Kultur Embrio Dan Penggandaan Kromosom


Kultur Embrio Dan Penggandaan Kromosom Hasil Persilangan Kacang Hijau Dan Kacang Hitam
Resume dari M. Kosmiatin dan I. Mariska
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kacang hijau (Vigna radiata L. Wilczek) termasuk tanaman pangan yang sudah lama dibudidayakan di Indonesia (Arora dan Mauria 1993). Budi daya kacang hijau relatif mudah dengan risiko kegagalan yang kecil. Namun demikian, peningkatan luas pertanamannya hanya sekitar 5%/tahun. Peningkatan yang lambat ini antara lain disebabkan sulitnya petani memperoleh benih yang berkualitas baik serta waktu panen yang tidak serempak (Marzuki dan Soeprapto 2001). Berkembangnya penyakit yang belum diikuti dengan penyediaan varietas tahan juga turut menghambat pengembangan kacang hijau (Astanto dan Sutarman 1993). Persilangan antarspesies memainkan peran penting dalam program pemuliaan tanaman. Teknik ini digunakan jika keragaman genetik yang diinginkan tidak ditemukan pada spesies yang dibudidayakan. Persilangan antarspesies dapat memfasilitasi introgresi gen antartaksa (Song et al. 1997). Persilangan antarspesies juga memungkinkan untuk mendapatkan hibrida dengan variasi yang tinggi, seperti adanya mutasi serta perluasan adaptasi baik terhadap lingkungan abiotik maupun biotik atau memperoleh individu dengan kombinasi karakter yang baru.
Persilangan antara kacang hijau dan kacang hitam (Vigna mungo) telah dilakukan di India dan Australia terutama untuk sifat-sifat toleransi terhadap penyakit. Hasil persilangan menunjukkan keguguran embrio yang cukup tinggi dan kegagalan perkecambahan (Jaiwal dan Gulati 1995). Benih F1 yang dihasilkan bersifat fertil parsial bahkan steril, lambat matang, dan muncul beberapa sifat morfologi lain yang merupakan perpaduan antara kedua tetuanya (Gosal dan Bajaj 1983).
Untuk menyelamatkan embrio dan meningkatkan daya kecambah biji F1 dapat dilakukan dengan kultur in vitro. Teknik ini banyak digunakan untuk menyelamatkan embrio atau biji hasil persilangan dengan cara mengkulturkannya pada media tumbuh yang sesuai (Raghavan 1986). Keberhasilan teknik kultur in vitro ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain kondisi dan hubungan kekerabatan genotipe yang digunakan sebagai tetua, formulasi media, dan umur biji muda (embrio) yang dikulturkan. Persilangan antarspesies umumnya menghasilkan tanaman F1 yang fertil parsial hingga steril penuh murni, karena genom berasal dari tetua yang berbeda, sehingga ketika pembelahan sel meiosis terjadi pembentukan multivalen (Poespodarsono 1988).
Akibatnya gamet yang terbentuk memiliki kromosom yang khimera (Hansen dan Andersen 1998). Tanaman F1 fertil dari persilangan dengan genom yang berbeda dapat diperoleh bila terbentuk amphidiploid atau allotetraploid. Tanaman ampidiploid dapat diperoleh dengan menggandakan genom tanaman F1 dan genom tetua yang akan disilangkan, serta melakukan hibridisasi somatik (fusi protoplas) dari kedua tetua.
Penggandaan kromosom buatan umumnya dilakukan dengan menambahkan senyawa kolkisin. Senyawa ini akan menghambat pembentukan dan aktivitas benang-benang gelendong pada saat mitosis, di mana pada tahap metafase kromosom tidak bergerak ke arah dua kutubnya tetapi tetap berada di daerah ekuator bahkan dapat kembali mengganda (Strickberger 1985). Senyawa kolkisin dapat digunakan baik pada kultur in vivo maupun in vitro. Efisiensi yang dicapai kedua cara ini relatif sama, namun kultur in vitro lebih efektif karena perlakuannya dapat dikenakan pada tingkat sel (Husni et al. 1995).
