TUGAS KELOMPOK
MEKANISASI PERTANIAN
“RESUME JURNAL”
MEKANISASI
PERTANIAN DALAM PERSPEKTIF PENGEMBANGAN
BAHAN BAKAR NABATI DI INDONESIA
(Bambang Prastowo,
Chandra Indrawanto, Dan Dedi Soleh Eefendi)
Oleh:
Muhammad Guruh Arif Zulfahmi (105040201111091)
Awitya Anggara Prabawadi
(105040203111007)
Restiya intan Saputri
(105040201111177)
Rifauldin Syahri
(105040201111085)
Ega Aris Sena (105040200111110)
PROGRAM STUDY
AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA MALANG
@ 2010/2011
Mekanisasi
pertanian di Indonesia sudah sejak lama menjadi keharusan, oleh karena itu
muatan teknologinya harus selalu diperkaya dan disesuaikan seiring dengan
perkembangan lingkungan strategis nasional maupun global. Perkembangan
lingkungan strategis tersebut diantaranya adalah adanya perkembangan harga dan
permintaan pangan dan energi yang semakin meningkat (Grathwohl, 2008). Hal ini
terasa semenjak terjadinya krisis bahan bakar minyak (BBM) dunia yang ditandai
dengan kenaikan harganya yang dramatis.
Ketidakpastian
pasokan BBM, harga BBM yang terus meningkat serta energy mix yang timpang
mendorong banyak pihak untuk mulai mencari berbagai sumber energi alternatif,
khususnya yang terbarukan yang berasal dari pertanian atau bahan bakar nabati
(BBN). Sektor pertanian, dalam industri BBN, bukan hanya berperan sebagai
penyedia bahan baku BBN tetapi juga konsumen potensial BBN. Penggunaan alat dan
mesin pertanian yang umumnya menggunakan engine sangat membutuhkan bahan bakar
minyak, sehingga kelangkaan BBM tentunya dapat pula mengganggu kinerja sektor
pertanian. Oleh karena itu pengembangan BBN tentunnya juga suatu langkah
strategis bagi sektor pertanian, bukan hanya sebagai penyedia tetapi juga
sebagai pemakai BBN.
Bahan
bakar nabati adalah sejenis bahan bakar yang bahan bakunya bisa berasal dari
berbagai sumber daya nabati yaitu kelompok minyak dan lemak seperti minyak
sawit, minyak kelapa, minyak kanola, minyak kedelai, kacang tanah, jarak pagar
bahkan bisa minyak goreng bekas. Sumber BBN di sektor pertanian cukup melimpah
tersedia. Bahan bakar nabati maupun energi terbarukan lainnya yang berasal dari
biomasa yang melimpah tersedia di sektor pertanian (Prastowo, 2007b ; Abdullah
2003) memang menjadi tantangan tersendiri untuk dimanfaatkan secara operasional.
Minyak nabati sebagai suatu
contoh produk dalam bidang rekayasa pertanian, berpotensi untuk dikembangkan
menjadi suatu bentuk energi bahan bakar
yang terperbaharui yang disebut dengan bio-disel. Tulisan ini membahas tentang
studi perbandingan performansi motor disel sistim injeksi langsung berbahan bakar dengan komposisi
20%, 30% dan 40% bio-disel, dengan yang berbahan bakar
minyak diesel (solar). Hasil pengujian menunjukkan bahwa motor disel yang
menggunakan bahan
bakar dengan
komposisi 20%, 30% dan 40% biodisel menghasilkan torsi dan daya yang lebih
rendah daripada motor yang sama berbahan bakar solar. Hasil
penelitian sebelumnya, hasil uji emisi menujukkan adanya partikel, hidrokarbon
dan karbon monoksida yang lebih rendah pada saluran buang.
