanpa pandang bulu.
Secara historis, penegakan hukum atau  rule of law merupakan suatu doktrin dalam hukum yang mulai muncul pada abad ke-19, bersamaan dengan kelahiran negara berdasar hukum (konsitusi) dan demokrasi. Kehadiran rule of law boleh disebut sebagai reaksi dan koreksi terhadap negara absolut (kekuasaan di tangan penguasa) yang telah berkembang sebelumnya.
Berdasarkan pengertiannya, Friedman (1959) membedakan rule of law menjadi dua, yaitu pengertian secara formal (in the formal sense) dan pengertian secara hakiki/materiil (ideological sense). Secara formal, rule of law diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power), hal ini dapat diartikan bahwa setiap negara mempunyai aparat penegak hukum. Sedangkan secara hakiki, rule of law terkait dengan penegakan hukum yang menyangkut ukuran hukum yaitu baik dan buruk (just and unjust law).Ada tidaknya penegakan hukum, tidak cukup hanya ditentukan oleh adanya hukum saja, akan tetapi lebih dari itu, ada tidaknya penegakan hukum ditentukan oleh ada tidaknya keadilan yang dapat dinikmati setiap anggota masyarakat.
Rule of law tidak saja hanya memiliki sistem peradilan yang sempurna di atas kertas belaka, akan tetapi ada tidaknya rule of law di dalam suatu negara ditentukan oleh ”kenyataan”, apakah rakyatnya benar-benar dapat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan yang adil dan baik dari sesama warga negaranya, maupun dari pemerintahannya, sehingga inti dari rule of law adalah adanya jaminan keadilan yang dirasakan oleh masyarakat/bangsa.  Rule of law merupakan suatu legalisme yang mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal, dan otonom.
Rule of law adalah suatu doktrin hukum yang mulai muncul pada abad ke-19, bersamaan dengan kelahiran negara konstitusi dan demokrasi. Ia lahir sejalan dengan tumbuh suburnya demokrasi dan meningkatnya peran parlemen dalam penyelenggaraan negara dan sebagai reaksi terhadap negara absolut yang berkembang sebelumnya.
Paham rule of law di Inggris diletakkan pada hubungan antara hukum dan keadilan, di Amerika diletakkan pada hak-hak asasi manusia, dan di Belanda paham rule of law lahir dari paham kedaulatan negara, melalui paham kedaulatan hukum untuk mengawasi pelaksanaan tugas kekuatan pemerintah.
Di indonesia, inti dari rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya keadilan sosial. Pembukaan UUD 1945 memuat prinsip-prinsip rule of law, yang pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap ”rasa keadilan” bagi rakyat Indonesia. Dengan kata lain, pembukaan UUD 1945 memberi jaminan adanya rule of law dan sekaligus rule of justice. Prinsip-prinsip rule of law di dalam pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggara negara, karena pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Fungsi Rule of Law
Fungsi rule of law pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap ”rasa keadilan” bagi rakyat indonesia dan juga ”keadilan sosial”, sehingga diatur pada Pembukaan UUD 1945, bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggaraan negara. Dengan demikian, inti dari Rule of Law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat, terutama keadilan sosial. Prinsip-prinsip di atas merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan bagi penyelenggara negara/pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan jaminan atas rasa keadilan, terutama keadilan sosial.
Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat di dalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu:
1. Negara indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3);
2. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelengggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1);
3. Segenap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat 1);
4. Dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D ayat 1);
5. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28D ayat 2).
·         Prinsip-prinsip rule of law secara formal tertera dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan:
a.    bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa,…karena tidak sesuai dengan  peri kemanusiaan dan “peri keadilan”;
b.    …kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, “adil” dan makmur;
c.    …untuk memajukan “kesejahteraan umum”,…dan “keadilan social”;
d.    …disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu “Undang-Undang Dasar Negara Indonesia”;
e.    “…kemanusiaan yang adil dan beradab”;
f.    …serta dengan mewujudkan suatu “keadilan social” bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian inti rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat terutama keadilan social.
● Prinsip-prinsip rule of law secara hakiki (materiil) erat kaitannya dengan (penyelenggaraan menyangkut ketentuan-ketentuan hukum) “the enforcement of the rules of law” dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam penegakan hukum dan implementasi prinsip-prinsip rule of law. Berdasarkan pengalaman berbagai Negara dan hasil kajian, menunjukan keberhasilan “the enforcement of the rules of law” bergantung pada kepribadian nasional setiap bangsa (Sunarjati Hartono: 1982).
Dinamika Pelaksanaan Rule of Law
Pelaksanaan the rule of law mengandung keinginan untuk terciptanya negara hukum, yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat. Penegakan rule of law harus diartikan secara hakiki (materiil), yaitu dalam arti ”pelaksanaan dari just law”. Prinsip-prinsip rule of law secara hakiki (materiil) sangat erat kaitannya dengan ”the enforcement of the rules of law” dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam hal penegakan hukum dan implementasi prinsip-prinsip rule of law.
Berdasarkan pengalaman berbagai negara dan hasil kajian menunjukkan bahwa keberhasilan ”the enforcement of the rules of law” tergantung kepada kepribadian nasional masing-masing bangsa (Sunarjati Hartono, 1982). Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa rule of law merupakan institusi sosial yang memiliki struktur sosiologis yang khas dan mempunyai akar budayanya yang khas pula. Rule of law ini juga merupakan legalisme, suatu aliran pemikiran hukum yang di dalamnya terkandung wawasan sosial, gagasan tentang hubungan antarmanusia, masyarakat, dan negara, yang dengan demikian memuat nilai-nilai tertentu dan memiliki struktur sosiologisnya sendiri. Legalisme tersebut mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang sengaja bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal, dan otonom. Secara kuantitatif, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan rule of law telah banyak dihasilkan di negara kita, namun implementasi/penegakannya belum mencapai hasil yang optimal, sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan rule of law belum dirasakan sebagian besar masyarakat. Hal-hal yang mengemuka untuk dipertanyakan antara lain adalah bagaimana komitmen pemerintah untuk melaksanakan prinsip-prinsip rule of law.
Proses penegakan hukum di Indonesia dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang terdiri dari:
1. Kepolisian
2. Kejaksaan
3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
4. Badan Peradilan:
a. Mahkamah Agung
b. Mahkamah Konstitusi
c. Pengadilan Negeri
d. Pengadilan Tinggi
2.1.5        Menuju kedaulatan hukum
Usaha untuk menaati kedaulatan hukum dalam masa gejolak politik sering kali menimbulkan dilema. Terdapat ketegangan antara kedaulatan hukum dalam masa transisi, yang sering kali melihat ke belakang selain ke depan, mapan sekaligus dinamis. Dalam dilema ini, kedaulatan hukum pada akhirnya menjadi kontekstual; alih-alih merupakan dasar tatanan hukum saja, ia juga memediasi pergeseran normatif yang mencirikan masa-masa tidak biasa tersebut. Di Negara-negara demokratis, pandangan kita adalah bahwa kedaulatan hukum memiliki arti ketaatan pada aturan yang sudah ada, yang dipertentangkan dengan tindakan pemerintah secara sewenang-wenang.
Dilema tentang arti kedaulatan hukum sebenarnya tidak terbatas pada masa-masa transformasi politik dan mencakup pula dasar negara liberal. Bahkan pada masa-masa biasa, negara-negara yang demokrasinya stabil pun sering kali mengalami kesulitan untuk mengartikan ketaatan pada kedaulatan hukum. Dilema kedaulatan hukum ini biasanya muncul di lingkup-lingkup politik yang konteroversial, di mana nilai perubahan legal mengalami ketegangan dengan nilai ketaatan pada prinsip hukum yang menjadi preseden. Pada masa biasa, masalah ketaatan pada kontinuitas legal ini dilihat sebagai tantangan yang ditimbulkan perubahan politik dan social dalam jangka waktu yang panjang.


