MODERNISASI
DAN PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN
Untuk
memenuhi tugas matakuliah
Sosiologi
Pertanian
yang
dibina oleh Bapak Suhirmanto
Oleh
Muhammad Guruh Arif Zulfahmi
Universitas
Brawijaya
Fakultas
Pertanian
Agroekoteknologi
Mei
2011
MODERNISASI
DAN PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN
PENDAHULUAN
Hampir 80% atau lebih
penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan yang bekerja pada sektor
pertanian sebagai mata pencarian pokok, sehingga merupakan lapangan kerja dan
produktif dan menyediakan pendapatan yang pada akhirnya dapat meningkatkan
tarap hidup masyarakat.
Kebijaksanaan
pembangunan pertanian dalam tiga dekade terakhir berorientasi pada peningkatan
produksi melalui penggunaan teknologi padat modal. Tujuan akhir yang diharapkan
pemerintah adalah meningkatnya pangan dalam negeri melalui pencapaian
swasembada pangan dan mengurai ketergantungan pangan terhadap negara luar.
Untuk mencapai tujuan
di atas, pelaksanaan pembangunan melalui progam progamnya dilaksanakan dengan
penerapan kebijaksanaan menyeluruh yang direncanakan dan disusun secara top
down. Daerah, dalam hal ini propinsi harus menyelesaikan kebijaksanaan pusat
dengan kondisi wilayah setempat. Selain itu, untuk mempercepat pertumbuhan
pertanian dilakukan pembangunan sub sektor dengan pendekatan yang berbeda
tetapi sasaran sama. Tidak jarang unsur politis dan birokrasi turut bermain
mewarnai pelaksanaan kebijakan pembangunan pertanian guna menyukseskan
progam-progam nasional yang dilaksanakan di daerah. Konsepsi mengenai
keberhasilan pencapaian kesejahteraan masyarakat diukur dari pertumbuhan
ekonomi nasional (GNP), dengan mengandalkan terjadinya trickle down effect.
Kesejahteraan
masyarakat yang diukur dari GNP merupakan anggapan yang keliru, karena dalam
GNP kesejahteran sosial belum tentu tercapai. Selain itu, kesejahteraan sosial
tidak dapat disamakan dengan kesejahteran ekonomi. Dengan mengutip pendapat
pranadji (1999), bahwa komponen kesejahteraan sosial hanya dapat dicapai dengan
perubahan struktur, keorganisasian, pertanian, dan budaya masyarakat pertanian
setempat yang melatarbelakanginya. Di samping itu, penyehatan aspek
sosio-budaya harus dipandang sebagai faktor penggerak utamanya.
Kebijakan pembangunan
pertanian dengan pola top down dengan orientasi produksi melalui penggunaan
teknologi modern yang sangat teknis mekanistis, telah menimbulkan
masalah-masalah dan perubahan-perubahan, baik pemerintah daerah yang
mengimplementasikan kebijaksanaan pusat maupun masyarakat petani sebagai obyek
dari pembangunan. Masalah- masalah umum yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan
pembangunan pertanian antara lain:
1.
Menumbuhkan ketergantungan pemerintah derah dalam perencanaan pembangunan,
sehingga sering tidak sesuai dengan kondisi wilayah dan sosial budaya
masyarakat.
2.
Menimbulkan ego sub sektoral dalam pelaksanaan progam-program pembangunan
pertanian, karena lemahnya kordinasi dan integrasi antara sub sektor.
3.
Merosotnya nilai-nilai tradisional dan norma- norma kekeluargaan yang saling
membutuhkan dan ketergantungan yang hidup di pedesaan.
4.
Melahirkan ketergantungan petani terhadap pemerintah dalam pembangunan, sebagai
akibat pendekatan pelaksanaan program melalui bantuan subsidi.