Penyelamatan embrio dengan kultur embrio dan penggandaan kromosom embrio F1 hasil persilangan diharapkan dapat menghasilkan tanaman amphidiploid yang normal dan fertil. Selanjutnya, tanaman hasil persilangan ini dapat diseleksi dan diuji ketahanannya terhadap penyakit kudis. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan aksesi kacang hitam toleran penyakit kudis yang sesuai untuk disilangkan dengan kacang hijau varietas Walet, mengetahui umur yang tepat untuk menyelamatkan embrio dan mencari formulasi media yang sesuai untuk mengecambahkannya, serta mengetahui konsentrasi kolkisin yang dapat menggandakan kromosom F1 hasil persilangan.

1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan aksesi kacang hitam yang sesuai untuk disilangkan dengan kacang hijau, umur yang tepat untuk menyelamatkan embrio, media yang sesuai, serta konsentrasi kolkisin yang dapat menggandakan kromosom F1.

BAB II
Bahan Dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2002 hingga Mei 2004 di laboratorium kultur jaringan dan kamar kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Bahan tanaman yang digunakan sebagai tetua persilangan adalah kacang hijau varietas Walet sebagai tetua betina serta kacang hitam nomor aksesi VR-34, VR-35, dan lokal Madura No. 19/1 sebagai tetua jantan. Bahan tanaman ditanam di kamar kaca dengan pemupukan sesuai dengan rekomendasi.
2.1 Persilangan Kacang Hijau Dan Kacang Hitam
Persilangan kacang hijau dan kacang hitam dilakukan di kamar kaca. Kastrasi bunga yang akan digunakansebagai tetua betina dilakukan pada sore hari (pukul 16.00-18.00 WIB) sebelum bunga mekar dan dipilih kuncup bunga yang diperkirakan akan mekar keesokan harinya. Polinasi dilakukan setelah bunga mekar sempurna pada pukul 06.00-08.00 WIB. Polong dipanen pada umur 1, 2, dan 3 minggu setelah polinasi. Selanjutnya polong disimpan dalam lemari pendingin selama 2 hari sebelum diisolasi. Pengamatan dilakukan terhadap keberhasilan polinasi, jumlah polong yang terbentuk, dan polong yang gugur. Keberhasilan polinasi dicirikan dengan layunya bunga yang diserbuki dan munculnya bakal polong.
2.2 Kultur embrio
Embrio yang akan dikulturkan diisolasi dari polong yang disimpan di dalam lemari pendingin. Sebelum embrio diisolasi, polong disterilkan kemudian embrio diisolasi dengan cara membuka kulit biji. Selanjutnyaembrio ditanam/dikulturkan pada medium perkecambahan. Embrio umur 1, 2, dan 3 minggu setelah polinasi dikulturkan pada medium dasar Knudson dan Knudson yang dimodifikasi ditambah dengan BA 1 mg/l. Sebagai pembanding, embrio dikulturkan pada medium MS yang ditambah dengan IAA 0,01 mg/l dan kinetin 0,1 mg/l (Gosal dan Bajaj 1983). Pengamatan dilakukan terhadap persentase embrio yang berkecambah, waktu perkecambahan, serta penampakan kecambah dan biakan in vitro.
2.3 Penggandaan kromosom
Penggandaan kromosom dilakukan pada embrio muda yang paling baik perkecambahannya. Embrio digandakan dengan mengkulturkannya pada medium perkecambahan dengan menambahkan kolkisin 0; 0,05; 0,15; dan 0,25% kemudian diinkubasi selama 1, 2, dan 3 hari. Embrio yang sudah diperlakukan dengan kolkisin disubkultur pada media pemulihan yaitu media Knudson + BA 1 mg/l yang ditambah dengan arang aktif 0,2%. Pengamatan dilakukan terhadap persentase embrio yang berkecambah dan jumlah kromosom pada jaringan yang diperlakukan dengan kolkisin.