STUDI KASUS
a.         KPAI : 50 Juta Anak Indonesia Tak Miliki Akte Kelahiran
b.        Urus Akta Anak Panti Asuhan Rp 1 Juta per Orang
c.         Pemkot Siantar Diharapkan Perhatikan Hak Anak
Tribun Medan - Senin, 9 April 2012 22:02 WIB
Laporan Wartawan Tribun Medan/ Adol Frian Rumaijuk

III.             PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara (sesuai dengan UUD 1945 pasal 26) dikhususkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara. Dalam menentukan kewarganegaraan setiap negara memberlakukan aturan yang berbeda, namun secara umum terdapat tiga unsur yang seringkali digunakan oleh negara - negara di dunia, antara lain : unsur darah keturunan (ius sanguinis), unsur daerah tempat kelahiran (ius soli), unsur pewarganegaraan ( naturalisasi).
Secara formal, rule of law diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power), hal ini dapat diartikan bahwa setiap negara mempunyai aparat penegak hukum. Sedangkan secara hakiki, rule of law terkait dengan penegakan hukum yang menyangkut ukuran hukum yaitu baik dan buruk (just and unjust law).

3.2 Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami mengenai Hak dan Kewajiban sebagai Warga Negara dan Rule of Law pada suatu negara. Serta dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2012. Konsep Dasar tentang Warga Negara: hak dan Kewajiban.  http://sugiartoagribisnis.wordpress.com/2010/08/27/konsep-dasar-tentang-warga-negara/(online). Diakses tanggal 12 April 2012.
Hart, H. L. A., “Positivism and the Separation of Law and Morals”, Harvard Law Review 71 (1958).
Fuller, Lon L., “Positivism and Fidelity to Law – A Reply to Professor Hart”, Harvard
Law Review 71 (1958).
Fuller, Lon L., The Morality of Law, New Haven: Yale University Press, 1964.
Hart, H.L.A., The Concept of Law, edisi kedua, Oxford-Clarendon Press 1994.
Kant, Immanuel, The Metaphysical Elements of Justice: Part 1 of the Metaphisics of Morals, terjemahan J.I. Ladd, Indianapolis: Bobb-Merrill, 1965.
Kelman, Mark, A Guide to Critical Legal Studies, Cambridge: Harvard University Press,1986.
Kusmiaty, Dra, dkk. 2000. Tata Negara. Jakarta : PT Bumi Aksara
Neumann, Franz, The Rule of Law: Political Theory and the Legal System in Modern Society, Dover: Berg Publishers, 1986.
Scheuermann, E., Between the Norms and the Exception: The Frankfurt School and the Rule of Law, Cambridge: MIT Press, 1994.
Scheuerman, William E. (ed.), The Rule of Law under Siege: Selected Essays of Franz L.   Neumann and Otto Kirchheimer, Berkley: University of California Press, 1996.
Tim Dosen Kewarganegaraan UPT Bidang Study Unipersitas Padjadjaran. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: UPT Bidang Study Universitas Padjadjaran
Wahab, Abdul Azis dkk. 1993. Materi Pokok Pendidikan Pancasila. Jakarta: Universitas Terbuka DEPDIKBUD

FAHMI

No comments:

Post a Comment

Instagram