Selain faktor-faktor
eksternal, modernisasi pembangunan pertanian yang telah di uraikan di atas
mengakibatkan perubahan sosial dalam masyarakat (dalam arti negatif). Tidak
sedikit pula faktor-faktor internal yang ikut mempengaruhi proses pembangunan
dan modernisasi pertanian.
Koentjaraningrat
(1985:37-49) menguraikan beberapa karakteristik mental manusia Indonesia yang
merupakan penghambat pembangunan dan proses modernisasi, antara lain:
1.
Pandangan terhadap sesama lebih didasarkan pada prinsip gotong royong lebih
baik, tetapi apabila keberhasilan seseorang dianggap sombong atau meremehkan
mutu, selain itu munculnya sikap konformisme.
2.
Pandangan hidup yang berorentasi pada waktu masa lalu.
3.
Mentalitas yang suka menerbas, atau mentalitas mencari jalan pintas. Mentalitas
muncul menerbas akibat dari mentalitas meremehkan mutu.
4.
Tidak percaya pada diri sendiri, dan ;
5.
Orentasi nilai budaya yang terlampau mementingkan konsep ketergantungan pada
atasan atau kepada sesama manusia dalam melakukan segala sesuatu. Mentalitas
seperti ini dapat menghilangkan dorongan inovatif dan kreatif manusia.
Mentalitas yang di
uraikan oleh Kontjaraningrat tidak dapat begitu saja di terima sebagai sesuatu
yang berlaku universal, melainkan sangat tergantung kepada setiap individu,
kelompok komunitas dalam memahami diri terhadap orientasi masa depannya, serta
tergantung pada kondisi wilayah dan sosial- budaya setempat. Pranadji (2000)
mempunyai pandangan bahwa desentralisasi akan lebih membuka peluang berperannya
pranata sosial setempat untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan
pertanian. Selain itu, desentralisasi akan lebih membuka peluang berperannya perantara
keteraturan, kerjasama sosial dan kontrol sosial yang lebih baik terhadap
proses transformasi pertanian secara berkelanjutan di wilayah setempat.
Modernisasi di bidang
pertanian di Indonesia di tandai dengan perubahan yang mendasar pada pola-pola pertanian,
dari cara-cara tradisional menjadi cara-cara yang lebih maju.
Perubahan-perubahan tersebut meliputi beberapa hal, antara lain dalam
pengelolahan tanah, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk, pengunaan
sarana-sarana produksi pertanian, dan pengaturan waktu panen. Pengenalan
terhadap pola yang baru dilakukan dengan pembenahan terhadap
kelembagaan-kelembagaan yang berkaitan dengan pertanian, seperti, kelompok
Tani, KUD, PPL, Bank Perkreditan, P3A, dan sebagainya.
Selanjutnya ditetapkan
pola pengembangan dalam bentuk, usaha ekstensifikasi, intensifikasi dan
diversifikasi. Selama beberapa pelita, modenisasi pertanian telah membawa
perubahan-perubahan yang berarti. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan
produksi pertanian yang mencapai puncak ketika tercapainya swasembada pangan.
Namun kondisi ini tidak bertahan lama, dan pada akhirnya membawa kembali bidang
pertanian di Indonesia dalam suasana keperhatinan yang ditandai dengan
menurunnya tingkat produksi, sehingga menjadikan Indonesia kembali sebagai
pengimpor beras. Mengapa hal ini terjadi? Inilah permasalah yang terjadi di
Indonesia. Sebagai asumsi dasar, kondisi ini terbentuk melalui berbagai proses
yang tidak dapat di lepaskan.
Pertama, dari aspek
modernisasi itu sendiri, dan Kedua berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial
yang muncul dari modernisasi yang tidak diantisipasi secara dini.
Dalam bidang pertanian,
perubahan- perubahan sosial petani akibat dari modernisasi adalah dengan
diperkenalkannya mesin-mesin, seperti mesin penuai dan traktor tangan telah menghilangkan
mata pencaharian penduduk yang selama ini mendapatkan upah dari menuai.