Ditinjau
dari bentuknya, bahan bakar nabati bisa berbentuk padat, gas atau cair. Di
antara aneka bahan bakar, yang berwujud fasa cair adalah yang bernilai ekonomi
paling tinggi, karena memiliki energi spesifik (energi per satuan volume) yang
besar, serta mudah didistribusikan secara efisien dan aman. Hal ini yang
membuat bahan bakar berwujud fasa cair berperan dominan dalam sektor
transportasi, pertanian dan pembangkitan listrik dengan motor-motor bakar
portabel.
Potensi energi yang dapat dikembangkan di
Indonesia, antara lain : bahan bakar nabati
( biofuel), batu bara, dan gas . Karena ketersediaan batu bara dan gas yang
terbatas maka digunakan biofuel, diantaranya yaitu : bioethanol dan biosolar.
1. Bioethanol,
yaitu ethanol yang diproduksi dari tumbuhan. Bahan baku unggulannya adalah jagung, 1 ton jagung bisa
menghasilkan 400 liter bioethanol, dan mampu menghasilkan ethanol 99,5% yang
dapat digunakan untuk campuran bensin. Penggunaan bioetahnol dapat
meminimalisasi zat timbal dan zat aditif ethanol dapat mengurangi bahan karsinogenek dalam bensin.
2. Biosolar,
yaitu senyawa organik yang diahsilkan dari minyak nabati, hewani atau minyak bekas. Bahan
baku biosolar yang baik berasal dari kelapa sawit dalam bentuk crude palm
oil ( CPO ). Penggunaan biosolar dapat mengurangi kadar karbon monoksida
dan karbon dioksida yang keluar dari gas buangan.
Dalam membudidayakan tanaman sebagai bahan biofuel perlu
memperhatikan : Pola pengembangan biofuel, tidak merubah hutan menjadi
perkebunan, pemilihan jenis tanaman yang akan digunakan, tanaman yang akan
digunakan untuk biofuel agar ditanam didaerah lahan kosong Untuk menjamin
ketersediaan bahan baku, diperlukan sarana dan
prasarana budidaya pertanian yang intensif serta teknik dan manajemen budidaya
tanaman yang handal. Agar hasil sesuai dengan harapan maka diperlukan aturan
yang melandasi kebijakan pembuatan bahan bakar nabati diantaranya,
Keputusan Presiden no 10 tahun 2006 tentang Tim Nasional dalam Pengembangan Bahan Bakar Nabati
untuk percepatan pengurangan kemiskinan dan pengangguran.
Cara
pembuatan biodiesel yang paling umum adalah reaksi transesterifikasi antara
minyak-lemak dengan suatu alkohol monohidrik dengan bantuan katalis yang
bersifat basa seperti kalium/natrium metoksida atau hidroksida. Proses
transesterifikasi untuk pembuatan biodiesel sangat mudah dilakukan, asalkan
minyak-lemaknya merupakan minyak-lemak mulus (refined fatty oil, kadar air <
0,3 %-berat, angka asam ≤1 mg-KOH/gram) (Soerawidjaja, 2006).
Hal
ini mengarahkan masyarakat untuk memanfaatkan tanaman perkebunan yang dapat
menghasilkan lemak nabati, yang secara mudah dapat ditransesterifikasi untuk
menghasilkan biodiesel, seperti seperti kelapa, kelapa sawit, jarak pagar,
jojoba, kanola, dan lainnya (Soerawidjaja, 2006). Pembeda dalam memilih tanaman
penghasil BBN agar diperoleh jenis minyak yang cocok sebagai BBN antara lain
nilai-nilai bakar hasil minyaknya, yang parameternya dapat berupa : titik
bakar, kekentalan, nilai kalori dan lainnya.
Secara
global dunia, biomasa akan mampu memberikan 11 % dari penyediaan energi primer
dunia dan potensi bioenergi global dari pertanian diperkirakan sebesar 2-22 EJ
(Dobermann, 2007). Hasil energi kotor minyak kelapa sawit di Indonesia sekitar
168 GJ/ha, sisa biomasa kelapa sawit diperhitungkan menghasilkan sekitar 67
juta GJ, karet sekitar 120 juta GJ, padi sekitar 150 juta GJ (Abdullah, 2001).
