MAKALAH
DEGRADASI KESUBURAN TANAH
Disusun
Oleh:
Muhammad
Guruh Arif Zulfahmi (105040201111091)
Pandu
Bagus Wicaksono (105040201111062)
Program
Studi Agroekoteknologi
Fakultas
Pertanian
Universitas
Brawijaya
Malang
2011
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Defenisi
degradasi tanah cukup banyak diungkapkan oleh para pakar tanah, namun
kesemuanya menunjukkan penurunan atau memburuknya sifat-sifat tanah apabila dibandingkan
dengan tanah tidak terdegradasi. Degradasi tanah menurut FAO adalah hasil satu
atau lebih proses terjadinya penurunan kemampuan tanah secara aktual maupun
potensial untuk memproduksi barang dan jasa. Defenisi tersebut menunjukkan
pengertian umum dengan cakupan luas tidak hanya berkaitan dengan pertanian
(Firmansyah, 2003).
Masalah
degradasi sifat-sifat tanah dirasakan makin begitu penting belakangan ini.
Degradasi tanah biasanya dievaluasi dari sifat fisik dan kimia tanah. Badan
Dunia seperti FAO turut mengambil langkah kongkrit untuk membantu mengurangi
laju peningkatan luas tanah yang mengalami penurunan sifat-sifatnya. Melalui
Regional Office for Asia and the Pacific, pada tahun 1989 FAO membentuk Expert
Consultation of the Asian Nerwok on Problom Soil. Badan ini bertemu secara
rutin untuk membahas langkah-langkah guna mengurangi degradasi tanah di kawasan
Asia (Firmansyah, 2003).
Menurut
Firmansyah (2003) bentuk degradasi tanah yang terpenting di kawasan Asia antara
lain adalah erosi tanah, degradasi sifat kimia berupa penurunan kadar bahan
organik tanah dan pencucian unsur hara. Perubahan penggunaan lahan dan pola
pengelolaan tanah menyebabkan perubahan kandungan bahan organik tanah. Makin
intensif penggunaan suatu lahan, makin rendah kandungan bahan organik tanah.
Oleh karena itu tanah yang terdegradasi perlu dilakukan upaya rehabilitasi.
Dari rehabilitasi ini di harapkan dapat memperbaiki (memulihkan), meningkatkan
dan mempertahankan kondisi tanah yang rusak agar berfungsi secara optimal, baik
sebagai unsur produksi, media pengatur tata air maupun sebagai unsur
perlindungan lingkungan (Latifah, 2005).
Makalah ini
bertujuan untuk memahami faktor-faktor terjadinya degradasi tanah, proses dan
karakteristik tanah terdegradasi, serta upaya memperpendek tercapainya
resiliensi melalui upaya rehabilitasi tanah terdegradasi.
1.2 Rumusan Masalah
Indonesia
merupakan bagian dari ekosistem tropika basah yang tergolong sangat rentan
terhadap degradasi jika pengelolaannya tidak tepat. Ekosistem tropika
basah meliputi areal sekitar 1,5 milyar hektar lahan dengan populasi manusia
sekitar 2 milyar, yang tersebar dalam 60 negara. Dua pupuh lima persen areal
tersebut terdapat di Asia. Tanah-tanah lahan kering tropika basah merupakan
tanah yang rentan terhadap degradasi, selain disebabkan faktor alami juga
akibat campur tangan manusia (Pujianto, 2001). Umumnya faktor-faktor penyebab
degradasi tersebut baik secara alami maupun campur tangan manusia menimbulkan
kerusakan dan menurunnya produktivitas tanah.