Kemudian, pemakaian
traktor tangan telah menggantikan tenaga kerbau, sehingga sebagaian besar
petani tidak lagi berternak kerbau. Untuk kasus ini, hasil penelitian Scott
tentang petani di Sedaka, Malaysia, diuraikan dengan cermat bagaimana
penggunaan teknologi itu telah merubah hubungan sosial di Malaysia. Scott memberikan
contoh tentang digunakannya mesin pemanen dan perontok padi, kemudian pemilik tanah
memutuskan hubungan dengan pekerja.
Putusnya hubungan
antara pemilik tanah dan para pekerja membuat perbedaan antara kelas kaya dan
miskin semakin nyata. Mesin juga telah merubah orientasi para tuan tanah, dari
anggapan usaha sebagai salah satu fungsi sosial menjadi kerja sebagai upaya
untuk mendapatkan keuntungan (Scott, 2000: 202).
Penelitian Scott
menunjukan bahwa penggunaan teknologi pertanian mempunyai dampak terhadap
perubahan struktur masyarakat, dan akhirnya berpengaruh terhadap pola-pola institusional
masyarakat. Kondisi ini akan memperluas struktur kemiskinan. Sedangkan tujuan
dari pembangunan pertanian itu sendiri pada dasarnya adalah untuk memperkecil
struktur kemiskinan.
Menurut Soedjatmoko,
struktur adalah pola-pola organisasi sosial yang mantap, luas,stabil, dan mampu
untuk meneruskan diri (self reproducing). Suatu masyarakat yang melintasi semua
sektor.
Lebih lanjut, Soedjatmoko
mengatakan bahwa institusi atau lembaga adalah suatu rangkaian hubungan antara manusia
yang teratur dan disahkan secara sosial, yang menentukan hak dan kewajiban
serta sifat hubungannya dengan orang lain. Lembaga- lembaga ini penting Karena
mereka menjamin kemantapan, kepastian, dan prediktability dalam interaksi
sosial dan menentukan pola taat tertib masyarakat (Soedjatmoko, 1984: 157).
Sebelum di
perkenalkannya mesin-mesin pertanian, struktur masyarakat petani sangat mendukung
terciptanya kemantapan, kestabilan, dan kemampuan dalam menghubungkan dua fenomena
ini. Maka, yang muncul kemudian dalam tatanan sosial masyarakat petani adalah suatu
konflik masyarakat agraris. Tingkat kedua, bentuk perjuangan mengenai
kepantasan suatu defenisi terhadap keadilan suatu kasus tertentu, seperangkat
faktor tertentu, dan sesuatu perilaku tertentu. Tingkat ketiga, pertarungan
tentang tanah kerja, pendapatan, dan kekuasaan ditengah- tengah perubahan besar
yang disebabkan oleh suatu revolusi pertanian (Scott, 2000: 36). Untuk hal ini
Scott mengangkat suatu contoh bahwa orang kaya sepantasnya bersifat dermawan.
Ini adalah suatu prinsip. Ketika prinsip ini dilanggar, maka mulailah konflik
itu terjadi.
Apa yang ingin di
ungkapkan oleh Scott dan Soedjatmoko seperti diuraikan di atas, sangat jelas
memberikan suatu gambaran bahwa modernisasi pertanian melalui pengunaan mesin- mesin
pertanian yang kemudian berkembang menjadi suatu konflik dalam masyarakat
agraris.
PEMBAHASAN
Tinjauan Historis
Pembangunan Pertanian Berdasarkan sejarah, pembangunan pertanian telah
mengalami beberapa tahap atau perkembangan. Secara garis besar dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu zaman sebelum dan sesudah Bimas. Dari kedua zaman
tersebut, banyak terjadi perubahaan yang dapat dilihat dari aspek yang
ditimbulkanya.