BAB III
Hasil Dan Pembahasan
3.1. Persilangan antara kacang hijau dan kacang hitam
Keberhasilan persilangan antarspesies sangat ditentukan oleh kedekatan hubungan kekerabatannya. Hubungan kekerabatan kedua tetua yang makin dekat akan meningkatkan keberhasilan persilangan, sebaliknya hubungan yang makin jauh akan memperkecil keberhasilan persilangan. Penggunaan tiga varietas kacang hitam dimaksudkan untuk menilai varietas yang paling sesuai disilangkan secara resiprokal dengan kacang hijau serta menghasilkan biji yang dapat berkecambah sehingga diperoleh tanaman F1 yang fertil. Ketiga aksesi kacang hitam yang digunakan memiliki ketahanan yang cukup tinggi terhadap penyakit kudis.
Keberhasilan persilangan kacang hijau varietas Walet dengan tiga nomor kacang hitam VR-35, VR-34, dan lokal Madura No. 19/1 pada umumnya masih rendah (Tabel 1). Hal ini ditunjukkan oleh persentase polong yang dapat dipanen (umur 3 minggu setelah polinasi) yang hanya 21,7-51,3%. Persentase keberhasilan polinasi cukup tinggi dengan kisaran 72,5-90,0%. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan kacang hijau dan kacang hitam cukup dekat. Hambatan genetik kurang berpengaruh sebelum fertilisasi, tetapi hambatan genetik ini berpengaruh nyata setelah fertilisasi (postzygotic barriers). Hal ini ditandai dengan tingginya polong muda yang gugur hingga hari ke-21 setelah polinasi, mencapai 76,5%. Gugur polong terjadi sejak hari pertama hingga 3 minggu setelah polinasi, bahkan polong yang sudah berbiji pun dapat gugur. Pada polong yang gugur, embrio umumnya kisut sehingga tidak dapat dikulturkan. Gugurnya polong muda dapat disebabkan oleh inkompatibilitas setelah fertilisasi, karena endosperma gagal berkembang sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan embrio. Kegagalan pertumbuhan endosperma dapat disebabkan oleh laju pembelahan sel yang rendah atau bahkan terhenti sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi jaringanendosperma yang sudah terbentuk (Hadley danOpenshaw 1980). Pada kacang-kacangan, pertumbuhan
embrio sangat bergantung pada endosperma sebagai
sumber nutrisi.
Persentase keberhasilan pembentukan polong tertinggi (51,3%) diperoleh dari persilangan kacang hijau dengan kacang hitam lokal Madura No. 19/1. Polong muda yang gugur juga paling rendah (32,1%) dibandingkan persilangan dengan VR-34 dan VR-35. Penampakan polong hasil persilangan ini kurang baik dibanding persilangan lainnya bahkan jumlah biji kisut pada setiap polong paling banyak.
Kualitas polong yang paling baik dihasilkan dari persilangan Walet dengan VR-35. Polong dapat berbiji dengan jumlah biji kisut hanya sedikit bahkan hampir tidak ada, kualitas bijinya baik dengan kotiledon yang terbentuk sempurna. Namun, persilangan Walet dengan VR-35 sulit dilakukan dengan keberhasilan persilangan hingga terbentuk polong hanya 21,7%, embrio yang gugur cukup tinggi (76,5%), tetapi keberhasilan polinasinya tertinggi (90%).
Pembentukan biji bervariasi dari normal hingga tidak normal (pengisian biji tidak maksimal) sehingga biji kisut atau hanya berisi ovul yang membengkak (tidak dibuahi) yang akhirnya gugur. Warna kulit biji hasil persilangan mengikuti warna kulit biji tetua kacang hijau yaitu hijau kecoklatan. Embrio diisolasi dari polong yang terbentuk dengan mengupas kulit biji, kemudian ditanam pada medium perkecambahan. Embrio yang berhasil diisolasi memiliki kualitas yang beragam, dari normal (embriodengan endosperma-kotiledon) hingga tidak normal (biji yang tidak memiliki embrio atau biji hampa).
Menurut Miyazaki et al. (1984), biji hasil persilangan kacang hijau (tetua betina) dengan kacang hitam (tetua jantan) berbentuk normal hingga tidak normal, kadang biji pecah dengan kotiledon menonjol atau pengisian biji (kotiledon) tidak maksimal sehingga tampak kisut. Hasil persilangan juga menunjukkan bahwa kacang hijau dan kacang hitam mempunyai hubungan kekerabatan yang relatif dekat karena persilangan dapat menghasilkan F1 yang berkecambah. Namun, tingkat kedekatan tiga aksesi/varietas kacang hitam yang digunakan bervariasi, di mana aksesi VR-35 memiliki hubungan yang paling dekat dengan kacang hijau dibandingkan aksesi VR-34 dan lokal Madura No. 19/1.