1.3 Tujuan
1. Faktor-Faktor terjadinya Degradasi Tanah
2. Karakteristik Tanah yang Terdegradasi
3. Proses terjadinya Degradasi Tanah
4. Klasifikasi Tanah yang Terdegradasi
5. Pengaruh Degradasi Tanah terhadap Produktivitas
6. Pentingnya Rehabilitasi Tanah Terdegadasi dalam
Upaya Memperpendek Tercapainya Resiliensi dan Meningkatkan
Produktivitas
7. Rehabilitasi pada Degradasi Sifat Fisik Tanah
8. Rehabilitasi terhadap Degradasi Sifat Kimia dan
Biologi Tanah
1.4 Manfaat Penulisan
Setelah
membaca makalah ini diharapkan pembaca bisa memberikan perhatian yang lebih
kepada lingkungan khususnya kondisi tanah di Indonesia yang rawan degradasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Faktor-Faktor terjadinya Degradasi Tanah
Degradasi tanah
pada umumnya disebabkan karena 2 hal yaitu faktor alami dan akibat faktor campur
tangan manusia. Degradasi tanah dan lingkungan, baik oleh ulah manusia maupun
karena ganguan alam, semakin lama semakin meningkat. Lahan subur untuk
pertanian banyak beralih fungsi menjadi lahan non pertanian. Sebagai akibatnya
kegiatan-kegiatan budidaya pertanian bergeser ke lahan-lahan kritis yang
memerlukan infut tinggi dan mahal untuk menghasilkan produk pangan yang
berkualitas (Mahfuz, 2003).
Menurut
Firmansyah (2003) faktor alami penyebab degradasi tanah antara lain: areal
berlereng curam, tanah yang muda rusak, curah hujan intensif, dan lain-lain.
Faktor degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak
langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antar lain: perubahan
populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan
lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial dan
ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak tepat.
Lima
faktor penyebab degradasi tanah akibat campur tangan manusia secara langsung,
yaitu : deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian, ekploitasi berlebihan,
serta aktivitas industri dan bioindustri. Sedangkan faktor penyebab tanah
terdegradasi dan rendahnya produktivitas, antara lain : deforestasi, mekanisme
dalam usaha tani, kebakaran, penggunaan bahan kimia pertanian, dan penanaman
secara monokultur (Lal, 2000). Faktor-faktor tersebut di Indonesia pada umumnya
terjadi secara simultan, sebab deforestasi umumnya adalah langkah permulaan
degradasi lahan, dan umumnya tergantung dari aktivitas berikutnya apakah
ditolerenkan, digunakan ladang atau perkebunan maka akan terjadi pembakaran
akibat campur tangan manusia yang tidak terkendali (Firmansyah, 2003).
Umumnya
faktor-faktor penyebab degradasi baik secara alami maupun campur tangan manusia
menimbulkan kerusakan dan penurunan produktivitas tanah. Pada sistem usaha tani
tebas dan bakar atau perladangan berpindah masih tergantung pada lama waktu
bera agar tergolong sistem usaha yang berkelanjutan secara ekologis. Secara
khusus disebutkan bahwa sistem tersebut pada beberapa daerah marjinal dan
tekanan populas terhdap lahan cukup tinggi, kebutuhan ekonomi makin meningkat
mengakibatkan masa bera makin singkat sehingga sangat merusak dan menyebabkan
degradasi tanah dan lingkungan. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa setelah
5 tahun sejak pembakaran maka konsentrasi unsur hara menurun, persentase Al
tinggi, dan persentase kejenuhan basa rendah di subsoil setelah 2-5 tahun
kebakaran. Tanah menjadi subyek erosi, subsoil menjadi media tumbuh tanaman,
dan tingginya konsentrasi Al pada tingkat meracun serta rendahnya kejenuhan
basa mendorong penurunan produksi tanaman (Firmansyah, 2003).
Pengaruh
antropogenik terhadap degradasi tanah akan sangat tinggi apabila tanah
diusahakan bukan untuk non pertanian. Perhitungan kehilangan tanah yang
ditambang untuk pembuatan bata merah sangat besar. Akibat penimbunan permukaan
tanah dengan tanah galian sumur tambnag emas di Sukabumi mengakibatkan
penurunan status hara, menurunkan populasi mikroba dan artropoda tanah, dan
merubah iklim mikro (Hidayati, 2000).
Laju
deforestrasi di Indonesia sebesar 1,6 juta ha per tahun, sedangkan luas lahan
kritis pada awal tahun 2000 keseluruhan seluas 23,2 juta ha (Dephut, 2003).
Deforstasi mengakibatkan penuruna sifat tanah. Handayani (1999) menyatakan
bahwa deforestrasi menyebabkan kemampuan tanah melepas N tersedia (amonium dan
nitrat) menurun. Degradasi lahan akibat land clearing dan penggunaan
tanah untuk pertanaman secara terus-menerus selama 17 tahun memicu hilangnya
biotan tanah dan memburuknya sifat fisik dan kimia tanah.
