KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN


KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN
TUGAS PRAKTIKUM EKONOMI PEMBANGUNAN PERTANIAN
MODUL 3


OLEH:

DWI INTAN FITRIANI                                   105040101111126


PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kebijakan perdagangan komoditas pertanian Indonesia dapat dibedakan atas peran komoditas itu dalam perdagangan internasional, yaitu:
(1) Melakukan proteksi terhadap komoditas substitusi impor, khususnya komoditas-komoditas yang banyak diusahakan oleh petani. Komoditas yang dijadikan pilihan untuk mendapat proteksi adalah beras, jagung, kedelai dan gula
(2) Melakukan promosi terhadap komoditas-komoditas promosi ekspor, khususnya komoditas-komoditas perkebunan yang banyak diusahakan oleh petani. Komoditas yang dijadikan pilihan untuk mendapat promosi adalah karet, kopi, coklat, CPO dan lada.
Untuk operasionalisasi kebijakan yang harus diemban pemerintah, perlu diperhatikan tiga pilar yang merupakan elemen kebijakan yang terdapat dalam perjanjian perdagangan komoditas pertanian (AoA). Ketiga pilar itu adalah:
(1) Akses pasar
(2) Subsidi domestik
(3) Subsidi ekspor
Ketiga pilar itu terkait yang satu dengan yang lainnya, sehingga tidaklah tepat apabila melihat perjanjian itu dari aspek akses pasar saja, dengan melupakan pilar yang lainnya. Subsidi ekspor komoditas pertanian yang dilakukan oleh suatu negara, misalnya, akan berdampak luas terhadap pasar ekspornya, sehingga berpengaruh buruk terhadap daya saing ekspor negara lain yang tidak memberikan subsidi ekspor.
Sektor pertanian telah berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan PDB, perolehan devisa, penyediaan pangan dan bahan baku industri, pengentasan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian mempunyai efek pengganda kedepan dan kebelakang yang besar, melalui keterkaitan “input-output-outcome” antar industri, konsumsi dan investasi. Hal ini terjadi secara nasional maupun regional karena keunggulan komparatif sebagian besar wilayah Indonesia adalah di sektor pertanian. Namun demikian kinerja sektor pertanian cenderung menurun akibat kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Pembangunan di masa lalu kurang memperhatikan keunggulan komparatif yang dimiliki. Keunggulan komparatif yang dimiliki belum didayagunakan sehingga menjadi keunggulan kompetitif nasional. Akibat dari strategi yang dibangun tersebut maka struktur ekonomi menjadi rapuh. Krisis ekonomi yang lalu memberi pelajaran berharga dari kondisi tersebut. Apabila pengembangan ekonomi daerah dan nasional didasarkan atas keunggulan yang kita miliki maka perekonomian yang terbangun akan memiliki kemampuan bersaing dan berdayaguna bagi seluruh rakyat Indonesia.
Belajar dari pengalaman tersebut, sudah selayaknya strategi pembangunan nasional kembali memperhatikan keunggulan yang dimiliki Indonesia. Untuk itu Kabinet Indonesia Bersatu menetapkan Revitalisaisi Pertanian sebagai salah satu strategi utama pembangunan nasional 2005-2009.