3.2 Kultur embrio
3.2.1. Pengaruh umur polong setelah polinasi
Pada kultur embrio hasil persilangan antarspesies, umur embrio saat dikulturkan sangat mempengaruhi keberhasilan persilangan, mengingat embrio yang gugur sangat tinggi dan hal ini tidak dapat diduga sebelumnya. Pada penelitian ini, keguguran polong/ embrio berlangsung sejak hari pertama sampai hari ke- 21 setelah polinasi. Di lain pihak, penanaman embrio yang masih sangat muda menghadapi kendala teknis sulitnya mengisolasi embrio dari polong karena ukuran embrio sangat kecil. Selain itu, penanaman embrio yang sangat muda memerlukan formulasi media yang lebih kompleks. Penggunaan embrio yang lebih matang akan mempermudah isolasi serta formulasi media yang digunakan lebih sederhana, tetapi embrio yang gugur (embrio tidak berkecambah) akan meningkat. Pada penelitian ini, embrio dipanen pada umur 1, 2, dan 3 minggu setelah polinasi karena pemasakan embrio kacang hijau berkisar antara 4-6 minggu, sementara kacang hitam 6-9 minggu. Diharapkan sampai umur 3 minggu setelah polinasi, embrio belum gugur tetapi cukup matang untuk berkecambah dan mudah diisolasi. Semua embrio hasil persilangan kacang hijau dan kacang hitam dapat berkecambah pada media yang digunakan (Tabel 2). Persentase perkecambahan cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur embrio yang dikulturkan. Peningkatan umur embrio juga mempercepat waktu perkecambahan karena embrio lebih matang.
Persentase perkecambahan hasil persilangan tiga nomor kacang hitam pada umur embrio yang sama beragam. Persentase perkecambahan terbaik (55,13%) diperoleh dari embrio umur 3 minggu dari tetua jantan kacang hitam VR-35, dengan rata-rata waktu perkecambahan 5,4 hari setelah tanam. Perkecambahan hampir tidak terjadi pada embrio umur 3 minggu dengan tetua jantan kacang hitam VR-34, dan embrio yang berhasil berkecambah memerlukan waktu 29 hari setelah tanam. Biji hasil persilangan dengan tetua jantan VR-34 umumnya memiliki kulit yang pecah karena pertumbuhan kotiledon sangat pesat sehingga menghambat pertumbuhan embrio aksis. Hal ini menunjukkan bahwa embrio dengan kondisi yang tidak sempurna (embrio terhambat oleh kotiledon) memerlukan waktu yang lebih lama untuk berkecambah. Hasil yang sama diperlihatkan oleh embrio umur 1 minggu hasil persilangan dengan kacang hitam VR-35 dan lokal Madura No. 19/1, masing-masing 31,4 dan 30,5 hari. Persilangan dengan tetua jantan kacang hitam VR-35 menghasilkan perkecambahan yang cukup baik pada semua umur embrio dan media yang digunakan.
Penggunaan embrio yang makin tua akan meningkatkan persentase embrio berkecambah serta mempersingkat waktu perkecambahan. Hal ini sesuai denganPierik (1987) yang menyatakan bahwa kultur embrio matang lebih sederhana/mudah dibandingkan dengan kultur embrio muda. Pada umur 3 minggu setelah polinasi, kondisi embrio cukup baik dengan kotiledon yang sempurna. Meskipun beberapa embrio memiliki kotiledon yang besar sehingga kulit biji agak merekah, hal itu tidak mengganggu perkecambahan. Dengan kondisi embrio yang hampir sempurna, embrio tidak memerlukan waktu yang lama untuk berkecambah dengan rata-rata waktu kecambah 5,4 hari setelah tanam.