Dibandingkan
tanah non terdegradsai, maka terdegradasi lebi rendah 38% C organik tanah, 55%
lebih rendah basa-basa dapat ditukar, 56% lebih rendah biomass mikroba, 44%
lebih rendah kerapatan mikroartropoda, sebaliknya 13% lebih tinggi berat isi
dan 14% pasir. Nilai pH non terdegradasi lebih tinggi daripada tanah
terdegradasi. Begitu pula ditemukan bahwa dekomposisi daun dan pelepasan unsur
hara lebih rendah pada tanah terdegradasi daripada non terdegradasi selama 150
percobaan (Firmansyah, 2003).
Kebakaran hutan
seringkali terjadi di Indonesia, data menunjukkan bahwa luas kebakaran hutan
pada tahun 2002 sebesar 35.496 ha (Dephut, 2003). Kebakaran menyebabkan
perubahan warna agregat luar memiliki hue dan chroma lebih rendah dan hue
menjadi lebih merah dibandingkan warna dalam agregat. Selama itu terjadi
penurunan Cadd dan meningkatkan kejenuhan Al. Penggunaan warna tanah
setelah kebakaran untuk menduga kesuburan tanah sangat terbatas, sebab
kesuburan tanah berubah lebih cepat darpada warna tanah (Firmansyah, 2003).
Kebakaran juga menyebabkan meningkatnya ammonium, P tersedia, Na+, K+,
Mg2+, menurunya nitrat, KTK dan Ca2+, serta bahan
organik, sedangkan erosi akibat kebakaran dapat berkisar sekitar 56 dan 45 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan tanah tidak terbakar masing-masing pada
intensitas tinggi dan sedang (Garcia et a.l, 2000).
2.2 Karakteristik Tanah yang Terdegradasi
Secara jujur
pada umumnya kita lebih senang membanggakan kesuburan tanah kita dan
keberhasilan pertanian dengan panen melimpah serta lingkungan yang indah dan
berkualitas. Sebaliknya kita enggan membicarakan usaha pertanian yang suram
atau menurunnya produkstivitas suatu lahan. Sehingga terkesan, bahwa kita
melalaikan pelestarian usaha pertanian. Padahal kenyataannya lahan pertanian
kita terus terancam oleh degradasi dari segala arah, yang jauh dari kemampuan
kebanyakan para petani untuk menangkalnya (Adi, 2003).
Kondisi iklim
di Indonesia seperti curah hujan dan suhu yang tinggi, khususnya Indonesia
bagian barat, menyebabkan tanah-tanah di Indonesia didominasi oleh tanah
marginal dan rapuh serta mudah terdegradasi menjadi lahan kritis. Namun
degradasi lebih banyak disebabkan karena adanya pengaruh intervensi manusia
dengan pengelolaan yang tidak mempertimbangkan kemampuan dan kesesuian suatu
lahan. Kemampuan tanah untuk mendukung kegiatan usaha pertanian atau pemanfaatn
tertentu bervariasi menurut jenis tanah, tanaman dan faktor lingkungan. Oleh
karenanya pemanfaatan tanah ini harus hati-hati dan disesuaikan dengan
kemampuannya, agar tanah dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan tanpa
merusak lingkungan (Subika, 2002).
Karakteristik
tanah terdegradasi umumnya diukur dengan membandingkan dengan tanah non
terdegradasi yaitu tanah hutan. Perbandingan tanah hutan sebagai tanah non
terdegradasi karena memiliki siklus tertutup artinya semua unsur hara di dalam
sistem tanah hutan berputar dan sangat sedikit yang hilang atau keluar dari
sistem siklus hutan. Sedangkan selain tanah hutan merupakan sistem terbuka
dimana siklus hara dapat hilang dari sistem tersebut. Penurunan sifat pada
tanah untuk penggunaan non hutan akan menunjukkan memburuknya sifat-sifat dari
tanah tersebut (Firmansyah, 2003).