1.2  Tujuan Penulisan
§  Untuk mengetahui  kebijakan pertanian yang diterapkan di Indonesia
§  Untuk mengetahui  kebijakan pemerintah dalam bidang kelembagaan pertanian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Pertanian
Pembangunan pertanian pada masa mendatang dihadapkan pada isu strategis yang terus berkembang secara dinamis, antara lain: globalisasi ekonomi meningkatkan kerusakan lingkungan; dan perubahan iklim (climate change) global; keterbatasan akses petani terhadap permodalan dan tingginya suku bunga usahatani, degadrasi lingkungan; kemiskinan dan pengangguran; kerawanan pangan dan ketahanan energi; terbatasnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluhan dan penurunan minat generasi muda terhadap sektor pertanian.
Mengantisipasi 9 (sembilan) isu strategis di atas, arah kebijakan bidang pertanian adalah: (1) meningkatkan dan memantapkan kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi nasional; (2) meningkatkan produksi dan produktivitas komoditas pertanian; (3) meningkatkan tingkat kesejahteraan petani, produktivitas tenaga kerja pertanian, kemampuan/keterampilan SDM pertanian; (4) meningkatkan daya saing dan nilai tambah hasil pertanian di pasar domestik dan pasar global; (5) mendorong terjadinya transformasi struktur ketenagakerjaan dari sektor pertanian ke non pertanian melalui pengembangan agroindustri perdesaan, serta (6) meningkatkan pengelolaan sumberdaya pertanian yang lestari dan berkelanjutan.
2.2 Tugas Pokok Pemerintah Indonesia
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 61/Permentan/OT.140/10/2010 tanggal 14 Oktober 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian dinyatakan bahwa Pusdikdarkasi mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, program dan pelaksanaan pendidikan, standardisasi dan sertifikasi profesi pertanian. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Pusat ini menyelenggarakan fungsi:
a. Penyiapan perumusan kebijakan pendidikan, standardisasi dan sertifikasi profesi peratanian
b. Perumusan program pendidikan, standardisasi dan sertifikasi profesi peratanian
c. Pelaksanaan kerjasama pendidikan, standardisasi dan sertifikasi profesi peratanian
d. Pembinaan penyelenggaraan, kelembagaan dan ketenagaan pendidikan pertanian
e. Penyusunan standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI) bidang pertanian
f. Menyelenggarakan dan melakukan pembinaan sertifikasi profesi bidang pertanian
g. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pendidikan, standardisasi dan sertifikasi profesi peratanian
2.3 Strategi Pendekatan Kelembagaan Masa Depan
Strategi pendekatan kelembagaan masa depan seyogyanya meliputi pemahaman dan penguasaan yang mendalam dalam memanfaatkan, memobilisasi, dan memadukan potensi kelembagaan lokal dengan kelembagaan yang dibentuk pemerintah (state-imposed institution) menjadi suatu alat percepatan pembangunan pertanian spesifik lokasi. Hambatan fisik dan ekologis dalam upaya introduksi state-imposed institution umumnya dapat diatasi dengan relatif mudah, tetapi hambatan sosial-budaya jauh lebih sulit untuk dikendalikan. Konsekuensinya adalah bila stateimposed institution tidak dapat diterapkan, maka terbuka peluang memberdayakan kelembagaan self-imposed institution (lembaga kemasyarakatan lokal yang masih berfungsi), atau mengembangkan kelembagaan baru yang memiliki keseimbangan elemen-elemen keduanya.
Secara umum terdapat dua ekstrim dampak pendekatan kelembagaan koersif seperti itu, yaitu mempercepat pertumbuhan kelembaga an, atau sebaliknya melemahkan kelembagaan lokal. Telah diungkap pula bahwa pendekatan koersif memiliki potensi berbahaya, seperti mem persempit atau mencekik inisiatif dan tanggung jawab lokal, atau mengendalikan inisiatif dan sumberdaya lokal untuk kepentingan lain. Sering terjadi, tokoh politik lokal mengambil alih sukses yang dicapai oleh suatu lembaga atau organisasi lokal untuk kepentingan sendiri (vested interest) Padahal di sisi lain, tidak seluruh inisiatif lokal secara otomatis menjadi sah atau legitimate dalam pandangan masyarakat setempat.
Orstrom (1990) dan Roling (1994) menyarankan agar pembentukan kelembagaan pada suatu komunitas hendaknya dilakukan secara organik dan tidak terlalu cepat. Artinya, upaya revitalisasi kelembagaan seyogyanya diselaraskan dengan kondisi sosio-budaya, norma, dan kebiasaan masyarakat, dan dilakukan secara bertahap, sehingga tidak menimbulkan pergesekan nilai yang berdampak buruk pada berbagai aspek yang terlibat. Lebih jauh lagi Suradisastra (2005b) menyarankan konsep pendekatan intrusif sebagai suatu strategi pendekatan dalam upaya meningkatkan kinerja kelem bagaan pertanian.
Improvisasi pendekatan kelembagaan sekarang dan masa mendatang mengarah ke pada pencapaian dampak positif yang akan dicapai sejalan dengan tujuan pembangunan setempat. Dalam era pembangunan otonom, metode dan strategi revitalisasi kelembagaan berada dalam konteks kewilayahan. Artinya, implementasi kebijakan pembangunan pertanian hendaknya senantiasa berada dalam rambu rambu kebutuhan wilayah yang bersifat holistik dan terintegrasi secara lintas sektor dan komoditas. Implikasi positif dari kebijakan pembangunan kewilayahan terintegrasi ini antara lain adalah berkurangnya pendekatan parsial dengan ego kesektoran yang tinggi. Dalam hal ini terbuka pilihan dua alternatif strategi dasar (basic strategy), yaitu strategi intrusif dan strategi introduksi.
a. Strategi Intrusif
Strategi intrusif menerapkan paradigma evolusi sesuai dengan perjalanan evolusi kelembagaan secara alami, dimana inovasi kelembagaan dilakukan sedekat mungkin dengan bentuk dan struktur kelembagaan lokal yang masih berjalan (Suradisastra, 2005b). Strategi ini memakan waktu relatif lama dan perubahan terjadi secara bertahap, karena kelompok stakeholder diberi cukup waktu untuk memahami dan melakukan eksperimentasi penerapan inovasi secara gradual.
b. Strategi Introduksi
Strategi introduksi menerapkan paradigma revolusi, dimana kelembagaan lokal yang ada digantikan secara total dengan lembaga baru dengan struktur yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan. Hal ini terjadi dalam era Orde Baru, dimana berbagai kelembagaan lokal, seperti lembaga norma kegiatan bertani digantikan oleh lembaga organisasi penyuluhan; lembaga kepala suku digantikan secara total oleh lembaga kepemimpinan formal (organisasi struktural pemerintahan). Dalam beberapa kondisi strategi ini memberikan hasil yang diharapkan, namun dalam kenyataan lebih banyak keberhasilan yang bersifat artifisial karena sifat pendekatan koersif top-down dalam pembentukan lembaga baru tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kelembagaan Pertanian
Kelembagaan petani memiliki titik strategis (entry point) dalam menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan. Untuk itu segala sumberdaya yang ada di pedesaan perlu diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan profesionalisme dan posisi tawar petani (kelompoktani). Saat ini potret petani dan kelembagaan petani di Indonesia diakui masih belum sebagaimana yang diharapkan. Menurut Dimyati ( 2007), permasalahan yang masih melekat pada sosok petani dan kelembagaan petani di Indonesia adalah:

1. Masih minimnya wawasan dan pengetahuan petani terhadap masalah manajemen produksi maupun jaringan pemasaran.

2. Belum terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan agribisnis. Aktivitas petani masih terfokus pada kegiatan produksi (on farm).

3. Peran dan fungsi kelembagaan petani sebagai wadah organisasi petani belum berjalan secara optimal.

Untuk mengatasi permasalahan di atas perlu melakukan upaya pengembangan, pemberdayaan, dan penguatan kelembagaan petani (seperti : kelompok tani, lembaga tenaga kerja, kelembagaan penyedia input, kelembagaan output, kelembagaan penyuluh, dan diharapkan dapat melindungi bargaining position petani. Tindakan perlindungan sebagai keberpihakan pada petani tersebut, baik sebagai produsen maupun penikmat hasil jerih payah usahatani mereka terutama diwujudkan melalui tingkat harga output yang layak dan menguntungkan petani. Dengan demikian, penguatan dan pemberdayaan kelembagaan tersebut juga untuk menghasilkan pencapaian kesinambungan dan keberlanjutan daya dukung SDA dan berbagai usaha untuk menopang dan menunjang aktivitas kehidupan pembangunan pertanian di pedesaan.

3.2 Makna dan masalah pendekatan kelembagaan
1. Harus dipahami perbedaan efektifitas penetrasi gagasan kedalam kelembagaan yang bersifat individual (seperti lembaga kepemimpinan, lembaga tokoh masyarakat, dan Iain-Iain), lembaga organisasi, lembaga tata peraturan dan hokum formal, serta lembaga norma dan budaya masyarakat.
2. Partisipasi stakeholder merupakan elemen penting dalam upaya penetrasi gagasan pembangunan sektor. Contoh klasik keberhasilan penetrasi kelembagaan lokal adalah manorial agriculture system di Inggris pada abad pertengahan. Keberhasilan manorial system tersebut berpangkal 5 pada sikap partisipatif dan tindak kolektif {collective action) masyarakat petani. Tindak kolektif seperti ini dijumpai pula pada lembaga subak yang memberi sangsi kepada individu yang bersifat over-consume dan underinvest
3. Secara teoritis, lembaga sektor menghadapi tantangan dan peluang besar untuk menyelenggarakan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan potensi kelembagaan lokal yang sangat besar. Namun pola pendekatan parsial yang disertai gejala persaingan kelembagaan {institutional competition) dan ketidak seimbangan kelembagaan {institutional imbalance) merupakan penghambat besar dalam upaya mengintegrasikan penelitian kelembagaan kedalam strategi pendekatan teknis dan ekonomi. Minat menyelenggarakan penelitian kelembagaan relatif rendah.
4. Kelembagaan tata peraturan, kebijakan dan rencana penelitian serta pengembangan iptek pada umumnya dikembangkan oleh lembaga organisasi sektor. Pelaksanaan dan evaluasi kebijakannya juga dilaksanakan oleh lembaga yang bersangkutan atau oleh lembaga lain yang berada dalam posisi pengawas dan berstatus struktural yang terkait secara formal dan dengan tugas dan fungsi yang jelas. Sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah terjadi penelitian terhadap efisiensi dan efektivitas lembaga organisasi formal yang dilaksanakan oleh lembaga penelitian yang berorientasi akademik atau oleh lembaga independen. Kondisi di atas ditengarai sebagai dampak sistem pengelolaan {managementsystem) yang kurang efisien {undermanaged).