Berdasarkan perkembangan luas pertanaman tahun 2005, maka pada tahun 2007
potensi biomasa dari pertanian di Indonesia (Tabel 2) adalah sekitar 360,99
juta GJ yang berasal dari hasil pokoknya (biji,buah dll) dan sekitar 441,1 juta
GJ dari biomas residunya (Prastowo, 2007b).
Bahan
bakar nabati dalam bentuk cair, padat maupun gas sudah dapat dihasilkan dari
bahan-bahan hasil pertanian. Sebaliknya, tidak semua jenis alat dan mesin
pertanian dapat memanfaatkan bentuk-bentuk BBN tersebut. Oleh sebab itu,
penelitian dan pengembangan mekanisasi pertanian ke depan seyogyanya diarahkan
agar segera mampu mengoperasionalkan jenis-jenis mesin pertanian ataupun
agroindustri pengolahan hasil pertanian yang dapat memanfaatkan berbagai bentuk
BBN tersebut. Percontohan yang layak untuk menunjukkan proses produksi BBN sekaligus
pemanfaatannya untuk alat dan mesin pertanian dapat dilakukan melalui
pembentukan kebun energi yang berisi tanaman bahan baku BBN, proses produksi
BBN, alat dan mesin pertanianyang dapat memanfaatkan BBN. Pembentukan kebun
energi diharapkan dapat mendorongmunculnya alat dan mesin pertanian yang dapat
memanfaatkan bahan bakar nabati dan energi biomasa lainnya dari sektor
pertanian itu sendiri.
Mesin-mesin
pertanian yang umumnya menggunakan diesel engine, memiliki peluang besar untuk
menggunakan BBN dalam bentuk cair, seperti biodiesel dari sawit, jarak pagar
atau lainnya. Bahkan biodisel dari biji karet maupun dari bekatul dapat
digunakan, sehingga dapat menurunkan konsumsi bahan bakar maupun emisi gas CO
(Harsono, 2006). Biodiesel dari minyak jarak pagar, menghasilkan deposit pada
sistem pembakaran lebih rendah dibandingkan pada penggunaan petrodiesel
(Reksowardojo et al., 2006). Sebenarnya minyak jarak yang sudah dihilangkan
keasamannya melalui esterifikasi dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar untuk
diesel engine putaran rendah (genset atau statis engine lainnya) (Sudradjat et
al., 2006).
Biodiesel
juga mengefisienkan pemakaian bahan bakar dan
pelumasan mesin, sehingga jarak tempuh dan
umur mesin lebih panjang. Kajian properties minyak nabati menunjukkan
bahwa minyak kelapa sebagai bahan bakar
biodiesel menunjukkan nilai kalor yang setara dengan solar yakni 19177
BTU/lbm dibanding dengan solar sebesar 19603 BTU/lbm. Selanjutnya untuk flash
point, biodiesel kelapa menunjukkan 68oF jauh lebih rendah darai pada solar
yang menunjukkan 144oF. Kemudian spesifik grafity untuk minyak biodiesel kelapa
sebesar 0,9119 sedikit lebih tinggi dari pada solar sebesar 0,8478. Ada
kecenderungan minyak biodiesel mempunyai kekentalan yang lebih tinggi dari pada
solar. Pengujian kekentalan minyak biodiesel kelapa menunjukkan 11,2 cst
(Darmanto and Handayani at.al, 2007). Muryama, at al., (2000) dan Grabosky at
al., 1999, melaporkan bahwa pada pengujian mesin diesel dengan bahan
bakar minyak nabati dan minyak
solar didapatkan bahwa dengan minyak nabati, mempunyai
efisiensi dan daya mesin
yang lebih besar dibanding dengan minyak solar, karena suhu gas buang yang
dihasilkan lebih rendah. Ada penurunan kwalitas nilai kalor rata-rata 2%
(Muryama, at. al., 2000).