Handayani
(1999) menyatakan bahwa tanah Ultisol Bengkulu di vegetasi hutan habis tebang 4
bulan dan tanah pertanian yang diusahakan 3 tahun terjadi penurunan kemampuan
menyediakan N anorganik sebesar 12-13% dubandingkan tanah hutan. Selain itu
terjadi penurunan intensitas mineralisasi N pada lahan pertanian sebesar 39%
pada kedalaman tanah 0-10 cm. Hal ini menunjukkan bahwa tanah hutan mempunyai
kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah pertanian. Konversi penggunaan
lahan hutan ke lahan pertanian telah menyebabkan degradasi pada siklus N.
Mengingat begitu luasnya lahan kritis serta laju degradasi yang semakin tinggi,
maka usaha-usaha restorasi dan menekan laju lahan kritis sudah menjadi
kebutuhan yang cukup mendesak (Subiksa, 2002).
2.3 Proses terjadinya Degradasi Tanah
Problem
degradasi tanah dan lingkungan umumnya lebih parah di daerah-daerah tropis
daripada daerah temperate, di daerah kering daripada daerah basah, di daerah
iklim panas daripada daerah dingin. Diperkirakan diseluruh dunia tanah
terdegradasi sekitar 2 milyar hektar dan 75% berada di daerah tropis. Degradasi
tanah dapat disebabkan oleh banyak proses, termasuk erosi tanah yang
dipercepat, salinasi, kerusakan karena pertambangan dan aktivitas perkotan,
serta pengembalaan berlebih dan komtaminasi dari polutn industri (Widjaja,
2002).
Lima proses
utama yang terjadi akibat timbulnya tanah yang terdegradasi, yaitu: menurunnya
bahan kandungan bahan organik tanah, perpindahan liat, memburuknya struktur dan
pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian unsur hara (Firmansyah,
2003). Khusus untuk tanah-tanah tropika basa terdapat tiga proses penting yang
menyebabkan terjadinya degradasi tanah, yaitu: 1) degradasi fisik yang
berhubungan dengan memburuknya struktur tanah sehingga memicu pergerakan,
pemadatan, aliran banjir berlebihan, dan erosi dipercepat, 2) degradasi kimia
yang berhubungan dengan terganggunya siklus C, N, P, S dan unsur-unsur lainnya,
dan 3) degradasi biologi yang berhubungan dengan menurunya kualitas dan
kuantitas bahan organik tanah, aktivitas biotik dan keragaman spesies fauna
tanah yang juga menurun ikut menurun (Lal, 2000).
2.4 Klasifikasi Tanah yang Terdegradasi
Tanah merupakan
faktor lingkungan penting yang mempunyai hubungan timbal balik dengan tanaman
yang tumbuh di atasnya. Tanah yang produktif harus dapat menyediakan
lingkungan yang baik seperti udara dan air bagi pertumbuhan akar tanaman
disamping harus mampu menyediakan unsur hara yang cukup bagi pertumbuhan tanaman
tersebut. Faktor lingkungan tersebut menyangkut berbagai sifat fisik tanah
seperti ketersediaan air, temperatur, aerasi dan struktur tanah yang baik
(Mahfudz, 2003).
Klasipikasi
tanah terdegradasi cukup banyak dimunculkan oleh para ahli diantaranya adalah
GLASOD (Globall Aseeemen of Soil Degradation), suatu proyek yang
dirancang UNEP. Klasipikasi GLASOD didasarkan atas keseimbangan antara kekuatan
rusak iklim dan resisensi alami kelerengan terhadap kekuatan merusak akibat
intervensi manusia. Sehingga dihasilkan penurunan kapasitas tanah saat ini atau
kedepan untuk mendukung kehidupan manusia (Firmansyah, 2003).
Tipe degradasi
tanah dibagi 2 macam, yaitu : 1) berhubungan dengan displasemen bahan tanah
yang terdiri dari erosi air dan erosi angin, 2) berdasarkan deterosiasi in situ
terdiri dari degradasi kimia (hilangnya unsur hara/bahan organik, salinasi dan
polusi), dan degradasi fisik. Derajat tipe degradasi terbagi menjadi rendah
sedang, kuat dan ektrim, dengan faktor penyebab adalah deforestasi,
overgrazing, kesalahan pengelolan pertanian, ekspoitasi berlebihan, dan
aktivitas industri (Firmansyah, 2003).