Pada masa sebelum
Bimas, umumnya masyarakat belum mengenal jenis-jenis padi unggul, sehingga
mereka masih menggunakan varietas lokal yang dicirikan dengan umur yang panjang
dan produksi yang relatif rendah. Dalam usaha tani, secara umum masyarakat
belum menggunakan teknologi yang modern (seperti pupuk, dan obat-obatan). Dalam
menentukan jenis kegiatan termasuk jenis komoditi yang akan diusahakan, para
petani `masih mempunyai kebebasan atau dengan kata lain tidak ada intervensi
dari pemerintah.
Pada era enam puluhan,
pemerintah melalui suatu terobosan guna memacu peningkatan produksi,
melaksanakan program Bimas dengan menerapkan beberapa teknologi dalam usaha
pertanian yang berlanjut hingga saat ini. Dalam program ini, sudah terlihat
adanya suatu bentuk intevensi dari pemerintah dalam pengaturan terhadap
kegiatan petani sehingga petani tidak bebas dalam menentukan jenis usaha
komoditi yang dilaksanakannya.
Pembangunan dengan cara
penerapan teknologi yang dikenal dengan revolusi hijau, dimana penerapan
teknologi sudah diperkenalkan kepada petani dengan tujuan untuk meningkatkan
produksi pangan dan kesejahteraan petani ternyata tidak berhasil dan bahkan
menimbulkan perubahan sosial yang bersifat negatif pada masyarakat.
Modernisasi Pertanian
dan Perubahan Sosial Masyarakat Modernisasi pertanian adalah suatu perubahan
pengelolaan usaha tani dari tradisional ke pertanian yang lebih maju dengan
penggunaan teknologi-teknologi baru. Modernisasi dapat diartikan sebagai
transformasi yaitu perubahan. Dalam arti yang lebih luas transformasi tidak
hanya mencakup perubahan yang terjadi pada bentuk luar, namun pada hakekatnya meliputi
bentuk dasar, fungsi, struktur, atau karakteristik suatu kegiatan usaha ekonomi
masyarakat (Pranadji, 2000).
Modernisasi dapat
diartikan sebagai bentuk, ciri, struktur dan kemampuan sistem kegiatan
agribisnis dalam menggairahkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan menyehatkan
perekonomian masyarakat pelakunya. Dumomt dalam Pranadji (2000) mengatakan
bahwa transformasi atau usaha pertanian dapat disejajarkan dengan transformasi
pedesaan. Dipandang dari aspek sosio budaya, transformasi pertanian identik dengan
proses modernisasi dan pembangunan masyarakat pertanian di pedesaan. Sayagyo
(1985: 10) mengartikan modernisasi suatu masyarakat adalah suatu proses
transformasi, yaitu suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek- aspeknya.
Perubahan sosial adalah
terjadinya perbedaan dalam aspek kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu
(Rusidi, 2000). Aspek-aspek kehidupan masyarakat itu telah disistematiskan pada
stuktur proses sosial. Dimana perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi
pada struktur (kebudayan dan kelembagaan) pada pola proses sosial.
Menurut Parson,
dinamika masyarakat berhubungan dengan perubahan masyarakat. Kemudian, terdapat
beberapa unsur yang berinteraksi satu sama lain. Unsur-unsur tersebut adalah:
1.
Orientasi manusia terhadap situasi yang melibatkan orang lain.
2.
Pelaku yang mengadakan kegiatan dalam masyarakat.
3.
Kegiatan sebagai hasil orientasi dan pengolahan pemikiran pelaku tentang
bagaimana mencapai cita-cita.
4.
Lambang dan sistem perlambangan yang mewujudkan komunikasi dalam mencapai
tujuan. Sehubungan dengan itu sistem sosial merupakan hasil individu, yang
terjadi dalam lingkungan fisik dan sosial.
Strategi Pembangunan
Pertanian Pengalaman menunjukkan, bahwa secara umum pembangunan masyarakat desa
yang dilakukan di desa melalui sektoral mempunyai strategi atau pendekatan yang
berbeda-beda.