Keberhasilan perkecambahan embrio yang lebih muda hanya 9,52% untuk embrio umur 1 minggu dan 21,35% untuk embrio umur 2 minggu setelah polinasi. Penurunan persentase embrio berkecambah diikuti dengan peningkatan rata-rata waktu berkecambah, yaitu 31,4 hari untuk embrio 1 minggu dan 16,7 hari untuk embrio 2 minggu setelah polinasi. Embrio umur 1 minggu setelah polinasi agak sulit diisolasi karena ukurannya hanya + 2 mm termasuk kulit biji dan embrio masih berupa cairan. Pada umur 2 minggu embrio sudah terlihat, tetapi ukuran kotiledonnya masih kecil. Embrio umur 1 dan 2 minggu setelah polinasi mungkin memerlukan formulasi media yang lebih kaya atau lebih kompleks untuk meningkatkan perkecambahannya.
Pada persilangan dengan tetua jantan kacang hitam VR-34, peningkatan umur embrio justru menurunkan persentase perkecambahan, bahkan pada embrio umur 3 minggu, rata-rata perkecambahan di bawah 1%. Pada umur 3 minggu, kulit biji telah pecah dan kotiledon tumbuh sangat pesat sehingga menghambat pertumbuhan embrio aksis. Hal seperti ini juga terjadi pada persilangan antarspesies Solanum, di mana pertumbuhan endosperma hibrida menggungguli pertumbuhan embrio sehingga embrio gugur muda (Handayani 1995).
Pada embrio yang lebih muda, pertumbuhan kotiledon belum menghambat pertumbuhan embrio aksis sehingga persentase perkecambahannya 22,27% (embrio 1 minggu) dan 22,43% (embrio 2 minggu). Hal ini menunjukkan bahwa penentuan umur embrio yang akan dikecambahkan harus memperhatikan faktor keguguran embrio dan hubungan kekerabatan tetua yang digunakan. Kultur embrio yang lebih tua relatif lebih mudah dengan formulasi media yang lebih sederhana, tetapi tidak dapat menjamin keberhasilan perkecambahan in vitro bagi embrio hasil persilangan. Pada persilangan dengan tetua jantan kacang hitam lokal Madura No. 19/1, perkecambahan embrio cenderung menyerupai embrio hasil persilangan dengan VR35. Namun demikian, pertumbuhan embrio lokal Madura No. 19/1 umur 3 minggu lebih rendah dengan rata-rata waktu berkecambah yang lebih lama dibanding VR-35. Hal ini menunjukkan perkecambahan embrio dari tetua jantan lokal Madura mungkin dapat meningkat bila dikulturkan pada umur yang lebih tua. Rendahnya perkecambahan mungkin juga menunjukkan ketidak sesuaian antara kacang hijau varietas Walet dengan kacang hitam lokal Madura.
3.2.2Pengaruh media perkecambahan
Pada kultur embrio, keberhasilan perkecambahan in vitro juga ditentukan oleh komposisi media dan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media untuk menggantikan peran endosperma. Pengecambahan embrio yang lengkap biasanya tidak memerlukan formulasi media yang rumit, bahkan pada beberapa jenis tanaman, embrio dapat tumbuh pada media dasar tanpa zat pengatur tumbuh, seperti pada embrio hasil persilangan S. khasianum dan S. capsicoides (Handayani 1995).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa embrio hasil persilangan antara kacang hijau dan kacang hitam dapat berkecambah pada semua media yang digunakan, baik media yang sederhana (medium dasar Knudson), media yang lebih kaya (MS) maupun media yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh. Secara umum penambahan zat pengatur tumbuh BA pada media dasar dapat meningkatkan persentase perkecambahan. Pada embrio yang lebih muda, penambahan BA 1 mg/l dapat meningkatkan persentase perkecambahan yang lebih baik daripada tanpa penambahan BA. Pada persilangan dengan tetua jantan kacang hitam VR-35, persentase perkecambahan terbaik (90%) diperoleh