2.5 Pengaruh Degradasi Tanah terhadap Produktivitas
Dalam
rangka rehabilitasi lahan-lahan kritis yang luasnya semakin besar di Indonesia
serta meningkatnya produktivitas untuk keperluan pertanian, perkebunan,
kehutanan dan pelestarian alam, maka perlu dilakuakan upaya-upaya yang dapat
yang dapat memodifikasi lingkungan tersebut (Subiksa, 2002). Degradasi tanah
berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanah. Kehilanagn produktivitas
dicirikan dengan terjadinya erosi akibat tanah terdegradasi diperkirakan 272
juta Mg pangan dunia hilang berdasarkan tingkat produksi tahun 1996 (Lal,
2000).
Tanah yang
mengalami kerusakan baik kerusakan karena sifat fisik, kimia dan maupun biologi
memiliki pengaruh terhadap penurunan produksi padi mencapai sekitar 22% pada lahan
semi kitis, 32 % pada lahan kritis, dan diperkirakan sekitar 38% pada lahan
sangat kritis. Sedangkan untuk kacang tanah mengalami penurunan sekitar 9%,
46%, 58% masing-masing pada tanah semi kritis, kritis dan tanah yang sangat
kritis. Sifat tanah yang berkorelasi nyata terhadap produksi padi adalah
kedalaman solum, kandungan bahan organik (Sudirman dan Vadari, 2000).
2.6 Pentingnya
Rehabilitasi Tanah Terdegadasi dalam Upaya Memperpendek Tercapainya Resiliensi
dan Meningkatkan Produktivitas
Resilensi (resilience) merupakan
gambaran ukuran kemampuan sistem tanah untuk kembali kepada kondis asli,
sedangkan resiliensi merupakan kemampuan sangga tanah atau ketahanan tanah
terhadap perubahan. Konsep resiliensi adalah mengevaluasi kemampuan tanah
untuk kembali kepada tingkat penampilan semula, jika tanah tersebut mengalami
degradasi atau terjadinya penurunan sifat-sifatnya dalam konteks dimensi waktu
dan nilai. Resiliensi merupakan upaya dari rehabilitasi (Firmansyah, 2003),
sedangkan Lal (2000) menyatakan bahwa resiliensi tanah tergantung pada
keseimbangan antara restorasi tanah dan degradasi tanah. Proses degradasi di
lahan kering antara lain memburuknya struktur tanah, gangguan terhadap siklus
air, karbon dan hara, sedangkan restorasinya meliputi pembentukan mikroagregat
mantap, mekanisme humifikasi dan biomassa C tanah, meningkatkan cadangan hara
dan mekanisme siklus hara, dan keragaman hayati.
Seybold (1999)
menyatakan terdapat 3 pendekatan untuk mengkaji resiliensi tanah antara lain:
1) mengukur secara lngsung recovery setelah terjadinya gangguan, 2)
melakukan kuantifikasi terpadu mekanisme recovery setelah terjadinya
gangguan, dan 3) mengukur sifat-sifat yang mendukung indikator mekanisme recovery
tersebut.
Rehabilitasi
tanah terdegradasi dapat ditinjau dari sifat tanah yang mengalami penurunan dan
diupayakan dilakukan perbaikan dengan menggunakan amelioran. Menurut Firmansyah
(2003) bentuk degradasi tanah yang terpenting di Kawasan Asia antara lain
adalah adanya erosi tanah, degradasi sifat kimia berupa penurunan bahan organik
tanah dan pencucian unsur hara. Degradasi tanah oleh proses erosi permukaan
(sheet erosion) telah berlangsung sangat intensif dan meluas di Indonesia. Hal
ini terjadi karena: (1) curah hujan yang tinggi, (2) lahan yang berlereng
curam, (3) tanah peka erosi, dan (4) praktek pertanian tanpa disertai dengan
adanya upaya pengendalian erosi. Di Jawa Barat laju erosi mencapai 5.2 mm/thn
yang mencakup areal 322 ribu hektar, di Jawa Tengah 15 mm/thn, di Jawa Timur
sekitar 14 mm/thn, dan di Lampung ditemukan laju erosi 3 mm/thn. Laju erosi
sebesar 1 mm/thn setara dengan kehilangan tanah sebanyak 10/ton/ha. Di beberapa
wilayah pertanian, selain erosi permukaan juga sering terjadi longsor yang
sangat merusak tanah pertanian (Adi, 2003).