Demikian pula
pembangunan dalam sektor pertanian melakukan hal yang sama yaitu pendekatan
sub-sektoral. Nasikun dalam Leibo (1995: 97) mengatakan bahwa adanya berbagai
strategi atau pendekatan organisasional pembangunan masyarakat desa barangkali merupakan
indikasi yang paling jelas, oleh karena strategi-strategi tersebut terbukti
telah berkembang lebih di atas dasar akumulasi pengertian keilmuan yang mantap.
Praktek-praktek
pembangunan masyarakat pertanian di pedesaan yang kita kenal selama ini sangat
hegemoni yang berparadigma tunggal, yaitu paradigma “struktural fungsional”. Pembangunan
masyarakat pertanian yang berparadigma tunggal menggunakan pendekatan teori demokrasi
liberal barat, merupakan kesalahan fatal bila diterapkan di Indonesia yang memiliki
keanekaragaman budaya lokal, serta sistem sosial-politik dan demokrasi yang
labil. Praktik pembangunan masyarakat pedesaan yang berparadigma tunggal, bukan
tidak mungkin telah melahirkan ketergantungan-ketergantungan masyarakat pedesaan
seperti pemberian bantuan modal petani, baik yang berupa kredit dan subsidi maupun
bantuan hibah. Berdasarkan pengalaman proyek-proyek pembangunan berupa kredit
dan subsidi maupun bantuan hibah, proyek-proyek pembangunan tersebut bertujuan
untuk meningkatkan pendapatan, serta kesejahteraan masyarakat seperti proyek
pengembangan perkebunan rakyat, perluasan areal tanam dan lain-lain memberikan
hibah untuk tahun pertama, lalu kemudian pada tahun-tahun berikutnya bantuan
diberikan dalam bentuk kredit. Merupakan suatu anggapan keliru bila bentuk bantuan
tersebut diartikan sebagai suatu pemberdayaan masyarakat petani.
Perumusan strategi atau
pendekatan pembangunan masyarakat yang direncanakan tidak hanya diturunkan dari
orientasi-orientasi filosofikal yang menjadi landasannya, akan tetapi juga
berdasarkan pengalaman empirik (Nasikun dalam Leibo, 1995). Perumusan strategi
dengan landasan filosofikal dan pengalaman empirik itupun belum menjamin
keberhasilannya, apabila bukan merupakan perencanaan partisipatif
(participatory planning).
Strategi-strategi pembangunan
pertanian (masyarakat pedesaan) yang dilakukan selama ini hanya sebatas menganjurkan
strategi perubahan masyarakat berdasarkan partisipasi luas, akan tetapi tidak
pernah dilakukan, meskipun pendekatan pembangunan masyarakat adalah gotong
royong. Partisipasi luas yang digalakkan tersebut tidak jarang disertai dengan
pemaksaan “halus” (Koentjaraningrat, 1985: 97-105) membedakan partisipasi dalam
bentuk aktifitas-aktifitas bersama dalam proyek-proyek pembangunan yang khusus;
kedua partisipasi individu diluar aktivitas bersama dalam pembangunan. Kedua tipe
partisipasi yang digambarkan oleh Koenjaraningrat merupakan bentuk partisipasi
masyarakat dalam pembangunan, dimana program pembangunan atau proyek yang telah
direncanakan di tingkat pusat tanpa melibatkan masyarakat mulai dari diagnosis masalah
dan potensi sumber daya, perencanaan program dan pelaksanaan. Sebagaimana yang telah
disinggung di atas, bahwa perumusan strategi pembangunan dalam rangka otonomi daerah
harus sarat dengan partisipasi. Partisipasi yang dimaksudkan berbeda dengan
yang diuraikan Koentjaraningrat, yaitu melibatkan masyarakat desa secara luas
dalam pengambilan keputusan-keputusan, mulai dari diagnosis masalah, identifikasi
potensi sumber daya, perencanaan program dan penentuan program yang diusulkan
hingga ke tingkat daerah, dan sampai pada pelaksanaan program pembangunan serta
pengawasan dan evaluasi.