pada medium Knudson + BA 1 mg/l untuk embrio umur 3 minggu dengan rata-rata waktu berkecambah 3,6 hari. Persentase perkecambahan yang tinggi (81%) juga diperoleh dari embrio umur 1 minggu dari tetua jantan kacang hitam VR-34 yang dikulturkan pada medium Knudson modifikasi + BA 1 mg/l. Namun demikian waktu berkecambahnya jauh  lebih lama (19,7 hari). Media dasar Knudson ternyata cukup baik untuk mengecambahkan embrio hasil persilangan antarspesies, kecuali untuk embrio yang lebih muda dengan tetua jantan VR-35 dan lokal Madura No. 19/1.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mariska et al. (1998) pada embrio hasil persilangan antarspesies panili. Penggunaan medium MS yang diencerkan 1/2 kali lebih baik daripada MS penuh. Kandungan garam makro media MS yang diencerkan ini hampir sama dengan garam makro media Knudson. Penambahan BA pada medium perkecambahan juga berhasil pada perkecambahan embrio F1 panili liar dan panili budi daya dengan media 1/2 MS + BA 1 mg/l (Mariska et al. 1998), embrio F1 Vigna unguiculata dan V. vexillata pada media MS + BA 1 mg/l + adenin sulfat + kasein hidrolisat (Gomathinayagami et al. 1997), embrio F1 Glycine max dan G. canescens pada media B5 + BA 1 μM + NAA 0,1 μM (Bodanese-Zanettini et al. 1996), dan embrio F1 C. arietinum dan C. pinnatifidum pada media B5 + BA 2 mg/l + IAA (Badami et al. 1997). Perkecambahan embrio muda (umur 1 dan 2 minggu) dari tetua jantan kacang hitam VR-35 dan lokal Madura No. 19/1 lebih baik pada medium MS + IAA dan kinetin.
Tunas-tunas yang tumbuh memperlihatkan keragaman yang tinggi (Gambar 1). Tunas tersebut kemudian disubkultur pada media MS atau B5 untuk diperbanyak secara klonal. Namun, tunas-tunas ini tidak dapat mengganda, baik tunas adventif maupun aksilar. Umumnya tunas menunjukkan gejala pembentukan kalus pada pangkal tunas, daunnya gugur dan layu serta akar tidak terbentuk dengan baik. Pelayuan dan gugurnya daun menyebabkan subkultur tunas harus dilakukan dengan cepat, dalam waktu 2 minggu setelah tanam daun mulai layu dan akhirnya gugur. Pelayuan ini juga terjadi pada tunas-tunas pucuk yang disubkultur. Untuk mengurangi daun yang gugur dan layu, dicoba ditambahkan arginin dan glutamin maupun AgNO3 konsentrasi rendah, namun pertumbuhan tunas justru terhambat dan akhirnyamati. Pembentukan akar dicoba diinduksi dengan menambahkan auksin (IAA, IBA, dan NAA) konsentrasi rendah, tetapi penambahan zat pengatur tumbuh ini justru menginduksi pembentukan kalus. Perbanyakan klonal pada F1 hasil persilangan kacang hijau dan kacang hitam tidak menambah jumlah tunas, tetapi tunas justru berkurang karena mati akibat pelayuan dan kontaminasi karena seringnya tunas disubkultur. Tunas-tunas yang berhasil membentuk akar dengan jumlah daun lebih dari dua diaklimatisasi pada medium campuran tanah dan kompos. Namun, plantlet umumnya hanya bertahan hidup sampai 2 minggu, dan beberapa tanaman yang bertahan hidup hingga 12 minggu tidak berbunga. Hal ini menunjukkan hasil persilangan bersifat steril, karena ketidakcocokan kromosom antartetua sehingga kromosom tidak berpasangan.
3.3 Penggandaan kromosom
Salah satu upaya untuk mengatasi sterilitas hasil persilangan adalah dengan menggandakan kromosom secara buatan sedini mungkin. Penggandaan pada tahap dini dimaksudkan untuk meningkatkan peluang mendapatkan tanaman ampidiploid (Poespodarsono 1988). Penggandaan kromosom secara in vitro dapat dilakukan pada bahan tanaman yang masih sangat muda, bahkan pada tingkat sel (Husni et al. 1995).