Berdasarkan
penelitian Herrik dan Wander resiliensi tanah dapat dilakukan berdasarkan
kuantifikasi percobaan melalui pengukuran lajunya, atau dikembangkan menjadi
recovery setelah gangguan, sedangkan resistensi ditunjukkan sebagai
perbandingan kapasitas fungsi tanah setelah gangguan dan kapasitasnya sebelum
terganggu. Resistensi tanah dalam istilah ini berhubungan dengan kulitas tanah
dalam arti recovery fungsi tanah, sedangkan resistensi tanah berhubungan dengan
kualitas tanah dalam arti derajat perubahan tanah dalam fungsi tanah sebagai
hasil gangguan. Selama gangguan, kualitas tanah menjadi fungsi resistensi
tanah, sedangkan setelah gangguan maka kualitas tanah merupakan fungsi dari
resiliensi tanah (Firmansyah, 2003).
2.7 Rehabilitasi
pada Degradasi Sifat Fisik Tanah
Degradasi sifat
fisik tanah pada umumnya disebabkan karena memburuknya struktur tanah.
Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan agregat tanah
sebagai akibat akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan permukaan.
Penurunan kestabilan agregat tanah berkaintan dengan penurunan kandungan bahan
organik tanah, aktivitas perakaran dan mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga
agen pengikat tanah tersebut, selain menyebabkan agregat tanah relatif mudah
pecah juga menyebabkan terbentuknya kerak di permukaan tanah (soil crusting)
yang mempunyai sifat padat dan keras bila kering. Pada saat hujan turun, kerak
yang terbentuk di permukaan tanah juga menyebabkan penyumbatan pori tanah.
Akibat proses penyumbatan pori tanah ini, porositas tanah, disribusi pori
tanah, dan kemampuan tanah untuk mengalirkan air mengalami penurunan dan
limpasan permukaan akan meningkat. Sehingga upaya perbaikan degradasi sifat
fisik tanah mengarah terhadap perbaikan struktur tersebut (Suprayogo et al.,
2001).
Untuk
pengelolaan tanah, tiga strategi dasar yang perlu untuk disarankan adalah (1)
eliminasi pengkerakan tanah atas melalui ”pengolahan dalam ” secara berkala,
(2) meningkatan kandungan bahan organik tanah melalui peningkatan jumlah
masukan seresah yang bervariasi kualitasnya, dengan cara menanam tanaman
penutup tanah atau menanam berbagai jenis pohon, dan (3) peningkatan
diversitasi tanaman pohon dalam rangka meningkatkan jumlah dan penyebaran
sistem perakaran (Suprayogo et al., 2001).
Firmansyah
(2003) menyatakan bahwa penggunaan gambut terhumipikasi rendah dengan BD 0,10
Mg m-3 memilki pengaruh lebih besar daripada gambut terhumifikasi
tinggi dengan BD 0,29 Mg m-3 dalam menurunkan kompaktibilitas tanah.
Penelitian tersebut juga menemukan bahwa behan organik lebih efektif untuk
tanah dengan kompaktilitas tinggi, ketahanan penetrsai maksimum tanah liat
menurun dari 0,64 menjadi 0,30 Mpa, dan pada tanah berpasir meningkat dari 0,64
menjadi 1,08 Mpa.
Pemberian bahan
tersebut dapat memperbaiki sifat fisik tanah berupa peningkatan total ruang
pori, perbaikan aerasi tanah, pori air tersedia, permeabilitas tanah dan
menurunnya ketahanan penetrasi. Pemberian dosis 20 Mg/ha dapat meningkatkan
aerasi diatas 12%, sedangkan pada takaran 10 Mg/ha dapat memperbaiki ketahanan
penetrasi (Firmansyah, 2003).