Pengalihan bahan bakar bersumber
minyak bumi ke minyak biodiesel tidak dapat secara otomatis diaplikasikan pada mesin diesel. Perbedaan
sifat (properties) kedua minyak bahan bakar
tersebut mempengaruhi konstruksi sistem saluran bahan bakar dan
pengaturan saat pembakaran (injection timing). Kekentalan minyak biodiesel lebih besar dari pada minyak diesel sehingga akan mempengaruhi laju aliran di sistem saluran bahan bakar dan formasi pengabutan bahan bakar oleh injektor. Fash point dan pour point kedua
bahan bakar berbeda sehingga mempengaruhi pengaturan (setting) injeksi bahan bakar (injection dan ignation timing). Kedua bahan bakar mengandung pengotor (impurities) yang berlainan di mana bahan bakar biodiesel mengandung dan cenderung membentuk lilin (paraffin) pada temperatur rendah (kamar) sehingga perlu treatment tertentu terhadap
bahan bakar biodiesel untuk mencegah terbentuknya lilin di lapisan permukaan (Tyson, 2004).
pengaturan saat pembakaran (injection timing). Kekentalan minyak biodiesel lebih besar dari pada minyak diesel sehingga akan mempengaruhi laju aliran di sistem saluran bahan bakar dan formasi pengabutan bahan bakar oleh injektor. Fash point dan pour point kedua
bahan bakar berbeda sehingga mempengaruhi pengaturan (setting) injeksi bahan bakar (injection dan ignation timing). Kedua bahan bakar mengandung pengotor (impurities) yang berlainan di mana bahan bakar biodiesel mengandung dan cenderung membentuk lilin (paraffin) pada temperatur rendah (kamar) sehingga perlu treatment tertentu terhadap
bahan bakar biodiesel untuk mencegah terbentuknya lilin di lapisan permukaan (Tyson, 2004).
Uraian Di Atas Merupakan Resume Dari
Lima Jurnal Yang Terdiri Dari Satu
Jurnal Inti Dan Empat Jurnal Pendukung/Pelengkap
MEKANISASI
PERTANIAN DALAM PERSPEKTIF PENGEMBANGAN
BAHAN BAKAR NABATI DI INDONESIA
(Bambang
Prastowo, Chandra Indrawanto, Dan Dedi Soleh Eefendi)
Sebagai
jurnal inti
DAMPAK PENGEMBANGAN
BAHAN BAKAR NABATI TERHADAP EKONOMI WILAYAH PEDESAAN
Supomo
Peneliti Bidang ”Ekonomi Regional Dan Kota” Pada P2KPDS,
PKT, Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Sebagai
jurnal pendukung
BAHAN BAKAR NABATI SEBAGAI SALAH SATU
ALTERNATIF UNTUK MENDUKUNG PENGGUNAAN BAHAN BAKAR “ RAMAH LINGKUNGAN “
Nany Kusminingrum
Puslitbang Jalan dan Jembatan,Jl. Nasution 264, Bandung
Sebagai
jurnal pendukung
PRODUKSI
BIODIESEL KAPUK RANDU
DAN UJI UNJUK KERJA DI MESIN DIESEL
oleh
Sri Utami Handayani, Seno Darmanto, Margaretha Tuti Susanti, Windu Sediono
DAN UJI UNJUK KERJA DI MESIN DIESEL
oleh
Sri Utami Handayani, Seno Darmanto, Margaretha Tuti Susanti, Windu Sediono
Sebagai
jurnal pendukung
PENGGUNAAN MINYAK NABATI SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF PADA MOTOR
DIESEL SISTIM INJEKSI LANGSUNG
Ricky Winaya, Philip Kristanto
Faculty of Industrial Technology, Petra Christian University
Faculty of Industrial Technology, Petra Christian University
Sebagai
jurnal pendukung
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, K.