Pada penggandaan kromosom secara in vitro, embrio hasil persilangan antara kacang hijau dan kacang hitam VR-35 memberikan persentase perkecambahan tertinggi. Penggandaan dilakukan dengan mengkulturkan embrio umur 2-3 minggu pada medium perkecambahan yang ditambah dengan kolkisin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa embrio gagal berkecambah untuk setiap ulangan penggandaan. Embrio tidak mati, tetapi plumula gagal membentuk tunas sementara radikel tidak memanjang tetapi hanya mengalami pembengkakan. Daun pertama dapattumbuh dan berwarna hijau tetapi hanya bertahan beberapa hari kemudian gugur. Kotiledon dan radikel membesar lalu membentuk kalus, tetapi kalus tidak dapat beregenerasi.
Masalah pengkalusan ini sulit diatasi meskipun sudah dicoba dengan menambahkan antiauksin ke dalam medium. Pada beberapa perlakuan, kalus yang terbentuk menyerupai kalus embriogenik, tetapi kalus ini sulit beregenerasi membentuk benih somatik atau bila berhasil benih somatik yang terbentuk tidak sempurna. Analisis kromosom dengan metode squash sulit dilakukan karena kalus tumbuh menutupi titik-titik tumbuh, baik meristem tunas maupun ujung akar. Jumlah kromosom kalus tidak dapat dianalisis karena sulitnya menentukan tahap metafase sel akibat pembelahan sel kalus yang sangat aktif dan cepat.
Penggandaan embrio diulang dengan mengganti media pemulihan setelah perlakuan kolkisin. Pemulihan dilakukan dengan mengkulturkan embrio pada media perkecambahan yang diberi arang aktif 0,2% untuk mengurangi residu kolkisin yang terbawa. Arang aktif dapat mengikat toksin yang dikeluarkan oleh eksplan. Subkultur ini berhasil mengurangi pengkalusan bahkan beberapa tunas dapat tumbuh (Gambar 2). Tunas berhasil diperoleh dari semua konsentrasi perlakuan kolkisin 0,05; 0,15; dan 0,25% dan diinkubasi selama 2 hari (Tabel 3). Tunas terbanyak diperoleh dari konsentrasi kolkisin 0,15%. Analisis kromosom dilakukan dengan mempersingkat perendaman dalam larutan hidroksikuinolin menjadi hanya 2 jam. Semua eksplan yang hidup dianalisis jumlah kromosomnya. Tanaman hasil persilangan antarspesies biasanya steril akibat ketidakseimbangan kromosom ketika terjadi pembelahan. Pada saat mitosis sering terjadi pergerakan kromosom yang multivalen sehingga terbentuk sel-sel khimera dengan jumlah kromosom homolog sedikit atau tidak ada sama sekali. Hambatan ini dapat diatasi dengan menggandakan kromosom secara buatan seperti dengan perlakuan kolkisin.
Hasil analisis menunjukkan adanya keragaman jumlah kromosom dari eksplan yang berhasil difiksasi pada tahap metafase, meskipun dengan perlakuan kolkisin yang sama (Tabel 3). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jumlah kromosom dari embrio F1 yang digandakan. Tingkat ploidi kromosom tidak dapat diketahui karena embrio langsung digandakan tanpa dilihat terlebih dahulu jumlah kromosom awalnya. Jumlah kromosom awal sulit diperoleh karena biakan tidak dapat diperbanyak secara klonal. Perlakuan kolkisin 0,25% memberikan jumlah kromosom terbanyak (72). Perlakuan kolkisin yang lebih lama juga meningkatkan jumlah kromosom. Tunas yang diperoleh berasal dari biakan dengan jumlah kromosom 36-60.
BAB IV
Penutup
4.1 Kesimpulan
Tetua kacang hitam VR-35 paling sesuai untuk disilangkan dengan kacang hijau dengan hasil persilangan F1 yang paling baik. Embrio dapat berkecambah sampai umur embrio 3 minggu setelah polinasi, kecuali pada persilangan dengan kacang hitam VR-34. Perkecambahan embrio secara in vitro dapat dilakukan pada medium dasar Knudson. Penambahan BA 1 mg/l dapat meningkatkan persentase embrio berkecambah. Tunas terbanyak diperoleh dari perlakuan kolkisin 0,15% dan diinkubasi 2 hari. Jumlah kromosom terbanyak diperoleh dari konsentrasi kolkisin 0,25%.