Upaya perbaikan
terhadap sifat tanah adalah dalam pemantapan agregat tanah yang memiliki
tekstur lepas dengan menggunakan polimer organik. Polyacrilamide (PAM) berberat
molekul tinggi dan bermuatan negatif sedang mampu memantapkan permukaan tanah,
menurunkan run-of dan erosi. Rehabilitasi tanah terdegradasi dapat ditinjau
dari sifat tanah yang mengalami penurunan dan diupayakan dilakukan perbaikan
dengan menggunakan amelioran. Bentuk degradasi tanah yang terpenting di kawasan
Asia antara lain adalah erosi tanah, degradasi sifat kimia berupa penurunan
bahan organik tanah dan pencucian unsur hara (Firmansyah, 2003).
2.8 Rehabilitasi terhadap Degradasi Sifat Kimia dan Biologi Tanah
Perbaikan
terhadap lahan yang terdegradasi meliputi penanaman dengan vegetasi asal,
penanaman tanaman penutup tanah yang cepat tumbuh, serta dengan penggunaan
pupuk organik dan anorganik. Rehabilitasi pada tanah terdegradasi yang
dicirikan dengan penurunan sifat kimia dan biologi tanah umumnya tidak terlepas
dari penurunan kandungan bahan organik tanah, sehingga amelioran yang umum
digunakan berupa bahan organik sebagai agen resiliensi. Pemberian bahan organik
jerami atau mucuna sebanyak 10 Mg/ha dapat memperbaiki sifat-sifat tanah, yaitu
meningkatkan aktivitas mikroba, meningkatkan pH H20, meningkatkan
selisih pH, meningkatkan pH NaF (mendorong pembentukan bahan anoganik tanah
yang bersifat amorf), meningkatkan pH 8,2 atau KTK variabel yang tergantung pH,
menurunkan Aldd dan meningkatkan C-organik tanah. Penurunan Aldd
selain disebabkan oleh kenaikan pH dan pengikatan oleh bahan-bahan tanah
bermuatan negatif, juga disebabkan karena pengkhelatan senyawa humit. Peranan
asam fulvik dalam mengkhelat Al jauh lebih tinggi dibandingkan asam humik
sekitar tiga kalinya (Widjaja, 2002).
Lal (2000)
menyatakan bahwa dalam pertanian tradisional maka pemanfaatan cover crop pada
masa bera dapat meningkatkan produktivitas tanah berliat aktivitas rendah di
tropika basah diperkirakan dapat memfiksasi 172 kg/N dari atmosfir selama
siklus 2 tahun. Penelitian lainnya yang menggunakan tanaman penutup tinggi
ybahwa Leucochepphala dan Acacia leptocarpa merupakan spesies
yang menjanjikan untuk ditanam saat masa bera dengan tujuan regenerasi
tanah di tropika basah. Tingginya polifenol yang dihasilkan dari serasah
daum mampu mengikat protein selama dekomposisi daun, sehingga terjadi
immobilisasi N, hal tersebut merupakan peranan utama polifenol dalam bahan
organik tanah dan peningkatan N pada tanah terdegradasi.
Bahan organik
sebagai bahan rehabilitasi juga didapat dari limbah, terutama limbah industri
kelapa sawit yang banyak diluar pulau Jawa. Manik (2002) menyatakan bahwa
tandan kosong kelapa sawit sebanyak 95 Mg/ha mampu meningkatkan pH tanah, kandungan
P, K, Mg, dan KTK tanah, serta meningkatkan produksi tandan buah segar 16,3%.
Widhiastuti (2002) pemanfaatan limbah cair kelapa swit atau POME (Palm Oil
Mill Efflunt) meningkatkan karbon mikroorganisme C-mic, dengan
kecenderungan makin lama limbah diaplikasikan kandungan C-mic makin meningkat.
Amelioran lain
yang umum digunakan pada tanah-tanah tropika adalah kapur. Pengapuran umumnya
ditujukan untuk menetralkan Aldd terutama pada tanaman yang peka terhadap
keracunan Al. Biasanya meningkatkan pH tanah hingga 5,5 sedangkan bila karena
keracunan Mn, maka pH perlu dinaikkan hingga 6,0 (Firmansyah, 2003).