2001. Biomass Energy Potensials and Utilization in Indonesia. Indonesian
Renewable Energy Society(IRES). resources/stoves/Fuel/msoB2D82.pdf
Abdullah, K.
2008. Food, Renewable Energy and Environment. Universitas Dharma Persada.
Jakarta.
Aristanti, C.
2008. Efficient Biomass Improved Cook Stoves. Proc. Workshop on Renewable
Energy Technology Applications to Support E3 Village (Energy, Economy and Environment).
Jakarta, 22-24 July 2008. FAO-Univ.
Darma Persada
and Indonesia-Japan Friendship. BPS. 2004. Perkembangan Jumlah Alsin Tanaman
Pangan 1994-2002.
Budya, H. 2008.
Laporan Pertamina, Pokja Pemasaran Timnas BBN. Workshop Sosialisasi
Pengembangan Bahan Bakar Nabati. Dep. ESDM. Jakarta, 21 Juli 2008.
Darmasetiawan,
Irzaman H, H. Alatas, Irmansayah, AD Husen, MN Indro. 2008. Development of
Cooking Stove with Rice- Husk Fuel. Proc. Workshop on Renewable Energy
Technology Applications toSupport E3 Village (Energy, Economy and Environment).
Jakarta, 22-24 July 2008.
FAO-Univ. Darma
Persada and Indonesia-Japan Friendship.
Direktorat
Alsintan. 2006. Alsintan: Buletin Informasi Alat dan Mesin Pertanian.
Direktorat
Jenderal Bina Sarana Pertanian.
Departemen Pertanian.
Jakarta. p38.
Dobermann, A.
2007. Intregated Food – Biofuel Systems. Depart. Of AgronomyandHorticuture.
Univ. of Nesbraska, Lincoln.
Emerson, D.
2004. Biomass Pellets Provide Lowcost System for Home Heating.BioCycle; Feb
2004; 45, 2; ProQuest Agriculture Journals. pg. 56
Gaos, Y. S.
2008. Gasifikasi Biomasa untuk Pembangkit Listrik dan Pemanfaatan Gas Buang
sebagai Pemasok Panas bagi Pendingin Adsorpsi. Proc. Workshop on Renewable
Energy Technology Applications to Support E3 Village (Energy, Economy and
Environment). Jakarta, 22-24 July 2008. FAO-Univ. Darma Persada and
Indonesia-Japan Friendship.
Goldstein, J.
2004. Untapped Biomass Feedstocks: Making a Reality of Biogas Potential.
BioCycle; Dec 2004; 45, 12; ProQuest Agriculture Journals pp. 45
Grathwohl, W.
2008. Curent Market Conditions Impact on Jatropha feasibility.Jatropha World
Miami 2008 Conference. Miami, 11 Juni 2008.
Harsono, S. S.
2006. Performance Mesin Diesel Melalui Pemanfaatan Bioidiesel dari Minyak Biji
Karet dan Bekatul. Proc. Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian. Bogor, 29-30
November 2006. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Badan Litbang
Pertanian. Deptan. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2006. Program
Aksi Penyediaan dan Pemanfaatan Energi Alternatif. Jakarta.
Lide, D.R. dan
H.P.R. Frederikse. 1995. CRC Handbook of chemistry and physics. CRC Press, Boca
Raton, USA. Dalam
Mühlbauer, W.,
A. Esper, E. Stumpf and R. Baumann. 1998. Plant Oil-based Cooking Stove – A
Technology Update. Makalah dalam
Workshop Rural Energy, Equity and Employment : Role of Jatropha Curcas. Harare,
Zimbabwe, 13 – 15 May 1998. Scientific and Industrial Research and Development
Centre (SIRDC). The Rockefeller Foundation.