5. Kebijakan penelitian dan pengembangan pertanian di Indonesia pada umumnya bersifat teknis dan ekonomis, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Kebijakan ini didukung oleh pendekatan-pendekatan yang melibatkan teknologi dan perhitungan ekonomi secara rinci. Peta sosiokultural dan kondisi sosial kelembagaan lokal sangat jarang dijamah dan bahkan belum dikembangkan untuk mempercepat proses alih teknologi yang didahului oleh pendekatan akademik. Padahal pengalaman menunjukkan bahwa kelambatan atau kegagalan adopsi dan inovasi teknologi pertanian lebih banyak disebabkan oleh faktor manusia pengguna teknologi tersebut. Memahami pengetahuan dan keterampilan serta pengalaman mitra pembangunan {stakeholder) usahatani saja tidak cukup. Sangat dibutuhkan penguasaan pola dan kekuatan interaksi faktor teknis dan teknologi dengan faktor sosial {interaksi tekno-kultural) secara komprehensif.
6. Pemahaman terhadap pranata dan tatanan sosial sangat membantu dalam mencari celah masuk kelembagaan {entry point) bagi peneliti, penyuluh atau change agent dalam diseminasi inovasi tanpa terlalu mengganggu pranata dan tatanan sosial masyarakat setempat.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pembangunan sektor pertanian, melalui pendekatan koersif kelembagaan, menunjukkan kinerja positif dalam pencapaian teknis dan kuantitatif, yang ditunjukkan oleh peningkatan produk si dan produktivitas sektor, namun secara kualitatif merusak struktur dan kelembagaan sosial yang selama ini menjadi pemandu kehidupan bertani di lingkungan masyarakat. Era reformasi dan pascareformasi masih mencari bentuk pendekatan dan pengembangan kelembagaan yang sejalan dengan dinamika pembangunan spesifik wilayah otonom, namun terbuka peluang meman faatkan strategi intrusif dan strategi lain yang sesuai dengan kondisi setempat.
Kinerja kelembagaan pembangunan sektor pertanian masa depan akan berhasil baik bila didukung oleh kebijakan pemihakan (affirmative policy) yang merupakan komitmen pembangunan pihak pemerintah, memiliki strategi dan teknik implementasi kebijakan yang jelas dan terstruktur, serta memiliki tolok ukur kinerja yang jelas untuk kepentingan penyempurnaan strategi pembangunan pertanian nasional.
4.2 Rekomendasi
1. Strategi pendekatan kelembagaan hendaknya bersifat organik, artinya, setiap langkah pendekatan dan penggalian informasi hendaknya diselaraskan dengan kondisi sosio-budaya, norma dan kebiasaan masyarakat secara bertahap sehingga tidak menimbulkan pergesekan nilai yang berdampak buruk pada berbagai aspek yang terlibat.
2. Dalam mengembangkan strategi pendekatan dan penelitian kelembagaan layak dikaji faktor-faktor berikut:
(a) struktur kelembagaan
(b) potensi pemanfaatan
(c) legitimasi atau pengesahan terhadap kepemimpinan dan produk kesepakatan
(d) pola manajemen.

DAFTAR PUSTAKA

Annonymous. 2011. Kebijakan Pemerintah . (online). http://www.info.stppmedan.ac.id/pdf/jurnalsesbany1.pdf. Di akses pada tanggal 1 Mei 2012
Annonymous. 2011. Kebijakan Pemerintah . (online). http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/SEM_17-05-06.pdf. Di akses pada tanggal 1 Mei 2012
Annonymous. 2011. Kebijakan
Kartasubrata, J. 1993. Indonesia. In Sustainable Agriculture and the Environtment in the Humid Tropics. National Academy Press, Washington DC.
Soetrisno, L. 1982. Further Agricultural Intensification in Indonesia: Who Gains and Who Loses? Meeting on Agricultural Intensification in Indonesia. June 25-27.
Suradisastra, K. 1999. Perspektif Keterlibatan Wanita di Sektor Pertanian. Forum Agro Ekonomi, Desember 1999. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Per tanian.
Suradisastra, K. 2000. Implikasi Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 (PP25/2000) terhadap Manajemen Pembangunan Pertanian. Makalah Seminar Nasional Pembangunan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor, 9-10 November 2000. (Unpublished).

FAHMI

No comments:

Post a Comment

Instagram