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Faktor degradasi tanah dapat terjadi secara alami dan dipercepat akibat
aktivitas manusia seperti deporestasi, kebakaran hutan, tambang, dan perladangan
berpindah. Rehabilitasi juga berdampak meningkatkan produktivitas tanah terdegradasi sehingga mampu
mendukung sistem usahatani. Degradasi tanah menurunkan sifat-sifat tanah dan
produktivitas tanah. Penggunaan amelioran, sebagai bahan organik
merupakan salah satu upaya untuk rehabilitasi tanah terdegradasi.
3.2 Saran
Daftar
Pustaka
Adi, S. 2003. Degradasi
tanah pertanian Indonesia. (Online), (http://www.sinar
tani-online.co.id, diakses pada 9 Mei 2011).
Firmansyah, M. A. 2003. Resiliensi Tanah Terdegradasi. Makalah pengantar falsapah sain. IPB
Garcia, E. G. V. Andreu, & J. L. Rubio.
2000. Chanhe in organic matter, nitrogen,
phosporous and cations in soil as aresult of fire and water erosion in a
Mediteranean landscape. European Jornal of Soil Science. 51:201-210
Handayani, I. P. 1999. Kuantitas dan variasi nitrogen tersedia pada tanah setelah penebangan
hutan. J. Tanah Trop. 8:215-226
Hidayati, N. 2000. Degradasi lahan pasca penambangan emas dan upaya reklamasinya: kasus
penambangan emas Jampang-Sukabumi. Prosidng kongres Nasional VII HITI:
pemanfaatan sumberdaya tanah sesuia dengan potensinya menuju keseimbanagan lingkungan
hidup dalamrangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bandung 2-4 Nopember 1999.
Himpunan tanah Indonesia. Hal: 283-294
Lal. 2000. Soil
management in the developing countris. Soil Science. 165(1):57-72
Latifah, S. 2003. Kegiatan reklamasi tanah pada bekas tambang. Tesis USU. Program
Kehutanan. Jurusan manajemen hutan. Universitas Sumatera Utara
Mahfuz. 2003. Peningkatan
produktivitas lahan kritis untuk pemenuhan pangan melalui usaha tani konservasi.
Makalah Falsafah Sains. IPB
Manik, K. S. E., K. S. Susanto, & Alfandi. 2002.
Perubahan beberapa sifat kimia tanah
akibat pemberian tandan kosong pada areal penanaman kelapa sawit di PT.
Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Rejosari Lampung Selatan. J. Tanah
Trop. 14:111-115
Pujianto. 2001. Sistem pertanian
berkelanjutan di Indonesia. (Online), (http://www.hayati-ip6.com/rudyet/indiv
2001/pujianto.htm, diakses
pada 23 Maret 2009).
Seybold, C. A. J. E. Herrick, and J. J. Brejda.
1999. Soil resilience: afundamental
componenet of soil quality. Soil science. 164(4):224-234
Subiksa, I. 2002. Pemanfaatan
mikoriza untuk penanggulangan lahan kritis. (Online), (http:// rudyet.triped.com/sem2-012/igm-subiksa.htm, 9 Mei 2011).
Sudirman dan T. Vadari. 2000. Pengaruh kekritisan lahan terhadap produksi padi dan kacang tanah di
Garut Selatan. Prosiding Kongres Nasional VII HITI: pemanfaatan sumberdaya
tanah sesuai potensinya menuju keseimbangan lingkungan hidup dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bandung 2-4 November 1999. Himpunan
Tanah Indonesia. Hal: 411-417
Suprayogo, D., Widianto,. P. Purnomosidi, R. H.
Widodo, F. Rusiana, Z. Z. Aini, N. Khasanah, & Z. Kusumah. 2001. Degradasi sifat fisisk tanah sebagai akibat
alih guna lahan hutan menjadi sistem kopi momokultur: kajian perubahan makro
porositas tanah. Jurnal Penelitian Pertanian Universitas Brawijaya. 60-68
Widjaja, H. 2002. Peningkatan karbon pada lahan terdegradasi. (Online), (http://rudyct.tripod.com/sem2
012/hermanu w.htm, daikses pada 9 Mei 2011).
Widhiastuti, R. 2002. Pengaruh limbah cair pabrik pengolahan kelapa sawit yang digunakan
sebagai pupuk terhadap sifat biologi dan kualitas air tanah. Jurnal
Penelitian Pertanian. 21(2):105-111
No comments:
Post a Comment