Morgan, M. 2008.
Jatropha as a Feedstock : the Consultants View. Jatropha World Conference 2008.
Miami, 10 – 11 June 2008.
Mulyani, A. dan
I. Las. 2008. Potensi Sumber Daya Lahan dan Optimalisasi Pengembangan Komoditas
Penghasil Bioenergi di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
27 (1) :31-41
Muljaningsih, S.
2008. Pemanfaatan Arang Briket dari Biomasa tanaman sebagai Energi Alternatif.
Proc. Workshop on Renewable Energy Technology Applications to Support E3
Village (Energy, Economy and Environment). Jakarta, 22-24 July 2008. FAO-Univ.
Darma Persada and Indonesia-Japan Friendship.
Murdiyatmo, U.
2006. Pengembangan Industri Ethanol dengan Bahan Baku Tanaman Berpati : Prospek
dan Tantangan. Makalah pada Lokakarya Pengembangan Ubi kayu : Prospek, Strategi
dan Teknologi Pengembangan Ubikayu untuk Agroindustri dan Ketahanan Pangan.
Malang, tgl 7 September 2006.
Prastowo, B.
2005. Pembelajaran dari Implementasi Pemanfaatan Enersi Pedesaan untuk
Pertanian. Makalah disampaikan pada Diskusi Enersi Pedesaan, Departemen Enersi
dan Sumber Daya Mineral, tanggal 22 Maret 2005 di Jakarta.
Prastowo, B., E.
Karmawati, D. Allorerung dan Wargiono. 2006. Pengembangan Komoditas Pertanian
untuk Bahan Bakar Nabati Mendukung Industrialisasi Pertanian. Proc. Seminar
Nasional Mekanisasi Pertanian. Bogor, 29-30 November 2006. Balai Besar
Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Deptan.
Prastowo, B.
2007a. Kompor Berbahan Bakar Minyak Nabati. Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 29(6): 7- 9
Prastowo, B.
2007b. Potensi Sektor Pertanian Sebagai Penghasil dan Pengguna Energi
Terbarukan. Perspektif : Reviev Penelitian Tanaman Industri 6(2) : 85-93
Prastowo, B.
2009. Reorientasi Rancangbangun Alat dan Mesin Pertanian Menuju Efisiensi dan
Pengembangan Bahan Bakar Nabati. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Teknologi
Pertanian dan Mekanisasi Pertanian. Tanggal 26 Nopember 2009, Bogor.
LIPI-Deptan. 71 hlm.
Reksowardojo,
I.K., R.P.B. Kusuma, and I.M. Mahnedra. 2006. The Effect of Biodiesel Fuel from
Physic Nut (Jatropha Curcas) on an Direct Injection (DI) Diesel Engine.
Proc.Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian. Bogor, 29-30 November 2006. Balai
Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Deptan.
Rostrup-Nielsen,
J.R. 2005. Making Fuel from Biomass. Science; Jun 3, 2005; 308, 5727; ProQuest Agriculture
Journal. p.1421
Soerawidjaja, T.
H. 2006. Energi Alternatif Dari Kelapa. dalam E. Karmawati, H.T. Luntungan, I.
Nana Maya, I.K. Ardana,
Susilowati
(Ed.). Prosiding Konferensi Nasional Kelapa VI. Gorontalo. Puslitbangbun Bogor.
Sudradjat, H.R,
Dadang S, Yeti W, Ratri A dan Sahirman, 2006. Permasalahan dalam Teknologi
Pengolahan Biodiesel dari Minyak Jarak Pagar. Pros. Lokakarya II Status
Teknologi Tanaman Jarak Pagar. Bogor, 29 Nopember 2006. Puslitbangbun.
Tempo. 2008.
Harga Minyak Asia Turun Lagi.
Tempo, Jumat, 19
September 2008. hlm.A4
No comments:
Post a Comment