Namun demikian,
pemerintah tetap sebagai kontrol sehingga perencanaan pembangunan yang
bottom-up tidak melenceng dari tujuan pembangunan. Pembangunan masyarakat yang
direncanakan dari bawah harus menyentuh seluruh masyarakat, dan bukan untuk golongan
tertentu. Untuk mengatasi adanya perbedaan-perbedaan, maka perlu dibentuk suatu
institusi atau lembaga yang terintegrasi secara normatif pada kondisi yang
kompleks secara keseluruhan di berbagai tingkat pelayanan dalam suatu sistem
pemerintahan (Parsons, 1964: 76).
Nasikun dalam Leibo
(1995) menglasifikasikan strategi-strategi organisasional pembangunan
masyarakat desa menjadi empat strategi yang berlandaskan pendekatan teoritis, yaitu:
1. Strategi pembangunan
gotong royong
2. Strategi teknikal
professional.
3. Strategi konflik,
dan
4. Strategi pembelotan
kultural.
Strategi pembangunan
gotong royong asumsi dasarnya adalah paradigma struktural fungsional, dimana
strategi ini melibatkan masyarakat sebagai suatu “sistem sosial” yang terdiri
atas bagian-bagian terintegrasi secara normatif, dimana tiap-tiap bagian
memberikan sumbangan fungsional masing-masingnya bagi pencapaian tujuan masyarakat
secara keseluruhan.
Demikian pula strategi pembangunan
teknikal profesional, bahwa asumsi-asumsi yang melandasi strategi ini tidak berbeda
dengan asumsi yang mendasari strategi pembangunan gotong-royong.
Strategi pembangunan
teknikal profesional memandang masyarakat sebagai suatu sistem hubungan sosial yang
semakin kompleks, dengan struktur-struktur serta proses-proses kemasyarakatan
yang semakin modern. Telah diuraikan di atas bahwa pembangunan suatu pertanian
juga diwarnai oleh ego sub sektoral, lemahnya koordinasi, dan integrasi antar
sub-sektoral serta konsep pemberdayaan masyarakat yang berbeda turut mempengaruhi
pola pendekatan pembangunan masyarakat yang digunakan. Berdasarkan fenomena tersebut,
sesuai dengan pendapat Nasikun (Leibo, 1995: 111) mengenai perlunya suatu
strategi pembangunan berparadigma ganda, yaitu suatu integrasi atau sintesis
dari berbagai strategi pembangunan. Strategi yang diusulkan ini secara teoritik
sangat realistik, namun yang dilupakan Nasikun bahwa di Indonesia terdapat pola
tani yang heterogen, kondisi agroekologi dan agroklimat, kondisi sosial budaya,
dan kearifan lokal yang beraneka ragam.
Dalam rangka
pemberlakuan otonomi daerah, maka terjadi pergeseran paradigma kebijaksanaan
dan manajemen pembangunan sektoral serta penerapannya. Untuk sektor pertanian,
telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000
Tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Pemerintah Provinsi sebagai
daerah otonom di bidang pertanian, yang meliputi aspek- aspek kebijakan non
teknis kelembagaan dalam pelaksanaannya berikut hirarki yang memiliki wewenang
untuk mengimplementasikan.
Menurut Suradisastra
(2000) dalam implementasi otonomi daerah sesuai dengan penerapan PP No 25/2000,
pada sektor pertanian akan terjadi perubahan paradigma yang salah satunya
adalah sentralisasi, akan berubah menjadi desentralisasi dalam konteks
pengelolaan wilayah, keuangan, dan proses pengambilan keputusan. Pola pikir dan
manajemen berorientasi pusat akan bergeser menjadi pola pikir dan manajemen
pengambilan keputusan yang bersifat spesifik wilayah, baik secara teknis dan
ekonomis maupun secara sosiokultural, sehingga proses pengambilan keputusan
akan melibatkan seluruh komponen pembangunan termasuk masyarakat adat.