DAFTAR PUSTAKA

Arora, R.K. dan S.S. Mauria. 1993. Vigna radiata. hlm. 88-94. Dalam Van der Maesen and S. Sumaatmadja (Ed.). Prosea Sumber Daya Nabati Asia Tenggara, Kacangkacangan.Gramedia, Jakarta.
Astanto, K. dan T. Sutarman. 1993. Perbaikan genetik kacang hijau untuk stabilitas hasil. Dalam Kacang Hijau. Edisi Khusus Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbiumbian, Malang. hlm. 25-49.
Badami, P.S., N. Mallikarjuna, and J.P. Moss. 1997. Interspecific hybridization between Cicer arietinum and C. pinnatifidum. Plant Breed. 116: 393-395.
Bodanese-Zanettini, M.H., M.S. Lauxen, S.N.C. Richter, S. Cavali-Molina, C.E. Lange, P.J. Wang, and C.Y. Hu. 1996. Wide hybridization between Brazilian soybean cultivars and wild perennial relatives. Theor. Appl. Genet. 93: 703-709.
Gomathinayagami, P., S. Ganeshram, R. Rathnaswamy, and  N.M. Ramaswamy. 1997. Interspecific hybridization between Vigna unguiculata (L.) Walp. and V. vexillata (L.) A. Rich. through in vitro embryo culture. Euphytica 102: 203-209.
Gosal, S.S. and Y.P.S. Bajaj. 1983. Interspecific hybridization between V. mungo and V. radiata through embryo culture. Euphytica 32: 129-137. Hadley, H.H. and S.J. Openshaw. 1980. Interspecific and intergeneric hybridization. p. 133-159. In W.R. Fehr and H.H.
Handayani, T. 1995. Persilangan Antarjenis Solanum khasianum CLARKE dan Solanum capsicoides ALL dengan Penyelamatan Embrio dan Perlakuan Kolkisin. Tesis Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hansen, N.J.P. and S.B. Andersen. 1998. In vitro chromosome doubling with colchicine during microspore culture in wheat (Triticum aestivum L.) Euphytica 102: 101-108.
Husni, A., D. Sukmadjaja, dan I. Mariska. 1995. Variasi somaklonal tanaman panili dengan mutagen kimia colchicines secara in vitro. hlm. 8-16. Prosiding Evaluasi dan Hasil Penelitian Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.
Jaiwal, P.K. and A. Gulati. 1995. Current status and future strategies of in vitro culture techniques for genetic improvement of mungbean (Vigna radiata (L.) Wilczek). Euphytica 86: 167-181.
Mariska, I., Hobir, A. Husni, M. Kosmiatin, dan Y. Rusyadi. 1998. Penyelamatan embrio hasil persilangan antara panili budi daya dan panili liar serta sistem regenerasinya. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.
Marzuki, R. dan H.S. Soeprapto. 2001. Bertanam Kacang Hijau. Penebar Swadaya, Depok. 55 hlm.
Miyazaki, S., J. Kawakami, and N. Ishikura. 1984. Phylogenetic relationship classification of Vigna radiata mungo complex. JARQ 17(4): 225-229.
Pierik, R.L.M. 1987. In vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhaff Publishers, Dordrecht Boston Lancaster. p. 344.
Poespodarsono, S. 1988. Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor-Lembaga Sumberdaya Informasi, Institut Pertanian Bogor.
Raghavan, V. 1986. Variability through wide crosses and embryo rescue. p. 631-633. In I.K. Vasil (Ed.). Cell Culture and Somatic Cell Genetic of Plant. Vol. 3. Academic Press Inc., New York.
Song, P., W. Kang, and E.B. Peffley. 1997. Chromosome doubling of Allium fistulosum x A. cepa interspecific F1 hybrids through colchicines treatment of regenerating callus. Euphytica 93: 257-262.
Strickberger. 1985. Genetics. 3rd Ed. Macmillan Publishing Company, New York, Collier Macmillan Publishers, London. 842 pp.



FAHMI

No comments:

Post a Comment

Instagram