Melibatkan masyarakat
adat yang berperan dalam pengolahan sumber daya pertanian tradisional, mampu menghindarkan
timbulnya rural exodus syndrome. Strategi pembangunan berparadigma ganda yang diusulkan
Nasikun sangat sesuai untuk diterapkan dalam perumusan strategi pembangunan masyarakat
desa. Namun demikian strategi tersebut masih perlu disentesiskan lagi berdasarkan
keragaman sosial budaya masyarakat setempat. Seluruh komponen pembangunan dituntut
untuk mengembangkan suatu sistem komunikasi yang terbuka sehingga dapat menghindari
berkembangnya berbagai kelompok dan kepentingan.
Pergeseran paradigma
pembangunan sektoral dan kemungkinan dampak dari implementasi PP 25/2000, serta
penerapan strategi pembangunan berparadigma ganda terhadap pembangunan daerah
otonom, tentu akan menimbulkan perbedaan persepsi atas misi dan visi pembangunan
masyarakat pertanian di pedesaan sehingga diperlukan antisipasi sejak dini.
Sebagai bentuk
antisipasi terhadap dampak aplikasi strategi pembangunan yang direncanakan dari
bawah, perlu dibentuk suatu badan perwakilan desa sesuai dengan pasal 104 UU No.
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang anggotanya terdiri dari berbagai
komponen masyarakat, termasuk masyarakat adat, kelompok kepentingan, dan aparat
pemerintah. Badan Perwakilan Desa ini berfungsi penggerak integrasi dari
berbagai komponen masyarakat, mengayomi masyarakat adat, membuat peraturan desa,
menampung, dan menyalurkan berbagai aspirasi masyarakat, melakukan pengawasan,
ikut serta dalam pelaksanaan pembangunan, penyelenggaraan pemerintah desa,
serta mengajukan pertimbangan-pertimbangan lain kepada pemerintah daerah kepada
tingkat yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat.
1985. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembagunan. Jakarta: Gramedia.
Leibo,
J. Sosiologi Pedesaan: Mencari Suatu Strategi Pembangunan Masyarakat Desa Berparadigma
Ganda. Yogyakarta: Andi Offset.
Parson,
Talcott. A Function Theory of Change. Dalam Eva Etzioni H dan Amitai Etzioni
(eds.), Social Change; Surces, Patterns and Consequences. New York: Basic Book
Inc.
Pranadji,
T. 1999. Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian 2. Bogor:
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Pranadji,
T. 2000. Desentralisasi dan Pemberdayaan Sosio Budaya Setempat untuk Pencepatan
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Makalah disampaikan dalam Pelatihan
Pemahaman Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat dalam Perencanaan dan Penerapan
Teknologi, Bandung, 28 Februari - 30 April 2000.
Pranadji,
T. 2000. Pendekatan Sosio-Budaya dalam Transformasi (pembangunan). Makalah disampaikan
dalam Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun
2001 ke Depan; Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor, 9 - 10
September 2000.
Rusidi,
H. 2000. Sosiologi Pedesaan Dalam Pemahaman Aspek Sosial Budaya Masyarakat Bagi
Perencanaan dan Penerapan Teknologi. Makalah disampaikan dalam Pelatihan
Pemahaman Aspek Sosial Budaya Mayarakat dalam Perencanaan dan Penerapan
Teknologi, Bandung, 28 Februari - 30 April 2000.
Scoot,
James, C. 2000. Senjatanya Orang-Orang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soedjatmoko.
2000. Dimensi Manusia dalam Pembangunan; Pilihan Karangan. Jakarta: LP3ES.
Suradisastra,
K. 2000. Implikasi PP No. 25/2000 Terhadap Manajemen Pembangunan Pertanian. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan
Tahun 2001, Bogor, 9 - 10 Nopember 2000.
No comments:
Post a Comment